JAKARTA-(IDB) : Di tengah sinar matahari memanggang kulit, tua-muda
mengerumuni peralatan tempur. Ada yang mengagumi meriam buatan Prancis
yang larasnya menyundul langit. Lainnya berfoto dengan latar belakang
tank Leopard, lalu bergeser ke kendaraan taktis Komodo buatan Pindad.
Tak sedikit yang melihat kendaraan berpeluncur roket buatan Brasil.
Agak
ke tengah sedikit pengunjung antre menaiki kendaraan pengangkut pasukan
bikinan Rusia. Para pemuda apalagi anak kecil antusias menikmati
perjalanan keliling lapangan. Seorang asing yang mengenakan stelan jas
lengkap sibuk memotret kendaraan tempur (Ranpur) yang datang ke
Indonesia tahun lalu itu. Tak dinyana, saya pernah bertemu dengannya
ketika masih bertugas di kedutaan Jerman di Jakarta. Kolonel Bruno
Hasenpusch, atase pertahanan Jerman untuk Indonesia.
“Saya sudah
pensiun,” katanya sambil bersalaman. Sekilas terlihat pakaiannya basah
kuyup. Dulu ikut Seskoad? Benar-benar, jawabnya dalam bahasa Indonesia
beraksen Jerman.
Dia bertutur, Leopard itu dapat berjalan di lahan
gambut atau rawa karena di Jerman juga ada lahan berkarakteristik
serupa itu. Tambahan lagi, Leopard buatan Jerman sehingga Indonesia
dapat langsung melakukan alih teknologi dan berbagai bentuk kerjasama
lainnya. Juga lebih modern dari milik Singapura.
Penembak runduk
Di
dalam gedung, lebih banyak peralatan dan kendaraan militer serta jenis
senjata yang dipamerkan. Tak semua untuk maksud-maksud perang, tak
sedikit yang dapat dipakai untuk tujuan-tujuan damai.
Ruangan yang
mirip hangar ini disesaki lebih dari 600 perusahaan dari 55 negara,
termasuk Belarusia dan negara yang lebih terkenal dengan kuda Karabakh,
Azerbaijan. Agak di sudut, seorang bapak setengah memaksa anaknya supaya
mengangkat senapan yang beratnya 4,5 kg. “Ayo bu foto iu dengan HP
saja,” katanya.
Di tempat lain, seorang anak tiarap ala penembak
merunduk sambil membidik dengan menggunakan senapan mesin, yang larasnya
sepanjang satu meteran. Dia mau tiarap saja walaupun lantai karpetnya
sudah diinjak-injak ribuan pengunjung.
Pameran IndoDefense ke 4
yang ditutup Sabtu (10/11/2012) memang berwarna warni. Anak-anak itu
tidak sadar kalau senjata dan meriam sudah menyalak serta roket telah
melesat, mereka bakal menjerit-jerit. Apa yang mereka kagumi itu tak
lebih dari penyabut nyawa, memporak porandakan keluarga.
Kesan
bahwa benda-benda yang dipamerkan berbahaya memang nyaris tidak tampak,
bahkan lebih seperti mainan. Apalagi para penjaga stand berpakaian
rapih, suka memberi permen dan cindera mata. Brosurnya juga bagus-bagus.
Industri
militer penuh kontradiksi. Di sana berkumpul kaum cerdik pandai untuk
membuat peralatan yang makin ringan, jangkauan efektif yang makin jauh
dan makin akurat. Mereka juga membuat amunisi yang makin lama makin
canggih. Lebih kecil namun berdaya ledak lebih hebat, serta bisa mencari
sasaran sendiri.
Kalau dulu bom ‘Fat Albert’ yang dikendalikan
komputer atau laser sangat dikagumi, sekarang sudah dianggap biasa. Bila
sebelumnya bom hanya dapat meledak di permukaan, sekarang mampu
menembus benteng dan meledak di dalam.
Meriam buatan Prancis itu,
kalau sudah ditekan tombolnya maka mereka yang sedang makan toge goreng
jauh di Bogor sana bisa jadi korbannya. Kalau tipe amunisinya seperti
pacar wutah, maka ibu-ibu yang sedang membeli tas di Tajur turut terkena
dampaknya. Amunisi serupa ini terurai menjadi makin kecil dan makin
kecil lagi lalu kemudian masing-masing meledak hingga radius ledakan
meluas, yang terkena makin banyak.
Industri militer memiliki pula
nuansa-nuansa ekonomis. AS mengekspor peralatan militer senilai US$10
miliar pada tahun lalu. Perekonomian negara bagian Washington, Missouri
dan Maryland akan terpengaruh jika proses produksi Boeing dan Lockheed
Martin melesu.
Produk-produk militer kendati penuh kontradiksi
tetap diperlukan sebagai kekuatan penjera. Meskipun dalam konteks daya
tahan nasional, kekuatan militer hanya merupakan salah satu di samping
unsur kelekatan nasional, kekuatan ekonomi, sosial dan lain-lain.
Wajib militer
Indonesia
perlu memiliki kemampuan militer yang tangguh sebab dikelilingi dengan
negara-negara yang suka menekan jika Indonesia lemah. Sikap Australia
misalnya, suka berubah-ubah sebagaimana ditunjukkan dalam masalah Timor
Timur. Bandingkan antara kebijakan Perdana Menteri Gough Whitlam dengan
John Howard.
Begitu juga dengan Malaysia dan Singapura terhadap
Indonesia. Bila Kapal Malaysia berani berhadapan dengan kapal Indonesia,
maka Singapura cerdik dalam berunding dan menjerat dengan pasal-pasal
yang mengikat. Contohnya dalam soal gas. Indonesia harus terus
mengekspor ke negara itu meski Indonesia kekurangan gas.
Maka dari
itu terasa aneh bila ada para pihak di dalam negeri yang tidak ingin
militer Indonesia kuat atau keberatan dengan industri militer domestik
yang mampu mencukupi keperluan. Apalagi kalau diingat bahwa
negara-negara yang maju perekonomiannya itu, rata-rata menerapkan wajib
militer bagi warganegaranya.
Melalui wajib militer mereka menjadi
warganegara yang disiplin dan tak kenal menyerah. Karakter yang
diperlukan buat menghasilkan produk ekspor yang laris dan tidak begitu
peka dengan gejolak nilai tukar mata uang. Mereka juga tak mungkin
menjual tanah dan air, sekalipun bujukan globalisasi bertubi-tubi sebab
merasa bertanggung jawab atas masa depan bangsa dan negaranya.
Kekuatan
militer Indonesia boleh dibilang tertinggal dilihat dari aspek jumlah
dan kualitasnya. Bila terjadi perang, mungkin saja Indonesia hanya dapat
bertahan tiga bulan lalu kabur ke hutan. Itupun hutan sawit.
Sebenarnya
tak satu negara pun yang ingin terlibat secara langsung dalam
peperangan karena dampaknya sangat merusak. Defisit yang dialami AS
dewasa ini, awalnya antara lain lantaran anggaran tidak dipakai kegiatan
ekonomi yang produktif, namun digelontorkan bagi industri militer.
Bagi
Indonesia, penambahan kekuatan militer perlu sebagai kekuatan penjera
dan pembangkit rasa bangga. Sebagaimana diketahui kebanggaan nasional
tengah melorot karena ketidakberdayaan birokrasi dan demokrasi yang
kebablasan. Bayangkan, orang perorang bisa memaki atau menilai lambang
negara dengan seenaknya.
Kekuatan militer juga dapat dipakai untuk
keperluan damai mengatasi dampak bencana alam. Jangan sampai pengalaman
menangani dampak tsunami di Aceh terulang lagi. Ketika itu,
negara-negara asing lebih banyak membantu karena Indonesia kekurangan
pesawat angkut akibat embargo AS dan juga tak punya peralatan komunikasi
lapangan hingga menggunakan peralatan milik Singapura.
Keharusan memilih
Para
pejabat tengah dihadapkan kepada keharusan memilih. Membiarkan
Indonesia lemah atau kuat. Tampaknya yang dipilih adalah alternatif
kedua. Anggaran militer Indonesia pada 2012 mencapai Rp64,4 triliun.
Pilihan
ini sejalan prinsip, jika ingin damai bersiaplah untuk perang. Atau
seperti yang dikatakan Zbigniew Brezezinski…bila tercetus perang nuklir
maka dampaknya sudah diketahui. Jadi yang terpenting adalah sebelum
terjadinya perang nuklir tersebut.
Bagi Indonesia yang tak
memiliki senjata nuklir, kekuatan militer merupakan kekuatan penjera,
pembangkit kebanggaan nasional dan penopang lahirnya masyarakat yang
sejahtera. Bukankah Hercules juga dipakai buat membawa beras dan
terkadang kambing, bukan hanya untuk terjun HAHO (high altitude high
opening) dan HALO (high altitude low opening)?