WASHINGTON-(IDB) : Kepala Staf Tentara Pembebasan Rakyat Cina Jenderal Fang Fenghui mengatakan akan melindungi tambang minyaknya di perairan Laut Cina Selatan, wilayah yang sedang diperebutkan Cina dan Vietnam. Dia memastikan tambang itu akan terus beroperasi meskipun ada protes dan kemarahan dari Hanoi.
"Yang akan kami lakukan adalah menjamin keamanan tambang minyak dan memastikan operasi terus berlangsung," kata Jenderal Fang dalam konferensi pers seusai pembicaraan dengan rekannya, Jenderal Martin Dempsey, di Pentagon, Amerika Serikat, Kamis 15 Mei 2014.
Vietnam telah mengirim kapal untuk mencoba mengganggu pengeboran. "Dan itu adalah sesuatu yang tidak dapat kami terima," ujarnya melalui seorang penerjemah.
Pernyataannya ini muncul setelah protes anti-Cina di Vietnam mengakibatkan satu pekerja Cina tewas dan lebih dari 100 orang terluka. Protes itu dilakukan dengan membakar pabrik-pabrik milik Cina.
Fang mengatakan Cina telah berusaha menahan diri dalam konflik di Laut Cina Selatan. Cina mendirikan sebuah tambang minyak setelah negara-negara lain di kawasan itu sudah mulai pengeboran. "Saya tidak percaya ada masalah dengan kegiatan pengeboran yang dilakukan Cina di dalam perairan teritorial sendiri," katanya. Namun Vietnam tidak mengakui perairan itu berada di bawah otoritas Cina.
Fang juga mengungkapkan strategi penyeimbangan Amerika untuk Asia telah dimanfaatkan oleh beberapa negara yang ingin menghadapi pertumbuhan kekuatan ekonomi Cina. "Beberapa negara tetangga memang berusaha untuk menggunakan kesempatan ini strategi rebalancing Amerika Serikat untuk membangkitkan masalah di Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur," katanya.
Departemen Luar Negeri AS mengkritik upaya provokatif Cina di Laut Cina Selatan. "Kami sangat prihatin tentang perilaku berbahaya dan intimidasi semacam ini," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Marie Harf.
"Yang akan kami lakukan adalah menjamin keamanan tambang minyak dan memastikan operasi terus berlangsung," kata Jenderal Fang dalam konferensi pers seusai pembicaraan dengan rekannya, Jenderal Martin Dempsey, di Pentagon, Amerika Serikat, Kamis 15 Mei 2014.
Vietnam telah mengirim kapal untuk mencoba mengganggu pengeboran. "Dan itu adalah sesuatu yang tidak dapat kami terima," ujarnya melalui seorang penerjemah.
Pernyataannya ini muncul setelah protes anti-Cina di Vietnam mengakibatkan satu pekerja Cina tewas dan lebih dari 100 orang terluka. Protes itu dilakukan dengan membakar pabrik-pabrik milik Cina.
Fang mengatakan Cina telah berusaha menahan diri dalam konflik di Laut Cina Selatan. Cina mendirikan sebuah tambang minyak setelah negara-negara lain di kawasan itu sudah mulai pengeboran. "Saya tidak percaya ada masalah dengan kegiatan pengeboran yang dilakukan Cina di dalam perairan teritorial sendiri," katanya. Namun Vietnam tidak mengakui perairan itu berada di bawah otoritas Cina.
Fang juga mengungkapkan strategi penyeimbangan Amerika untuk Asia telah dimanfaatkan oleh beberapa negara yang ingin menghadapi pertumbuhan kekuatan ekonomi Cina. "Beberapa negara tetangga memang berusaha untuk menggunakan kesempatan ini strategi rebalancing Amerika Serikat untuk membangkitkan masalah di Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur," katanya.
Departemen Luar Negeri AS mengkritik upaya provokatif Cina di Laut Cina Selatan. "Kami sangat prihatin tentang perilaku berbahaya dan intimidasi semacam ini," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Marie Harf.
Indonesia Serukan Serukan China-Vietnam Berdamai
Sengketa klaim wilayah Laut China Selatan antara China dan Vietnam semakin memanas. Ribuan warga Vietnam membakar dan menjarah sejumlah pabrik asing, termasuk pabrik milik China, di Vietnam. Insiden terjadi sejak China mengebor minyak di kawasan sengketa. Juga karena kapal Tiongkok menabrak kapal Vietnam di laut sengketa.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa menyerukan China dan Vietnam untuk berdamai. Kedua negara tersebut harus menahan diri, menghormati komitmen-komitmen yang tercermin dalam Declaration on the Conduct (DOC) of the Parties in the South China Sea dan menghindari langkah-langkah yang dapat menambah ketegangan dan berisiko menciptakan eskalasi.
"Hanya ada satu pilihan di depan kita: yaitu penyelesaian sengketa secara damai," tegas Marty dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com di Jakarta, Jumat (16/5/2014).
"Penggunaan kekerasan, pelanggaran hukum internasional, termasuk Konvensi Hukum Laut PBB dan DOC, tidak memiliki tempat di kawasan kita sekarang ini," imbuh dia.
Dia menjelaskan, Indonesia prihatin terhadap risiko terjadinya peningkatan ketegangan ditimbulkan oleh manuver-manuver membahayakan oleh kapal laut kedua negara yang bisa menyebabkan korban luka dan kerusakan materi. Indonesia juga prihatin atas adanya insiden-insiden protes dan kekerasan yang menyebabkan korban jiwa, korban luka dan kerusakan materi.
"Indonesia telah secara aktif berkomunikasi dengan semua pihak. Kita akan terus-menerus mendesak adanya komunikasi dan sikap saling menahan diri," tandas Marty.
Hubungan Vietnam dan China sebelumnya sempat beberapa kali dirundung ketegangan. Akar perselisihan sudah muncul dalam Perang Vietnam. Pada 1954-1975: Komunis China mendukung Vietnam Utara selama Perang Vienam.
Pada 1974, China dan Vietnam Selatan terlibat dalam perang berdarah atas Kepulauan Paracel. China merebut pulau yang dikuasai Vietnam itu. Pada 1975, perang Vietnam berakhir, hubungan Vietnam-China memburuk gara-gara keterkaitan Hanoi dengan Rusia, sementara Beijing mendukung Khmer Merah.
Pada 1979, China dan Vietnam berebut perbatasan, ribuan serdadu tewas. Pada 1988, kedua negara itu memperebutkan Kepulauan Spratly. Sekitar 60 pelaut Vietnam tewas.
Pad 1991, hubungan China-Vietnam dinormalisasi, hubungan perdagangan ditingkatkan. Pada 2011, ketegangan meningkat terkait eksplorasi Beijing di Laut China Selatan.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa menyerukan China dan Vietnam untuk berdamai. Kedua negara tersebut harus menahan diri, menghormati komitmen-komitmen yang tercermin dalam Declaration on the Conduct (DOC) of the Parties in the South China Sea dan menghindari langkah-langkah yang dapat menambah ketegangan dan berisiko menciptakan eskalasi.
"Hanya ada satu pilihan di depan kita: yaitu penyelesaian sengketa secara damai," tegas Marty dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com di Jakarta, Jumat (16/5/2014).
"Penggunaan kekerasan, pelanggaran hukum internasional, termasuk Konvensi Hukum Laut PBB dan DOC, tidak memiliki tempat di kawasan kita sekarang ini," imbuh dia.
Dia menjelaskan, Indonesia prihatin terhadap risiko terjadinya peningkatan ketegangan ditimbulkan oleh manuver-manuver membahayakan oleh kapal laut kedua negara yang bisa menyebabkan korban luka dan kerusakan materi. Indonesia juga prihatin atas adanya insiden-insiden protes dan kekerasan yang menyebabkan korban jiwa, korban luka dan kerusakan materi.
"Indonesia telah secara aktif berkomunikasi dengan semua pihak. Kita akan terus-menerus mendesak adanya komunikasi dan sikap saling menahan diri," tandas Marty.
Hubungan Vietnam dan China sebelumnya sempat beberapa kali dirundung ketegangan. Akar perselisihan sudah muncul dalam Perang Vietnam. Pada 1954-1975: Komunis China mendukung Vietnam Utara selama Perang Vienam.
Pada 1974, China dan Vietnam Selatan terlibat dalam perang berdarah atas Kepulauan Paracel. China merebut pulau yang dikuasai Vietnam itu. Pada 1975, perang Vietnam berakhir, hubungan Vietnam-China memburuk gara-gara keterkaitan Hanoi dengan Rusia, sementara Beijing mendukung Khmer Merah.
Pada 1979, China dan Vietnam berebut perbatasan, ribuan serdadu tewas. Pada 1988, kedua negara itu memperebutkan Kepulauan Spratly. Sekitar 60 pelaut Vietnam tewas.
Pad 1991, hubungan China-Vietnam dinormalisasi, hubungan perdagangan ditingkatkan. Pada 2011, ketegangan meningkat terkait eksplorasi Beijing di Laut China Selatan.
Sumber : Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar