NATUNA-(IDB) : Sejak mendarat pertama kali di Tanah Air pada penghujung Agustus 2012, misi latihan besar untuk EMB-314 Super Tucano akhirnya tiba, yaitu saat tiga Super Tucano itu turut dalam latihan puncak TNI AU, Angkasa Yudha 2013, di Kepulauan Natuna, Kepulauan Riau.
Wilayah paling ujung di tepi Laut China Selatan itu dipilih dengan sejumlah alasan, mengingat perairan internasional itu diklaim lima negara, yaitu China, Brunei Darussalam, Viet Nahm, Filipina, dan Malaysia. Indonesia ada dalam "kawasan panas" sehingga kesiapsiagaan militernya menjadi keharusan.
Saat mendarat di Pangkalan Udara Utama TNI AU Halim Perdanakusuma, empat Super Tucano masih diberi nomor registrasi eksperimental, PT-Z01 hingga PT-Z04, persenjataan belum dipasang dan dilengkapi dua tangki eksternal.
Wilayah paling ujung di tepi Laut China Selatan itu dipilih dengan sejumlah alasan, mengingat perairan internasional itu diklaim lima negara, yaitu China, Brunei Darussalam, Viet Nahm, Filipina, dan Malaysia. Indonesia ada dalam "kawasan panas" sehingga kesiapsiagaan militernya menjadi keharusan.
Saat mendarat di Pangkalan Udara Utama TNI AU Halim Perdanakusuma, empat Super Tucano masih diberi nomor registrasi eksperimental, PT-Z01 hingga PT-Z04, persenjataan belum dipasang dan dilengkapi dua tangki eksternal.
Super Tucano buatan Empresa Braziliera de Aeronotica (Embraer) SA itu merupakan pengembangan dari EMB-312 Tucano, yang programnya diluncurkan pada 1995 sejalan program Sistema de Vigilancia da Amazonia
(SIVAM) yang menghendaki Angkatan Udara Brazil memiliki pesawat terbang
patroli dengan kemampuan penyerbuan darat dan pengintaian serta anti
gerilya.
Permintaan karakteristik dan spesifikasi itu dijawab Embraer SA dengan konsep pengembangan EMB-312, berupa pesawat tempur turbo-prop yang bisa dioperasikan dari pangkalan berfasilitas minimal, terpencil, kokpit modern full-glass,
dapat menahan beban +7g hingga -3,5 g, dan mampu dipadu-padankan dengan
berbagai sistem pengamatan/persenjataan Barat atau sebagian Timur.
Salah satu yang dijagokan, adalah pemasangan perangkat FLIR (forward-looking infra red) dan DLIR (downward-looking infra red) yang didedikasikan Brazil untuk memonitor pergerakan pesawat tempur lawan ataupun gerilyawan di darat.
Intinya, dia lalu menjelma menjadi pesawat tempur counter-intelligence dan surveillance.
Mesin yang menjadi pendorong juga mudah dirawat, yaitu Pratt &
Whitney PT6A-68A yang membangkitkan 1.600 shp disuplai tangki internal
695 liter avtur sehingga mampu menerbangkan dia pada radius 1.500
kilometer alias terbang selama 6,5 jam.
Peran lain Super Tucano adalah pesawat latih dasar dan lanjut penerbang tempur (menurut airforce techonology, Amerika Serikat), dan serang udara-darat atau udara-udara ringan dari satu atau dua penerbang yang duduk secara tandem.
Kinerja tempur pilot dan perwira persenjataan dijamin berkat fitur OBOGS (on-board oxygen generated systems), dan pengendalian dari tuas kemudi tunggal HOTAS (hands-on throttle and stick control) disuplai dari Northrop Grumman. Jadi, feel mengemudikan Super Tucano dan mengoperasikan sistem persenjataannya sangat identik dengan pesawat tempur jet canggih.
Sejak
awal dirancang, disadari bahwa perang asimetris akan makin menggejala
di banyak belahan dunia, di mana para milisi atau teroris dan gerakan
separatis akan melancarkan taktik semi gerilya atau malah gerilya
penuh.
Pada tengah dasawarsa '60-an, ada Rockwell OV-10E/F Bronco yang diakui sangat efektif memainkan peran dukungan udara dan lain-lain menentukan jalan pertempuran darat.
Indonesia pernah memiliki satu skuadron udara OV-10F Bronco yang sejak 2007 lalu dipensiunkan begitu saja dengan alasan efisiensi anggaran dan kesulitan perawatan.
Pada
saat kini, Korps Marinir Amerika Serikat malah berusaha menghidupkan
kembali armda OV-10 mereka ini dengan peralatan lebih canggih. Operasi
Seroja di Timor Timur, adalah palagan paling top dari kebolehan OV-10F Bronco ini.
Karena asasinya sebagai pesawat "pengganti" peran sejenis OV-10F Bronco itulah, maka Super Tucano dipersenjatai lima hardpoint sebagai
"cantelan" persenjataan di kedua sayap dan perut fuselage-nya, yang
mampu menggendong 1.500 kilogram beban. Dua senapan mesin 12,7 dipasang
di kedua sayapnya yang menyemburkan maksimal 1.100 peluru permenit.
Yang
menarik, kelima hardpoint itu bisa dipakai untuk bom berpenuntun alias
bom pintar udara-ke-darat atau udara-ke-udara, selain bom konvensional
Mk-82 atau Mk-84 udara-ke-darat. Brazil memasang misil buatan sendiri,
MAA-1 Piranha berpenuntun infra merah dari Orbita; yang mendapat pasokan data dari turet radar AN/AAQ-22 SAFIRE di sebelah FLIR/DLIR-nya.
Kembali
ke Kepulauan Natuna yang menjadi arena Angkasa Yudha 2013 ini. Dalam
skenario latihan Angkasa Yudha 2013 yang diperoleh, pasukan TNI AU
berupaya merebut kembali Pangkalan Udara Ranai, Kabupaten Natuna, yang
dikuasai oleh musuh dari "negara Musang".
EMB-314 Super Tucano, dalam Angkasa Yudha 2013 itu, tidak difungsikan penuh sebagai pesawat terbang recconaissance; melainkan CASA 212 Aviocar dari Skuadron Udara 4. Hasil "intipan" mereka ditindaklanjuti Hawk 109/209 dari Skuadron Udara 1 yang memainkan peran arm recconaissance.
Sasaran yang telah ditetapkan dan dikunci lalu dibombardir oleh gabungan F-16 Fighting Falcon (Skuradron Udara 3), Su-27 Flanker (Skuadron Udara 11), dan EMB-314 Super Tucano dari ketinggian lebih rendah.
Walau
beda konteks masa, namun penampilan dan akibat yang ditimbulkan dari
bom-bom udara-ke-darat itu cukup ampuh menghancurkan sasaran-sasaran
musuh. EMB-314 alias A-29 Super Tucano "membersihkan" sisa-sisa fasilitas dan pasukan musuh tersisa. Mirip dengan aksi A-10 Thunderbolt II dalam skala lebih kecil walau sama-sama mematikan.
Dengan loreng hijau dan gigi-gigi hiu bersorak merah-putih menyeringai itu, EMB-314 Super Tucano menyambar-nyambar sasaran-sasaran di sekitaran landas pacu berazimuth 180-360 itu.
Sumber :Antara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar