ANALISIS-(IDB) : Suatu hari, Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Obama, bilang begini:”Kami tak takut kepada China.”
Ucapan ini disampaikan Obama di Darwin, sehari setelah diteken kesepakatan dengan Pemerintah Australia,November tahun lalu. Kesepakatan itu adalah soal penempatan 2.500 marinir AS di Darwin, Australia.
Obama boleh berkelit, tapi fakta di lapangan berbicara lain. Mau tahu, saat ini sejumlah pangkalan militer AS di Jepang, Guam, dan Australia melingkari wilayah China.
Jadi, kalau Obama bilang AS tak khawatir kepada China, itu tentu saja menggelikan. Soalnya, China sekarang, beda dengan China yang dulu. Sekarang, negeri berpenduduk 1,3 miliar jiwa itu maju sangat pesat, baik di bidang ekonomi, politik, maupun pertahanan.
Nah, tiga pilar kekuatan itulah yang saat ini begitu memengaruhi negara-negara di Asia. Lihat saja misi yang dibawa Menteri Luar Negeri AS, Hillary Rodham Clionton, dalam kunjungan 3-4 September lalu ke Jakarta. Selain meningkatkan hubungan kemitraan bilateral dengan Indonesia, Hillary juga mengangkat isu yang belakangan ini mulai membuat risau Washington, yakni ketegangan di Laut China Selatan.
Dan, yang tak kalah menarik, menurut banyak pihak, Hillary juga membawa agenda ekonomi untuk mengamankan kepentingan AS di Indonesia. Maklum, AS begitu khawatir atas dominasi ekonomi China di kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Apalagi, saat ini perekonomian AS sedang morat-marit.
Dominasi China
Memang, sejak Perjanjian Perdagangan Bebas Cina-Asean (Asean-Cina Free Trade Agreement/ACFTA) diberlakukan 1 Januari 2010, barang-barang China mulai dari peniti hingga mesin modal membanjiri pasar Indonesia. Maklum, dengan bea masuk 0%, barang-barang China leluasa masuk ke Indonesia. Sebelumnya, barang China sudah membanjiri pasar Indonesia dengan harga yang sangat murah.
ACFTA memang membuat China makin bergairah menyerbu pasar Indonesia. Bahkan, beberapa perusahaan raksasa China terus hadir dalam berbagai pameran teknologi dan produk China. Hingga saat ini lebih 1.000 perusahaan China beroperasi di Indonesia, baik bidang infrastruktur, kelistrikan, energi, komunikasi, agrikultural, manufaktur dan sektor lainnya.
China juga dikabarkan sedang mengincar pertambangan di pegunungan Grasberg dan Ertsberg di Mimika, Timika, Papua, yang belum semuanya dieksploitasi oleh PT Freeport Indonesia. Di pegunungan ini masih terkadung biji tembaga, uranium, dan emas. Inilah salah satu alasan yang dikabarkan kenapa AS mendirikan pangkalan militer di Darwin.
Dalam beberapa tahun terakhir, boleh dibilang China merupakan investor paling agresif di sektor migas Indonesia. Pada awal 2002, CNOOC mengakuisi seluruh operasi migas Repsol-YPF senilai US$ 585 juta sehingga menjadikannya produsen minyak lepas pantai terbesar di Indonesia dengan output 125.000 barel per hari.
Selanjutnya September 2002, CNOOC juga menandatangani kontrak US$ 500 juta untuk membeli 2,6 juta ton per tahun gas alam dari Tangguh, Papua. Pada saat hampir bersamaan dengan akuisisi CNOOC atas Repsol-FPF, PetroCina juga berhasil membeli seluruh aset Devon Energy (AS) di Indonesia seharga US$ 262 juta.
Beberapa saat kemudian, PetroChina sudah mendapatkan kontrak kerja sama migas dengan Pertamina di Sukowati dan Tuban, lapangan migas yang bertetangga dengan Blok Cepu.
Sebelumnya, perusahaan-perusahaan raksasa AS mendominasi proyek migas, emas dan tembaga di Indonesia. Di minyak, ada ExxonMobil yang mengelola ladang-ladang minyak di negeri ini. Salah satu ladang minyak yang sempat mengundang kontroversi adalah blok Cepu, Bojonegoro.
Sebelum mereka malah sudah berdiri PT Freeport Indonesia, perusahaan emas dan tembaga kelas dunia yang beroperasi di komplekstambang pegunungan Grasberg dan Ertsberg di Mimika, Timika, Papua.
Di sektor pertambangan lain juga ada raksasa Newmont. Lewat PT Newmont Nusa Tenggara, perusahaan tambang emas asal AS ini beroperasi di Lapangan Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat.
Di bisnis jasa keuangan, beroperasi Citigroup lewat Citibank yang sudah cukup lama bermain di pasar Indonesia. Tahun lalu, Citibank masuk jajaran 10 bank dengan aset terbesar di Indonesia, serta menjadi bank asing teratas di Indonesia. Citibank juga memiliki jaringan di kota-kota besar di Indonesia.
ACC dan TPP
Perebutan pengaruh dua negara raksasa ini, yang paling kentara adalah ketika berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asean ke-19 di Nusa Dua Bali, 17-19 November tahun lalu. Yakni, ikutnya AS dan China dalam hajatan besar 11 negara anggota Asean.
China, misalnya. Negeri Tirai Bambu ini merangkul negara-negara anggota Asean untuk meresmikan Asean-China Centre (ACC). Untuk mendirikan ACC, China rela menjadi penyumbang terbesar hingga 90%, sementara sisanya dibagi rata 11 negara anggota Asean. Tujuan utama ACC adalah memperkuat perdagangan dua arah antara negara-negara Asean dan China.
Bila China merangkul Asean lewat jalinan ACC, AS datang dengan konsep Trans Pacifik Partnership (TPP) yang digagasnya. Inti dari konsep tersebut adalah menjadikan pasar Asean sebagai pasar baru bagi tujuan ekspor AS. “Kami berkomitmen total, all in, untuk hadir di Asean dalam bentuk TPP ini,” ujar Hillary saat itu. TPP juga dimaksudkan untuk mengimbangi Asean-Cina Free Trade Agreement (ACFTA) dengan kebijakan penghapusan bea masuk.
Posisi Asean memang sangat penting bagi ekonomi dunia. Dengan jumlah penduduk 558 juta jiwa dan sumber daya alam yang sangat berlimpah, Asean bakal menjadi penentu bagi masa depan Asia Timur dalam menggeser hegemoni ekonomi dunia. Asean juga akan menjadi pendukung ekonomi negara-negara industri Asia, seperti China, India, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru.
Nah, kini tinggal Indonesia harus bermain jeli melihat dua negara raksasa ini bertarung. Bila salah, Indonesia bisa terseret dalam konflik.
Sumber : Inilah