JAKARTA-(IDB) : Potensi meletusnya perang terbuka antara Indonesia dan
Australia sangat mungkin terjadi. Kapan? Tergantung pada situasi, apakah
persoalan yang menjadi dasar munculnya permusuhan bereskalasi cepat
atau lambat.
Sebagaimana diakui Juru Bicara TNI AL dan
TNI AU, armada perang Indonesia sudah mendekat ke wilayah Australia.
Sejumlah kapal perang telah dipindahkan ke perbatasan Australia.
Sejumlah pesawat tempur lagi, sudah disiagakan. Sehingga secara faktual,
tensi permusuhan Indonesia terhadap Australia sudah mendidih.
Penyiagaan
armada tempur oleh pihak Indonesia bisa diartikan sebagai sebuah
tantangan baru terhadap Australia. Dan bila Australia juga menerima
tantangan, perang terbuka laut dan udara, tentunya tak terhindarkan.
Lain halnya kalau kesiapan itu hanya dimaksudkan sebagai sebuah perang
urat syaraf (psy war) semata.
Disiagakannya armada tempur
Indonesia merupakan buntut dari ketersinggungan Jakarta atas sikap
Canberra. Tetangga Selatan ini melakukan pelanggaran atas wilayah
Indonesia. Pelanggaran Australia terjadi ketika kapal-kapal perangnya
mengusir kapal-kapal sipil yang memuat para pencari suaka politik
berusaha masuk ke Australia. Mereka yang sudah berada di wilayah
Australia, diusir kembali ke perairan Indonesia.
Ketika mengusir,
kapal Australia ikut merangsek ke perairan Indonesia. Para pencari
suaka, umumnya berasal dari negara-negara Balkan, Eropa Timur dan Asia
Selatan. Rute mereka Samudera Hindia yang melewati perbatasan
Indonesia-Australia, yakni perairan seputar Cilacap, Jawa bagian Selatan
dan Pulau Christmas (Australia).
Sebetulnya, Indonesia sudah
melayangkan surat protes atas insiden itu. Dan pemerintah Australia
secara resmi sudah mengakui pelanggaran itu serta telah pula meminta
maaf. Namun otoritas Indonesia, nampaknya tidak merasa puas kalau hanya
melayangkan protes diplomatik. Begitu juga Indonesia tidak merasa cukup
dengan pernyataan permintaan maaf oleh Menteri Imigrasi Australia, Scott
Morrison. Lalu Indonesia pun menyiagakan kekuatan tempur militer.
Meningkatnya
aroma permusuhan ini, cukup menarik. Sebab tensi kemarahan Indonesia
merebak hanya selang tiga bulan setelah terjadi perang pernyataan antara
Presiden SBY dan Perdana Menteri Australia, Tony Abbott.
Presiden
RI mendesak PM Australia meminta maaf karena intelejens Australia telah
melakukan penyadapan telpon Presiden SBY, Ibu Negara Ani Yudhoyono dan
sejumlah pejabat tinggi. Namun Abbott yang merasa tidak bersalah,
bersikeras tidak mau menuruti permintaan SBY.
Alhasil, Presiden
SBY tersinggung, lalu membekukan semua kerja sama kedua negara. Termasuk
membatalkan latihan militer bersama yang sedang berjalan ketika itu.
Melalui "Selalu Ada Pilihan", buku terbarunya, yang diluncurkan 17
Januari lalu 2014, SBY kembali menegaskan ketersinggungannya atas sikap
Abbott yang tidak bersedia meminta maaf.
Ketersinggungan SBY atas
sikap Abbott dan penyiagaan armada tempur Indonesia, kelihatannya masih
saling berkait. Sebab pengumuman kesiagaan tempur pasukan Indonesia
muncul tak lama setelah SBY meluncurkan buku "Selalu Ada Pilihan".
Disamping
itu baru kali ini Indonesia bersikap keras dan tegas kepada negara
tetangga. Pelanggaran perbatasan oleh negara tetangga bukan baru kali
ini terjadi. Yang paling sering, Malaysia. Akan tetapi terhadap tetangga
dekat Indonesia ini, Presiden RI belum pernah menyiagakan armada
tempur.
Dalam kasus pelanggaran Malaysia, SBY yang sudah didesak
oleh berbagai kalangan di dalam negeri, tetap melunak. SBY tetap
mengabaikan desakan rakyatnya. SBY berdalih, kepentingan kerja sama
bisnis kedua negara, jauh lebih penting.
Padahal Malaysia bukan
hanya melakukan pelanggaran batas di sepanjang wilayah perbatasan
Kalimantan. Malaysia bahkan mencaplok pulau-pulau milik Indonesia yang
terletak di ujung perbatasan kedua negara. Itupun tak pernah digubris
armada tempur Indonesia maupun oleh SBY. Malaysian juga tidak pernah
meminta maaf. Berbeda dengan Australia yang langsung meminta maaf.
Atas
sikap mendua dari Indonesia terhadap dua negara tetangga, mencuatkan
kesan, kemarahan Indonesia terhadap Australia boleh jadi lebih dipicu
oleh emosi pribadi seorang SBY. Pelanggaran Australia terlalu
didramatisir, dipaksakan dan dibesar-besarkan.
Oleh karenanya
penyiagaan armada tempur Indonesia menghadapi tetangga (Australia) juga
memancing berbagai spekulasi. Apakah usaha menciptakan perang dengan
Australia, sebagai bagian dari usaha pembelokan isu oleh pemerintahan
SBY?
Spekulasi ini mengemuka dengan alasan pemerintahan SBY yang
sedang kehilangan akuntabilitasnya di dalam negeri, mencoba menciptakan
satu "musuh bersama". Dan "musuh bersama" yang paling pas saat ini
adalah Australia. Jadi rakyat diberi wacana, ancaman paling berbahaya
bagi kedaulatan dan kesatuan NKRI adalah Australia.
Tapi selain
spekulasi, pada saat bersamaan, kesiapan berperang dengan Australia,
juga mencuatkan kekhawatiran. Yakni jika terjadi peperangan kedua
negara, dampaknya akan destruktif bagi Indonesia sangat besar.
Mengapa
? Karena seluruh kekuataan saat ini sedang sibuk menghadapi Pemilu
2014. Tahun politik 2014, sangat menyita konsentrasi dan waktu. Kalau
waktu dan konsentrasi masih harus dibagi ke peperangan, konsekwensinya,
Pemilu 2014 bakal gagal atau sedikitnya terganggu. Gagal atau terganggu,
bukan lagi menjadi persoalan bagi rezim sekarang. Karena toh rezim SBY
akan berakhir pada 20 Oktober 2014.
Selain masalah politik,
Indonesia juga mengalami keterpurukan di bidang ekonomi. APBN 2014 hanya
sekitar Rp1.400 triliun. Sementara akumulasi utang RI sudah mencapai
Rp3.000-an triliun. Defisit anggaran tak bisa dihindarkan. Bagaimana
Indonesia membiayai sebuah perang?
Dalam kondisi perekonomian dan
politik yang serba amburadul, dan kepercayaan masyarakat terhadap
Presiden SBY demikian merosot, apakah Indonesia benar-benar siap
berperang dengan Australia ?
Dalam situasi dimana kelengkapan
Alutsista (Alat Utama Sistem Pertahanan) masih terbatas, apakah mungkin
armada tempur Indonesia mampu mengalahkan Australia? Jangan-jangan
kesiapan tempur itu hanya untuk memenuhi ego pribadi seorang Presiden
yang kebetulan berlatar belakang militer dan mempunyai rekam jejak
bertempur di Timor Timur (kini Timor Leste).
Oleh sebab itu
tantangan Indonesia bertempur dengan Australia bisa bersifat fatal.
Fatal sebab secara ekonomi dan politik, Indonesia memiliki kelemahan
yang cukup serius. Alasan untuk berperang dengan Australia, tidak cukup
kuat. Seluruh rakyat Indonesia pun belum terkondisi bahwa Australia saat
ini merupakan ancaman. Dan apakah perang oleh militer yang tidak
melibatkan dukungan penuh rakyat bisa efektif?
Keraguan atas
minimnya dukungan rakyat terhadap perang menghadapi Australia cukup
beralasan. Sebab pemerintah juga belum memberikan arahan, bagaimana
kebijakan penanganan puluhan ribu siswa dan mahasiswa Indonesia yang
sedang belajar di Australia?
Kalau akhirnya perang dengan
Australia meletus, yang bakal dihadapi Indonesia bukan hanya negeri
kanguru saja. Melainkan negara lain yang sama dengan Australia sebagai
anggota persemakmuran. Kebetulan negara-negara itu semuanya bertetangga
dengan Indonesia. Mulai dari Papua Nugini, sampai dengan Brunei
Darussalam, Singapura dan Malaysia.
Pada akhirnya, ketika perang
dipetakan, Indonesia akan berada pada posisi yang terkepung. Dengan
lemahnya performa Indonesia di dunia diplomasi, jangan-jangan tak
satupun negara sahabat di dunia yang bersedia mendukung. Lalu apa hasil
dan manfaat yang bisa dipetik Indonesia dari peperangannya dengan
Australia? Paling banter uji persenjataan. Lebih dari itu, tidak.
Politik
semakin amburadul, ekonomi makin kacau. Pada saat yang sama SBY sebagai
Panglima Tertinggi sedang atau sudah bersiap-siap meninggalkan panggung
kekuasaan. Jadi hanya kehidupan fatal yang dihasilkan dari peperangan
tersebut.
Satu hal yang mungkin tidak terpikirkan oleh pengendali
armada tempur Indonesia, memulai perang merupakan hal yang mudah. Yang
sulit adalah bagaimana menghentikan atau mengakhirinya.
Falsafah
ini sudah terbukti. Tak ada satupun perang di dunia yang berakhir dalam
waktu singkat. Oleh sebab itu para pecinta perdamaian, selalu
beranggapan, aksioma sebuah peperangan sangat sederhana. "Menang jadi
abu, kalah jadi debu ".
Terpulang kembali kepada pemberi komando
peperangan. Mana yang harus dipilih. Mau perang atau berdamai. Karena
toh dalam setiap permasalahan, "Selalu Ada Pilihan".