Pages

Kamis, April 10, 2014

Kandidat Pengganti F-5 Tiger TNI AU Bertambah

JAKARTA-(IDB) : Kementerian Pertahanan dan TNI Angkatan Udara masih mengkaji calon pengganti pesawat tempur F-5 Tiger yang akan dikandangkan. Kepala Badan Perencanaan Pertahanan Kementerian Pertahanan, Laksamana Muda Rachmad Lubis, mengatakan empat pesawat generasi 4,5 atau mendekati kemampuan pesawat siluman atau antiradar yang dilirik adalah Sukhoi Su-35 buatan Rusia, SAAB JAS Gripen produksi Swedia, Dassault Rafale dari Prancis, serta Boeing F/A-18E/F Super Hornet bikinan Amerika.

"Masih kami pertimbangkan dari sisi anggaran. Kami mempelajari yang paling menguntungkan pemerintah," kata Rachmad di kantornya, Rabu pekan lalu. Rachmad belum bisa memastikan jumlah anggaran untuk membeli pesawat baru.

Sumber di Kementerian Pertahanan mengatakan sebenarnya ada usulan baru pengganti F-5 Tiger. Yaitu Eurofighter Thyphoon yang diproduksi bersama oleh Inggris, Spanyol, Jerman, dan Italia. Usul pembelian Thyphoon diajukan oleh PT Dirgantara Indonesia.

Menurut sumber ini, PT DI beralasan para produsen Thyphoon lebih mau berbagi ilmu atau transfer teknologi. Bahkan, sangat mungkin PT DI diberi lisensi memproduksi beberapa suku cadang. "Kalau pesawat buatan Amerika dan Rusia tak ada transfer teknologi," kata si sumber. Berdasarkan Undang-Undang Industri Strategis, pembelian alat utama sistem persenjataan dari luar negeri harus disertai dengan alih teknologi.

Direktur Teknologi Penerbangan PT DI Andi Alisjahbana tak mau berkomentar tentang usulan perusahaannya. Dia hanya mengatakan pengadaan persenjataan sebaiknya tak hanya melihat kecanggihannya. "Tapi diperhatikan pula kesediaan negara pembuat untuk membagi teknologi dengan industri dalam negeri," katanya.

Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara Marsekal Pertama Hadi Tjahjanto menanggapi positif usulan Typhoon sebagai pengganti F-5 Tiger. Musababnya, Typhoon punya kemampuan relatif sama dengan calon pengganti lainnya. Hadi juga menilai pembelian Typhoon bakal menambah varian pesawat tempur Angkatan Udara. "Tapi keputusan pembeliannya berada di Kementerian Pertahanan." Sejumlah pilot tempur justru menilai pemerintah seharusnya membeli Sukhoi Su-35. Pesawat ini dianggap superior di udara dan menimbulkan efek gentar bagi negara tetangga.




Sumber : Tempo

PT DI Yakin Ekspor Komponen Pesawat Meningkat

JAKARTA-(IDB) : Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Dirgantara Indonesia Andi Alisjahbana optimistis nilai ekspor perusahaan pelat merah tersebut akan terus meningkat. Setiap tahun, PT DI mengekspor komponen pesawat senilai US$ 25 juta - US$ 30 juta. Komponen semisal leading edge dan D-Nose pada sayap pesawat tersebut dikirim untuk raksasa industri dirgantara, Airbus.

Hingga saat ini, PT DI membuat komponen bagi sejumlah pesawat ternama Airbus, yakni A320, A321, dan A380. Besar pesanan bergantung pada produksi tahunan perusahaan asal Prancis tersebut.

"Untuk A320 misalnya, kami buat komponen untuk 40 pesawat sebulan, kalau A380 untuk 40 pesawat setahun" ujar Andi akhir pekan lalu.

Praktis, untuk menambah nilai ekspor, PT DI bergantung pada pesanan tambahan. Salah satunya untuk pesawat baru Airbus, yaitu A350 yang tengah memasuki tahap pengembangan. Airbus diprediksi akan memproduksi penuh pesawat tersebut 2 tahun mendatang, segera setelah mendapat sertifikasi.

"Kami baru dapat pesanan komponen pesawat untuk 8 unit pesawat A350," papar Andi. Setidaknya, jika nanti sudah diproduksi penuh, Airbus akan membuat 10 pesawat sebulan. Ini bisa meningkatkan ekspor PT DI yang tak hanya bergerak di bisnis pembuatan pesawat, tapi juga di bidang aerostructure yang bertugas sebagai global supplier untuk industri pesawat lain.

Pesanan tersebut bagi PT DI, menurut Andi, adalah bukti bahwa industri dirgantara Indonesia siap bangkit kembali. "Meski kecil, komponen itu penting. Kerja sama bisa berlangsung sampai 20-30 tahun ke depan karena kepercayaan pada PT DI," ujarnya.

Vice President Marketing PT DI Arie Wibowo menyebut kepercayaan Airbus sebagai tanda positif bagi eksistensi PT DI. Arie ingat betul masa saat PT DI harus menghentikan semua program dan merumahkan seluruh karyawan pada 1998 karena andil International Monetary Fund (IMF).

"PT DI di 2014 memang mulai bangkit lagi, tapi belum mencapai citra zaman dahulu," katanya. Menurut Arie, meski masalah finansial sudah teratasi karena baik bank dalam negeri maupun luar negeri mau meminjamkan dana, namun ada masalah lain yang tak kalah penting, yakni image recovery.

"PT DI bahkan pernah dicaci tukang habiskan duit. Ini pemikiran yang harus kita ubah," paparnya. Arie optimistis PT DI mampu mencapai target selanjutnya yakni dikenal eksis membuat pesawat terbang, tidak hanya untuk pangsa pasar dalam negeri, tetapi juga untuk mancanegara.




Sumber : Kontan

Mengenal INFRA RCS, Industri Radar Swasta dalam Negeri

JAKARTA-(IDB) : Kemandirian anak bangsa Indonesia dalam membuat alat utama sistem senjata (alutsista) telah banyak menoreh prestasi di dalam maupun luar negeri, seperti pembuatan pesawat, kapal perang, kendaraan tempur, senjata ringan maupun berat. Alutsista-alutsista strategis ini tidak terlepas dari peran BUMN Industri Strategis dan industri swasta lainnya.

PT Infra RCS Indonesia adalah salah satu industri strategis swasta yang terlibat dalam memajukan teknologi radar dalam negeri. Beberapa produk perusahaan yang telah berdiri sejak 2009 ini telah dipasang di Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) kelas Van Speijk dan Parchim.

"Ada 4 KRI Van Speijk dan 1 Parchim.  Di situ ada radar LPI (Low Probability of Intercept) dia hidup tapi tidak bisa dideteksi oleh musuh, ada ECDIS (Electronic Chart Display and Information System) karena 1 paket dan ada juga ESM (Electronic Support Measures) untuk KRI Yos Sudarso dan KRI OWA," ucap Technical Advisor PT  Infra RCS Indonesia, Dr Mashruri Wahab di kantornya, Jakarta Selatan, Senin (7/4/2014).

Selain itu saat ini Infra RCS sedang mengembangkan Coastal Radar yang berfungsi untuk mengawasi pesisir pantai dan Warship Electronic Chart Display and Information System (WECDIS). Dalam pengembangan ini, Infra RCS bekerjasama dengan Dislitbang TNI AL sebagai end user.

"Coastal Radar kita kebanyakan dari luar, dan seperti kita ketahui garis pantai kita itu kan panjang. Jadi perlu banyak radar pengawas pantai, jadi wilayah kita banyak lalu lintas kapal asing lalu juga illegal fishing seperti di Maluku dan lain-lain. Tahun ini kita sedang mengetes radar coastal kerjasama dengan Dislitbang AL," ujar pria murah senyum itu.

Di tempat yang sama, Direktur PT Infra RCS Indonesia Wiwiek Sarwi Astuti, mengatakan selain dipasarkan ke TNI AL, radar-radar pabrikannya juga bisa dijual ke kalangan swasta dan pemerintah. Tawaran dari institusi pemerintah juga sudah mulai berdatangan.

"Kita pemasarannya bisa kalangan kecil, swasta dan pemerintah, jadi terbuka ya. Kita rencananya kerjasama dengan asosiasi galangan kapal, tentu untuk dipasang di on-board ya. Kalau untuk coastal rencananya dengan Bakorkamla, Kementerian Perikanan. Pertamina juga berminat untuk pengawasan oil rig-nya," imbuh wanita berkerudung ini.

Untuk masalah harga, Wiwiek menilai, produk buatan perusahaannya lebih kompetitif dibanding radar impor. Selain itu, perusahaannya memberikan pelatihan berkala sampai pihak user mengerti tentang kegunaan radar pabrikannya.

"Secara cost kita sangat kompetitif, seperti kalau beli dari China di kita harganya cuman 50%-nya," tutur Wiwiek.

Meski dengan keterbatasan SDM, PT Infra RCS Indonesia bercita-cita untuk mendukung revitalisasi dan kemandirian bangsa dalam bidang penelitian dan produk radar dalam negeri. Untuk anggaran Research and Development (R&D) awalnya dari hasil patungan dan akhirnya dibantu Ditlitbang TNI AL.

"Untuk Infra ini kan kita punya misi  untuk mendukung kemandirian bangsa dalam produk-produk yang sifatnya strategis.  Jadi produk seperti ini kita usung untuk pelanggan atau end user di Indonesia sehingga kita support lebih baik dan kita berikan pelatihan tentang penggunaan. Kalau lihat produk luar biasanya setelah instalasi lalu ditinggal, itu banyak kita lihat di lapangan itu," katanya.

"Ada (anggaran) dari internal ada juga kerjasama dengan litbang. Kalau coastal ini kita kerjasama dengan litbang TNI AL. Dengan keuntungan sedikit kita akan pakai lagi untuk R&D dan pengembangan varian-varian baru agar kemandirian bangsa dalam teknologi radar bisa setara dengan negara maju. Saat ini fokus 70% untuk radar maritim dan sisanya untuk radar lainnya." 




Sumber : SCTV

Melintas Tanpa Ijin, F-16 TNI AU Paksa Turun Pesawat Asing

MEDAN-(IDB) : Sebuah pesawat Cessna disergap pesawat tempur TNI AU saat melintas di wilayah Sumatera Utara. Pesawat dipaksa turun. Sang pilot diamankan.

Pesawat bernomor register nomor N543 JX itu dipaksa turun di Pangkalan TNI Angkatan Udara (Lanud) Soewondo, Medan, Kamis (10/4/2014) sekitar pukul 12.44 WIB. Kemudian, sang pilot bule yang belum diketahui identitasnya itu diamankan. Ia dikawal POM TNI AU dan prajurit berseragam hijau loreng.

Pesawat tersebut berpenumpang tunggal. Setelah mendarat, pesawat berwarna merah itu dijaga personel TNI bersenjata lengkap.

 
Pihak TNI AU belum memberikan keterangan resmi mengenai penyergapan pesawat sipil ini. "Nanti Pangkosek akan memberikan keterangan resmi," kata seorang perwira yang berjaga di sekitar pesawat.

Menurut informasi, pesawat tersebut disergap dua pesawat tempur F-16 TNI AU saat terbang di perairan Sibolga, kawasan Pantai Barat Sumut. Diduga, pesawat ini masuk ke wilayah Indonesia karena cuaca buruk dalam perjalanan dari Selandia Baru ke Malaysia.



Sumber : Detik

Berita Foto : Indonesia Air Force One

JAKARTA-(IDB) : Inilah dia pesawat Kepresidenan RI yang baru. Pesawat berwarna dominan biru ini akhirnya mendarat di Lanud Halim Perdana Kusumah Jakarta pada kamis (10/04) pagi. Pesawat jenis Boeing Business Jet 2 ini dibeli pemerintah senilai lebih dari 91 juta dollar atau sekitar 847 Milyar Rupiah.

Sesuai peruntukannya, pesawat BBJ2 dirancang untuk memuat 4 VVIP class meeting room, 2 VVIP class state room, 12 executive area, dan 44 staff area. Interior pesawat dirancang untuk dapat mengakomodasi hingga 67 orang penumpang. 

Selain itu, Pesawat ini juga mampu terbang dengan ketinggian maksimal 41.000 feet, ketahanan terbang selama 10 jam, dan kecepatan maksimum 0,85 mach. Pesawat juga dilengkapi dengan perangkat keamanan, serta penambahan tangki bahan bakar sehingga mampu menjangkau sampai dengan 10.000 kilometer.

Nantinya pesawat ini akan dioperasikan oleh Skadron 17 TNI-AU, sementara untuk perawatan akan bekerja sama dengan Garuda. 

Berikut liputannya : 




Sumber : ARC

Menhan RI Dan Mensesneg Sambut Pesawat Kepresidenan RI BBJ-2

JAKARTA-(IDB) : Setelah menempuh perjalanan panjang selama empat hari, pesawat kepresidenan Republik Indonesia jenis Pesawat Boeing Business Jet (BBJ)-2 yang merupakan varian dari pesawat Boeing 737 seri 800 akhirnya hari ini, Kamis (10/4) tiba di di Base Ops Lanud Halim Perdanakusumah, Jakarta.

Saat mendarat di Halim PK, pesawat yang dipiloti David dengan kopilot Jean disambut Mensesneg Sudi Silalahi, Menko Kesra Agung Laksono, Menhan Purnomo Yusgiantoro, Menhub EE Mangindaan, Kasau Marsekal TNI I.B. Putu Dunia, Kapolri Jenderal Pol Sutarman, Wamenhan Sjafrie Sjamsoeddin, Dirut PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Emirsyah Satar, anggota Komisi II DPR RI, pejabat terkait dari Kemkeu, BPK, BPKP serta perwakilan dari fabrikan pesawat Boeing.

Pesawat kepresidenan RI yang diperuntukkan khusus bagi Presiden RI dan Wakil Presiden RI dalam melaksanakan perjalanan dinas di dalam dan luar negeri ini langsung disambut dengan tradisi khas pecah kendi di atas roda pesawat bagian depan oleh Mensesneg Sudi Silalahi. Sebelumnya sejumlah petugas pemadam kebakaran menyemprotkan air ke pesawat hingga muncul efek pelangi di sekitar badan pesawat.

Sebelum tiba di Halim PK, pesawat BBJ-2 ini sempat singgah ke empat wilayah dimulai dari Delaware, AS pada tanggal 7 April 2014 menuju Wellington dan dilanjutkan ke Sacramento. Keesokan harinya, pesawat berlogo burung garuda tersebut lepas landas menuju ke Honolulu dan pada tanggal 9 April 2014 pesawat berangkat ke Guam untuk selanjutnya terbang menuju Halim PK.

Dari hasil perhitungan yang cermat dan teliti serta dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan, penggunaan pesawat khusus kepresidenan memiliki sejumlah nilai keunggulan yaitu pertama, dari sisi anggaran negara, penggunaan pesawat kepresidenan jauh lebih hemat dibandingkan dengan menggunakan pesawat komersial. Dari perhitungan yang dilakukan dengan cermat oleh pemerintah, penghematan anggaran negara, selama masa pakai pesawat beberapa tahun kedepan dikisaran Rp 114,2 milyar per tahun.

Kedua, dari sisi efisiensi dan efektifitas, penggunaan pesawat khusus kepresidenan tentu tidak mengganggu jadwal dan kinerja maskapai penerbangan komersial. Selama ini, perusahaan penerbangan harus mengatur ulang jadwal penerbangannya apabila ada tugas-tugas kenegaraan yang mengharuskan Presiden RI menggunakan pesawat bagi perjalanan dinas kepresidenan.

Dan yang ketiga, dari sisi kebanggaan nasional, sebagai negara besar menjadi suatu kebanggaan tersendiri apabila Presiden RI menggunakan pesawat khusus kepresidenan yang canggih, modern, aman dan benar-benar difungsikan untuk melayani tugas konstitusional Presiden RI.

Pesawat BBJ-2 telah dirancang dan didesain sedemikian rupa hingga dapat memenuhi persyaratan untuk menunjang pelaksanaan tugas kenegaraan Presiden RI. Interior pesawat dirancang untuk dapat mengakomodasi hingga 67 orang penumpang serta dilengkapi dengan ruang pertemuan, ruang rapat dan ruang eksekutif guna memfasilitasi Presiden RI dalam menunaikan tugas kenegaraan meski sedang melakukan perjalanan.

Pesawat juga dilengkapi perangkat keamanan dan mampu mendeteksi peluru kendali.  Tanki bahan bakar telah ditambah hingga menjadikan pesawat ini sanggup menempuh jarak 5.000 mil laut atau sekitar 10.000 km. Dengan kemampuan itu, pesawat ini mampu menjangkau seluruh pelosok kepulauan nusantara serta dalam tugas perjalanan dinas Presiden RI ke negara-negara sahabat.

Atas dukungan dari Komisi II DPR RI, gagasan pengadaan pesawat kepresidenan diawali pada tahun 2007 dan setelah melalui proses tender yang ketat, cermat, dan teliti, fabrikan Boeing dipilih atas Airbus. Proses fabrikasi dan modifikasi 1 (satu) buah pesawat Boeing berlangsung selama hampir lima tahun dengan harga sekitar US $ 89,6 atau sekitar Rp 847 milyar. Harga tersebut sudah termasuk fabrikasi, modifikasi interior dan modifikasi lainnya yang diperlukan. Pembayaran harga pesawat dilakukan melalui skim kontrak tahun jamak dari tahun 2010 hingga tahun 2014.

Pesawat yang memiliki dua tenaga jet dan dilengkapi dengan wing air yaitu teknologi baru yang membuat pesawat lebih cepat dan hemat bahan bakar ini membuka lembaran sejarah baru dalam penyelenggaraan pemerintahan. Untuk pertama kalinya, setelah hampir 69 tahun Indonesia merdeka, pemerintah memiliki pesawat kepresidenan yang khusus dirancang dan digunakan hanya untuk menjalankan tugas-tegas pemerintahan dan kenegaraan Presiden dan Wakil Presiden RI.

“Bakal ada proses sertifikasi. Semua komponen di dalam pesawat akan diperiksa dan dipastikan spesifikasinya. Proses itu akan dilakukan oleh Kemhan mulai Jumat besok (11/4). Kita harapkan sertifikasi bisa diselesaikan Kemhan. Minggu depan bisa dilakukan uji penerbangan, sehingga dapat digunakan dalam tugas negara presiden terpilih," ujar Mensesneg. 




Sumber : DMC

Sekilas Indonesia Air Force One

Setelah 69 Tahun Merdeka, Indonesia Punya Pesawat Kepresidenan
JAKARTA-(IDB) : Pesawat jenis Boeing Business Jet 2 (BBJ2) yang dipesan khusus untuk operasional Presiden Republik Indonesia mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (10/4/2014). Pesawat tersebut mendarat setelah melakukan perjalanan selama empat hari.

Berdasarkan pantauan Kompas.com, pesawat mendarat dengan mulus sekitar pukul 09.40 WIB. Setelah mendarat, pesawat itu lalu disambut semburan air dari dua mobil pemadam kebakaran sebagai selebrasi.

Logo bendera Merah Putih terlihat di bagian ekor pesawat. Pesawat ini dicat berwarna biru muda pada punggung dan berwarna putih pada bagian lambung pesawat. Selain itu, tulisan "Republik Indonesia" dan logo Garuda terpasang di bagian depan pesawat.

Sebelumnya, pesawat tersebut terbang selama empat hari yang dimulai pada 7 April dari Delaware menuju Wellington, dilanjutkan menuju Sacramento. Tanggal 8 April, pesawat BBJ2 bertolak dari Sacramento menuju Honolulu. Keesokan harinya, pesawat berangkat dari Honolulu menuju Guam. Tanggal 10 April, pesawat bertolak dari Guam menuju Halim di Jakarta.

Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi mengatakan, pengurusan pesawat tersebut berlangsung selama empat tahun.

"Hadirnya pesawat ini membuka sejarah baru bagi Indonesia setelah 69 tahun merdeka, dan punya pesawat kepresidenan sendiri," kata Sudi dalam acara penyambutan dan serah terima.

Dengan kehadiran pesawat ini, lanjut Sudi, diharapkan mampu membantu tugas-tugas kepresidenan dan tugas kenegaraan. "Sebelumnya Presiden RI, baik di dalam atau di luar negeri selalu menyewa pesawat komersiil. Tentu tidak efektif bila kita memiliki sendiri pesawat kepresidenan," ujar Sudi.
Hadir dalam sambutan ini, Kepala Polri Jenderal Pol Sutarman, Dirut Garuda Emirsyah Satar, Perwakilan Anggaran dari Komisi II DPR Joko Pramono, Menteri Perhubungan EE Mangindaan, Kepala BIN Marciano Norman, Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Ida Bagus Putu Dunia, serta sejumlah tamu undangan lain dan pejabat negara.Garuda dan TNI AU Ditugasi Urus Pesawat Kepresidenan

"Saya minta agar dapat menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Pastikan pemeliharaan dan perawatan berkala yang terbaik dan berstandar internasional," kata Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, di sela-sela sambutannya di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (10/4/2014).
Garuda Indonesia dan TNI Angkatan Udara mendapatkan mandat untuk memelihara pesawat kepresidenan Boeing Business Jet 2 (BBJ2) seri 737-800. Selain membantu memelihara perawatan, TNI AU juga akan bertugas mengoperasikan pesawat bernilai ratusan miliar tersebut.
Baik Garuda Indonesia dan TNI AU, lanjut Sudi, juga diminta untuk menjalin komunikasi intensif dengan Boeing Company mengenai pedoman dan standarisasi perawatan yang berlaku. Dia berharap, TNI AU dan Garuda Indonesia dapat merawat fasilitas negara untuk pemimpin negeri ini dengan baik.Sudi menjelaskan, pemeliharaan yang baik itu perlu dilakukan agar pesawat tersebut bisa memberikan tingkat keamanan, kenyamanan, dan keselamatan yang tinggi bagi kepala negara dalam menunaikan tugas konstitusionalnya. Sudi juga meminta TNI AU dan Garuda Indonesia bisa menggunakan biaya perawatan pesawat dengan baik. "Cegah semua bentuk pemborosan anggaran, upayakan agar anggaran operasional dan perawatan benar-benar efesien dan efektif," ujar Sudi. Pesawat kepresidenan itu akan disimpan di hanggar milik TNI Angkatan Udara. Pesawat ini nantinya akan dioperasikan oleh Skuadron Udara 17 Lanud Halim Perdanakusuma.Warna Pesawat Kepresidenan Tak Memuaskan, Berapa Harga Pengecatan Ulang?
Sejumlah pihak kurang puas dengan livery atau corak warna yang dipakai oleh pesawat kepresidenan Boeing 737-800NG. Lantas, berapa harga jika ingin mengubah livery tersebut? GM Corporate Communication Garuda Maintenance Facility (GMF) Mochamad Aviv mengungkapkan, harga pengecatan pesawat tergantung pada coraknya. Biasanya, harga yang dipatok berdasarkan paket dan tidak dihitung per meter persegi. “Untuk harga lama pengecatan bodi pesawat untuk family Boeing 737 antara 40.000 dollar AS hingga 60.000 dollar AS. Tapi untuk sekarang, tentu ada penyesuaian harga,” ujarnya saat berbincang dengan Kompas.com, Kamis (10/4/2014).GMF merupakan anak usaha PT Garuda Indonesia Tbk yang menyediakan jasa perawatan pesawat. Perusahaan tersebut juga menjual paket jasa pengecatan pesawat.Sebelumnya, ramai di jejaring sosial, corak warna pesawat kepresidenan 737-800 dinilai kurang memuaskan. Ada yang menyebut pesawat kepresidenan Indonesia mirip dengan livery Korean Airlines. Bahkan ada yang menyatakan warna tersebut berbau politik.Atas polemik ini, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi mengungkapkan, pemilihan warna biru pada pesawat kepresidenan RI yang dibuat Boeing Company bukan pesanan dari pihak mana pun. Warna biru tersebut juga bukan merupakan pesanan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jadi, mengapa memilih warna biru?Sudi menjawab, dalam keselamatan penerbangan, warna biru sebagai bentuk penyamaran dari ancaman. Karena alasan keamanan, lanjutnya, maka pesawat itu diberikan warna biru, yang tidak dimiliki pesawat penerbangan komersial lain. Bukan SBY yang Tentukan Warna Pesawat Warna biru pada pesawat kepresidenan RI yang dibuat Boeing Company bukan pesanan dari pihak mana pun. Warna biru tersebut juga bukan merupakan pesanan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.Hal ini ditegaskan oleh Meteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi menjawab pertanyaan wartawan seputar pemberian warna tersebut pada pesawat Boeing seri 737-800 yang dijadikan pesawat khusus kepresidenan tersebut."Mengenai warna, saya kira bukan presiden yang menentukan," kata Sudi, di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (10/4/2014).Jadi, mengapa memilih warna biru?
Sudi menjawab, dalam keselamatan penerbangan, menurut dia, warna biru sebagai bentuk penyamaran dari ancaman. Karena alasan keamanan, lanjutnya, maka pesawat itu diberikan warna biru, yang tidak dimiliki pesawat penerbangan komersial lain. "Jadi sama sekali tidak ada arahan siapa pun dari penentuan warna itu," ujar Sudi.Dia juga sempat berkelakar bahwa penyematan warna biru pada pesawat tersebut sesuai dengan warna seragam prajurit TNI Angkatan Udara."Angkatan Udara juga seragamnya saya kira mirip toh," katanya.Namun, Sudi menjelaskan bahwa pemilihan warna biru tersebut berdasarkan polling yang dilakukan pihaknya. Menurut dia, saat itu ada 14 alternatif warna yang disodorkan kepadanya."Dan, saya juga undang beberapa pejabat, mana yang lebih dipilih. Jadi semacam polling. Lebih dari separuh kemudian memilih warna ini dan arsipnya masih ada untuk pemilihan alternatif itu," ujar Sudi.Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Ida Bagus Putu Dunia mengatakan, desain warna tersebut sudah mengakomodasi kepentingan keselamatan pemimpin negara dalam perjalanan bersama para staf."Desain ini yang pertama sudah mengakomodir kepentingan dari perjalanan Bapak Presiden dan beberapa stafnya. Jadi semua sudah dipertimbangkan," ujar Putu. Pesawat Kepresidenan Bisa Deteksi Peluru Kendali Pesawat kepresidenan Boeing Business Jet 2 seri 737-800 didesain untuk tingkat keamanan tinggi yang diperuntukkan bagi kepala negara yang menumpang pesawat tersebut. Salah satunya yakni dapat mendeteksi ancaman dari peluru kendali."Kemungkinan ancaman peluru kendali, tadi sudah didemonstrasikan kepada kita bagaimana sensor secara otomatis memberikan warning dan bagaimana langkah-langkah yang dilakukan pesawat apabila itu terjadi," kata Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi kepada wartawan, di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (10/4/2014).Namun, dirinya tidak menjelaskan secara rinci soal langkah selanjutnya terhadap keselamatan pesawat atas ancaman itu. Merujuk pada pemberitaan Kompas.com, Indonesia menggelontorkan 4,5 juta dollar AS untuk biaya pemasangan sistem keamanannya saja.Sudi juga menyatakan, pesawat tersebut aman untuk difungsikan dan melayani tugas konstitusional presiden RI. "Dari aspek sekuriti memang tidak dimiliki pesawat biasa," ujar Sudi.Sebelumnya, pesawat kepresidenan tersebut tiba di Jakarta dalam acara serah terima di Base Ops, Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Pesawat tersebut mendarat dengan selamat setelah melakukan perjalanan selama empat hari.   Sumber : Kompas

Indonesia Air Force One Mendarat Di Bandara Halim

JAKARTA-(IDB) : Pesawat kepresidenan Republik Indonesia yang dibeli dari Boeing akhirnya mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, pukul 10.00 WIB, Kamis 10 April 2014.

Pesawat jenis 737-800 Boeing Business Jet 2 ini sampai ke Indonesia setelah melalui empat hari uji coba penerbangan. Pada 7 April 2014, pesawat diterbangkan dari Delaware, Amerika Serikat, menuju Wellington, Selandia Baru. Kemudian, penerbangan dilanjutkan dari Wellington menuju Sacramento, California, AS.

Selanjutnya pada 8 April 2014, pesawat diterbangkan lagi dari Sacramento ke Honolulu, Hawaii, AS. Pada 9 April 2014, pesawat kembali diterbangkan dari Honolulu ke Guam di barat Samudera Pasifik. Selanjutnya pada 10 April 2014, barulah pesawat diterbangkan dari Guam pukul 03.30 waktu setempat menuju Halim Perdanakusuma, Jakarta. Perjalanan dari Guam ke Indonesia menghabiskan waktu 6 jam 30 menit.

Dalam penerbangan itu, pesawat kepresidenan dikemudikan oleh pilot dan kopilot dari Boeing, Kapten David dan Kapten Jean. Tiga anggota TNI Angkatan Udara juga ikut dalam penerbangan tersebut, yakni Letkol (Pnb) Firman Wirayuda, Letkol (Pnb) Ali Gusman, dan Peltu Suminardi.

Pesawat kepresidenan RI itu berwarna biru putih dengan garis merah putih tepat di tengah pesawat. Di bagian ekor pesawat ada lambang bendera Merah Putih, di samping pesawat ada lambang Burung Garuda, dan di bagian kepala pesawat ada tulisan Republik Indonesia.

Pesawat yang mulai dibuat pada 2011 itu memiliki panjang sayap 30,7 meter dengan tinggi 13,5 meter dan panjang 38 meter. Pesawat tersebut memiliki kecepatan maksimal 871 kilometer per jam, dengan jarak tempuh maksimal 10.334 kilometer. Dengan kapasitas penuh berpenumpang sekitar 50 orang, jarak tempuh terjauhnya turun menjadi 8.630 kilometer.

Pesawat dengan interior mewah itu dilengkapi 2 VVIP ruang rapat, 12 area eksekutif, dan 44 area staf. Konfigurasi interior telah disesuaikan dengan kebutuhan Presiden RI. Pesawat itu dibeli pemerintah RI seharga US$91,2 juta atau sekitar Rp820 miliar.

Kecanggihan Indonesia Air Force One

Pesawat kepresidenan Republik Indonesia yang dipesan pemerintah dari Boeing tiba di tanah air hari ini, Kamis 10 April 2014 –enam bulan sebelum pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhyono berakhir. ‘Air Force One’ RI itu mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Pesawat RI 1 jenis Boeing Bussiness Jet 2 Green Aircraft (BBJ2) tersebut dibeli Indonesia seharga US$91,2 juta atau sekitar Rp820 miliar, dengan rincian US$58,6 juta untuk badan pesawat, US$27 juta untuk interior kabin, US$4,5 juta untuk sistem keamanan, dan US$1,1 juta untuk biaya administrasi.

Pemerintah memutuskan untuk membeli pesawat kepresidenan demi efisiensi anggaran, sebab menyewa pesawat dari maskapai Garuda Indonesia ongkosnya lebih mahal. Pembelian pesawat kepresidenan disetujui DPR dan telah dikonsultasikan dengan ahli pesawat.

RI memilih BBJ2 sebagai pesawat kepresidenan karena dua alasan. Pertama, dari segi operasional, para pilot di dalam negeri, termasuk pilot TNI AU, lebih mengenal pesawat jenis Boeing. Kedua, dari segi perawatan, Indonesia lebih siap dan mampu merawat Boeing ketimbang pesawat merek lain. Ini karena Boeing telah banyak digunakan untuk penerbangan VVIP berbagai negara di dunia.

Spesifikasi pesawat kepresidenan RI adalah mampu terbang jauh sekitar 10-12 jam, mampu mendarat di bandara kecil, bisa memuat rombongan presiden hingga 70 orang, memiliki peralatan navigasi, komunikasi, cabin insulation, dan in-flight entertainment khusus.

Dikutip dari Boeing.com, pesawat BBJ2 yang memiliki konfigurasi dan interior mewah didesain untuk keperluan VIP. Di dalamnya ada ruang tidur utama, toilet dilengkapi shower, ruang konferensi, ruang makan, dan ruang tamu.

Untuk eksteriornya, BBJ2 memiliki panjang sekitar 39,5 meter dengan panjang sayap 35,8 meter, tinggi ekor 12,5 meter dengan diameter 3,37 meter. Sementara untuk interiornya, BBJ2 memiliki panjang 29,97 meter dengan tinggi 2,16 meter dan lebar 3,53 meter.

Dengan daya tampung 39.539 liter bahan bakar, BBJ2 dapat terbang maksimal sejauh 10.334 kilometer. Namun jika pesawat terisi jumlah penumpang maksimal, maka jarak tempuhnya 8.630 kilometer. Jarak tempuh itu bisa dilalui dengan kecepatan maksimal 871 kilometer per jam.  




Sumber : Vivanews