JAKARTA-(IDB) : Kontrak kerja antara Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dengan Director Naval Sale of Damen Schelde Naval Shipbuilding Evert van den Broek dipertanyakan Komisi I DPR RI. Rincian detail yang dilakukan pemerintah dinilai tidak berpihak kepada industri alutsista dalam negeri.
Meski begitu, kontrak tentang pengadaan Kapal Perusak Kawal Rudal 10514 telah dilaksanakan, Selasa (5/6) lalu. Rencana pengadaannya memang telah disetujui DPR RI. "Rencananya kapal perang itu akan dibangun di PT PAL dengan melibatkan para teknisi anak bangsa. Tapi ternyata rincian detail kontrak yang dilakukan pemerintah banyak dipertanyakan," kata Wakil Ketua Komisi I DPR, Tubagus Hasanudin, Rabu (6/6).
Hasanudin menjelaskan, kapal itu sekarang dipastikan akan dibangun di galangan kapal Belanda. "Dari nilai kontrak sebesar USD 220 juta, Indonesia (PT PAL) hanya mendapat pekerjaan sebesar USD 7 juta saja atau kurang dari 3 persen," ungkap Hasanudin.
Sementara, lanjut Hasanudin, untuk TOT (transfer of technologi), Indonesia malah harus membayar lagi sebesar USD 1,5 juta. "Belum lagi harus membayar untuk sistem senjata dan pelurunya," imbuhnya.
Menurut Hasanudin, kondisi kontrak semacam itu bertentangan dengan jiwa Keppres No 35 tahun 2011 tentang pengadaan alutsista terutama pasal 4 ayat 2 ( d ). "Di sana disebutkan, dalam pemenuhan kebutuhan alutsista TNI sekurang kurangnya memiliki syarat alih tehnologi/produk bersama untuk kepentingan pengembangan industri pertahanan dalam negeri," bebernya.
Untuk itu, kata Hasanudin, Komisi I DPR akan menanyakan rincian kontrak ini pada kesempatan pertama. "Mengapa harus memaksakan diri membeli dari Belanda" Padahal pabrik kapal Orizonte dari Italia menurut PT PAL sudah menawarkan diri bekerjasama membangun kapal itu di Indonesia dengan local content minimal 25 persen, dan siap melibatkan perusahaan lain seperti PT Pindad, PT Karakatau Steel dan lainnya," pungkas Hasanudin.
Meski begitu, kontrak tentang pengadaan Kapal Perusak Kawal Rudal 10514 telah dilaksanakan, Selasa (5/6) lalu. Rencana pengadaannya memang telah disetujui DPR RI. "Rencananya kapal perang itu akan dibangun di PT PAL dengan melibatkan para teknisi anak bangsa. Tapi ternyata rincian detail kontrak yang dilakukan pemerintah banyak dipertanyakan," kata Wakil Ketua Komisi I DPR, Tubagus Hasanudin, Rabu (6/6).
Hasanudin menjelaskan, kapal itu sekarang dipastikan akan dibangun di galangan kapal Belanda. "Dari nilai kontrak sebesar USD 220 juta, Indonesia (PT PAL) hanya mendapat pekerjaan sebesar USD 7 juta saja atau kurang dari 3 persen," ungkap Hasanudin.
Sementara, lanjut Hasanudin, untuk TOT (transfer of technologi), Indonesia malah harus membayar lagi sebesar USD 1,5 juta. "Belum lagi harus membayar untuk sistem senjata dan pelurunya," imbuhnya.
Menurut Hasanudin, kondisi kontrak semacam itu bertentangan dengan jiwa Keppres No 35 tahun 2011 tentang pengadaan alutsista terutama pasal 4 ayat 2 ( d ). "Di sana disebutkan, dalam pemenuhan kebutuhan alutsista TNI sekurang kurangnya memiliki syarat alih tehnologi/produk bersama untuk kepentingan pengembangan industri pertahanan dalam negeri," bebernya.
Untuk itu, kata Hasanudin, Komisi I DPR akan menanyakan rincian kontrak ini pada kesempatan pertama. "Mengapa harus memaksakan diri membeli dari Belanda" Padahal pabrik kapal Orizonte dari Italia menurut PT PAL sudah menawarkan diri bekerjasama membangun kapal itu di Indonesia dengan local content minimal 25 persen, dan siap melibatkan perusahaan lain seperti PT Pindad, PT Karakatau Steel dan lainnya," pungkas Hasanudin.
Sumber : JPNN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar