Pages

Minggu, Juni 01, 2014

Sang Pendamai Itu Telah Mangkat

 Sultan Azlan Shah
Baginda Sultan Azlan Shah
KUALA LUMPUR-(IDB) : Inalillahi Wainaillaihi Raji’un:

SANG PENDAMAI ITU TELAH TIADA

Mendung hitam menggayut dan berarak di atas langit Perak. Baginda Sultan Azlan Shah, yang dipertuan negeri Perak, Malaysia, telah mangkat..!

Kami baru saja menyelesaikan sesi syuting untuk persiapan promo tour di beberapa negara Timur Tengah, yang akan kami laksanakan menjelang bulan Ramadhan, ketika tiba-tiba handphone saya berdering. Bos kami yang kebetulan masih berada di Jedah, meminta konfirmasi atas berita duka yang beliau terima dari sahabatnya di lingkungan Istana Sultan Perak. Mendengar berita yang amat mengejutkan, saya langsung menghubungi kenalan saya yang selama ini menjadi penghubung antara istana dengan beberapa hotel yang berada di bawah naungan management kami. Sungguh sebuah kabar duka yang amat dalam dan terasa begitu kehilangan atas mangkatnya Sultan Azlan Shah, sosok sultan yang amat dicintai rakyatnya karena kesederhanaan, kepedulian dan kecintaannya pada segenap rakyat Perak khususnya, dan Malaysia pada umumnya. Baginda mangkat pada usia 86 tahun.

Dalam sekejap mata, isak tangis terdengar di mana-mana. Puja dan puji melantun seiring doa yang khusyuk mengiring kepergian sang pemimpin yang telah berhasil merebut segenap hati rakyatnya. Untaian kenangan indah itu seolah kembali berirama di setiap sudut dan relung hati insan-insan yang pernah mengenalnya.

Sultan Azlan Shah, adalah individu berwibawa yang berhasil membawa Perak ke dalam kelompok wilayah elit dalam lingkungan negara persekutuan Tanah Melayu. Dengan sumber daya alam melimpah yang dimiliki wilayahnya, Perak pernah mencatatkan diri sebagai daerah penghasil timah terbesar, bukan saja di Malaysia, melainkan hingga ke tingkat dunia. Tidak heran jika kemudian hampir semua negara industri terkemuka dunia menempatkan Malaysia sebagai partner penting dalam pengembangan sektor industrinya. Bagaimana tidak, meskipun sejatinya Malaysia sendiri kaya akan sumber daya migas, nyatanya pada waktu itu, Malaysia dan atau Perak pada khususnya, lebih menggantungkan perekonomiannya pada sektor pertambangan timah dan perladangan getah serta sawit(perkebunan karet dan kelapa sawit).

Hal yang sebaliknya, justru ditempuh Indonesia. Walaupun memiliki luas wilayah daratan yang sangat luas dan subur, serta pernah mendeklarasikan diri sebagai negara agraris, namun pemerintah Indonesia tidak serta merta menjadikan sektor pertanian sebagai sektor andalan dalam struktur ekonomi nasionalnya. Pemerintah, di awal kepemimpinan Soeharto lebih tertarik untuk mengeruk kekayaan dari sumber daya migas yang dimilikinya. Bisa dimaklumi, karena pada saat itu kita sedang memerlukan dana yang sangat besar untuk menggenjot pembangunan nasional di berbagai bidang. Berbeda dengan Malaysia yang mewarisi struktur dan infrastruktur ekonomi yang lebih baik pasca berakhirnya era kolonialisme bangsa Inggris, kita hanya mewarisi sedikit asset milik Belanda yang teronnggok saat dinasionalisasi, beberapa institusi pendidikan tinggi yang sama sekali tidak memiliki link dengan institusi serupa di belahan bumi lain, bahkan dengan institusi pendidikan tinggi sejenis yang ada di Belanda sekalipun, sarana transportasi yang minim, serta sistem hukum dan perundangan modern Belanda yang hingga ke hari ini masih terpakai, tapi tentu saja di balik segala kekurangan tersebut, kita masih bisa mewarisi sejarah dan semangat kebangsaan yang amat tinggi dari para leluhur dan para pendiri bangsa ini.

Dengan kebijakan pemerintah yang sangat pro migas, secara tidak langsung telah mendorong Pertamina tampil sebagai institusi bisnis milik negara yang paling diandalkan dalam penyediaan anggaran dana pembangunan nasional. Jumlah cadangan minyak yang kala itu masih relatif besar, konsumsi migas domestik yang masih rendah, total lifting yang spektakuler dan harga yang stabil, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara anggota Opec yang suaranya cukup diperhitungkan. Tidak heran jika Soeharto bisa memandang masalah swasembada pangan sebagai sebuah masalah berat yang tidak terlalu memberatkan. Alih-alih memikirkan swasembada pangan, di awal kepemimpinannya, Soeharto justru memilih untuk memulainya dengan program pengendalian dan pemerataan penyebaran penduduk. Pada awal dekade 1970an, kita mulai mengenal istilah transmigrasi dan Keluarga Berencana.

Presiden ke 2 Indonesia, Soeharto sedang  makan di sebuah gubuk
Soeharto sedang makan di sebuah gubuk
Mengapa Soeharto tidak langsung menekankan pada cita-cita swasembada pangannya? Ternyata pada saat itu, kita dinilai belum memiliki tradisi dan kemampuan teknologi budidaya yang mumpuni. Sebagian besar lahan pangan yang kita miliki adalah sawah tadah hujan dan atau ladang berpindah. Melihat kelemahan yang ada, Soeharto pun memanfaatkan ASEAN sebagai media kerja sama dalam bidang peningkatan penguasaan teknologi sektor agrikultur dan holtikultura. 

Ilmu yang diperolehnya, sebagian diadopsi ke dalam paket transmigrasi, dan sebagian lagi disebar ke berbagai daerah yang selama ini dikenal sebagai lumbung pangan, dan atau memiliki potensi untuk menjadi daerah penting penghasil bahan pangan. Tidak terhitung berapa waduk telah kita bangun, pabrik pupuk didirikan dimana-mana, penelitian dan pengembangan benih dan bibit unggul semakin ditingkatkan, peningkatan kemampuan para penyuluh pertanian, industri kimia dan pestisida dengan sengaja diundang untuk datang, ternyata semuanya tidak terlepas dari faktor kedekatan hubungan antara Soeharto dengan Sultan Azlan Shah.

Soeharto yang punya latar belakang kehidupan sebagai petani, dinilai oleh Sultan Azlan Shah, sebagai sosok penting dibalik lahir dan suksesnya industrialisasi Indonesia melalui Pertaminanya. Melihat kenyataan ini, maka baginda Sultan pun terdorong untuk saling bertukar ilmu dan pengetahuan dengan Soeharto. Perlahan-lahan kedua belah pihak mulai melupakan berbagai konflik di masa lalu. Apalagi Indonesia juga belakangan diketahui berada di balik kesuksesan Malaysia dalam mengusir komunisme dari Bumi Melayu, maka Malaysia pun semakin menaruh hormat dan kepercayaan pada Indonesia. Hal ini diejawantahkan melalui bimbingan langsung para ahli dan petinggi Pertamina dalam membidani kelahiran Petronas, perusahaan migas milik Malaysia. 

Sementara yang kita peroleh adalah berbagai teknologi bagi pengembangan industri karet dan sawit. Adapun di sektor pertambangan, beberapa perusahaan dan tenaga ahli dari Malaysia, berkolaborasi dengan beberapa perusahaan pertambangan logam, khususnya pertambangan logam timah. Tanpa terasa, jejak persahabatan yang telah terjalin begitu panjang itu, kini telah mampu memperlihatkan wajah ekonomi kedua bangsa dengan segala keunggulan dan kekhasan yang dimilikinya. Untuk sektor migas, Petronas berhasil keluar sebagai salah satu industri migas terbesar di Asia, sementara Pertamina, meskipun baru belakangan ini mampu mencatatkan prestasi yang amat membanggakan, namun nyatanya sudah sekian lama Pertamina menjadi sebuah perusahaan besar yang tidak pernah mampu terlepas dari masalah.

Di sektor perkebunan kelapa sawit, meskipun Indonesia belum mampu menggeser posisi Malaysia sebagai eksportir produk sawit terbesar dunia, namun akhirnya kita telah mampu menjadi negara produsen CPO terbesar di dunia. Begitupun dengan komoditi karet dan timah, kita tetap mampu bertahan di papan atas antara negara-negara produsen terbesar dunia dari kedua komoditi tersebut, sedangkan angka produksi milik Malaysia, terus mengalami penurunan. Untuk produksi beras, kita sudah mampu swasembada, sedangkan Malaysia masih terus import. Bahkan demi menjaga angka produksi berasnya, pemerintah Malaysia harus mengeluarkan kebijakan, dimana pihak kerajaan bukan hanya berhak mengelola jalur distribusi, melainkan juga punya akses langsung untuk mempertahankan besaran luas lahan sawah dan ladang produktif mereka melalui skema kepemilikan penuh kerajaan. Hal yang sama sekali belum pernah saya dengar di Indonesia, dimana Departemen Pertanian menguasai sejumlah area pesawahan. Hehehe..!

Presiden ke 2 RI, Soeharto
Presiden ke 2 RI, Soeharto
Berkat kegigihan Baginda Sultan Azlan Shah pula, kini Perak tampil sebagai daerah yang paling sukses mengembangkan sistem pertanian modern di Malaysia. Hal membanggakan yang pernah saya dengar dari ungkapan sang Putra Mahkota, Dr. Nazrin Shah, bahwa semua persahawan irigasi yang dikelolanya, menggunakan management produksi ala Indonesia, yakni Panca Usaha Tani. Namun dari pengamatan di lapangan, mekanisasi ala Perak sudah menyeluruh hingga ke tahapan panen, sehingga sangat efisien, karena bisa memangkas waktu pada masa panen, kualitas gabah tetap terjaga, karena semua proses pemanenan, pengeringan dan pengemasan bisa selesai dalam waktu satu hari. Indonesia belum mengaplikasikan teknologi ini secara menyeluruh. Hal yang mendorong Malaysia untuk total dalam usaha mekanisasi sektor pertaniannya, adalah karena ketersediaan sumber daya manusia yang menggerakan sektor pertanian di Malaysia sangat minim, sehingga tanpa bantuan mesin, sektor pertanian Malaysia akan terancam punah.

Sedangkan untuk bidang pengembangan Sumber Daya Manusia, Sultan Azlan Shah sudah sejak lama mengirimkan pelajar-pelajar terbaiknya untuk melanjutkan pendidikannya di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Karena itu jangan heran, apabila anda bisa dengan mudah menemukan warga Perak yang mencantumkan gelar akademik dari Indonesia…! Sungguh sebuah keakraban yang amat tulus, walau pun seringkali mendapatkan pembalikan arus sikap dari Putrajaya yang lebih politis dan populis.

Sekarang, kedua tokoh besar dari dua negara serumpun itu telah tiada. Meski kalangan masyarakat urban Indonesia masih antipati dengan kebesaran dinasti Soeharto, namun nyatanya bagi masyarakat pedesaan, kedudukan Soeharto seakan masih belum tergantikan. Pelajaran penting yang bisa kita petik dari apa yang telah mereka lakukan adalah besarnya minat yang ditunjukkan untuk memajukan sektor pertanian di negaranya masing-masing. Swasembada pangan telah dilihat sebagai sebuah tuntutan bagi setiap bangsa dan negara manapun untuk tetap eksis sebagai negara yang berdaulat dengan kadar bargaining power yang tinggi.Swasembada pangan tidak bisa dipolitisasi, melainkan harus menjadi aksi nyata bagi setiap pembuat policy, untuk menjadikannya sebagai tujuan akhir dari berbagai program yang telah dirancang dan dimiliki. Swasembada harus berakhir pada terwujudnya sebuah kesejahteraan, bukan sekedar untuk meraih sebuah penghargaan. Swasembada pangan harus mampu menjadi potret kebesaran kaum tani, agar semua bisa bangga dengan kepala tegak berdiri.

Azlan Shah dan Soeharto telah mengisi ruang kepemimpinan yang membumi, melakukan diplomasi antara dua negara dengan semangat tani yang tinggi. Selanjutnya, pemimpin yang kita nantikan adalah pemimpin yang mampu menyulam semua dimensi kekuatan yang kita miliki, agar tidak lagi terlepas dari sumbu-sumbu kekuatan yang lainnya. Ketahanan pangan, ketahanan energi, ketahanan alutsista serta ketahanan spiritual agama dan berbangsa, harus mampu menjadi kekuatan utuh yang manunggal bagi bangsa Indonesia, demi menyongsong hari esok yang cemerlang..!

Terima kasih Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY, kalian telah membawa dan memelihara kami untuk tetap menjadi bangsa yang santun dan berbudi pekerti. Terima kasih Tuanku Baginda Sultan Azlan Shah, untuk segala kerjasama damai yang dijalinkan dengan erat. Saya tahu, semua itu tidak mudah, tapi paduka telah berani memulainya. Doa dan cinta kami mengiringi kepergian Baginda, semoga senantiasa mendapatkan kebahagiaan dan tempat yang layak di sisi-Nya. Amien. Selamat jalan dalam damai..! Al Fatihah..! Salam hangat bung..!




Sumber : JKGR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar