JKGR-(IDB) : Utopia tentang keseimbangan dan kesetaraan di antara negara – negara
dunia adalah harapan yang mendekati mimpi. Akan selalu ada negara –
negara yang berusaha untuk berada di atas negara lainnya baik dalam
ekonomi, politik maupun militer.
Setiap negara membawa agenda
kepentingannya sendiri seperti anak – anak sungai, ketidakmampuan PBB
secara efektif menjadi muara laut bagi sungai – sungai itu menyebabkan
PBB hanya menjadi kendaraan politik dan alat legitimasi kepentingan bagi
negara – negara tertentu. Maka konflik pun tidak akan pernah lepas dari
cerita negeri – negeri manusia di bumi.
Salah satu konflik itu ada di pasifik yang melibatkan sejumlah negara
dalam perebutan teritori dan tapal batas negara. Bisa dikatakan konflik
pasifik ini sangatlah pelik sebab diikuti oleh banyak negara dengan
fire power besar dan terkait pula dengan konflik di belahan bumi
lainnya. Sehingga “bila” benar – benar meletus dapat berpotensi memicu
perang dunia ketiga.
Berikut dalam artikel Map of Conflict ini akan dibahas posisi dan
kepentingan, serta intrik negara – negara yang terlibat dalam konflik
pasifik baik secara langsung maupun tidak langsung. Serta analisis umum
tentang strategi negara – negara kawasan, dan secara khusus mengulas
potensi strategi yang dapat diambil oleh Indonesia sehubungan dengan
menghangatnya konflik Laut Cina Selatan.
Amerika Serikat
Secara umum kebijakan politik global Amerika didasarkan pada pandangan
Pan Americana, yaitu pemerintahan dunia di bawah Amerika, dominasi total
tanpa ada kekuatan pembanding / penyeimbang. Maka mencampuri segala
urusan negeri lain sudah menjadi kodratnya, baik secara terang terangan
atau sembunyi – sembunyi, dengan cara halus atau kasar. Bisa dikatakan
proses dominasi dunia bagi Amerika adalah seperti investasi jangka
panjang. Dimana hasil akhir yang direncakan adalah monopoli politik dan
privilege access atas kantong – kantong ekonomi dunia. Meskipun di dalam
negeri Amerika sendiri masih terdapat pro dan kontra tentang Pan
Americana. Namun secara halus tersirat para punggawa politik Amerika
telah mengarahkan gerbong pemerintahannya ke arah tujuan itu.
Sebagaimana di belahan dunia lain, kepentingan Amerika Serikat di
pasifik masih dilatarbelakangi faktor ekonomi dan politik. Secara
ekonomi area pasifik menyimpan potensi kandungan SDA yang tinggi dan
juga sebagai salah satu motor ekonomi terbesar dunia (diwakili China,
Jepang, Korsel, Singapura, Australia dan Indonesia). Kebutuhan Amerika
atas sumber daya mineral bagi industrinya serta ketergantungannya yang
tinggi atas energi fosil untuk menopang gerbong ekonominya. Mengharuskan
Amerika untuk mengamankan setiap potensi sumber nutrisi mereka demi
mengamankan ekonomi dalam negeri agar dapat terus bernafas. Bila
diibaratkan perekonomian Amerika sendiri seperti lokomotif kereta uap,
polutif dan memakan banyak bahan bakar.
Pengeluaran belanja negara Amerika yang luar biasa besar sendiri pada
dasarnya hanya bersandar pada dolar. Yaitu karena dolar dipakai sebagai
mata uang internasional sehingga untuk menutupi pengeluarannya Amerika
“secara sederhana” dapat dengan terus mencetak uang. Istilahnya sarapan
gratis setiap pagi.
Meskipun ekonominya terkesan besar dan kuat namun
pada kenyataannya tak lebih dari sekedar gelembung sabun. Besar tapi
mengandung kanker dan akan seketika runtuh apabila dolar tidak lagi
menjadi alat tukar internasional. Tentu saja jika terus menerus mencetak
uang akan menyebapkan inflasi maka untuk mengimbanginya Amerika pun
mengambil utang. Tahukah anda berapa besar utang luar negeri Amerika?
Luar biasa!!!
Semakin menggeliatnya ekonomi dan militer RRC menjadikannya ancaman
yang nyata bagi hegemoni Amerika di pasifik bahkan dunia. RRC kini telah
berubah menjadi panda merah raksasa dengan kuku dan taring besar yang
terus menancapkan pengaruhnya secara luas dikancah internasional baik
dalam ekonomi maupun politik. Hal ini tidak sesuai dengan agenda Pan
Americana USA yang menghendaki dominasi tanpa adanya pesaing dan
persaingan. Dengan model politik luar negeri RRC yang dianalogikan
seperti “wajah tersenyum ramah namun mulut menggertak, tangan kanan
melambai tapi tangan kiri memegang pisau di punggung”. Membuat RRC
menjadi sulit diprediksi dan berbahaya, sebab selain kuat secara ekonomi
RRC juga memiliki fire power yang besar dan terus tumbuh. Bagi Amerika
maupun negara – negara Pasifik yang terlibat konflik, RRC kemudian
menjadi seperti madu dan racun, diinginkan tapi juga ditakuti.
Konflik terbuka dengan RRC adalah suatu keharusan untuk dihindari,
selain karena RRC mampu memberikan perlawanan secara militer, RRC juga
memiliki pengaruh langsung pada perokonomian terutama sektor keuangan
Amerika. RRC sudah beberapa dasawarsa memutarkan uangnya di pasar
keuangan Amerika dan dunia, yang mengejutkan RRC kini bahkan berstatus
sebagai negara pemberi utang bagi Amerika.
Selain itu telah
diprediksikan bahwa ekonomi RRC akan mampu menyaingi Amerika dimulai
dari 2020-an, dan meninggalkan Amerika jauh di belakang pada 2040-an.
Maka menggelar konflik secara langsung akan sangat tidak menguntungkan
bagi Amerika dalam jangka panjang. Salah satu jalan bagi Amerika untuk
menahan laju hegemoni RRC adalah dengan mengurung kaki gurita politik
RRC agar tidak terus merambat kemana – mana. Mencegahnya semakin besar
dengan memotong diplomasi panda melalui intervensi dan asistensi
langsung pada kawasan. Lalu kemudian memproyeksikan arah ekonominya
lebih condong ke Barat.
Secara umum Amerika dan Eropa akan berupaya mengulur atau
mengambangkan konflik pasifik dalam waktu beberapa dekade jika
memungkinkan. Ini terlihat dari campur tangan barat yang terkesan “biasa
saja” dalam menanggapai klaim RRC atas LCS. Khususnya dalam LCS, negara
– negara ASEAN seakan didudukkan pada posisi absurd antara ancaman
perang dan tidak, sehingga menimbulkan keragu – raguan yang besar dalam
membuat keputusan. Meskipun Barat melihat ada rencana tersembunyi di
balik ulah China, alih – alih menyelesaikan mereka malah ikut menumpangi
diatasnya.
Dalam rentang waktu yang direncanakan tersebut akan ada praktik –
praktik dagang diplomatik, pengkotak – kotakan area sesuai kepentingan
yang dilakukan oleh negara – negara besar baik Barat dan Timur.
Tujuannya adalah untuk mengeruk keuntungan dari situasi absurd kawasan,
di mana salah satu indikasinya dapat dilihat dari perdagangan senjata
yang semakin meningkat di kawasan. Para dealer senjata seakan berlomba –
lomba menawarkan paket spesial mereka, dimana pada situasi normal hal
ini tidak akan terjadi. Dan yang paling memuakkan adalah negara – negara
ASEAN diperlakukan seperti anak kecil yang ditakut – takuti dengan
sesuatu yang tidak ada dan yang seharusnya tidak pernah terjadi, menjadi
bahan permainan Barat dan Timur hanya karena tidak mampu membela diri.
Seperti yang telah diketahui baik Amerika maupun Eropa baru saja
lepas dari krisis ekonomi dan masih berusaha untuk bangun kembali walau
tertatih – tatih. Mereka saat ini sedang sangat membutuhkan nutrisi
tambahan untuk kembali sehat.
Krisis mortgage dan skandal penipuan
terbesar dalam sejarah yang terjadi di Amerika telah memukul dengan
telak perekonomian Amerika dan Eropa. Ditambah dengan krisis Yunani yang
baru saja melanda Eropa khususnya NATO serta kelesuan ekonomi yang
melanda sebagian besar Eropa, menjadikan dompet – dompet finansial Barat
terkuras sangat dalam.
Dalam jangka panjang sekutu NATO kemungkinan akan mulai meninggalkan
petualangan berbiaya tinggi Amerika. Sebab investasi mereka dalam perang
Afganistan, Iraq, revolusi Arab serta yang terakhir di Ukraina, kurang
membuahkan hasil yang diharapkan. Baik Amerika maupun Eropa butuh sumber
suplai energi baru dan tentunya “pasar baru”, sebab kaki – kaki sang
kapitalis sedang goyah.
Dengan menciptakan pasar baru lalu membanjiri pasar dunia dengan
stock suplai energi serta memonopoli kontrol atas akses sumber daya
alam, namun membiarkannya bersirkulasi dalam persaingan bebas di pasaran
akan memberikan keuntungan yang signifikan bagi Barat. Barat yang pada
dasarnya telah memiliki industri – industri maju akan langsung
menggeliat dan bahkan akan mampu mendesak industri RRC secara perlahan.
Sebab secara tidak langsung RRC akan dipaksa untuk bersaing dalam pasar
yang lebih “fair” bagi barat. Tentunya dengan tujuan akhir yang masih
sama yaitu isolasi China, membiarkannya menggerogoti diri dari dalam
karena tidak mampu keluar dari kotaknya lalu mengubah wajah RRC agar
menjadi sesuatu yang “lebih demokratis untuk diatur”.
Selain memanfaatkan “kebingungan” negara – negara kawasan untuk
tujuan ekonomi, baik Amerika maupun pembesar Eropa akan mulai dengan
hati – hati menata posisi politik dan militer mereka di kawasan.
Meskipun masih jauh namun ancaman perang itu tetap ada dan sebagaimana
kisah perang dunia kedua, winner takes all. Bagi Amerika dan Sekutu
mundur dari pasifik bukanlah pilihan, sebab mundur sama dengan
menunjukkan kelemahan dan sekutu akan dapat dipaksa mundur pula di
global frontline lainnya.
Antisipasi secara militer telah dilakukan
dengan menempatkan sarana militer pada lokasi – lokasi strategis yang
secara geografis mengepung RRC dari selatan dan timur. Penempatan
tersebut untuk mendukung skenario pengerahan langsung bantuan tempur,
serta mengamankan jalur suplai logistik dengan menggalang partisipasi
aktif negara – negara kawasan. Pada akhirnya negara – negara kecil dalam
kawasan itu sendiri akan menjadi sapi perah dan bidak catur para pemain
besar yang bertikai. Sebab setiap penempatan basis militer secara tidak
langsung juga akan berfungsi sebagai “alat kontrol”.
Bersahabat ketika lemah dan menindas ketika kuat, agaknya falsafah ini
menjadi cerminan umum sikap politik negara – negara berpostur besar.
Seperti yang sudah menjadi idiom umum, orang gendut makannya banyak. Mau
berpihak pada barat ataupun timur hasilnya akan tetap sama saja,
menjadi budak dan sapi perahan.
Berdiri dengan ditopang kaki sendiri lalu berjalan bersama sama
dengan mereka yang senasib sepenanggungan adalah jalan terbaik untuk
menjadi kuat. Bila PBB sudah tak lagi bisa menjadi sarana bagi aspirasi
mereka yang kecil, maka organisasi seperti gerakan Non-Blok harus
dihidupkan kembali. Tujuannya adalah agar dapat secara bersama – sama
saling mendukung dan melindungi diri dari intimidasi negara – negara
besar. Namun idealisme dan harapan ini tidak akan begitu saja melenggang
dengan tenang, sebab mereka yang memiliki kekuatan akan selalu
mengganjal dengan “devide et impera”. Demikian karena mereka yang
terpecah pecah akan lebih mudah dikendalikan. Bersambung…
Sumber : JKGR