SINGAPURA-(IDB) : Indonesia menyadari pentingnya Selat Malaka. Selat Malaka menjadi penghubung yang penting antara Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan. Setiap hari sekitar 400 kapal melewati Selat Malaka dan menjadi salah satu jalur laut terpadat di dunia.
Menteri Pertahanan Purnomo mengatakan Indonesia memperhatikan kepentingan negara-negara pengguna di Selat Malaka. Namun, Purnomo meminta negara-negara pengguna Selat Malaka untuk menghormati kedaulatan dan tanggung jawab utama negara-negara pantai sesuai dengan UNCLOS 1982.
"Atas dasar UNCLOS 1982 sebagai ketentuan hukum, Indonesia percaya bahwa berbagai kerjasama diperlukan untuk memajukan kepentingan negara-negara pengguna, serta menghormati tanggung jawab dan mengatasi masalah negara-negara pesisir," kata Purnomo Yusgiantoro saat berbicara pada The Shangri-La Dialogue di Singapura, Sabtu (2/6), seperti dilansir dalam siaran pers Pusat Komunikasi Publik Kemhan.
Dalam konteks melindungi kebebasan maritim, Menhan sempat menyinggung tentang konflik di Laut China Selatan. Purnomo menekankan pentingnya perdamaian dan stabilitas regional, dan kebebasan navigasi di Laut Cina Selatan berdasarkan prinsip hukum internasional yang diakui termasuk UNCLOS 1982.
Sengketa di Laut China Selatan, kata Purnomo, sangat kompleks teritorial dan yurisdiksi yang tumpang tindih. Karena itu, penyelesaiannya akan memakan waktu yang cukup lama.
Menurut Purnomo, sambil menunggu solusi dari sengketa teritorial, pilihan terbaik adalah fokus pada membangun kepercayaan untuk memastikan bahwa ada cukup prediktabilitas antara pengadu, termasuk aturan perilaku yang akan membantu meminimalkan kemungkinan eskalasi konflik.
Menurut Purnomo, meskipun Indonesia bukan negara yang bersengketa, Indonesia memiliki kepentingan teguh dalam perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan. Indonesia juga selalu siap untuk memfasilitasi dan berpartisipasi dalam upaya kolaboratif untuk kepentingan semua pihak dan saling menguntungkan.
Menhan menegaskan bahwa kebebasan maritim dan keamanan maritim seperti dua sisi mata uang yang sama. Untuk melindungi kebebasan maritim, ada kebutuhan yang sangat diperlukan bagi kita untuk menjamin keamanan maritim.
Menhan menegaskan kembali posisi Indonesia seperti yang dinyatakan dalam beberapa kesempatan, untuk benar-benar membangun keamanan laut yang komprehensif, laut harus bebas dari ancaman kekerasan, bebas dari bahaya navigasi, bebas dari kesusahan sumber daya alam, dan bebas dari ancaman pelanggaran hukum.
"Bebas dari ancaman kekerasan" berarti bahwa laut bebas dari kelompok orang yang membahayakan dan mengganggu aktivitas maritim. Ini dapat mengambil bentuk-bentuk pembajakan, perampokan bersenjata, atau terorisme.
Bebas dari bahaya navigasi berarti bahwa laut bebas dari ancaman yang ditimbulkan oleh kondisi geografis dan hydrographical buruk, atau tidak memadainya alat bantu navigasi, yang dapat membahayakan keselamatan pelayaran.
Bebas dari penderitaan sumber daya alam berarti bahwa laut bebas dari ancaman lingkungan seperti pencemaran laut dan bentuk-bentuk pengrusakan ekosistem laut. Bebas dari ancaman pelanggaran hokum adalah bahwa laut bebas dari pelanggaran hukum nasional dan internasional, termasuk penyelundupan, perdagangan manusia, illegal fishing, illegal logging dan lain sebagainya.
The Shangri-La Dialogue yang diselenggarakan oleh IISS, pada Jumat Malam (1/6) menghadirkan pembicara kunci Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden SBY menyampaikan pandangan Indonesia tentang kerjasama pertahanan dan perdamaian internasional.
Menteri Pertahanan Purnomo mengatakan Indonesia memperhatikan kepentingan negara-negara pengguna di Selat Malaka. Namun, Purnomo meminta negara-negara pengguna Selat Malaka untuk menghormati kedaulatan dan tanggung jawab utama negara-negara pantai sesuai dengan UNCLOS 1982.
"Atas dasar UNCLOS 1982 sebagai ketentuan hukum, Indonesia percaya bahwa berbagai kerjasama diperlukan untuk memajukan kepentingan negara-negara pengguna, serta menghormati tanggung jawab dan mengatasi masalah negara-negara pesisir," kata Purnomo Yusgiantoro saat berbicara pada The Shangri-La Dialogue di Singapura, Sabtu (2/6), seperti dilansir dalam siaran pers Pusat Komunikasi Publik Kemhan.
Dalam konteks melindungi kebebasan maritim, Menhan sempat menyinggung tentang konflik di Laut China Selatan. Purnomo menekankan pentingnya perdamaian dan stabilitas regional, dan kebebasan navigasi di Laut Cina Selatan berdasarkan prinsip hukum internasional yang diakui termasuk UNCLOS 1982.
Sengketa di Laut China Selatan, kata Purnomo, sangat kompleks teritorial dan yurisdiksi yang tumpang tindih. Karena itu, penyelesaiannya akan memakan waktu yang cukup lama.
Menurut Purnomo, sambil menunggu solusi dari sengketa teritorial, pilihan terbaik adalah fokus pada membangun kepercayaan untuk memastikan bahwa ada cukup prediktabilitas antara pengadu, termasuk aturan perilaku yang akan membantu meminimalkan kemungkinan eskalasi konflik.
Menurut Purnomo, meskipun Indonesia bukan negara yang bersengketa, Indonesia memiliki kepentingan teguh dalam perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan. Indonesia juga selalu siap untuk memfasilitasi dan berpartisipasi dalam upaya kolaboratif untuk kepentingan semua pihak dan saling menguntungkan.
Menhan menegaskan bahwa kebebasan maritim dan keamanan maritim seperti dua sisi mata uang yang sama. Untuk melindungi kebebasan maritim, ada kebutuhan yang sangat diperlukan bagi kita untuk menjamin keamanan maritim.
Menhan menegaskan kembali posisi Indonesia seperti yang dinyatakan dalam beberapa kesempatan, untuk benar-benar membangun keamanan laut yang komprehensif, laut harus bebas dari ancaman kekerasan, bebas dari bahaya navigasi, bebas dari kesusahan sumber daya alam, dan bebas dari ancaman pelanggaran hukum.
"Bebas dari ancaman kekerasan" berarti bahwa laut bebas dari kelompok orang yang membahayakan dan mengganggu aktivitas maritim. Ini dapat mengambil bentuk-bentuk pembajakan, perampokan bersenjata, atau terorisme.
Bebas dari bahaya navigasi berarti bahwa laut bebas dari ancaman yang ditimbulkan oleh kondisi geografis dan hydrographical buruk, atau tidak memadainya alat bantu navigasi, yang dapat membahayakan keselamatan pelayaran.
Bebas dari penderitaan sumber daya alam berarti bahwa laut bebas dari ancaman lingkungan seperti pencemaran laut dan bentuk-bentuk pengrusakan ekosistem laut. Bebas dari ancaman pelanggaran hokum adalah bahwa laut bebas dari pelanggaran hukum nasional dan internasional, termasuk penyelundupan, perdagangan manusia, illegal fishing, illegal logging dan lain sebagainya.
The Shangri-La Dialogue yang diselenggarakan oleh IISS, pada Jumat Malam (1/6) menghadirkan pembicara kunci Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden SBY menyampaikan pandangan Indonesia tentang kerjasama pertahanan dan perdamaian internasional.
Sumber : Jurnas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar