Pages

Rabu, Desember 04, 2013

Penting Dan Mendesak Satelit Pertahanan Bagi Indonesia

Sebuah satelit sedang mengorbit

LK-(IDB) : Beberapa waktu lalu muncul sebuah topik menarik mengenai alutsista TNI. Adalah Laksma TNI (purn) Eddy Tumengkol, seorang mantan penerbang senior TNI-AL dan mantan Atase Pertahanan RI di AS dan Australia. 

Ucapan beliau mengenai “TNI lebih butuh satelit daripada tank atau kapal selam”, menghiasi beberapa media cetak dan online. Memang, topik ini seakan tenggelam dengan hadirnya berita-berita pengadaan Alutsista TNI lainnya yang di gembor-gemborkan media seperti hibah F-16 dari AS, MBT Leopard II dari Jerman, UAV dari Israel, Sukhoi Su-30Mk2 dari Rusia, kapal selam Changbogo Class dari Korea Selatan, dan pembelian-pembelian Alutsista lainnya. 

Tapi topik mengenai kebutuhan satelit ini tentu menarik untuk dibahas. Sudah perlukah Indonesia dalam hal ini TNI memiliki satelit militer sendiri? Satelit militer jenis apa yang cocok untuk kita operasikan? Apakah kita sudah memiliki kemampuan untuk membuatnya sendiri? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, kita perlu merumuskan pertimbangan-pertimbangan yang ada.


Teknologi Satelit


Penggunaan Teknologi satelit dalam militer memiliki banyak fungsi. Fungsi komunikasi, fungsi pengintaian, fungsi penyadapan, dan sebagainya. Namun yang paling esensial adalah fungsi komunikasi. 

Fungsi komunikasi sendiri dapat dibagi menjadi beberapa bentuk. Komunikasi bentuk suara misalnya, merupakan media yang cukup aman dalam berkomunikasi dibandingkan dengan media lain, misalnya radio. Selain aman, cakupannya pun jelas jauh lebih luas. Fungsi lainnya teknologi komunikasi pada satelit dalam bentuk transfer data, video, dan lain sebagainya. Dengan fungsi ini, seorang jendral dapat melihat apa yang dilihat anak buahnya dalam sebuah operasi militer. 

Dia bisa mengarahkan, memberi arahan kepada anak buahnya secara realtime. Contoh lainnya misalkan sebuah pesawat tempur dapat berbagi data lawan dengan Alutsista lain, seperti kapal selam, kapal permukaan, pesawat AWACS, pesawat pengintai tanpa awak, maupun dengan pasukan di darat. Dengan berbagi data antar Alutsista tersebut, dapat dengan jelas dipastikan mana kawan dan mana lawan, kemudian posisinya dimana, dan siapa yang akan mengeksekusi lawan dapat terkoordinir dengan baik. 

Sasaran yang harus dihancurkan dapat dihancurkan dengan efektif dan efisien (tidak overkilled). Kondisi diatas hanya dapat terlaksana jika komunikasi dalam suatu angkatan bersenjata terkoordinir dan terencana dengan baik.Teknologi komunikasi satelit adalah salah satu medianya. Konsep pengoptimalan teknologi satelit semacam ini bukanlah hanya berupa konsep diatas kertas saja, namun sudah mulai diadopsi negara-negara maju. 

Kita bisa melihat ketika terjadi operasi penyergapan Osama Bin Laden beberapa waktu lalu. Presiden Obama sebagai Panglima tertinggi AB AS dapat melihat secara realtime target apa yang sedang dihadapi oleh pasukannya yaitu dari pasukan elit Navy SEAL DEVGRU atau biasa disebut SEAL Team 6. Sehingga ketika personel dari Navy SEAL mengkonfirmasi bahwa Osama Bin Laden tewas tertembak, maka saat itu juga Presiden Obama mengetahuinya.


Situation room White House ketika penyergapan Osama Bin Laden

Mengingat pentingnya teknologi satelit, terutama dalam komunikasi, maka perlunya kita memandang bahwa kebutuhan teknologi satelit sejajar dengan kebutuhan akan Alutsista yang selam ini seakan di”dewakan” dalam pengembangan angkatan bersenjata.


Kebutuhan TNI


Sampai saat ini, TNI hanya menggunakan teknologi satelit dalam bentuk menyewa transponder milik sipil, yaitu PT Telkom. Frekuensi yang digunakan adalah frekuensi C-Band. Dalam beberapa sumber, disebutkan teknologi C-Band yang digunakan oleh TNI masih belum bersifat “all weather proof”, yang sebenarnya kurang mendukung kebutuhan militer yang membutuhkan komunikasi handal di segala cuaca.



Satelit Telkom 2

Penggunaan teknologi satelit di TNI juga belum berfungsi maksimal. Terbukti dengan pernyataan Laksma Achmad Taufiqurrahman, Komandan Guspurla Koarmabar. Dalam pernyataannya yang dikutip oleh jurnas.com, saat ini baru akan diupayakan pembangunan Komando dan Pengendalian (Kodal) yang berbasis teknologi satelit menggantikan teknologi radio yang saat ini digunakan. 

Beliau juga menyatakan bahwa kondisi Kodal TNI khususnya TNI-AL saat ini masih terbatas dimana belum tersambung ke kapal. Itu artinya sampai saat ini kemampuan Komando dan Pengendalian kita terbilang lemah, sebab untuk antar perangkat dalam satu matra saja kita belum terkoneksi dengan baik. 

Misalkan saja ada kapal perang asing yang melanggar kedaulatan negara kita, kita tentu sulit berbuat banyak, karena keputusan untuk menembak kapal perang asing tersebut ada di petinggi militer, sedangkan untuk berkoordinasi dengan petinggi militer di ibukota sulit. Contoh di atas baru di tingkat matra laut, belum di matra yang lain, angkatan udara misalnya, bagaimana kita harus menunggu hampir 5-6 jam untuk menerbangkan F-16 ke pulau Bawean untuk mencegat penerbangan F-18 AS. Hal ini tentu riskan. 

Kita butuh teknologi yang dapat menghubungkan operator dilapangan dengan pengambil keputusan, sehingga suatu kasus dapat dieksekusi dengan cepat dan efisien. Disinilah komunikasi satelit berbicara. Kita memang sudah menggunakan teknologi komuikasi satelit untuk militer, tapi faktanya belum optimal. Kita harus memiliki sistem dimana antar perangkat yang ada dapat terintegrasi dengan baik, kemudian apa yang didapat dari perangkat itu dapat diketahui pengambil keputusan dan operator perangkat-perangkat yang kita miliki dapat mengeksekusinya. Lepas dari itu, kita juga harus memiliki satelit khusus militer sendiri tanpa berhubungan dengan sipil. 

Sebab faktanya satelit yang digunakan TNI saat ini sendiri, milik PT Telkom, meskipun pemegang saham PT Telkom adalah Pemerintah Indonesia dengan 51,19%, tapi didalamnya terdapat kepemilikan asing sebesar 45,58%. Dengan adanya kepemilikan asing di Telkom, maka kepentingan-kepentingan asing dapat menjadi obstacle bagi kepentingan pertahanan dan keamanan Indonesia dan TNI pada khususnya. 

Pihak asing yang memiliki saham di telkom dapat menempatkan “telinganya” untuk mendengarkan komunikasi-komunikasi rahasia ditubuh militer Indonesia. Ancaman seperti inilah yang akan terus mengganggu kita jika kita terus menyewa satelit komersial tanpa memilikinya dalam fungsi militer. Oleh karena itu, kepemilikan satelit militer secara mandiri adalah harga yang harus dibayar.


Kepemilikan Satelit untuk Militer Negara-Negara Tetangga



Dalam mengkaji kebutuhan satelit untuk militer ini, kita juga perlu memandang kemampuan tetangga-tetangga Indonesia dalam penggunaan satelit militer. Singapura misalnya, dikabarkan memiliki satelit mata-mata untuk kepentingan intelijen buatan Israel. Harganya pun bukan main mahalnya, 1 miliar dolar. 

Kita tentu berpikir tidak mungkin singapura mengeluarkan 1 miliar dolar jika mereka tidak memiliki kebutuhan yang besar akan satelit. Kita tidak tahu satelit ini digunakan untuk operasi intelijen yang seperti apa, dimana, dan kapan. Namun rasa-rasanya, sebagai negara yang memandang tetangga-tetangga disekitarnya sebagai salah satu ancaman, kita patut curiga satelit itu diarahkan ke Indonesia. 

Negara Asean lainnya belum ada yang memiliki satelit seperti yang Singapura miliki, namun melihat perkembangan di Singapura, rasanya hal ini menambah dorongan bagi Indonesia untuk memiliki teknologi satelit, meskipun bukan sebagai fungsi pengintaian seperti Singapura, tetapi dalam komunikasi, agar kita tidak tertinggal dalam kemajuan teknologi satelit militer yang berkembang pesat.


Kriteria Satelit untuk TNI


Dengan memandang kebutuhan TNI, satelit yang dibutuhkan tidaklah harus memiliki transponder sebanyak satelit komersial. Jika Palapa D memiliki 40 Transponder, untuk TNI mungkin hanya sekitar 10 transponder. Kemudian untuk tipe orbitnya, terdapat beberapa pilihan:

  1. LEO (Low Earth Orbit) yang memiliki ketinggian sekitar 600Km.
  2. MEO (Middle Earth Orbit) yang memiliki ketinggian sekitar 5000Km.
  3. Geo (Geostasioner) yang memiliki ketinggian sekitar 36000Km.


Perbandingan orbit GEO,MEO dan LEO

Dari ketiga nya, orbit GEO lah yang paling menguntungkan, apalagi posisi Indonesia yang berada tepat di khatulistiwa mendukung untuk itu. Dengan menggunakan orbit GEO, maka satelit akan berputar sama dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan rotasi bumi, dengan begitu dapat dikatakan posisinya tetap. 

Dengan begitu perangkat-perangkat yang ada di darat akan terkoneksi 24 jam sehari, tanpa terkendala tidak adanya satelit yang berada diatas Indonesia. Beda dengan orbit lain yang kecepatannya lebih cepat dari kecepatan rotasi bumi. 

Sehingga perlu beberapa satelit agar setidaknya ada satelit yang berada di atas Indonesia. Kekurangan dari satelit dengan orbit GEO adalah orbitnya yang padat, sehingga menjadi rebutan sejumlah negara dan biaya yang cukup mahal, satelit Palapa D milik Indosat misalnya, menghabiskan biaya 200 juta dolar. Itu baru biaya untuk satelit dan peluncurannnya saja, belum termasuk stasiun bumi, instalasi perangkat di Alutsista TNI, dan lainnya  yang harus dihitung ketika kita mengoperasikan sendiri satelit militer. 

Sedangkan jika kita menggunakan orbit LEO dan MEO, memang biaya nya akan lebih murah, untuk orbit LEO misalnya, dibutuhkan kira-kira 20 Milyar Rupiah untuk satelit dan peluncurannya, namun paling tidak dibutuhkan 20 satelit yang membentuk suatu konstelasi, hal ini karena kecepatan satelit dalam mengelilingi bumi lebih cepat dari kecepatan rotasi bumi, sehingga dibutuhkan banyak satelit agar setidaknya ada 1-2 satelit yang standby beroperasi di atas Indonesia. Dengan begitu maka koneksi ke darat tidak terputus. 

Kelemahan lain dari satelit yang beroperasi di orbit LEO dan MEO adalah umurnya yang tidak sepanjang satelit di orbit GEO. Karena satelit yang berada di orbit LEO dan MEO umumnya lebih kecil dibandingkan dengan satelit yang berada di orbit GEO, maka kapasitas baterai/bahan bakar pun lebih kecil, yang berimbas pada umurnya yang lebih pendek. 

Jika satelit orbit GEO seperti satelit Palapa D dirancang dapat beroperasi 15 tahun, maka satelit-satelit yang memiliki orbit LEO dan MEO umumnya dirancang hanya memiliki umur 2-4 tahun. Dengan begitu, maka perlu penggantian satelit tiap periode tertentu yang lebih cepat dibandingkan periode penggantian satelit di orbit GEO.


Kemudian dari aspek lainnya, satelit yang nantinya dimiliki TNI harus bisa menjembatani segala macam bentuk device/perangkat yang ada. Dari mulai Markas Besar hingga pasukan di lapangan. Jika perangkat yang ada di Markas Besar maupun di Alutsista seperti KRI maupun Pesawat Tempur umumnya berbentuk besar dan kompleks, lain halnya pasukan yang berada dilapangan/darat. Mereka umumnya menggunakan peralatan komunikasi yang ringkas dan mobile. Padahal satelit di orbit GEO umumnya harus memiliki terminal yang berukuran besar, seperti gambar berikut ini:
Perbandingan Satelit dan Terminalnya.

Oleh sebab itu, satelit yang dimiliki TNI hendaknya memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan perangkat yang kompleks yang terdapat di KRI/Markas/Pesawat maupun perangkat komunikasi mobile yang dibawa pasukan di lapangan. 

Teknologi semacam ini sebelumnya bukanlah teknologi baru, ada beberapa satelit yang memiliki kemampuan ini, seperti satelit AceS atau yang memiliki nama lain satelit Garuda-1. Satelit ini memiliki kemampuan dapat berhubungan dengan terminal berbentuk Handphone. 

Namun satelit dengan teknologi ini juga memiliki kelemahan, yaitu karena memiliki antena yang besar, maka amat riskan terhadap gangguan/kerusakan yang terjadi ketika sudah berada di orbit.



Satelit AceS dan Terminalnya yang berukuran kecil


Untuk itu perlu diadakan studi secara mendalam dan lebih lanjut mengenai satelit yang benar-benar dibutuhkan oleh TNI dengan mempertimbangkan segala aspek yang ada. Dari aspek teknologi, kebutuhan yang ada, harga, dan aspek-aspek lainnya. Sehingga satelit yang nantinya dimiliki dapat berguna secara maksimal.


Kemampuan untuk membuat satelit ini sendiri


Menilik sejarah per-satelitan di Indonesia, kita harus melihat lagi saat Indonesia mengoperasikan satelit pertama kalinya, yaitu pada tahun 1976. Saat itu satelit yang dinamakan Satelit Palapa, berfungsi sebagai satelit komunikasi. 

Menjadikan suatu obyek vital bagi sistem komunikasi Indonesia yang wilayah terpisah-pisah oleh lautan. Sampai saat ini, sudah sebanyak 14 satelit Palapa yang diluncurkan. Yang terakhir adalah Palapa D yang diluncurkan tahun 2009 lalu untuk menggantikan Palapa C2. 

Satelit Palapa dikendalikan oleh stasiun bumi di Jatiluhur, Jawa Barat. Satelit Palapa dioperasikan oleh PT. Indosat Tbk. Selain satelit Palapa, terdapat satelit Telkom yang salah satu transpondernya disewa TNI, dioperasikan PT Telkom.


Satelit Pertama Milik Indonesia, Palapa A-1


Satelit Indonesia lainnya yaitu Lapan-TUBSat, satelit mikro yang dibuat berdasarkan kerja sama antara Lapan (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional) dan TU (Technische Universität) Berlin. Satelit ini diluncurkan pada tahun 2007. 

Fungsi satelit adalah sebagai alat pemantauan dengan bawaan (payload) 2 buah kamera. Memang kamera yang dibawa belum beresolusi tinggi, tapi sudah cukup baik untuk pemantauan permukaan bumi. Satelit buatan Indonesia berikutnya adalah Lapan A-2. Satelit ini dikembangkan dari pengalaman yang Lapan dapatkan ketika membuat satelit Lapan-TUBSat bersama TU Berlin. Satelit ini murni dibuat di Indonesia, meskipun banyak komponen-komponen didalamnya masih impor. 

Satelit ini memiliki muatan kamera yang kemampuannya setingkat lebih maju dibandingkan kamera yang ada dalam satelit Lapan-TUBSat, sehingga diharapkan hasil pemantauan permukaan bumi yang didapat lebih baik dibandingkan pendahulunya. Muatan lainnya yaitu AIS (Automatic Identification System), perangkat ini adalah alat pendeteksi kapal di lautan. 

Alat ini akan terhubung dengan pemancarnya yang ada di kapal-kapal besar (yang memiliki bobot lebih dari 300ton dan merupakan keharusan internasional). AIS dapat mendeteksi hingga 2000 kapal dalam wilayah yang memiliki radius 100km. AIS bukanlah radar, ia tidak bisa mendeteksi kapal jika kapal tersebut tidak memiliki atau tidak mengaktifkan pemancarnya. Satelit-satelit yang dibuat Lapan masih berukuran Mikro yang memiliki bobot kurang dari 100kg, masih jauh dibandingkan satelit Palapa yang memiliki bobot diatas 3000Kg.


Satelit Lapan A-2(kiri) dan Satelit Iinusat (kanan).


Selain oleh Lapan, pengembangan satelit secara mandiri di Indonesia juga dilakukan oleh gabungan beberapa Universitas di Indonesia yang tergabung dalam proyek bernama IiNUSAT (Indonesian Inter-University Satellite). 

Universitas yang terlibat yaitu UGM Yogyakarta,UI, ITS Surabaya, ITB Bandung, IT Telkom Bandung, dan PENS Surabaya. Selain Universitas yang sudah disebutkan, Lapan juga ikut terlibat dalam pengembangan proyek ini. Proyek ini dibiayai oleh DIKTI, Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan (Kemendikbud). Langkah awal dari program ini adalah membuat sebuah Nano-Satellite dengan berat 15 Kg. 

Misi dari Nano-Satellite adalah sebagai alat komunikasi darurat ketika terjadi bencana. Pengerjaannya sendiri dibagi-bagi tiap universitas, ada yang mengerjakan muatannya (Payload), komunikasinya, sistem kontrol nya, dan lain-lainya. Diharapkan Nano-Satellite ini dapat diluncurkan sekitar tahun 2013-2014 dengan menggunakan roket PSLV milik India. Kemudian langkah selanjutnya adalah diharapkan setiap universitas dapat meluncurkan satelit-satelitnya sendiri, yang mana nantinya akan membentuk sebuah konstelasi satelit universitas-universitas Indonesia.


Kesimpulan


Kebutuhan akan satelit yang dikhususkan untuk kebutuhan militer pada saat ini sebenarnya sudah bersifat mendesak/urgent. Untuk itu perlu diadakan pengadaan untuk satelit militer ini. Memandang keadaan terkini mengenai kemampuan untuk merancang dan mengembangkan satelit sendiri di Indonesia yang belum bisa dikatakan “maju”, maka nampaknya kita harus melirik dari luar. 

Kenapa? Memang kita sudah berhasil membuat satelit sendiri, namun itu masih dalam tahap riset/rekayasa belum masuk ke tahap komersial. Untuk tingkat militer yang mengharuskan kemampuan diatas kemampuan rata-rata satelit komersial, kemampuan kita belum mencapai level tersebut. Solusi yang mungkin dapat kita lakukan adalah kita membeli dari luar, namun dengan syarat adanya ToT atau Transfer of Technology. 

Mereka-mereka yang terlibat dalam pengembangan satelit di Indonesia baik di universitas-universitas, maupun di Lapan dapat lebih bertambah pengetahuannya mengenai teknologi satelit. Memang mungkin pengadaan satelit+ToT ini mungkin akan lebih mahal jika dibandingkan jika kita menerima dalam bentuk jadi. Tapi dengan manfaat yang akan didapat nantinya, ToT bukanlah suatu hal yang sia-sia. Memang selain biaya yang lebih besar, negara penjual kadang enggan memberikan ToT dengan alasan sensitivitas teknologi yang ada. Namun sebenarnya banyak pilihan saat ini, misalnya jika Amerika tidak mau, masih ada Rusia maupun negara-negara eropa. 

Kalaupun mereka juga belum mau memberikan ToT, masih ada negara lain yang lebih terbuka, India dan China misalnya, kedua negara itu dapat dilirik. Harapannya, selain kebutuhan akan satelit militer akan terpenuhi, kedepan ahli-ahli satelit maupun dosen maupun mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang terlibat akan menjadikan Indonesia menjadi mandiri dibidang satelit, bukan hanya dibidang sipil/komersil, tetapi juga dalam bidang satelit militer. Bukan mustahil nantinya satelit militer kita nantinya adalah muatan buatan dalam negeri. Semoga.




Sumber : LK

Momentum Indonesia Malaysia Galang Kerjasama Strategis

GLOBAL-(IDB) : Ada tema tersembunyi di balik bocoran Edward Snowden, yang belum banyak disorot media massa. Snowden,  yang mantan kontraktor National Security Agency (NSA), menginformasikan adanya Program Intelijen Satetroom adanya peralatan untuk penyadapan radio, telekomunikasi dan lalu-lintas internet yang disimpan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat, Australia, Inggris dan Kanada. Snowden menyebut beberapa kota di ASEAN sebagai pos diplomatik keempat negara tersebut. Yaitu Jakarta, Bangkok, Hanoi, Kuala Lumpur, dan Beijing.


Ini satu fakta menarik karena Indonesia, Vietnam, Malaysia dan Thailand seharusnya dalam pandangan Amerika merupakan negara sekutu, kecuali tentunya Cina yang memang sejak masa pemerintahan George W Bush pada 2002, telah dicanangkan sebagai musuh utama Amerika bersama-sama dengan Rusia.

Bagi Amerika, yang dalam setiap operasi intelijennya selalu harus selaras dengan skema dan kebijakan strategis keamanan nasional Gedung Putih, maka dalam semua kegiatan spionasenya di berbagai negara, harus mencerminkan skala prioritas yang digariskan Washington. Dengan demikian, keputusan untuk menetapkan suatu negara sebagai obyek penyadapan, berarti telah menetapkan negara bersangkutan sebagai musuh, atau minimal musuh potensial.

Maka dari itu, fakta bahwa Malaysia termasuk salah satu negara yang ditetapkan oleh Washington dan sekutu-sekutunya sebagai obyek penyadapan, sungguh mengagetkan mengingat selama ini Malaysia merupakan negara yang dipandang bersekutu dengan Inggris dan Jepang. Meskipun pada era pemerintahan Mahathir Mohamad, Malaysia sepertinya terkesan kurang harmonis dengan Amerika. Namun mengingat kenyataan bahwa kebijakan Mahathir Mohamad Look to the East  sejatinya didasari gagasan untuk bersekutu dengan Jepang dalam menjalin kerjasama strategis bidang ekonomi-perdagangan, maka secara teknis Malaysia pada dasarnya tetap dalam pengaruh dan kendali skema kapitalisme global AS.

Hingga kini, kerjasama strategis bidang militer dan keamanan yang terjalin antara Amerika dan Jepang tetap berada dalam orbit pengaruh Amerika yang telah dirintis sejak Pasca Perang Dunia II. Karena itu sungguh mengagetkan ketika dalam dokumen NSA bocoran Snowden yang disiarkan oleh harian Australia Sidney Morning Herald, digambarkan bahwa Australia telah mengizinkan program rahasia NSA beroperasi di beberapa kedutaan besar Australia yang ada di Indonesia, Malaysia, Vietnam, Thailand, Timor Timur dan Cina. Dengan kata lain, Australia mengizinkan fasilitas penyadapan disimpan di beberapa kedutaan besar Australia di negara-negara tersebut di atas.

Masuk akal jika Pemerintah Malaysia terkejut sehingga pada 1 November 2013, Menteri Luar Negeri Malaysia Anifah Aman meminta penjelasan kepada pihak Amerika atas dugaan kegiatan spionase negaranya di Kuala Lumpur. Meski pihak Amerika kemudia mencoba menetralisirnya dengan mengatakan bahwa semua aktivitas spionasenya di seluruh dunia semata bertujuan untuk keamanan, namun rasa-rasanya kerusakan sudah terjadi.

Pertanyaan paling fundamental adalah, mengapa Malaysia ditetapkan sebagai musuh potensial Amerika sehingga jadi sasaran penyadapan?

Dihadapkan Pilihan antara ke India atau Cina


Shankaran Nambiar, ekonom dan konsultan ekonomi Malaysia menulis, saat ini Malaysia sedang dihadapkan pada pilihan: Berkiblat ke India atau Cina. Dalam artikelnya terbitan 28 Agustus 2012 berjudul Malaysia: choosing between China and India?, menggambarkan politik luar negeri Malaysia di era Najib Tun Razak saat ini tidak punya sikap yang jelas seperti ketika di era Pemerintahan Mahathir Mohamad.

Mahathir yang waktu itu menerapkan kebijakan Look to the East, sejatinya telah menetapkan kebijakan luar negeri yang berkiblat pada Jepang melalui kerjasama strategis bidang ekonomi-perdagangan. Sedangkan era Pemerintahan Najib sekarang, tidak jelas. Kalau diibaratkan menurut Shankaran Nambiar, ibarat menaruh beberapa telor di keranjang yang berbeda-beda (Placing a few eggs in as many baskets as there exist).

Kebijakan Look to the East ala Mahathir waktu itu, meski secara tersurat Malaysia bermusuhan dengan Amerika, namun karena kebijakan tersebut mendasari kedekatan hubungan antara Malaysia dan Jepang, maka negara Jiran tersebut tetap saja dalam orbit pengaruh AS dan Inggris.

Namun menurut analisis Shankaran Nambiar, saat terjadi persaingan tajam antara AS versus Cina di kawaasan Asia Tenggara saat ini, Malaysia di bawah pemerintahan Najib Tun Razak didorong untuk memilih berkiblat ke Cina atau ke India. Karena kedua negara Asia tersebut, saat ini telah muncul sebagai raksasa baru di kawasan Asia Tenggara.

Terbukti bahwa beberapa waktu berselang, Perdana Menteri Najib telah berkunjung ke Cina maupun India. Inilah yang kemudian menjadi dasar kritik Shankaran Nambiar bahwa orientasi politik luar negeri Malaysia saat ini jadi tidak fokus. Sehingga kecenderungannya untuk dekat baik kepada India maupun Cina, pada perkembangannya Malaysia justru tidak akan mendapat apa-apa baik dari Cina maupun India.

Mengingat kenyataan bahwa sumberdaya alam Malaysia maupun nilai strategis geopolitik Malaysia tidak besar seperti Indonesia, maka permainan dua kaki ala Malaysia tersebut menurut saya sama sekali tidak ada manfaatnya.

Bagi Malaysia nampaknya merupakan pilihan yang sulit. Jika berkiblat kepada Cina, Malaysia akan menghadapi resistensi dari Jepang yang saat ini merupakan seteru Cina di kawasan Asia Pasifik, menyusul semakin menajamnya persaingan global antara AS versus Cina di kawasan Asia Pasifik, dan Asia Tenggara pada umumnya.

Padahal di era Look to the East Policy-nya Mahathir Mohamad dulu, Malaysia sangat diuntungkan melalui kerjasama bidang otomotif dengan Jepang.

Sedangkan jika mendekat kepada India, yang menurut beberapa observasi, merupakan raksasa baru yang pertumbuhan ekonominya cukup menjanjikan sehingga dirasa cukup bisa diandalkan sebagai mitra oleh AS, Korea Selatan, dan Singapura. Sehingga menurut beberapa observasi di dalam negeri Malaysia, meski India saat ini menghadapi berbagai kendala akibat tidak memadainya infrastruktur, birokrasi yang sangat tidak professional, maupun demokrasi yang tidak stabil, namun banyak yang menilai jika Malaysia berkiblat ke Cina dan mengabaikan India, dalam jangka panjan merugikan Malaysia.

Terlepas pilihan antara berkiblat ke India atau ke Cina merupakan dilemma bagi pemerintahan Najib Tun Razak, namun hal ini mengindikasikan adanya masalah krusia terkait penentuan haluan politik luar negeri Malaysia ke depan.

Hal ini saya kira menjelaskan mengapa kemudian Malaysia, setidaknya sejak 2009, berdasarkan bocoran Snowden, telah ditetapkan oleh Malaysia sebagai musuh potensial. Setidaknya hal ini bisa dibaca sebagai indikasi bahwa AS dan sekutu-sekutunya merasa khawatir terhadap potensi Malaysia untuk menjalin persekutuan strategis dengan Cina di bidang ekonomi, politik dan pertahanan-keamanan.

Indonesia-Malaysia Merintis Kerjasama ala BRICS di Asia Tenggara?

Kenyataan bahwa Indonesia pada KTT G-20 di London pada 2009 juga jadi sasaran penyadapan, mengindikasikan bahwa ada kekhawatiran bahwa Indonesia berpotensi untuk melakukan kontra skema menghadapi dominasi global Amerika dan negara-negara Uni Eropa minus Rusia. Dan tentunya derivasinya juga terjadi pada forum KTT APEC yang memang khusus jadi blok ekonomi 24 negara di kawasan Asia Pasifik.

Kalau Indonesia saja di KTT G-20, yang tentunya juga di KTT APEC, menjadi negara sasaran penyadapan, maka Malaysia pun mengalami hal yang sama. Baik di forum G-20 maupun APEC, Amerika dan Uni Eropa sebenarnya menaruh kekhawatiran bahwa negara-negara ASEAN seperti Indonesia dan Malaysia, kemudian berkiblat kepada Cina dan Rusia dalam sebuah aliansi strategis bidang ekonomi dan perdagangan.

AS dan Uni Eropa cukup beralasan untuk khawatir, karena sejak 2001, Cina dan Rusia telah menjalin aliansi strategis di Asia Tengah melalui payung Shanghai Cooperation Organzation (SCO). Yang pada perkembangannya kemudian menginspirasi Brazil, India, Rusia, Cina dan Afrika Selatan, untuk membentuk blok ekonomi-perdagangan lintas kawasan (BRICS).

Karenanya, cukup masuk akal jika terbongkarnya bocoran penyadapan terhadap beberapa negara sekutu AS di Asia Tenggara seperti terhadap Malaysia, Vietnam dan Thailand, merupakan momentum untuk meninjau ulang haluan politik luar negeri negara-negara yang jadi obyek sadapan AS tersebut.

Khusus untuk Malaysia, yang saat ini sedang dihadapkan pada dilema untuk memilih berkiblat pada India atau Cina, saya kira alangkah strategisnya jika Indonesia dan Malaysia menjadikan ini sebagai momentum untuk membangun kerjasama strategis baru dalam kerangka mengimbangi pengaruh AS dan Uni Eropa di ASEAN.

Tidak ada salahnya bagi Indonesia dan Malaysia, atau bahkan dengan Vietnam, untuk mempertimbangkan kemungkinan memotori terbentuknya sebuah aliansi strategis di kawasan Asia Tenggara dengan merujuk pada SKEMA SCO dan BRICS. 

Merujuk pada doktrin politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, dan dengan menginspirasi prakarsa yang dilakukan Bung Karno ketika menggalang kerjasama negara-negara Asia-Afrika melalui Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, maupun Konferensi Gerakan Non Blok di Beograd pada 1961, berkiblat pada salah satu kutub yang sedang bersaing sah-sah saja. Sepanjang didasari pertimbangan untuk memperkuat kepentingan nasionalnya seraya menjadikan dirinya sebagai kekuatan tersendiri yang diperhitungkan oleh kedua kutub yang sedang bersaing.




Sumber : Global

Xanana Gusmao Tuntut Abbott Jelaskan Penggeledahan Kantor Pengacaranya

DILLI-(IDB) : Perdana Menteri (PM) Timor Leste mengatakan dirinya terkejut dengan keputusan pemerintah Australia memerintahkan penggeledahan kantor pengacara dan whistleblower yang menyediakan bukti-bukti untuk melawan Australia di Den Haag.

Timor Leste akan mengajukan gugatan pembatalan perjanjian eksplorasi minyak dan gas di Laut Timor senilai $40 milyar ini di Pengadilan arbitrasi Internasional di Den Haag pada Kamis (5/12/2013) .

Timor Leste menuding Australia mengambil keuntungan dalam negosiasi tersebut karena Badan Intelejen Rahasia Australia (ASIS) menyembunyikan alat penyadap di ruang kabinet pemerintah Timor Leste di Dili pada tahun 2004 lalu.

Timor menuding operasi itu diperintahkan oleh Bos ASIS ketika itu David Irvine, yang kini mengepalai Badan Intelejen Lokal Australia (ASIO).

Pada Selasa (3/12/2013), petugas ASIO menggeledah kantor kuasa hukum Timor Leste dalam gugatan ini, Bernard Collaery, di Canberra – yang saat ini berada di Belanda untuk mempersiapkan kasusnya di Pengadilan Arbitrase Internasional. Dihari yang sama ASIO juga menyita paspor mantan agen mata-mata Australia yang akan membeberkan bukti-bukti di pengadilan setelah rumahnya juga digeledah.

Kehadiran whistleblower, mantan Direktur Operasi Teknis ASIS, sebelumnya sosoknya dirahasiakan dan hanya diketahui segelintir pejabat dan pengacara sampai penggerebekan kemarin.

Pada Rabu sore (4/12/2013), PM Timor Leste Xanana Gusmao memberikan pernyataan dan mendesak PM Tony Abbott menjelaskan secara langsung kepada dirinya dan menjamin keamanan dari whistleblower.

"Aksi yang dilakukan oleh pemerintah Australia sangat kontrapoduktif dan tidak kooperatif,” kata Gusmao.

" Menggeledah kantor kuasa hukum kami dan mengambil tindakan agresif terhadap saksi kunci kami adalah tindakan yang tidak ; bermertabat dan tidak dapat diterima.

"Ini adalah perilaku yang tidak layak yang dilakukan seorang teman dekat dan tetangga atau dari sebuah bangsa yang besar seperti Australia."

Kuasa hukum yang kantornya digeledah mengatakan pemerintah Australia berusaha memberangus bukti-bukti dan saksi hukum utama kami” dengan menyita paspornya.

"Apa penilaian pengadilan internasional di Den Haag jika mengetahui masalah ini? kata Collaery.

Collaery juga mengatakan tuduhan kegiatan spionase salam negosiasi dengan ; Timor Leste berlangsung bisa dikategorikan "insider trading".

“Jika praktek ‘insider trading &rsquo itu terjadi di bursa internasional seperti Bridge Street, Collins Street, Wall Street, pelakunya akan dipenjarakan,” kata Collaery kepada Lateline.

Jaksa Agung George Brandis mengkonfirmasi dirinya telah menyetujui penggeledahan tersebut, tetapi membantah aksi itu dilakukan untuk mempengaruhi proses arbitrasi ;di Den Haag.

Program Bantuan 'Kuda Trojan' Australia

Timor Leste mengklaim ASIS telah menggunakan program bantuan Australia sebagai tameng untuk menutupi operasi rahasia mereka dalam mengumpulkan informasi rahasia selama berlangsungnya negosiasi perjanjian eksplorasi minyak dan gas di Timur Leste tahun 2004.

Satu dekade lalu, dibawah program bantuan Australia, gedung pemerintah di Dili diberikan ; bantuan renovasi yang mahal. Namun bantuan itu dituding sebagai semacam kuda Trojan Australia.

Timor Leste mengklaim pada Mei 2004, agen ASIS berpura-pura menjadi pekerja bangunan di proyek renovasi gedung pemerintahan dan menanamkan alat penyadap di dinding ruang kabinet, yang letaknya hanya berjarak dua kantor dari ruangan yang ditempati Perdana Menteri.

Agen ASIS itu ; kembali pada Juli dan Agustus, yang kemungkinan untuk memeriksa sekaligus mempertahankan fungsi dari alat penyadap yang mereka tanam, sebelum akhirnya menyingkirkan semua jejak kegiatan penyadapan tersebut pada Desember, ketika operasi spionase tersebut berakhir.

Sebelummnya PM Tony Abbott menyatakan dirinya mendukung aksi penggeledahan yang dilakukan ASIO, dengan mengatakan badan intelejen tersebut ; sedang melakukan tugasnya menyelamatkan kepentingan Australia.

"Kita tidak bermaksud mengintervensi kasus ini, tapi kita bertindak untuk memastikan kepentingan ; nasional Australia benar-benar terlindungi. Untuk itulah penggeledahan itu dilakukan,” kata Abbott kepada media di Canberra (4/12/2013).

Namun insiden ini menuai kecaman luas. Ketua Partai Hijau, Adam Bandt menyebut ini sebagai tudingan yang sangat mengganggu dan menuntut ; penjelasan resmi dari Jaksa Agung.




Sumber : Detik

Intelijen Australia Geledah Kantor Pengacara Timor Leste

Perdana Menteri Tony Abbott membela tindakan badan intelijen Australia, ASIO, menggeledah rumah sekaligus kantor Bernard Collaery, pengacara yang mewakili Timor Leste dalam kasus gugatan pembatalan kerjasama pengolahan minyak dan gas melawan Australia. Kasus tersebut akan diperiksa di Den Haag, Belanda, Kamis (5/12/2013), dan pihak Timor Leste diwakili pengacara Collaery yang adalah warga Australia.

DARWIN-(IDB) : Pihak Timor Leste membawa kasus ini ke Den Haag dengan tujuan untuk membatalkan perjanjian pengelolaan minyak dan gas dengan Australia senilai 40 milliar dollar. Alasannya, menurut pihak Timor Leste, karena ternyata Australia memata-matai mereka sebelum negosiasi perjanjian itu dilakukan.

Disebutkan, aksi mata-mata dilakukan di Dilli oleh badan intelijen Australia yang saat itu masih bernama ASIS. Aksi tersebut kabarnya dilakukan atas perintah Menlu Australia waktu itu, Alexander Downer.

Selasa kemarin, petugas ASIO menggeledah rumah sekaligus kantor Collaery di Canberra. Pengacara ini justru sedang berada di Belanda mempersiapkan gugatan kasus tersebut.

Jaksa Agung George Brandis menyatakan pihaknya memberi izin penggeledahan, namun membantah hal itu ada kaitannya dengan kasus yang sedang bergulir di Belanda.

Partai Hijau mengecam tindakan ASIO, dan mendesak Jaksa Agung menjelaskan duduk perkaranya. "Jika hal ini benar, tampaknya George Brandis menganggap dirinya sebagai J Edgar Hoover dan bisa seenaknya mengeluarkan surat perintah penggeledahan," kata anggota parlemen Partai Hijau Adam Bandt.

Namun PM Abbott menyatakan, tindakan pemerintah dapat dibenarkan. "Kita tidak mengintervensi kasusnya, tapi akan selalu memastikan kepentingan nasional kita ditegakkan," kata Abbott.

Pihak Timor Leste menyatakan ASIS melakukan aksi mata-mata dengan kedok program bantuan, dan memasang perangkat penyadap di ruang kabinet pemerintah Timor Leste.

Menurut Collaery, rincian informasi aksi mata-mata itu belum diketahui hingga munculnya seorang whistle blower.

"Dirjen ASIS dan wakilnya memerintahkan teknisi ASIS berangkat ke Timor Leste, dengan berkedok program bantuan Australia merenovasi dan membangun kantor kabinet di Dilli. Mereka memasang alat penyadap di dinding yang dibangun atas bantuan dana Australia," jelas Collaery kepada ABC.

Ia mengatakan, saksi yang diperiksa ASIO Selasa kemarin bukanlah mata-mata, melainkan mantan direktur teknik operasi di ASIS.

Menurut Collaery, saksi tersebut memutuskan untuk menjadi whistle blower, setelah tahu mantan Menlu Alexander Downer kini menjadi penasehat di Woodside Petroleum.

Dalam pernyataan kepada ABC, Downer mengatakan tuduhan ini sudah lama dan pihaknya tidak akan berkomentar atas masalah keamanan nasional.

Sementara itu Pemimpin Oposisi Bill Shorten mengatakan badan intelijen Australia harus beroperasi dalam kerangka hukum yang berlaku.
Sumber : RadioAustralia

Indonesia Malaysia Sepakat Percepat Negosiasi Batas Wilayah

JAKARTA-(IDB) : Pemerintah Indonesia dan Malaysia, bersepakat mempercepat negosiasi penetapan batas wilayahnya masing-masing.

Hal itu, seperti yang disampaikan melalui siaran pers yang diterima redaksi Tribunnews.com, merupakan satu dari sekian kesepakatan dalam pertemuan ke-13 Komisi Bersama Indonesia- Malaysia yang dimpimpin kedua menteri luar negeri, Senin (2/12/2013).

Dalam siaran pers itu disebutkan, kedua menteri luar negeri sepakat mempercepat negosiasi batas darat maupun maritim Indonesia dan Malaysia.

Selain masalah perbatasan, pertemuan itu juga menyepakati untuk mencapai neraca perdagangan yang lebih berimbang. Indonesia dan Malaysia juga sepakat bekerja sama mempromosikan minyak kelapa sawit di pasar global.

Sementara dalam bidang sosial dan budaya, kedua negara sepakat meningkatkan kerja sama menyediakan akses pendidikan kepada warga keturunan Indonesia yang bermukim di Sabah, Malaysia.

Selain itu, pertemuan tersebut juga membahas persiapan Annual Consultation ke-10 antara kedua kepala pemerintahan kedua negara yang rencananya digelar pada 19 Desember 2013, di Jakarta.



Sumber : Tribunnews

TNI AL Pertimbangkan Perbaiki KRI Teluk Peleng 535

JAKARTA-(IDB) : Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengatakan saat ini proses evakuasi KRI Teluk Peleng 535 di perairan Pondok Dayung, Jakarta Utara, masih berlangsung. Kapal jenis pengangkut tank dan pasukan itu karam pada 19 November lalu akibat menabrak tonggak cor hingga lambungnya bocor.

Saat disinggung mengenai penggantian kapal sejenis, Moeldoko mengaku masih pikir-pikir. "Sebab, masih bisa direnovasi," kata Moeldoko kepada wartawan saat ditemui di Markas Komando Divisi I Kostrad, Cilodong, Depok, Jawa Barat, Selasa, 3 Desember 2013.


Namun Moeldoko masih ragu untuk memutuskan memperbaiki ulang KRI Teluk Peleng. Alasannya, kapal tersebut termasuk berusia uzur. Kapal Teluk Peleng adalah salah satu kapal bekas Jerman yang dibeli pemerintah Indonesia pada awal 1990.


”Akan kami pertimbangkan apakah masih bisa dipakai lagi atau tidak,” kata Moeldoko. “Terakhir (sebelum karam), kapal itu hanya untuk latihan.”


Pekan lalu, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Marsetio yakin KRI Teluk Peleng masih bisa diperbaiki. Menurut dia TNI belum perlu mencari pengganti kapal tersebut. "Nanti bisa diperbaiki oleh kami, gampang itu," kata dia kepada Tempo pekan lalu.


Menurut sumber Tempo, tenggelamnya KRI Teluk Peleng dimulai sejak Senin, 18 November 2013. Saat itu, perairan Pondok Dayung sedang surut, alhasil badan kapal membentur tonggak cor dan membuat lambung kanan kapal bocor dan kamar mesin mati.


Beberapa jam kemudian, kapal miring sekitar 45 derajat, tim TNI Angkatan Laut pun berupaya menyelamatkan kapal. Namun sayang, keesokan harinya kapal karam.



Sumber : Tempo

TNI AD Latihan Gabungan Antar Cabang Di Situbondo

SITUBONDO-(IDB) : Pesawat tempur milik TNI AD "membombardir" hutan Baluran, Situbondo, Jawa Timur, Selasa (3/12/2013). Peristiwa tersebut terjadi dalam latihan taktis yang melibatkan 4.300 personel TNI AD di Pusat Latihan Tempur (PLP) Marinir di Karang Tekok, Desa Sumberejo, Kecamatan Banyuputih.

Dalam latihan perang yang dipantau langsung Kepala Staf TNI AD (Kasad), Jenderal Budiman, para TNI AD Kodam V Brawijaya melibatkan personel Brigif 16 Wirayuda yang terdiri dari Batalyon 521 Kediri, Batalyon 527 Lumajang, dan Batalyon 511 Blitar.

Selain itu, Latihan Gabungan (Latgab) antarcabang ini juga melibatkan jajaran Badan Pelaksana Kodam, di antaranya Pengdam, Hubdam, Pembekalan Angkatan (Bek Ang), Seni Tempur (Sipur) dan Seni Bangunan Kodam (Sidam), Paldam, Rindam, dan Pom CPM). Dalam latihan tersebut, para prajurit tampak menguasai tugasnya dengan baik. Selama berlatih, para prajurit TNI mampu menghancurkan sasaran dengan sekali tembakan.

Sekitar 4.300 personel TNI melakukan penyerangan dengan sangat cepat. Dalam agresi itu, mereka mengerahkan sedikitnya 13 tank tempur serta beberapa heli untuk menggempur pasukan lawan.

Komandan Latihan, Brigjen TNI Asma’i mengatakan, latihan ini berdasarkan surat perintah Pangdam V Brawijaya Nomor 414/lll/2013 tertanggal 30 Maret 2013 tentang perintah menyelenggarakan latihan taktis Brigade Tim Pertempuran Brigif 16 Wirayuda. Sekaligus bertujuan untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Latihan dimulai sejak 20 November dan berakhir tanggal 3 Desember 2013,” ujarnya dalam pemaparannya di hadapan Kasad TNI AD di Pusat Pantau Marinir Karang Tekok.

Kasad Jenderal TNI Budiman mengatakan, tujuan latihan taktis ini untuk melatih dan menyegarkan kemampuan keprajuritan pada tingkat brigade. Menurutnya, latihan perang ini melibatkan personel lima Markas Komando Daerah Militer (Makodam), yakni Kodam Satu Bukit Barisan, Kodam lll Siliwangi, Kodam lV Dipenogoro, Kodam V Brawijaya, Kodam Vll Wirabuana.

Seusai latihan perang, Kasad berpesan agar seluruh personel TNI terus semangat dalam belajar berperang agar menjadi tentara yang hebat. “Harus menjadi tentara yang hebat. Tetapi ingat, di balik kehebatan itu, kamu-kamu harus tetap menjaga sopan santun kepada rakyat,” tandasnya. 

TNI AD Utamakan Senjata Produk Dalam Negeri

Untuk memenuhi kebutuhan peralatan alutsista, TNI AD lebih mengutamakan produk buatan dalam negeri. 

Pernyataan ini, diungkapkan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal  TNI Budiman, seusai memberikan pemaparan dihadapan perwira pelaksana latihan taktis Brigadir F 16 Kodam V Brawijaya, di T 12 Karang Tekok, Banyuputih, Situbondo, Selasa (3/12/2013).

Alutsista produk lokal itu, kata Jenderal Budiman, meliputi peluru, senjata, laras pendek, laras panjang, mortir, mesin kendaraan rantis dan anoa. 

"Peralatan ini semua merupakan produk dalam negeri," kata Jenderal Budiman.

Meski banyak alutsista produksi lokal, ada banyak produk luar negeri yang dipakai serdadu Indonesia. Seperti tank Leopard dari Jerman, roket multi sistem buatan Brasil, alat penangkis serangan udara buatan Perancis.

Ia mengatakan, sampai tahun 2014, diharapkan pihak TNI AD sudah memiliki beberapa pesawat tempur. Di antaranya,16 unit pesawat terbang heli Bel 412 dan 12 unit heli perang. 

Sedangkan pada tahun 2017, TNI AD akan membeli sekitar 8 unit pesawat Apache. 

"Kontrak sudah dilaksanakan, 80 persen kebutuhan ini sudah ada pada akhir Nopember 2016 mendatang," pungkasnya.



Sumber : Kompas 

Kunjungan Sultan Brunei Ke Paviliun Indonesia Di Ajang BRIDEX 2013

BANDAR SERI BEGAWAN-(IDB) : Di hari kedua kunjungannya di Brunei Darussalam, Selasa (3/12), Wakil Menteri Pertahanan RI, Sjafrie Sjamsoeddin menghadiri acara pembukaan Pameran dan Persidangan Pertahanan Antarabangsa Negara Brunei Darussalam atau Brunei International Defence Exibition & Coference (BRIDEX) 2013 merupakan pameran yang ke – 4, di the Dome of the Bridex Hall, Jerudong, Brunei Darussalam.
 
BRIDEX 2013 yang di buka langsung Sultan Brunei Darussalam Sultan Hassanal Bolkiah, juga disaksikan beberapa perwakilan pejabat pertahanan dan keamanan serta industri pertahanan dari beberapa negara.


Usai mengikuti peresmian BRIDEX, Wamenhan beserta beberapa pejabat lainnya berkesempatan untuk melihat pertunjukan Aerobatic Show dari beberapa negara diantaranya, Tim Alap Alap Royal Brunei Airforce, Tim Jupiter TNI Angkatan Udara dan manuver-manuver dari pesawat tempur F-15 milik Angkatan Udara Singapura.


Pada hari yang sama Wamenhan juga mendampingi Raja Brunei Darussalam Sultan Hassanal Bolkiah beserta Pangeran Brunei Haji Al-Muhtadee Billah, Ibni Majesty Sultan Haji Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah, mengunjungi Paviliun Indonesia yang berisi 15 Industri Strategis Pertahanan Nasional dan Industri Swasta Nasional. Diantaranya PT. Pindad, PT.PAL, PT.DI, PT. Len, PT. Palindo, PT. Dahana dan PT Sari Bahari. Saat kunjungannya di Paviliun Indonesia Sultan bersama Pangeran mendapat penjelasan mengenai keunggulan yang di miliki beberapa variant Alutsista terbaru produksi Industri Pertahanan Nasional Indonesia.


Disamping itu di hari pertama pembukaan BRIDEX 2013, Sultan dan Pangeran Brunei yang juga didampingi oleh Wamenhan RI dan Kepala Staf Angkatan Udara, Marsekal TNI IB Putu Dunia meninjau lokasi Statistic Display dari pesawat Angkut Militer milik TNI AU CN-295 dan Pesawat Patroli Maritim milik TNI Angkatan Laut CN-235 di kompleks lapangan Rimba Air Force Base Brunei Darussalam. Sultan Brunei Darussalam Sultan Hassanal Bolkiah merasa terkesan saat mengunjungi dan masuk kedalam badan pesawat, hingga Sultan menaiki Kokpit Pilot dari pesawat CN-295  buatan PT. Dirgantara Indonesia tersebut.


Selain pesawat CN-295 dan CN 235, Sultan Hassanal Bolkiah juga meninjau dan melihat pesawat-pesawat yang dipamerkan dari negara lain, diantaranya pesawat Sukhoi Su-30 MKM Royal Malaysian Air Forces, F-15SG Angkatan Udara Singapura, Boeing V-22 Ospre dari Amerika Serikat.  


Pameran Brunei International Defence (BRIDEX 2013) ke – 4 menampilkan sejumlah besar pendatang baru industri lokal maupun internasional, lebih dari 90 peserta pameran internasional yang terdiri dari lebih dari 140 produsen peralatan asli (OEM) dan penyedia layanan lebih dari 30 negara. BRIDEX 2013 juga menyediakan platform yang sangat baik untuk membina hubungan penting, menjalin kerjasama dan menjadi peluang perniagaan baru di kawasan Asia Tenggara yang tengah berkembang pesat.




Sumber : DMC

AS Kirim Pesawat Pengintai Baru Ke Jepang

TOKYO-(IDB) : Angkatan Laut Amerika Serikat mengerahkan pesawat pengintai mutakhir ke Jepang, kata pejabat pada Senin, saat ketegangan meningkat menyangkut pengakuan China atas wilayah di kawasan itu.

Dua jet patroli Poseidon P-8A dikirim dari Jaksonville, Florida, pada Jumat dan tiba di pangkalan udara Kadena, Okonawa, dalam usaha terencana sebelum Beijing mengumumkan wilayah pertahanan udara pada bulan lalu meliputi pulau sengketa di Laut China Timur, kata pejabat Angkatan Laut kepada AFP.

"Ini telah direncanakan sejak lama," kata pejabat yang tidak bersedia namanya disebutkan itu.

"Ini satu penggelaran yang dirotasi."

Empat lagi pesawat Poseidon menurut rencana akan dikirim ke Okinawa akhir bulan ini, kata pejabat itu.

Pengiriman pesawat itu ke Jepang merupakan missi pertama bagi pesawat baru itu, yang akan menggantkan pesawat Orion P-3 buatan tahun 1960-an.

Pesawat P-8A, pesawat Boeing 737 yang diubah dengan memasang radar canggih dan rudal anti-kapal, didesain untuk memburu kapal selam dan melacak kapal lain di laut.

Pada 23 November, China mengumumkan zona identifikasi pertahanan udara yang diperluas dan mengatakan setiap pesawat harus mengajukan rencana penerbangan sebelum memasuki daerah itu, tempat di mana pulau-pulau yang disengketakan di Laut China Timur.

Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Amerika Serikat masing-masing telah mengirim pesawat-pesawat ke zona itu tanpa memberitahu China,yang menunjukkan penolakan mereka untuk mengakui pengumuman Beijing itu.

Setelah mengirim dua pembom B-52 pekan lalu, militer AS tetap melakukan penerbangan militer "rutin" di daerah itu tetapi tidak ada tanggapan permusuhan dari China, kata juru bicara Pentagon Kolonel Steven Warren kepada wartawan Senin.

"Reaksi China terhadap operasi kami biasa saja," kata Warren.

"Kami tidak mengubah waktu operasional kami," tambahnya.

Penggelaran pesawat P-8 itu dilakukan saat Wakil Presiden AS Joe Biden akan menyampaikan "kekhawatiran" Washington kepada China tentang zona sistem pertahanan udara China dan berusah meminta penjelasan menyangkut niat Beijing itu.




Sumber : Antara

KRI Diponegoro-365 Tiba Di Tanah Air

BELAWAN-(IDB) : Komandan Pangkalan Angkatan Laut (Danlantamal) I Belawan Laksamana Pertama TNI Didik wahyudi, S.E., didampingi Kasdam I/BB Brigjen TNI Andogo Wiradi beserta perwakilan dari Kosek Hanudnas III Medan menerima kedatangan KRI Diponegoro-365 di Dermaga Belawan International Container Terminal (BICT).  Sabtu (30/11).
   
Kapal Perang milik Republik Indonesia yang bernomor lambung 365 ini telah melaksanakan tugas selama tujuh bulan di perairan Lebanon sebagai Satuan Tugas Maritime Task Force (Satgas MTF) yang merupakan bagian dari operasi United Interim Force in Lebanon (UNIFIL)
   
Pada penyambutan kedatangannya di Belawan, Kapal yang di Komandani oleh Letkol Laut (P) Hersan, S.H., dan di perkuat 100 Prajurit yang terdiri dari 33 Perwira, 44 Bintara dan 23 Tamtama ini, di sambut langsung oleh Danlantamal I Beserta Asisten Komadan dan Para kadis di jajaran Lantamal I Belawan.

Satgas Maritime TNI Kontingen Garuda XXVIII-E/UNIFIL memiliki dua misi pokok, yakni melaksanakan “Maritime Interdiction Operation” (MIO) untuk membantu Angkatan Bersenjata Lebanon atau LAF dalam mencegah masuknya pasokan senjata dan materil ilegal lainnya ke Lebanon sesuai Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1701 tahun 2006.
   
Selain itu, KRI Diponegoro-365 membantu Angkatan Laut Lebanon dalam meningkatkan kemampuan pelaksanaan tugas penegakkan kedaulatan negara di wilayah perairan. Oleh karna itu, di perlukan sikap mental yang kuat, fisik yang prima, disiplin dan semangat yang tinggi dari Personel KRI Diponegoro-365.
   
Kapal Perang bebanggaan Indonesia ini  merupakan salah satu Kapal terbaru yang di miliki TNI AL jenis Korvet Kelas SIGMA (Ship Integrated Geomatrical Modularity Approach). Di jajaran Alutsista TNI AL, KRI Diponegoro-365 masuk dalam Satuan Kapal Eskorta Komando Armada RI Kawasan Timur (Satkorarmatim). 



Sumber : Koarmabar