|
Model Kapal Selam Changbogo
|
JKGR-(IDB) : Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro tiba tiba menyampaikan kabar
mengejutkan terkait kontrak pengadaan tiga kapal selam Changbogo buatan
Korea Selatan. Menurut Purnomo Yusgiantoro, Korea Selatan meminta
Indonesia tidak terlibat langsung pembuatan kapal selam berbobot
1.500-1.600 ton tersebut, melainkan cukup melihat proses pembuatannya di
Galangan Kapal Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering, Korsel.
Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan Laksamana Muda
Rachmad Lubis mengatakan, dalam perjanjian alih teknologi itu, Indonesia
meminta perwakilan PT PAL ikut serta dalam perakitan kapal selam. Tapi
pihak Korea Selatan tidak setuju. “Mereka meminta Indonesia Learning by
seeing atau cukup melihat proses pembuatan saja,” kata Rachmad. Korea
beralasan, galangan kapal Daewoo dikejar target pemesanan kapal selam
dari sejumlah negara. Mereka khawatir keterlibatan Indonesia dalam
perakitan akan mengulur waktu.
Kok jadi begini ?
Dulu, ketika kontrak ditandatangani, Kementerian Pertahanan
mengatakan, pembangunan tiga kapal selam menggunakan skema: Kapal selam
pertama dibangun di Korea Selatan. Kapal selam kedua juga di Korea
Selatan namun bersama dengan PT PAL Indonesia. Adapun kapal selam
ketiga digarap di galangan PT PAL Surabaya.
Indonesia rela membeli kapal selam KW 1 U-209 , karena ingin
mendapatkan transfer teknologi. Jika tidak ada unsur transfer teknologi
di dalamnya, tentu Indonesia akan membeli kapal selam yang sudah
terbukti handal seperti Kilo / BNV Class buatan
Rusia yang dijuluki ”The Ocean Black Hole” karena kesenyapannya. Kapal
selam Kilo juga mengangkut rudal Klub S yang memiliki jangkauan
tembakan 300 km.
Kapal selam Kilo telah digunakan banyak negara, antara lain: China, India, Iran, Vietnam dan Rumania. Sementara Changbogo, hanya digunakan oleh Korea Selatan. Ketangguhan kapal selam Kilo
juga diakui petinggi TNI AL saat itu, dengan mengatakan: “Masak kita
tidak ingin membeli kapal selam yang juga bisa melakukan pre-emptive
strike, menyerang ke negara musuh, bukan hanya mutar-mutar di halaman
rumah sendiri, seperti anjing kampung”.
Tender Kapal Selam
|
Loading Rudal Klub-S ke Kapal Selam Kilo
|
Dalam tender pengadaan 3 kapal selam waktu lalu, Rusia maju menawarkan kapal selam Kilo Class. Namun opsi pembelian kapal selam Kilo dibatalkan karena tidak ada unsur transfer teknologi, sesuai arahan Presiden SBY dalam pengadaan alutssita.
Di saat yang sama datang Korea Selatan menawarkan kapal selam
Changbogo, turunan dari U-209 Jerman dan siap melakukan transfer
teknologi.
Di saat-saat terakhir, Turki juga mengajukan penawaran. Turki sangat
percaya diri akan menjadi pememang karena mengantungi lisensi U-209 dari
HDW Jerman beserta teknologi AIP-nya. Tapi entah mengapa, Turki pun
mental dalam tender ini. Kemungkinan karena dianggap terlambat
mengajukan penawaran.
Masyarakat pun bertanya-tanya mengapa Korea Selatan tiba-tiba membatalkan transfer teknologi dari kapal selam itu ?.
Usut punya usut, muncullah pernyataan dari anggota Wakil Ketua Komisi
I DPR, TB Hasanuddin. Menurut Mantan Sekretaris Militer Presiden ini,
kapal selam Changbogo Korea Selatan menggunakan teknologi Jerman, di
mana Jerman hanya memberikan lisensinya kepada kepada Turki.
“Kita dapat surat dari pemerintah Jerman yang isinya
mempertanyakan langkah pemerintah RI membeli kapal selam dari Korsel,
yang menggunakan sistem teknologi yang dimiliki Jerman. Di mana, dalam
surat tersebut disebutkan bahwa pihak Korsel tidak mendapat lisensi
teknologi dari Jerman. Lisensinya hanya diberikan pada Turki saja,”
tuturnya.
Menurut Mayjen purnawirawan TB Hasanuddin, surat dari Jerman itu
memperingatkan Indonesia agar hati-hati atas kapal selam yang dibeli
dari Korsel . Hal ini mengingat tidak ada jaminan lisensi dari negara
pemilik teknologinya. Secara etika, semestinya Korsel harus minta ijin
dulu ke Jerman. Tapi sampai saat ini, Korea Selatan belum melakukannya.
Tampaknya tidak adil jika kita hanya menyalahkan pihak Korea Selatan.
Yang juga perlu dikaji, bagaimana pihak Indonesia bisa menyetujui
perjanjian itu bila terbukti tidak ada transfer teknologi di dalamnya.
Jika Indonesia merasa yakin ada klausal transfer teknologi, tentunya
akan percaya diri untuk menggugatnya. Apakah Indonesia akan menggugat
Korea Selatan ?. Tanda tandanya belum terlihat.
Kita kilas balik sedikit tentang kasus pengadaan 4 Korvet Sigma dari
Belanda. Saat itu digembar gemborkan bahwa korvet Sigma bagian dari
road map Korvet Nasional. Pembangunan terakhir Korvet Sigma akan
dilakukan di Indonesia. Kontrak pun ditandatangani, namun semua korvet
itu akhirnya di bangun di Belanda.
Apa sebenarnya yang terjadi atas kasus pengadaan kapal Selam Changbogo Kore Selatan dan Korvet Sigma Belanda tersebut ?.
Komisi Pertahanan DPR meminta Kementerian Pertahanan meninjau kembali
nota kesepahaman kerja sama pembelian tiga kapal selam itu. “Jangan
sampai teledor dan berujung negara merugi karena tidak maksimal
mendapatkan transfer teknologi,” ujar anggota Komisi Pertahanan, Yahya
Sacawiria.
Persoalan itu memang harus diselesaikan secara transparan agar tidak terulang kembali di masa depan.
Ada satu kisah menarik ketika saya berkendara sore hari di sebuah
lapangan, di Mekah Arab Saudi. Saya disupiri oleh seorang warga Arab
Saudi campuran Indonesia. Dia bercerita tentang lapangan yang sedang
kami lalui. Lapangan yang lebih rendah satu meter dari jalan raya itu,
pernah dilanda banjir dan menewaskan seorang anak. Kejadian ini membuat
Raja Arab Saudi marah dan meminta dilakukan pengusutan mengapa bisa
terjadi banjir. Kesimpulan dari pengusutan adalah, drainase di sekitar
lapangan dan jalan raya, terlalu kecil, tidak bisa menampung debit air
dan tidak sesuai dengan maket yang telah disepakati sebelumnya. Namun
pembangunan drainase itu telah dilakukan puluhan tahun silam.
Apa yang terjadi…?. Raja Arab Saudi memerintahkan Polisi untuk
memburu mandor dan para pekerja yang membangun drainase itu. Sebagian
dari mereka sudah kakek-kakek karena membangun drainase itu puluhan
tahun yang lalu. Namun mereka tetap dimasukkan ke penjara dengan hukuman
yang bertingkat karena lalai dalam melakukan pekerjaannya. Kisah ini
menyebar luas ke seluruh warga. Dan tentunya anda sudah bisa menduga,
apa yang terjadi dengan proyek-proyek pembangunan di Arab Saudi setelah
peristiwa itu. Tidak ada yang berani main-main atau teledor.