Banyak hambatan yang dihadapi KRI Dewaruci dalam ekspedisi kali ini.
Terutama cuaca buruk di tengah laut. Namun, berkat perhitungan yang jitu
juru navigasi Serma Nav Loka Gumilang dan Serka Nav Erik Sugianto,
Dewaruci sukses keliling dunia hingga kembali ke Indonesia empat hari
lalu.
SURYO EKO PRASETYO, Belawan
JPNN-(IDB) : Pelayaran di laut lepas identik dengan perjuangan menaklukkan gelombang tinggi yang siap menghadang. Cuaca buruk dan hujan badai menjadi santapan setiap saat. Tak terkecuali yang dialami Dewaruci dalam jelajah di empat benua kali ini.
Berbagai hambatan hampir tak habis-habisnya terhampar di laut lepas. Mulai dari Surabaya, Januari silam, hingga Papua, lalu menyeberangi Samudra Pasifik menuju San Diego di pantai barat Amerika Serikat. Setelah menyisir pantai barat dan memutari Terusan Panama, Dewaruci melewati Laut Karibia dan Teluk Meksiko.
Kapal kemudian mengarungi Samudra Atlantik menuju Eropa. Di benua biru itu, Dewaruci melintasi Laut Mediterania melalui Selat Gibraltar. Berlanjut ke Laut Merah lewat Terusan Suez dan Laut Arab via Teluk Aden. Lalu, kembali ke tanah air menyusuri Samudra Hindia dan Selat Malaka.
Jalur pelayaran internasional itu lazim ditempuh kapal-kapal berbadan besar, berbobot ribuan bahkan puluhan ribu ton. Tapi, Dewaruci yang beratnya tak sampai seribu ton (874 ton) ternyata sanggup mengarunginya dengan selamat. Berkecepatan jelajah tidak lebih dari 11 knot per mil (17,402 km per jam; 1 mil setara 1,582 km), saat diterpa ombak besar, kapal terasa seperti sabut kelapa yang terombang-ambing gelombang.
Meski sudah dilengkapi teknologi radar dan pendeteksi posisi (global positioning system), di tengah laut, peranti itu tak bisa menjadi acuan. Yang lebih utama justru insting juru navigasi dalam membuat jalur pelayaran di atas peta yang akan dilalui kapal. Sebab, jalur tersebut dibuat juga berdasar kondisi terbaru di lapangan.
Mulus tidaknya kapal melaju melewati gelombang besar, salah satunya, berdasar insting juru plotter. Misalnya, yang dijalankan Kepala Bagian Navigasi Serma Loka Gumilang, bintara navigasi tertinggi di Dewaruci.
"Sebelum bertugas ke Dewaruci, saya belajar banyak menyusun track di kapal penyapu ranjau," ungkap Loka yang baru saja naik pangkat dari sersan kepala ketika Dewaruci tiba kembali di Indonesia pada 1 Oktober 2012.
Selama enam tahun pertama menjadi tentara melalui jalur bintara pada 1999, Loka mendapat tugas di KRI Pulau Rengat, Satuan Kapal Ranjau Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim). Alumnus SMA Ta"miriyah Surabaya itu sering terlibat dalam aktivitas pembersihan ranjau laut sisa Perang Dunia II.
Ranjau-ranjau yang sebagian besar masih aktif sering sulit termonitor radar. Karena itu, butuh konsentrasi tinggi ahli plotter ketika kapal melintasi perairan yang banyak ditemukan ranjau.
Misalnya, di sepanjang wilayah utara Laut Jawa dan kawasan perairan timur Indonesia. Kawasan perbatasan tak luput dari operasi kapal ranjau dan kapal bantu untuk mengawasi alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) dari masuknya kapal-kapal asing ilegal. "Kalau tidak superhati-hati dan tidak tahu medan, kapal bisa hancur terkena ranjau laut," tuturnya.
Karir Loka melejit ketika dipercaya menjadi bintara utama di KRI Karang Tekok pada 2006"2010. Di satuan kapal bantu itu, suami Santi Pangesti Rahayu tersebut kerap terjun di berbagai operasi laut gabungan bersama Angkatan Laut Singapura.
Loka kembali dipercaya menjadi plotter utama ketika KRI Dewaruci menjalankan ekspedisi keliling dunia 2012. Sebab, tantangan melintasi alur pelayaran internasional lebih sulit karena kedalaman laut sering berbeda dari data di peta. Muhibah melintasi 12 negara di empat benua itu menjadi pelayaran terjauhnya.
"Walau sudah ada peta elektronik, masih banyak yang belum di-update. Apalagi peta hidro-oceanografi, banyak yang terbitan lama," kata kelasi yang genap 34 tahun pada 16 September lalu tersebut.
Juru plotter lainnya, Serka Nav Erik Sugianto, termasuk "orang lama". Dia ditempatkan di Dewaruci sejak lulus pendidikan pada awal 2000. Mantan Kabag navigasi (2005"2010) itu diandalkan dalam membuat jalur pelayaran dan menyusun hitungan terbit dan tenggelamnya matahari-bulan untuk jurnal laporan. Berkat insting dan perhitungannya, Dewaruci selamat dari badai dan insiden menabrak karang di perairan Okinawa, Jepang, 2004.
Kala itu, kapal usai berlayar dari Vladivostok, Rusia, dan dihadang badai saat mendekati Tokyo. Erik yang kebetulan piket di anjungan melihat awan cumulonimbus tidak jauh dari haluan Dewaruci.
Dia merekomendasikan kepada perwira navigasi dan komandan kapal Letkol Laut (P) Gig J.M. Sipasulta agar kapal cikar kiri (belok kiri frontal). Meski melawan track, langkah itu harus diambil untuk menghindari badai berkecepatan 65 knot (102, 83 kilometer per jam).
"Kapal sampai miring ke kiri terkena ekor badai. Itu kemiringan ekstrem selama saya di Dewaruci," kenangnya.
Di perairan yang sama, Dewaruci juga nyaris menabrak karang yang tidak terdeteksi radar dan peta. "Pengawas melaporkan ada karang tepat di haluan kapal berjarak 200 yard. Untung tidak sampai menggores lambung kapal," ujar suami kowal Serka Far Dewi Sulistyowati yang dinas di RS Marinir Gunungsari, Surabaya, dan ayah Al A"raaf Bintang Albire, 5, itu.
Dari kejadian tersebut, Erik jadi makin mantap dalam memperhitungkan kondisi medan. "Kalau juru navigasi ragu, perwira navigasi dan komandan ikut bingung," lanjut bintara berumur 33 tahun yang juga pemeran pujangga anom reog ponorogo tersebut.
Erik menambahkan, selama 12 tahun mengawal Dewaruci, sudah 50-an negara pernah disinggahi. Bahkan, pelaut asal Tulungagung itu bisa umrah sampai lima kali ketika Dewaruci singgah di Jeddah.
Hanya Australia yang belum pernah dia singgahi. Erik berharap suatu hari nanti bisa mengunjungi Negeri Kanguru itu bersama Dewaruci. "Kalau Allah masih menghendaki, rencananya tahun depan Dewaruci ke Australia. Mudah-mudahan saya bisa ikut," harapnya.
SURYO EKO PRASETYO, Belawan
JPNN-(IDB) : Pelayaran di laut lepas identik dengan perjuangan menaklukkan gelombang tinggi yang siap menghadang. Cuaca buruk dan hujan badai menjadi santapan setiap saat. Tak terkecuali yang dialami Dewaruci dalam jelajah di empat benua kali ini.
Berbagai hambatan hampir tak habis-habisnya terhampar di laut lepas. Mulai dari Surabaya, Januari silam, hingga Papua, lalu menyeberangi Samudra Pasifik menuju San Diego di pantai barat Amerika Serikat. Setelah menyisir pantai barat dan memutari Terusan Panama, Dewaruci melewati Laut Karibia dan Teluk Meksiko.
Kapal kemudian mengarungi Samudra Atlantik menuju Eropa. Di benua biru itu, Dewaruci melintasi Laut Mediterania melalui Selat Gibraltar. Berlanjut ke Laut Merah lewat Terusan Suez dan Laut Arab via Teluk Aden. Lalu, kembali ke tanah air menyusuri Samudra Hindia dan Selat Malaka.
Jalur pelayaran internasional itu lazim ditempuh kapal-kapal berbadan besar, berbobot ribuan bahkan puluhan ribu ton. Tapi, Dewaruci yang beratnya tak sampai seribu ton (874 ton) ternyata sanggup mengarunginya dengan selamat. Berkecepatan jelajah tidak lebih dari 11 knot per mil (17,402 km per jam; 1 mil setara 1,582 km), saat diterpa ombak besar, kapal terasa seperti sabut kelapa yang terombang-ambing gelombang.
Meski sudah dilengkapi teknologi radar dan pendeteksi posisi (global positioning system), di tengah laut, peranti itu tak bisa menjadi acuan. Yang lebih utama justru insting juru navigasi dalam membuat jalur pelayaran di atas peta yang akan dilalui kapal. Sebab, jalur tersebut dibuat juga berdasar kondisi terbaru di lapangan.
Mulus tidaknya kapal melaju melewati gelombang besar, salah satunya, berdasar insting juru plotter. Misalnya, yang dijalankan Kepala Bagian Navigasi Serma Loka Gumilang, bintara navigasi tertinggi di Dewaruci.
"Sebelum bertugas ke Dewaruci, saya belajar banyak menyusun track di kapal penyapu ranjau," ungkap Loka yang baru saja naik pangkat dari sersan kepala ketika Dewaruci tiba kembali di Indonesia pada 1 Oktober 2012.
Selama enam tahun pertama menjadi tentara melalui jalur bintara pada 1999, Loka mendapat tugas di KRI Pulau Rengat, Satuan Kapal Ranjau Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim). Alumnus SMA Ta"miriyah Surabaya itu sering terlibat dalam aktivitas pembersihan ranjau laut sisa Perang Dunia II.
Ranjau-ranjau yang sebagian besar masih aktif sering sulit termonitor radar. Karena itu, butuh konsentrasi tinggi ahli plotter ketika kapal melintasi perairan yang banyak ditemukan ranjau.
Misalnya, di sepanjang wilayah utara Laut Jawa dan kawasan perairan timur Indonesia. Kawasan perbatasan tak luput dari operasi kapal ranjau dan kapal bantu untuk mengawasi alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) dari masuknya kapal-kapal asing ilegal. "Kalau tidak superhati-hati dan tidak tahu medan, kapal bisa hancur terkena ranjau laut," tuturnya.
Karir Loka melejit ketika dipercaya menjadi bintara utama di KRI Karang Tekok pada 2006"2010. Di satuan kapal bantu itu, suami Santi Pangesti Rahayu tersebut kerap terjun di berbagai operasi laut gabungan bersama Angkatan Laut Singapura.
Loka kembali dipercaya menjadi plotter utama ketika KRI Dewaruci menjalankan ekspedisi keliling dunia 2012. Sebab, tantangan melintasi alur pelayaran internasional lebih sulit karena kedalaman laut sering berbeda dari data di peta. Muhibah melintasi 12 negara di empat benua itu menjadi pelayaran terjauhnya.
"Walau sudah ada peta elektronik, masih banyak yang belum di-update. Apalagi peta hidro-oceanografi, banyak yang terbitan lama," kata kelasi yang genap 34 tahun pada 16 September lalu tersebut.
Juru plotter lainnya, Serka Nav Erik Sugianto, termasuk "orang lama". Dia ditempatkan di Dewaruci sejak lulus pendidikan pada awal 2000. Mantan Kabag navigasi (2005"2010) itu diandalkan dalam membuat jalur pelayaran dan menyusun hitungan terbit dan tenggelamnya matahari-bulan untuk jurnal laporan. Berkat insting dan perhitungannya, Dewaruci selamat dari badai dan insiden menabrak karang di perairan Okinawa, Jepang, 2004.
Kala itu, kapal usai berlayar dari Vladivostok, Rusia, dan dihadang badai saat mendekati Tokyo. Erik yang kebetulan piket di anjungan melihat awan cumulonimbus tidak jauh dari haluan Dewaruci.
Dia merekomendasikan kepada perwira navigasi dan komandan kapal Letkol Laut (P) Gig J.M. Sipasulta agar kapal cikar kiri (belok kiri frontal). Meski melawan track, langkah itu harus diambil untuk menghindari badai berkecepatan 65 knot (102, 83 kilometer per jam).
"Kapal sampai miring ke kiri terkena ekor badai. Itu kemiringan ekstrem selama saya di Dewaruci," kenangnya.
Di perairan yang sama, Dewaruci juga nyaris menabrak karang yang tidak terdeteksi radar dan peta. "Pengawas melaporkan ada karang tepat di haluan kapal berjarak 200 yard. Untung tidak sampai menggores lambung kapal," ujar suami kowal Serka Far Dewi Sulistyowati yang dinas di RS Marinir Gunungsari, Surabaya, dan ayah Al A"raaf Bintang Albire, 5, itu.
Dari kejadian tersebut, Erik jadi makin mantap dalam memperhitungkan kondisi medan. "Kalau juru navigasi ragu, perwira navigasi dan komandan ikut bingung," lanjut bintara berumur 33 tahun yang juga pemeran pujangga anom reog ponorogo tersebut.
Erik menambahkan, selama 12 tahun mengawal Dewaruci, sudah 50-an negara pernah disinggahi. Bahkan, pelaut asal Tulungagung itu bisa umrah sampai lima kali ketika Dewaruci singgah di Jeddah.
Hanya Australia yang belum pernah dia singgahi. Erik berharap suatu hari nanti bisa mengunjungi Negeri Kanguru itu bersama Dewaruci. "Kalau Allah masih menghendaki, rencananya tahun depan Dewaruci ke Australia. Mudah-mudahan saya bisa ikut," harapnya.
Sumber : JPNN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar