JAKARTA-(IDB) : Setelah sangat
lama berlalu, apron Bandar Udara Haliwen, di Atambua, NTT, menjadi
ramai lagi saat rombongan Kepala Staf TNI AD (saat itu), Jenderal TNI
Agustadi Purnomo, mendarat di sana. Dia dan rombongan memakai helikopter
"raksasa" yang baru dimiliki TNI AD, Mil Mi-17.
Dengan
diameter baling-balingnya sekitar 26 meter, sapuan dan kekuatan angin
(whoosh) dalam putaran dua mesin Klimov TV3-117VM berdaya 1545kW (2070
shp) itu membuat debu dan kerikil terlempar begitu saja. Delegasi yang
menyambut di darat harus menyingkir dulu untuk sementara waktu sebelum
baling-baling itu benar-benar berhenti berputar.
Dikatakan
sudah lama, karena Bandar Udara Haliwen yang berlokasi sekitar 30
kilometer dari garis perbatasan dengan negara Timor Timur itu pernah
ramai dengan aktivitas pesawat terbang pada masa-masa pra dan selama
Operasi Seroja berlangsung.
Begitulah,
kehadiran Mil Mi-17 berkelir hijau oliv itu menjadi tontonan tersendiri
bagi masyarakat Atambua dan sekitarnya setelah dia terbang sekitar 55
menit dari Bandar Udara Eltari, di Kupang.
Dinas
Penerbangan TNI AD (kini menjadi Pusat Penerbangan TNI AD), sejatinya
ingin dijadikan armada kavaleri udara yang handal; acuan dunia tentang
ini kira-kira seperti First Air Army Cavalry Division dari Angkatan Darat Amerika Serikat, yang memiliki sebarisan panjang helikopter dan persenjataannya.
Pusat
Penerbangan TNI AD, menurut data TNI AD, memiliki Skuadron 11/Serbu
berkedudukan di Pangkalan Udara TNI AD Ahmad Yani, Semarang, dengan
armada delapan Bell 205A-1, dan delapan NBell-412 yang telah
ditingkatkan kemampuannya. Lalu Skuadron 21/Serba Guna (di Lapangan
Terbang Pondok Cabe, Tangerang; 15 NBO 105CB yang dibuat PT DI berdasar
lisensi Messerschmidt Bolkow Blohm, Jerman).
Juga
Skuadron 31/Serbu yang berintikan Mil Mi-35P buatan Rusia. Helikopter
ini hadir di udara nusantara beberapa pekan sebelum Hari Juang Kartika
pada 2004, dengan kemampuan menghancurkan perkubuan musuh dan tank
sekaligus memberi dukungan tembakan udara pasukan. Di skuadron yang
berkedudukan di Pangkalan Udara TNI AD Ahmad Yani, Semarang, inilah juga
bersarang Mil Mi-17 itu.
Yang terakhir adalah
Skuadron 12/Serbu yang berkedudukan di Pangkalan Udara TNI AD Waytuba,
Lampung. Di sini ditempatkan Bell 412 EP, varian Bell 412 yang lebih
canggih lagi.
Pada 9 November lalu, satu Mil Mi-17 Skuadron 31 itu jatuh
di sekitar Pos Long Bulan Malinau, Kalimantan Utara. Helikopter seharga
sekitar 20 juta dolar Amerika Serikat perunit itu dinyatakan total loss dengan
13 orang meninggal dunia di tempat, dan enam luka bakar serius. Dari
korban tewas itu termasuk lima anggota TNI AD dan delapan warga sipil.
Inilah kecelakaan ketiga pada Mil Mi-17 sekaligus paling mematikan.
Bermula
dari Mil Mi-17 yang mengudara dari Bandar Udara Tarakan, pada pukul
09.00 WITA hari yang sama, sempat singgah di Desa Auping, untuk
mengangkut para pekerja pemborong pembangunan Pos Pengamanan Perbatasan
Indonesia-Malaysia di Long Bulan. Keterangan TNI AD menyatakan, pada
pukul 10.25 WITA, Mil Mi-17 itu mengudara menuju pos perbatasan itu dan
mendarat di titik pendaratan yang telah disiapkan.
Namun,
300 meter dari titik pendaratan, Mi-17 itu jatuh dari ketinggian
sekitar cuma 10 meter dari permukaan tanah. Diduga sementara, perubahan
kondisi cuaca mikro yang menyebabkan kecelakaan itu.
Sesungguhnya,
Mil Mi-17 telah menjadi produk ekspor menjanjikan pabrikannya; tidak
kurang 59 negara memakai helikopter itu dengan berbagai variannya. Belum
lagi badan-badan swasta dan internasional (semisal PBB) yang membeli
atau menyewa Mil Mi-17 itu. Dengan begitu banyak pemakai internasional
--selain faktor harga-- tentu performansi helikopter yang mendongak saat
"duduk" di landasan itu diakui.
Mulai dari
mesin utama, dua mesin Klimov TV3-117VM berdaya 1545kW (2070 shp)
dipilih untuk versi standar ekspor (seperti yang ada di TNI AD) itu
mengingat keperluan medannya tidak untuk ketinggian ekstra dan kondisi
geografis ekstrim. Jika ingin mesin lebih kuat, VK-2500 dengan daya 2500
shp bisa menjadi pilihan.
Rusia dikenal
dengan fungsionalitas, bukan pada "keindahan" model produk perangnya dan
ini juga terjadi pada Mil Mi-17. Kokpit diawaki dua penerbang dan satu
enjinir untuk membantu memonitor operasionalisasi berbagai sistem di
dalam pesawat udara itu. Instrumen-instrumennya juga sederhana dan mudah
untuk diamati secara visual.
Yang istimewa
adalah ruang di dalam "perut" Mil Mi-17 buatan pabrikan Kazan, Rusia
ini: sangat luas, dan menurut data produksinya, disebutkan bisa
mengangkut 35 personel bersenjata lengkap siap tempur, alias hampir satu
peleton penuh.
Atau bisa diisi 12 tandu
dengan tim medis dan peralatan kedokteran lapangan lengkap. Dia diklaim
bisa mengangkat beban sedikit di atas 3.000 kilogram hingga ketinggian
6.000 meter alias ketinggian Puncak Jaya di Papua.
Tangki-tangki
bahan bakar konformalnya mampu menerbangkan dia hingga radius 465
kilometer pada kecepatan ekonomis sekitar 240 kilometer perjam. Dia
memang tidak dirancang untuk ngebut, karena asasinya adalah helikopter
angkut yang bisa dipersenjatai, dengan laju pertambahan ketinggian
delapan meter perdetik.
Untuk ukuran helikopter, Mil Mi-17 (milik TNI AD adalah varian Mil Mi-17H) berukuran besar dengan panjang fuselage
sekitar 18 meter dan ketinggian 4,76 meter. Pintu rampa di bagian
belakang kabin utamanya memungkinkan pergeseran pasukan dan barang
secara cepat dan mudah.
Mil Mi-17 merupakan
penamaan untuk versi ekspor dari pabrikannya, Kazan; karena untuk
penamaan di dalam negeri Rusia, dia dinamakan Mil Mi-8, atau Mil Mi-8M Hip, menurut penamaan NATO. Ini juga helikopter angkut yang paling banyak variannya.
Di
Kalimantan Utara, Mil Mi-17H itu sedang menunaikan tugasnya, mewujudkan
pos perbatasan negara agar pasukan Indonesia bisa bertugas secara baik.
Di sana juga, salah satu kuda beban udara TNI AD itu jatuh.
Sumber : Antara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar