Pemerintah nampak belum menentukan sikap tegas terhadap kabar penyadapan
Amerika Serikat terhadap sejumlah negara termasuk Indonesia. Apa yang
mesti dilakukan pemerintah merespons hal itu?
JAKARTA-(IDB) : Ramainya kabar penyadapan terhadap 38 kepala
negara di dunia, termasuk Indonesia, yang dilakukan oleh intelijen
Amerika Serikat (AS), bisa merusak hubungan antarnegara. Lantas,
bagaimana seharusnya pemerintah bersikap?
"Kalau kita yakin disadap oleh pihak asing, maka harus diambil
tindakan tegas, dengan catatan kita punya data dan bukti," ujar Wakil
Ketua Komisi I DPR RI Tubagus Hasanuddin, Kamis (7/11), di Ruang
Wartawan DPR, Senayan, Jakarta.
Kalau perlu, sambung politisi PDIP, kita kembalikan Dubes AS ke
negaranya. Sekian bulan kemudian, giliran Dubes RI ditarik dari sana.
"Untuk memperjelas persoalan ini, saya usul agar dibikin tim kecil
untuk melakukan investigasi ke sumber berita, kemudian bikin BAP
sehingga hasilnya bisa dibawa ke Mahkamah Internasional," imbuhnya.
Pengamat militer LIPI Jaleswary Pramowhardhani berpendapat bahwa
sebagai negara berdaulat, Indonesia harus menampakkan ketidaksetujuan
terhadap tindakan AS.
"Setidaknya kita bereaksi mengeluarkan nota protes agar didengar
dunia. Penyadapan memang hal yang lumrah dalam spionase. Tapi apa yang
dilakukan ini sudah kelewatan," ucap Jaleswary.
Setidaknya, kata dia, pemerintah mesti menanyakan kebenaran kabar tersebut kepada Dubes AS.
Kasus Penyadapan Bisa Dibawa Ke Mahkamah Internasional
Kasus penyadapan Australia dan Amerika terhadap Indonesia bisa
dibawa ke Mahkamah Internasional. Tapi sebelum itu, pemerintah harus
memiliki bukti kuat.
Aksi spionase yang dilakukan AS dan Australia pada Indonesia terus mendapat reaksi keras dari Parlemen RI.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan Tubagus
Hasanuddin menilai, jika benar Australia dan AS telah melakukan spionase
di Indonesia, maka tindakan itu sudah melanggar perjanjian atau
konvensi internasional. Sehingga jika ada buktinya, maka kedua negara
tersebut dapat diadukan ke Mahkamah Internasional.
Kata Hasanuddin, dalam hubungan diplomatik antarnegara, masing-masing
pihak dilarang mencari informasi secara ilegal, termasuk melakukan
pengintaian, melakukan penyelidikan diam-diam, penyadapan, termasuk
spionase.
"Tindakan itu melanggar konvensi internasional," ujar Hasanuddin di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (6/11).
Tetapi sebelum kasus ini dibawa ke Mahkamah Internasional, ia
mengingatkan, ada baiknya pemerintah memperingatkan Australia dan AS
terlebih dulu.
"RI atau negara yang dirugikan perlu melakukan tindakan diplomatik.
Mulai dari memanggil Dubesnya, memberikan peringatan, teguran ringan
hingga teguran keras, sampai mengusir kepala perwakilan negara tersebut,
atau dubesnya," ujarnya.
Terpenting, untuk membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional,
pemerintah harus memiliki bukti-bukti kuat. Bahkan kalau perlu memanggil
si pembocor aksi spinonase ini, Edward Snowden.
Tak ketinggalan, Ketua MPR RI Sidarto Danusubrota juga bersuara
keras. Dia tegas menyatakan, tindakan spionase yang dilakukan AS dan
Australia itu tidak bisa dibenarkan dan tidak patut dilakukan negara
yang mengaku bersahabat.
"Tindakan spionase seperti itu jelas-jelas merusak kepercayaan yang
dibangun bersama dengan azaz saling menghormati dan menghargai. Terlebih
kerja sama dengan negara tersebut telah terjalin sangat baik di segala
bidang, termasuk saling tukar-menukar informasi," katanya.