Pages

Senin, April 07, 2014

Netralitas Indonesia Di Konflik LCS


JKGR-(IDB)  Saya memilih salah satu meeting 
room di lantai 7 salah satu hotel terbaik di 
Kuala Lumpur, untuk memfasilitasi pertemuan 
rekan-rekan saya dengan Menhan Malaysia, 
Datuk Seri Hishamudin Husein. Sesuai 
perjanjian awal, saya bertanggung jawab untuk
menjaga pertemuan ini agar tidak berubah
menjadi pertemuan formal. Kopi luwak Lampung, 
kacang goreng khas Bali, manisan bunga 
pala Bogor, dodol Garut, dan tentu saja menu 
makan siang, semua saya setting
menjadi bercorak sangat Indonesia. Untuk hal 
yang satu ini, saya tidak pernah ragu, karena 
saya adalah salah satu ahlinya. Hehehe..! 
Pede aja lagi..! 

Obrolan berjalan lancar diselingi canda tawa dan penjelasan saya tentang silsilah makanan 
dan daerah asal makanan tersebut. Tidak terhitung entah berapa pertanyaan yang berhasil 
terekspose dengan baik. Suasana sedikit memanas ketika sahabat saya dari CNBC 
menanyakan esensi kunjungan Hishamudin ke Pentagon beberapa waktu yang lalu. 
Saya bisa menangkap, bahwa Hishamudin tidak menginginkan hal itu menjadi konsumsi 
publik. Hal ini pulalah yang membuat saya tertarik untuk menyentil kunjungan panglima TNI ke 
China. Saya bertanya, kira-kira manakah yang lebih penting antara kunjungan panglima 
TNI ke China dengan kunjungan beliau ke Pentagon? Hehehe..! Akhirnya pancingan saya 
berhasil. Sang Menhan tersenyum dan tertawa, membuka suara.

Harus diakui bahwa Malaysia sangat dilematis dengan adanya konflik LCS. Meskipun mereka pun berprinsip akan senantiasa menjaga dan mempertahankan setiap jengkal wilayah yang menjadi hak dan kekuasaannya, tetapi perang bukanlah skenario yang paling utama. Malaysia punya ketergantungan ekonomi dengan China, dan memiliki hubungan yang sangat erat dengan Philipina, Vietnam dan Indonesia. Langkah pendekatan dengan Pentagon bertujuan untuk mencari ballancing kekuatan selain untuk mencari potensi ekonomi dari sektor militer. Pendek kata, secara ekonomi, Malaysia ingin besar dan tumbuh bersama China yang kian menunjukan kekuatan cengkeraman ekonomi globalnya, sedangkan secara militer harus diakui bahwa ATM besar dalam asuhan US. Sayangnya, sikap ini telah dianggap sebagai sikap yang mendua, baik oleh China ataupun oleh US sendiri. China menuntut totalitas yang lebih besar. Begitu pula dengan US, mereka meminta kompensasi yang lebih atas dukungan dan jaminan stabilitas yang telah dikecapi Malaysia. Untuk penjelasan yang satu ini, beliau meminta kami untuk off the record.

Untuk menurunkan tensi pembicaraan, saya menyinggung tentang foto penyambutan beliau yang mengenakan mantel musim dingin. Saya bilang bahwa panglima TNI kami terlihat lebih gagah dengan jaket kulit hitamnya ketika melakukan kunjungan ke China, mengapa anda harus menggunakan mantel sedangkan counterpart anda hanya menggunakan jas. Hahaha..! Tawa renyahnya keluar, seandainya acara penyambutan beliau sama seperti penyambutan panglima TNI di China yang dilakukan dalam ruangan, maka beliau akan memilih menggunakan jaket kulit yang memang sengaja udah disiapkan dari Kuala Lumpur. Tapi upacara penyambutan di Pentagon dilakukakan di halaman depan, yang kebetulan untuk beberapa dekade ini, beberapa tempat di US sedang dilanda musim dingin yang lebih dingin, bahkan terkadang salju turut serta menutupi jalanan, halaman, atap rumah dan dedaunan. Bahkan anginnya sangat kencang dan menusuk tulang.

Menhan Malaysia Hishammuddin Hussein di Pentagon. Image: thestar.com.my
Melihat gelagat Malaysia yang menunjukan sikap politik yang mendua, akhirnya pihak China maupun US menjadi geram. Mendua dengan netral adalah dua sikap yang berbeda. Tidak heran jika kemudian Russia lebih memilih untuk mengatur langkah ke belakang dalam percaturan militer dengan Malaysia, yang akhirnya kita ketahui bahwa Russia lebih memilih Indonesia sebagai partner utamanya di Asia Tenggara. Dan lagi-lagi, sikap dan pilihan politik Russia ini dipandang lain, baik oleh US maupun oleh China.

Bagi US, masuknya Russia bermakna bahwa lawan mereka di atas ring hot spot Asia Timur akan bertambah. Mereka khawatir Russia akan membuat sebuah korelasi konflik antara Crimea, Taiwan, Semenanjung Korea dan LCS. Jika hal ini terjadi, maka US akan lebih cepat menemui kegagalan dalam mempertahankan hegemoninya di Asia Pasific. Sedangkan bagi China, masuknya Russia sebagai partner penting Indonesia, seperti telah merampas bongkah emas dari genggaman. Mereka geram dan kecewa, walaupun di sebalik itu harus diakui bahwa mereka sangat memerlukan Indonesia. Lawan Jepang, China harus bermain sendiri. 

Bahkan selain menghadapi Jepang, China juga harus menghadapi Russia dan tentu saja US yang ada dalam gendongan Jepang. Dalam konflik Taiwan, lagi-lagi China juga harus bermain sendiri dalam menghadang kekuatan US. Di Korea, meskipun China tidak terlibat langsung, tapi fakta berkata tegas dan telak, bahwa China hadir secara utuh dan penuh dalam konflik itu. Sedangkan di LCS, China lebih parah karena harus berhadapan dengan banyak lawan, termasuk Indonesia yang dimata China sangat membingungkan. Netral dimaknai sebagai abstain, yang artinya masih punya potensi perubahan sikap, dan ini dinilai lebih berbahaya karena membuat setiap kubu tidak bisa tidur nyenyak. Jika anda punya 5 pucuk rudal, maka tidak salah jika satu diantaranya diarahkan ke Indonesia sebagai usaha berjaga-jaga.

Pelajaran yang saya petik dari konflik ini, adalah adanya penilaian dan pembenaran sepihak atau dengan kata lain, masing-masing negara telah merasa benar dengan sikap politik yang mereka ambil. Padahal untuk penyelesaian konflik, masing-masing kebenaran yang ada masih sangat absurd dan samar. Teringat dengan kata-kata teman saya yang dari Korea, bahwa kemungkinan untuk perang masih sangat jauh, walaupun mungkin nanti menlu kita akan lebih sibuk. Hehehe..! Semoga..! 

Langkah yang diambil oleh panglima TNI perlu diacungi jempol, sebaiknya beliau tidak terbatas hanya berkunjung ke China saja, tapi sangat penting juga untuk berkunjung ke negara-negara lainnya, bahkan kalau perlu, berkunjunglah lebih sering ke negara-negara Asean, yakinkan dan berikan jaminan bahwa Indonesia bukanlah sebuah ancaman dan jika perlu kita siap memberikan bantuan dan dukungan. Hahaha..! Biar perlahan namun pasti, legitimasi moral yang menganggap Indonesia sebagai Bossnya Asean akan terbentuk. Tapi kita juga harus berusaha keras untuk benar-benar bisa menjadi Boss yang mumpuni bukan sekedar pemimpi.




Sumber : JKGR

1 komentar: