ANALISIS-(IDB) : Mestinya
kan dalam setiap dialog selalu dikumandangkan nada-nada yang menyejukkan meski
ada dalam posisi berseberangan. Hati
boleh panas tetapi kepala tetaplah dingin. Tetapi yang terjadi dalam penutupan
Shangri-La Dialogue di Singapura Senin 3 Juni 2013, Cina melalui pernyataan ketua
delegasinya Letjen Qi Jiangguo melontarkan kalimat tak bersahabat: Laut Cina
Selatan (LCS) adalah bagian dari teritori kami, maka Tentara Pembebasan Rakyat
(PLA) akan mengerahkan kapal perang untuk mengamankannya.
Itulah
gaya high profil Cina yang sudah mulai menunjukkan kekuatan imperium
sejarahnya. Sudah tak mengirim Menhannya sebagai bagian dari tradisi tatakrama dalam
pertemuan tingkat tinggi keamanan Asia
ke 12 yang diselenggarakan IISS (Institut Internasional Studi Strategik)
alias Shangri-La Dialogue,pernyataan itu jelas mencerminkan mengerasnya sikap Cina
atas klaim Laut Cina Selatan. IISS adalah pertemuan tahunan keamanan bergengsi
yang menghadirkan 31 Menteri Pertahanan di Asia Pasifik termasuk Jepang, Australia,
AS, Perancis, Kanada dan Inggris.
Sebelumnya
jelang penutupan,Singapura yang menjadi tuan rumah “permanen” pertemuan para menteri
pertahanan itu mendukung usulan Menhan Vietnam agar negara-negara yang mengklaim
teritori LCS menandatangani sebuah perjanjian yang berisi agar pengerahan
kekuatan bersenjata sebagai upaya terakhir dalam menangani setiap konflik LCS. Usulan
itu disampaikan dalam pertemuan tingkat tinggi ASEAN di Brunai 24 April 2013. Dengan
kata lain ASEAN berharap Cina tidak melakukan show of force angkatan laut sebagaimana
yang selalu ditunjukkannya selama ini.
|
Peta Sengketa Laut Cina Selatan |
Empat
negara ASEAN berselisih wilayah laut dengan Cina di LCS, yang enam lagi sih
tidak. Tetapi semangat kebersamaan ASEAN
yang menginginkan “dinginnya suhu LCS” tentu merupakan kebutuhan bersama
terutama untuk lalulintas Asia Pasifik yang punya kecemerlangan ekonomi di masa
depan.
Semangat mendinginkan suhu adalah bagian dari upaya untuk menjaga kematangan
emosi diplomatik, keseimbangan nilai dan harga diri masing-masing negara yang
satu sama lain punya ketergantungan hubungan ekonomi internasional. Oleh sebab itu mestinya Cina bisa menjaga suhu
shaolin nya untuk tidak mengumbar kung fu berlagak seperti Israel yang dengan
kekuatan militernya mencaplok wilayah Arab Palestina.
Jika Cina
masih terus melakukan unjuk kekuatan angkatan lautnya, maka bisa jadi
negara-negara ASEAN mempersilakan AS mengirimkan herder pasifiknya ke kawasan
itu. Habis capek juga kan menghabiskan
energi diplomatik untuk mengajak Cina berlaku etis dalam Code of Conduct tapi
yang diajak ngomong menyepelekan. Perilaku Cina ini seperti menabur benih
menuai badai, mempersempit ruang kebagusan dirinya dalam tata cara bergaul dan
menampilkan diri. Jangan hanya karena keberhasilan dalam pembangunan ekonomi
dan perkuatan milter yang bergizi ofensif lalu menganggap lingkungannya seperti
pelanduk tak berdaya. Para pelanduk itu
bukanlah sekumpulan keledai yang mudah dibodohi apalagi di didikte. Bahkan salah satu pelanduk telah mengadu
kepada gajah yang selama ini menjadi sekutunya.
Jepang
yang juga bersengketa batas laut dengan Cina mengajak ASEAN mempertimbangkan kerjasama pertahanan seperti
yang diungkap dalam pertemuan bidang pertahanan ASEAN-Jepang di Tokyo 13 Maret
2013 yang lalu. Ini juga salah satu
curhat kebencian negeri Sakura kepada Cina yang dipertunjukkan dalam mekanisme prakarsa
diplomatik. Maka jika ditarik garis “bermusuhannya” Cina berhadapan dengan lawan dari Timur
sampai Selatan, Jepang, Taiwan dan beberapa negara anggota ASEAN.
Posisi
cantik yang diperlukan Indonesia dalam bingkai LCS ada dua yaitu kecerdasan
dalam berdiplomasi dan memperkuat militernya sebagai payung pengaman teritori
menghadapi kondisi terburuk. Inilah
kesempatan paling bagus bagi RI untuk memainkan peran kecerdasan diplomatiknya
terutama untuk mengajak Cina mengurangi libido show of forcenya. Kekakuan Cina ini memang merupakan bagian
dari tabiat kesehariannya karena tak terbiasa dengan perbedaan cara pandang,
tidak terbiasa dengan demokrasi. Sesungguhnya RI berada dalam posisi netral
karena tidak bersengketa LCS dengan Cina.
RI punya hubungan manis dengan Cina.
RI juga punya hubungan akrab dengan saudaranya sesama ASEAN dan Jepang,
demikian juga dengan AS.
Menteri
Pertahanan AS Chuck Hagel dalam pertemuan Shangri-La ini secara khusus
mengundang Menhan RI ke AS dan mengundang para Menhan ASEAN untuk bertemu tahun
depan di komando pasifik AS di Hawaii.
Ini menunjukkan posisi kunci dan strategis Indonesia. Posisi ini
sesungguhnya merupakan keunggulan tak tergantikan yang sangat memungkinkan RI
memberikan kontribusi besar bagi jalannya perundingan sengketa LCS. Tinggal bagaimana para diplomat kita termasuk
RI-1 bisa memainkan peran itu secara profesional dan elegan. Sejalan dengan itu
perkuatan milter kita harus terus ditumbuhsuburkan karena sesungguhnya kekuatan
militer itu adalah kewibawaan dalam perjalanan diplomatik sebuah negara.