SIDNEY-(IDB) : Menteri Imigrasi
Australia, Scott Morrison yakin usahanya dalam menghalangi imigran
gelap tetap berjalan tanpa bantuan Indonesia. Menurutnya, sistem yang
dibangun oleh kementeriannya tidak bergantung pada kerjasama dengan
negara lain.
Dalam pidato mingguannya, Jumat (22/11),
Morrison mengakui peran besar Indonesia dalam menghalau imigran gelap
yang ingin masuk ke Australia melalui jalur laut atau yang dikenal
dengan istilah 'manusia perahu'. Ia menegaskan bahwa Australia akan
selalu berterimakasih dan mendukung Indonesia atas usahanya tersebut.
Ia pun percaya kerjasama yang terbangun
selama ini saling menguntungkan kedua negara. "Tapi saya hanya ingin
menegaskan bahwa operasi kami dirancang untuk tidak bergantung pada satu
tolak ukur atau satu mitra saja," kata Morrison seperti dilansir dari
The Australian, Jumat (22/11).
Pernyataan ini dilontarkannya menanggapi
keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menghentikan kerjasama
dengan Australia terkait pencegahan penyelundupan manusia (people
smuggling). Sejak September tahun ini, sekitar 1.150 manusia perahu
telah dicegah menyebrang ke Australia. Sebagian besar pencari suaka
tersebut ditangkap oleh kepolisian Indonesia.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, akhir
tahun selalu menjadi puncak kedatangan imigran gelap. Menurut Morrison,
November tahun lalu tercatat 2.630 imigran masuk ke Negeri Kanguru itu.
Namun, ia tetap yakin mampu mengatasi
masalah tersebut tanpa Indonesia. "Percayalah kami akan melawan,
menghentikan para penyelundup di setiap titik mulai dari asal sampai
tujuan," tegasnya.
Pemerintah Tak Perlu Cegah Pencari Suaka ke Australia
Aparat
kepolisian serta aparat Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
tak perlu mencegah atau menangkap imigran gelap pencari suaka yang akan
menuju Australia sebagai implementasi perintah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Bahkan, pemerintah perlu mempertimbangkan melepas para
pencari suaka yang ditahan di rumah tahanan Imigrasi dan memfasilitasi
meninggalkan Indonesia.
Demikian diungkapkan Wakil Direktur Eksekutif Human Rights
Working Group Choirul Anam dan Ketua Badan Pengurus Setara Institute
Hendardi, di Jakarta, Kamis (21/11/2013). ”Dengan penghentian kerja sama
penanganan imigran gelap itu, aparat biarkan saja orang-orang (imigran
gelap) yang memiliki hak untuk menentukan tujuan akhir,” kata Choirul.
Selama ini, menurut Choirul, aparat kepolisian atau Imigrasi
mencegah atau menangkap imigran gelap ke Australia atas dasar kerja sama
dengan Australia. Seperti diberitakan, sebelum ada penjelasan resmi
atas kasus penyadapan Australia terhadap para pejabat tinggi Indonesia,
termasuk Ibu Negara, Presiden Yudhoyono memutuskan menghentikan
sementara kerja sama intelijen dan militer, termasuk penanganan imigran
gelap ke Australia.
Hendardi menambahkan, pemerintah bahkan perlu melepaskan para
imigran gelap itu dari tahanan. Menurut dia, keberadaan mereka di
tahanan Imigrasi selama ini menjadi beban Pemerintah Indonesia dan
menimbulkan dampak sosiologis.
Waspadai Hibah
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti, di Jakarta,
Kamis, menyerukan agar Indonesia mengevaluasi dan menghentikan sejumlah
hibah luar negeri yang terkait dengan dukungan teknologi informasi,
terutama hibah dari Australia, karena semua itu membuat Indonesia rentan
penyadapan.
Ray mencontohkan, sejak Pemilu 1999, lembaga donor Australia
gencar memberikan donasi untuk keperluan pemilu. Ray mengatakan,
dana-dana asing itu melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang
awalnya dimaksudkan untuk mendanai sistem teknologi informasi (TI)
Komisi Pemilihan Umum (KPU). ”Kita menolak pihak asing yang mengelola TI
KPU, kita curiga mengapa mereka ngotot ingin mengurus TI pemilu kita?” katanya.
Menurut peneliti politik Burhanuddin Muhtadi, yang sedang
menyelesaikan studi doktornya di Australian National University (ANU),
masyarakat dan partai-partai politik di Australia saat ini terbelah
dalam menyikapi skandal penyadapan ini.
”Sampai sekarang, rakyat Australia masih terbelah soal perlunya
meminta maaf kepada Indonesia atau tidak terkait dengan penyadapan
intelijen negara itu. Begitu juga dengan partai politik di parlemen,”
kata peneliti politik yang baru saja tiba dari Australia, di Jakarta,
kemarin.
Pemimpin oposisi Australia, Bill Shorten, mengatakan, Pemerintah
Australia seharusnya mempertimbangkan cara Presiden Amerika Serikat
Barack Obama yang segera melakukan kontak pribadi dengan Kanselir Jerman
Angela Merkel saat penyadapan terhadap telepon pribadi Merkel
terungkap.
Sikap Australia yang tak sesuai harapan Indonesia tersebut
diperkeruh dengan pernyataan penasihatnya, Mark Textor, yang kicauannya
di Twitter dinilai menghina Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang
disebut mirip bintang film porno.
Marty menyatakan hinaan atas dirinya tersebut merupakan bentuk
keputusasaan Australia. ”Bobot pernyataan seperti itu tidak perlu
ditanggapi. Itu menunjukkan keputusasaan mereka,” ujar Marty, di
Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Kamis.
Polri Hentikan Kerja Sama 'People Smuggling' Dengan Australia
Kepolisian RI menghentikan kerja sama penanganan people smuggling (imigran
gelap) dengan Australia sebagai respons atas penyadapan Negeri Kanguru
itu terhadap Presiden RI dan sejumlah orang dekatnya.
Hal itu disampaikan Kepala Kepolisian Jenderal Sutarman di Markas
Kepolisian Daerah Bali, Jumat 22 November 2013. "Kita harus hentikan
dulu sementara sambil menunggu keputusan lebih lanjut," kata Sutarman.
Penghentian kerja sama itu, lanjut Sutarman, merupakan tindak lanjut kebijakan Presiden.
Jenderal Sutarman mengatakan bahwa kebijakan menyikapi kemelut soal
penyadapan oleh Australia itu sudah jelas disampaikan presiden.
"Data tentang penyadapan tidak ada di kami. Tetapi, kebijakan
tentang penyadapan yang disampaikan oleh presiden sudah jelas," kata
dia.
Kendati begitu, Sutarman mengakui jika institusinya memiliki kerja
sama di bidang lain dengan Australia seperti pendidikan dan pelatihan.
"Kerja sama lain seperti pendidikan dan pelatihan tidak mungkin kita hentikan," ujarnya.
Kerja sama lain antara Autralia dan Polri saat ini adalah berupa
peralatan dan perlengkapan milik Polri. Barang-barang tersebut adalah
Jakarta Center for Law Enforcement (JCLEC) yang terletak di Semarang.
Program penanggulangan trans national crime, trafficking in person, dan terorisme, semua itu dibantu oleh Australia.
Polri dan Australian Federal Police (AFP) juga memiliki program pelatihan dan dukungan laboratorium cyber crime Bareskrim dan laboratorium DNA di Cipinang guna pengungkapan kasus.