Dalam
menghadapi forum ekonomi Asia Pasifik (APEC) maupun G-20, Indonesia
harus cerdas, cerdik dan responsif dalam mengantisipasi
pergerakan-pergerakan geopolitik negara-negara yang diperkirakan bakal
memainkan peran strategis atau pemain-pemain utama dalam konstalasi
global saat ini.
Indonesia harus jeli dalam mencermati dan memanfaatkan peran strategis
negara-negara seperti Rusia dan Cina yang bermaksud membuat satu gerakan
untuk meninggalkan pola konservatisme yang diperagakan oleh
negara-negara maju yang tergabung dalam G-7. Dalam konteks ini,
Indonesia harus menyadari bahwa Rusia memiliki kebijakan yang berbeda
dengan negara-negara yang tergabung dalam G-7. Karena itu, dalam
memetakan negara-negara maju saya lebih pas menyebut negara-negara G-7,
bukan G-8. Karena ini merupakan persekutuan strategis Amerika Serikat
dan Eropa Barat.
Dalam pandangan yang seperti ini, mengingat Indonesia dan Rusia
sama-sama berada dalam forum yang sama di APEC, ASEAN Regional Forum,
dan East Asia Community, maka dalam konteks APEC Indonesia bisa
memaksimalkan peran diplomasinya, untuk meluruskan dan mengarahkan
kembali tujuan APEC yang sudah melenceng jauh dari tujuannya semula.
Karena sekarang APEC telah jadi ajang kepentingan negara-negara besar
seperti Amerika, Eropa Barat, dan Jepang. Sekaligus juga agar Indonesia
mampu mengoptimalkan kebijakan-kebijakannya terkait peningkatan
kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi.
Memanfaatkan Fokus Politik Luar Negeri Rusia ke Asia Pasifik
Ada banyak hal yang bisa kita manfaatkan dari Rusia mengingat kita
punya hubungan sejarah yang panjang dengan Rusia. Apalagi pada 2004-2005
Presiden SBY sudah menandatangani Kemitraan Strategis dengan Rusia.
Menurut data yang ada pada saya, Indonesia sudah memiliki sekitar 14
kemitraan strategis dengan beberapa negara, termasuk Rusia. Namun sampai
hari ini tidak ada follow up atau tindak lanjutnya.
Menarik jika kita mencermati geopolitik Rusia. Kalau mengamati pola
perubahan pergerakan geopolitik Rusia, yang menarik itu adalah filosofi
lambang negara Rusia sendiri yaitu elang. Elang berkepala dua. Ini
sepertinya Rusia hendak menyampaikan pesan bahwa mereka akan berpaling
ke kiri dan ke kanan. Menoleh ke barat tapi juga ke timur.
Maka kalau kita pahami konteks kekiniannya, terutama di forum APEC
Vladivostok tahun lalu, dan pada September 2013 nanti Rusia akan
selenggarakan KTT G-20. Nah ini artinya, Rusia berusaha agar tidak
kehilangan fokus dan arah dalam menekankan kebijakan politik luar
negerinya. Rusia menoleh ke barat, karena bagaimanapun negara beruang
merah tersebut merupakan bagian dari eropa. Menoleh ke timur, karena
sebagian besar wilayah negara Rusia berada di kawasan Asia, Timur Jauh
dan Pasifik. Ini satu fakta geopolitik yang harus kita perhitungkan.
Sejatinya, basis kekuatan sesungguhnya Rusia berada di Asia. Ketika
Rusia menghadapi krisis atau depresi, Rusia selalu ingat punya daerah di
sekitar pegunungan Ural. Ketika Perang Dunia II, Rusia punya beberapa
tank yang cukup berkualitas, sehingga mampu mengalahkan kedigdayaan
tank-tank Jerman. Sehingga akhirnya gagal lah serangan Nazi Jerman ke
Rusia. Nah tank-tank Rusia ini dibuatnya di daerah Rusia yang masuk
kawasan Asia. Itu Luar Biasa.
Selain itu, modalitas politik luar negerinya yang utama adalah, ketika
Rusia berhasil merebut 4 kepulauan milik Jepang. Ini dianggap sebagai
simbol kemenangan geopolitik Rusia terhadap Jepang. Kalau kita berbicara
mengenai geopolitik di Asia Pasifik dan Timur Jauh, ada tiga paradigma
politik luar negeri.
Pertama, Asia Pasifik dan Jepang. Kedua, Asia Pasifik dan Cina. Dan
ketiga, Asia Pasifik dan Amerika Serikat. Lantas di mana posisi Rusia?
Nah inilah makanya Rusia ingin menunjukkan eksistensinya melalui
hegemoninya. Seakan hendak mengatakan, “Hey, kami ini juga hadir lho di
Asia.” Pada 1941, Joseph Stalin pernah mengatakan “Kami (Rusia) adalah
negara eropa dari di Asia.” Dengan demikian bangsa Rusia selalu ingin
menegaskan bahwa Rusia tidak ingin dinafikan dari masa depan Asia
Pasifik. Apalagi ketika sekarang ada tren pergeseran geopolitik dari
Atlantik ke Pasifik.
Dengan demikian para penyusun kebijakan politik luar negeri Indonesia
harus menyadari bahwa Rusia pun sekarang menekankankan fokus politik
luar negerinya ke kawasan Asia Pasifik.
Tiga Referensi Transformasi Politik Luar Negeri Rusia Pasca Perang Dingin
Pertama. Kenapa Rusia begitu menaruh
prioritas membangun rel-rel kereta api di Siberia? Sejak Vladivostok
Consensus dibuat semasa pemerintahan Gorbachev, Rusia berupaya membangun
kembali kesadaran tradisi Rusia terhadap Asia Pasifik. Berbicara soal
Vladivostok, ini merupakan daerah baru yang dicita-citakan oleh para
pengambil kebijakan di Rusia sebagai ibukota Rusia di Timur Jauh. Kita
tahu ibukota Rusia kan Moskowa. Tapi ibukota Rusia kuno sebernanya di
Ukraina dengan ibukotanya St Petersburg. Tapi kelak ibukota ekonominya
ada Vladivostok.
Itulah sebabnya momentum Rusia sebagai tuan Rumah KTT APEC 2012 lalu
memang jadi idam-idaman para petinggi pemerintahan di Kremlin. Karena
dianggap sebagai cornerstone atau batu loncatan, menuju hegemoni Rusia
di bidang ekonomi dan perdagangan.
Kedua, referensi transformasi politik luar
negeri Rusia, Doktrin Primakov, mantan Perdana Menteri Rusia Yevgeny
Maksimovich Primakov. Menurut doktrin ini, aliansi strategis yang
diperlukan agar Rusia bisa menjadi kekuatan penyeimbang dalam konstalasi
global, terutama untuk mengimbangi pengaruh Amerika Serikat dan Eropa
Barat, maka perlu dibentuk poros Moscow, Beijing dan New Delhi (Rusia,
Cina dan India). Oleh Primakov doktrin ini disebut Strategic Triangle.
Memang di masa lalu Rusia pernah punya masalah dengan Cina. Namun Rusia
juga menyadari sekarang harus menjalin hubungan baik dengan Cina.
Sebagaimana juga Rusia sudah menjalin hubungan baik dengan India. Bahkan
Rusia harus bisa menjadi agen yang mampu mendamaikan Cina dengan India.
Sepertinya Rusia sangat berkeinginan untuk menjadi Katalisator dalam
menegakkan Perdamaian. Inilah sebabnya mengapa Rusia ingin jadi juru
damai antara Cina dan India.
Primakov meyakini bahwa dengan persekutuan Rusia, Cina dan India,
konservatisme trans atlantik ini akan berhasil digeser di masa depan.
Kita tahu, ketiga negara tersebut memiliki tradisi dan peradaban yang
sangat tua. Tidak heran jika Amerika begitu segan kepada Cina dan India,
karena peradabannya sudah berlangsung selama 4 ribu tahun. Sementara
Amerika kan baru berdiri pada 1776. Rusia pun sudah berdiri sekitar 1200
tahun.
Itulah sebabnya Primakov memandang pentingnya aliansi strategis atau
segitiga strategis Rusia, Cina dan India. Persekutuan strategis ketiga
negara tersebut bisa menggabungkan sebagian besar dari pulau-pulau yang
ada di dunia ini.
Ketiga, Rusia merujuk pada doktrin Nearby
Approach. Kolapsnya Rusia, kita tahu, kemudian dimanfaatkan oleh
musuh-musuh tradisional Rusia, dalam rangka merongrong kedigdayaan
Rusia. Sejak Vladimir Putin tampil sebagai presiden, Rusia berhasil
merobah 180 derajat, dari keterpurukan pasca runtuhnya Uni Soviet pada
1989, kembali jadi negara adidaya. Perlu kita ketahui bersama, Rusia tak
akan bersedia melepaskan negara Turkistan, Kazakhtan, Kirgistan, dan
sebagainya, yang kita tahu berada di kawasan Asia Tengah. Rusia juga
tidak mau melepaskan pengaruhnya di semua sektor, termasuk energi dan
pangan, di kawasan Caucasus seperti Azerbaijan, Armenia dan Georgia.
Itulah sebabnya Rusia tetap menjalin kedekatan dengan negara-negara
mantan satelitnya, termasuk Cina.
Itu sebab mengapa Rusia kemudian menjalin komitmen bersama Cina melalui Shanghai Cooperation Organization
(SCO). SCO dipandang Rusia sebagai saluran atau kran untuk mengeluarkan
atau membebaskan Rusia dari kepungan negara-negara barat. Baik dari
Amerika maupun Uni Eropa. Dari barat, Rusia menghadapi rudal yang
dipasang barat dari Polandia dan Chech.
Selain itu, Rusia memang punya visi Timur. Karena itu Cina harus jadi
agenda pokok untuk membangun aliansi. Cina memang musuh masa lalu Rusia,
tapi juga bisa jadi kawan masa kini. Inilah gunanya kesepakatan
strategis Rusia-Cina melalui SCO.
Keempat. Presiden Putin menekankan ada tiga pilar diplomasi Rusia.
Pertama, Kekuatan militer. Kedua, Ilmu dan Teknologi, termasuk industri.
Dan Ketiga adalah energi. Dengan tiga pilar diplomasi ini, Putin yakin
bisa kembali menjadi negara adidaya. Karena di era Perang Dingin,
sebenarnya Rusia bukan negara superpower yang sebenarnya karena secara
ekonomi Rusia masih lemah. Meski secara militer dan persenjataan Rusia
memang termasuk negara superpower. Itulah sebabnya Rusia ingin
mengembalikan kejayaannya seperti di masa silam.
Keunggulan Rusia
1. Militer
2. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
3. Sumberdaya Manusia
4. Sejarah dan Peradaban
5. Sumberdaya Mineral
6. Kepemimpinan, terutama di era Vladimir Putin
Kelemahan Rusia
1. Instabilitasi Politik di dalam negeri
2. Sistem Politik yang masih relative otoritarian
3. Masalah residual seperti kemiskinan.
4. Kemapanan ekonomi yang masih banyak yang harus ditanggulangi.
Peluang Rusia
1. Rusia sebagai kekuatan penyeimbang.
2. Persekutuan strategis bersama Cina, India, dan Afrika Selatan
Ancaman dari dalam dan luar Rusia
1. Ancaman dari dalam negeri seperti Terorisme dan gerakan separatism.
2. Ancaman paling berbahaya berada di kawasan Caucasus.
3. Ancaman dari luar tentu saja dari Amerika dan Uni Eropa. Sedangkan dari Asia berasal dari Jepang.
Prospek Kerjasama Indonesia-Rusia
Indonesia dan Rusia menurut saya memang harus sama-sama membangun
kerjasama yang saling menguntungkan. Namun Indonesia harus punya visi
yang jelas, sehingga dengan Rusia akan terjalin sebuah kerjasama yang
equal/setaraf dan saling menguatkan. Selama ini kan Indonesia sepenuhnya
didikte oleh kepentinga Amerika. Dengan Rusia kita jangan sampai tunduk
begitu saja pada kepentingan Rusia. Harus ada take and give.
Kalau Indonesia saat ini belum bisa menentukan arah kebijakan politik
luar negeri negara-negara lain, setidaknya kita harus bisa mencegah
jangan samapi didikte negara-negara lain. Termasuk Rusia. Kalau kita
merelakan diri di bandwagon negara lain, ya politik luar negeri kita
tidak akan mandiri dan independen. Apalagi dalam menentukan
keputusan-keputusan strategis di tengah konstalasi global seperti saat
ini.
Dalam konstalasi global saat ini, praktek hubungan internasional yang
ditekankan adalah transfer of power. Artinya, negara-negara yang ada
dalam sistem internasional ini, berkeinginan mendirikan bank atau
lembaga-lembaga keuangan. Bahkan lalu-lintas perdagangan yang sifatnya
otonom. Transfer of power inilah yang diiginkan oleh Rusia.
Dengan demikian Amerika bisa dihentikan posisi dan perannya sebagai
kekuatan dominan satu-satunya di dunia internasional. Inilah yang sedang
diupayakan oleh negara-negara berkembang seperti Brazil, India dan
Afrika Selatan. Memang kita belum tahu kapan tercapainya kesetaraan atau
equality. Yang jelas, Rusia berusaha menipiskan jarak atau gap dengan
Amerika sebagai dominator global. Terbukti bahwa ketika Amerika dilanda
krisis ekonomi, Amerika melakukan pendekatan kepada Cina. Ini bukti
adanya transfer of power.
Adapun pergerakan strategis Rusia dalam kerangka regionalisme ini
adalah di APEC, East Asia Community, ASEAN Regional Forum (ARF), dan
G-20.
Terkait dengan G-20, meski ada beberapa pakar yang menganggap sebagai
perpanjangan tangan Amerika, namun tetap harus dipandang sebagai entitas
tersendiri. Namun sebelum bisa memaksimalkan peran Indonesia di forum
G-20, terlebih dahulu Indoenesia harus memaksimalkan perannya di forum
ekonomi Asia Pasifik di APEC, ARF maupun East Asia Community.
Karena Indonesia lebih memungkinkan membangun keseimbangan di APEC, ARF
dan East Asia Community. Namun demikian, kalaupun tetap ingin memainkan
peran di G-20, para stakeholders kebijakan luar negeri kita harus bisa
lebih cerdas dan cerdik dalam memaksimalkan perannya. Artinya, Indonesia
harus tahu diri tapi juga mampu memotivasi diri. Jadi keikutsertaannya
sebagai anggota negara G-20 itu bukan sekadar ikuta-ikutan atau sekadar
ingin dapat pengakuan.
Para pemangku kebijakan luar negeri hendaknya menyadari bahwa jangkauan
geopolitik Rusia terhadap negara-negara luar itu adalah sebagai
berikut:
1. Timur Tengah.
2. Asia Tengah
3. Asia Pasifik
4. Timur Jauh
Kita tahu Suriah di Timur Tengah, merupakan faktor kunci yang tidak
pernah dilepaskan oleh Rusia. Asia Tengah, jelas sudah saya singgung
tadi, apalagi ada banyak negara-negara eks satelit Rusia di kawasan
tersebut.
Lantas di kawasan Asia Pasifik, Rusia bagaimanapun juga tergabung di
forum APEC. Juga Rusia ada di East Asia Community. Rusia juga terlibat
di ARF. Seperti itu.
Sedangkan interaksi primer Rusia, saat ini tetap dengan Amerika
Serikat. Lalu dengan Cina. Ketiga dengan Uni Eropa. Lalu dengan Jepang,
India dan baru kemudian dengan ASEAN.
Indonesia Harus Mantap Dulu di ASEAN
Sehubungan dengan konteks hubungan bilateral Indonesia dan Rusia,
khususnya dalam memanfaatkan kemitraan strategis dengan Rusia, Indonesia
harus mantap dulu di forum ASEAN. Indonesia harus mampu menjadikan
dirinya sebagai inisiator yang hebat di kalangan negara-negara ASEAN.
Harus mampu jadi pemegang remote control di ASEAN. Jangan malah
Indonesia kemudian ditinggalkan oleh Singapore atau negara-negara ASEAN
lainnya. Baru setelah Indonesia punya landasan dan modalitas yang kuat
di ASEAN, baru kemudian kita punya daya tawar yang kuat dengan Rusia.
Tanpa modalitas dan posisi yang kuat dari Indonesia di ASEAN, saya yakin
Rusia juga tidak akan menganggap penting Indonesia.
Indonesia harus mampu meyakinkan Rusia apa yang bisa didapat Rusia dari
Indonesia maupun ASEAN. Karena bagaimanapun juga di ASEAN ada 600 pasar
dan modal, dan ini akan menarik bagi negara manapun, termasuk Rusia.
Makanya Indonesia harus merebut dulu sebagai pemegang remote control-nya
dulu di ASEAN.
Namun ada hal berharga yang harus kita pelajari dari keberhasilan Rusia
dalam memanfaatkan tiga piranti politik luar negerinya. Rusia seperti
yang saya sebut tadi modalitas politik luar negerinya: Militer, IPTEK
dan Energi. Juga ada budaya dan warisan sejarah.
Dari ketiga piranti politik luar negeri yang ditekankan Vladimir Putin,
yang perlu kita cermati dalam memandang prospek kerjasama dengan Rusia
adalah di bidang militer. Kenapa sih Indonesia selama ini selalu
tergantung pada Washington? Meski kita tetap menjalin hubungan kerjasama
dengan Washington,saya kira kita perlu juga menoleh ke negara-negara
lain yang kiranya juga akan bisa membawa keuntungan yang lebih nyata.
Daripada sekadar beli senjata dengan murah, tapi kemudian kita ditekan
oleh Washignton. Seperti dalam bidang Demokrasi dan HAM.
Kenapa kita tidak menyerap inspirasi dari The Beijing Consensus? Yang
mana dalam hubungan bilateral sebuah negara, ditegaskan agar tidak
mencampuri urusan dalam negeri masing-masing negara. Yang ditekankan
adalah kepentingan strategis dari negara-negara yang terlibat dalam
kerjasama bilateral tersebut. Maka itu, dalam menjalin kerjasama
strategis dengan Rusia, bidang militer kiranya bisa jadi pertimbangan
yang cukup penting.
Ini penting karena selama ini selain Amerika, kita sebagai negara besar
juga mendapat rongrongan dari Malaysia, Singapura dan Australia. Karena
ingin melemahkan kekuatan strategis kita. Karena itu saya yakin
kelemahan dari BUMN industri strategis kita seperti PT PAL, PINDAD dan
PTDI, bukan karena kita tidak mampu mengelola manajemennya secara
professional. Melainkan karena adanya campurtangan dari negara-negara
yang secara geopolitik memiliki kepentingan langsung dengan Indonesia.
Terutama Malaysia, Singapore, Australia dan Amerika. Kita tidak
menafikan kemungkinan adanya konspirasi.
Sehingga kemandirian strategis kita akan selalu diganggu sampai kapan
pun. Maka itu, satu hal yang bisa dilakukan Indonesia untuk
mengembalikan fungsi-fungsi industr strategis adalah dengan Menggandeng
negara-negara seperti Rusia. Kenapa tidak?
Kita sebenarnya punya bargaining position yang kuat. Kita punya PTDI,
kita punya PINDAD, kita punya PAL, kita punya Krakatau Steel. Kita punya
lembaga aerotika nasional. Kita punya itu semua. Mulai dari dinamit
bahan peledak, senjata, kereta api, semua ada. Dan Rusia punya itu
semua. Kenapa kita tidak memanfaatkan itu.
Sekarang bagaimana prospek kerjasama strategis Indonesia dan Rusia di
bidang energy? Sekarang ini Pertamina mulai belajar lagi. Setelah sekian
tahun dalam posisi mapan, maka tak ada salahnya Indonesia mulai
mendekati perusahaan-perusahaan energi Rusia. Karena bagaimanapun juga
Rusia berpengalaman dari segi teknologi dan sebagainya. Indonesia sangat
berkepentingan dalam hal ini.
Karena seperti halnya Rusia, piranti politik luar negeri yang membuat
Rusia kuat dan diperhitungkan adalah kemampuan teknologinya. Dan saya
yakin Rusia mau bersedia membantu, meski saya yakin Rusia juga meminta
beberapa konsesi. Namum saya yakin tidak akan seserakah Amerika lah.
Karena dalam hubungan internasional, tidak mungkin lepas dari adanya
kerjasama timbal-balik. Take and Give.
Di bidang Pendidikan dan Kebudayaan, kerjasama dengan Rusia juga bisa
dimaksimalkan kemanfaatanya. Mengapa kita tidak mengirim para pelajar
dan mahasiswanya ke Rusia. Jangan kita terlalu terkagum-kagum dengan
Yale atau Harvard University di Amerika. Padahal di Rusia ada Patricia
Lumumba dan sebagainya. Yang pamornya pun tidak kalah menarik.
Satu hal yang saya perlu tekankan, Rusia ini jago dalam penguasaan Ilmu
Murni. Karena itu tak heran meski pernah kolaps, Ilmu Pengetahuan dan
Teknologinya tetap Berjaya. Rusia tidak pernah ketinggalan dengan Uni
Eropa dan Amerika. Rusia tak pernah ketinggalan dari Boeng atau Airbus.
Sehingga mereka bisa memproduksi pesawat-pesawat sipil yang dari segi
teknologi tidak kalah canggih.
Indonesia, Rusia dan G-20
Indonesia punya 4 channel untuk mengakses kerjasama dengan
Rusia. ARF, East Asia Community, dan APEC. Kita harus bisa meyakinkan
Rusia bahwa Indonesia juga pasar potensial bagi Rusia. Indonesia juga
bisa menyediakan bahan mentah yang bagus. Buruh yang affordable dan
terjangkau. Selain itu kita punya kemitraan strategis dengan Rusia.
Karena itu langkah strategis Indonesia, adalah memperkuat komitmen
dalam menerapkan kemitraaan strategisnya baik dengan Cina maupun India.
Dalam konteks BRICS, Indonesia sudah saatnya menjalin berbagai peluang
kerjasama dengan Afrika Selatan, meski secara kawasan jauh dari wilayah
Indonesia. Di Afrika Selatan mereka punya South African Development Cooperation.
Kenapa Indonesia tidak masuk ke sana? Padahal Cina, Malaysia, India,
sangat agresif menjalin kerjasama dengan Afrika Selatan. Negara-negara
tersebut memandang Afrika sebagai Promising Land dari segi kesempatan.
Dalam bidang kelautan, perikanan, pariwsita dan transportasi, layak
diperhitungkan. Apalagi ada fakta jumlah turis dan investasi Rusia di
Bali, ada gradasi meningkat. Sekadar catatan, meningkatnya investasi
Rusia secara agresif di India, ternyata menyumbang peningkatan
pertumbuhan ekonomi lokal di India. Karena itu Indonesia seharusnya
memaksimalkan kerjasama dengan Rusia di bidang pariwisata.
Tentu saja dalam menjalin kerjasama dengan Rusia, tidak dibuat dengan
meniru karakter perjanjian kerjasama Indonesia dan Amerika yang sangat
berat sebelah. Harus setaraf dan saling menguntungkan.
Rusia punya beberapa agenda strategis yang perlu diketahui Indonesia
sebagai latarbelakang untuk menyusun konsepsi kerjasama strategis dengan
Rusia. Yaitu:
1. Mengembalikan Rusia sebagai Negara Superpower.
2. Menjadi Penyeimbang Global.
3. Keluar dari Cengkraman Amerika dan Negara-Negara Barat.
4. Menjadikan dirinya sebagai Peace Conflict Catalisator
Yang menarik, Rusia sekarang sedang berusaha untuk menciptakan konsepsi
perdamaian yang berada di luar skema pemahaman Amerika dan Uni Eropa.
Jadi lebih merujuk pada Scandinavian School. Sehingga
negara-negara otonom seperti Rusia dan Cina berusaha menciptakan
konsepsi perdamaian tidak sebagaimana dipaksakan oleh Amerika dan Uni
Eropa.
Kehadiran Rusia di APEC maupun G-20, karenanya harus dipandang sebagai
momentum Rusia untuk menjadikan dirinya sebagai negara adidaya di bidang
ekonomi. Karena sewaktu perang dingin, Rusia sebenarnya hanya sekadar Diabled Superpower. Selama 70 tahun Rusia Cuma jadi negara superpower tanpa kekuatan ekonomi dan keuangan.
Prestasi Rusia di bidang ekonomi adalah berhasil melunasi semua
hutang-hutangnya kepada IMF hanya dalam waktu kurang dari satu dekade.
Pertumbuhan ekonominya juga meningkat secara signifikan. Ini jelas harus
jadi inspirasi buat Indonesia. Karena dari segi sumberdaya manusia,
kandungan kekayaan sumberdaya alamnya, luas wilayah secara geografis dan
jumlah penduduk, Indonesia dan Rusia sebenarnya tidak terlalu jauh
perbedaannya.
Jadi kalau Rusia bisa, kenapa Indonesia tidak. Karena itu yang harus
jadi inspirasi adalah, membangun formasi dan formulasi kepemimpinan
nasional kita. Vladimir Putin itu harus jadi inspirasi bagi Indonesia.
Setidaknya Rusia di bawah kepemimpinan Putin, bangsa Rusia sekarang
kembali punya martabat dan kebanggaan nasional. Sehingga Rusia memiliki
nilai tawar yang cukup tinggi di hadapan negara-negara lain.
Karena itu, Indonesia harus menyadari bahwa forum APEC dan G-20
merupakan manifestasi dari pembuktian kapasitas ekonomi dan perdagangan
Rusia. Melalui APEC dan G-20, Rusia bermaksud unjuk kekuatan sekaligus
success story bahwa Rusia punya asset menarik dan berharga sebagai dasar
untuk tawar-menawar.
Tersirat bahwa Rusia, juga tertarik untuk menjalin kerjasama di Timur
Jauh. Hadir di Kawasan Asia Pasifik. Mengimbangi kehadiran Amerika dan
Jepang. Hal inilah yang harus dimanfaatkan oleh Indonesia. Karena itu
kita harus bisa secara cerdas memanfaatkan negara-negara seperti Rusia
untuk kepentingan strategis Indonesia. Kita harus menumpang “ajian”
Rusia.
Selain itu para pemangku kebijakan strategis Indonesia juga harus
menyadari bahwa forum APEC dan G-20 menjadi ajang interaksi dan upaya
untuk melakukan konstruksi mekanisme balance of power. Sehingga
sekaligus juga menciptakan ruang baru bagi manajemen kepentingan dan
manajemen strategis terkait dengan kepentingan geostrategis yang tadi
saya sampaikan.
Yang
perlu digarisbawahi, Rusia datang ke Asia Pasifik dan Timur Jauh, bukan
untuk membuat konflik baru, melainkan ingin menghiasi konflik itu,
semacam membuat interior design, sehingga konflik yang berlangsung
selama ini bisa lebih mengarah ke tren yang lebih positif di masa depan.
Dengan demikian, untuk ringkasnya, Indonesia harus memanfaatkan
kemitraan strategis dengan Rusia, khususnya dalam meningkatkan kapasitas
dan kapabilitas dalam bidang Ilmu Pengetahuan Teknologi, khususnya di
bidang perangkat keras di bidang Industri strategis khususnya milter,
ruang angkasa, transportasi, pertambangan dan pertanian.
Dalam bidang peningkatan kapastias SDM, sudah selayaknya
mempertimbangkan kerjasama bidang riset dengan Rusia. Maupun peningkatan
anggaran beasiswa baik dalam skema Bappenas maupun Pemerintah Rusia.
Pengadaan Alutsista/Alat Utama Sistem Persenjataan dan Perangkat Keras.
Sehingga Indonesia harus memperluas jaringan pasarnya ke Afrika, Asia
Tengah dan Caucasus.
|