JAKARTA-(IDB) : Baru-baru ini Amerika Serikat memang setuju untuk memasok Turki sumber kode untuk mengakses sistem dan pengendali pesawat F-16 berikut perangkat lunaknya, sehingga Turki mampu memodifikasi dan mengembangkan teknologi sendiri terkait perangkat lunak persenjataan buatan mereka sendiri.
Namun ada beberapa catatan penting buat pelajaran bagi Indonesia. Meski Amerika setuju untuk memasok perangkat-perangkat untuk pengembangan dan rekondisi pesawat F-16 yang sesuai dengan kebutuhan Turki, namun Pemerintah Turki harus mengeluarkan anggaran biaya US$ 5,2 juta per pesawat. Wah, sangatlah mahal buat APBN Indonesia yang lagi rawan-rawannya seperti sekarang ini.
Itupun, hampir semua item-item dari peralatan terkait F-16 tersebut masih dipasok dari luar negeri. Berarti, tetap saja Turki masih terperangkap dalam ketergantungan terhadap para pemasok luar negeri.
Yang juga seharusnya jadi pertimbangan Indonesia, Turki walau bagaimanapun dianggap sekutu oleh Amerika Serikat dan pakta pertahanan NATO. Karena itu sama sekali tidak mengagetkan kalau empat tahun yang lalu, Turki membeli 30 unit pesawat tempur F-16C Blok 50, yang harganya US$ 60 juta per unitnya.
Artinya, dengan kepemilikian pesawat-pesawat tempur jenis ini, Turki bakal memiliki armada F-16 terbesar di dunia (sekitar 250 unit). Apa mungkin Amerika mau beresiko menjual pesawat F-16 kpada Turki, jenis pesawat tempur yang pernah digunakan Israel untuk membom gudang persenjataan nuklir Irak semasa pemerintahan Saddam Husein pada 1981? Amerika bersedia melepas F-16 ke Turki karena biar bagaimanapun Turki tergabung dalam Pakta Pertahanan NATO sejak 1952. Saat genting-gentingnya Perang Dingin antara Amerika-Eropa Barat versus Cina-Uni Soviet.
Karena itu Amerika juga tidak merasa khawatir ketika Turki bekerjasama dengan Pakistan, yang juga sama-sama sekutu Amerika, untuk memperbaharui jenis pesawat F-16 dari konfigurasi blok 15 yang sudah kadaluarsa, menjadi konfigurasi jenis blok 40.
Pakistan yang baru-baru ini dicabut embargonya oleh Amerika, maka bermuncullanlah beberapa perusahaan peralatan senjata berat, yang bersaing, untuk memperbaharui beberapa jenis pesawat tempur dan persenjataan buatan Amerika yang sudah tua dan kadaluarsa, namun masih digunakan oleh Angkatan Bersenjata Pakistan.
Begitulah. Pakistan dan Turki, sebagai sama sama sekutu Amerika dan NATO, seringkali menjalin kerjasama perdagangan yang cukup erat, dan bahkan mengembangkan industri perawatan dan pengembangan bagi pesawat-pesawat tempur buatan Amerika yang masih laik terbang. Dan Sekadar informasi, kerjasama Turki-Pakistan tersebut sepenuhnya mendapat persetujuan dan bantuan dari Amerika Serikat dan Israel.
Tak pelak lagi, pesawat F-16 merupakan pesawat tempur yang cukup hebat sejak perang dingin antara Amerika dan Soviet-Cina. Menurut berbagai informasi yang dihimpun tim riset Global Future Institute, ada sekitar 4200 yang sudah berhasil diproduksi saat ini.
24 negara sudah menggunakan pesawat jenis ini, dan masih ada 14 negara lainnya yang sudah memesan, meski sudah punya sebelumnya.
Dengan kondisi seperti ini, Indonesia dalam posisi yang tidak tepat jika merujuk pada keberhasilan Turki dan Pakistan dalam soal F-16. Karena bagaimanapun juga, di mata Amerika Indonesia bukan sekutu solid seperti Turki dan Pakistan.
Ketergantungan dalam soal teknologi dan suku cadang maupun sistem pengendalian kontrol pesawat yang masih di tangan Amerika sebagai pembuat pesawat, tetap rawan dan beresiko bagi Indonesia jika sewaktu-waktu pembelian persenjataan TNI kita diembargo Amerika seperti pada 1991-1992 lalu. Atau ketika sewaktu-waktu TNI AU kita harus berhadapan dengan angkatan udara Amerika, seperti ketika F-16 kita berhasil dikunci ketika seharusnya menembak pesawat Hornet F-18 AS ketika melintasi wilayah perairan Indonesia di Bawean, beberapa tahun lalu.
Itupun, hampir semua item-item dari peralatan terkait F-16 tersebut masih dipasok dari luar negeri. Berarti, tetap saja Turki masih terperangkap dalam ketergantungan terhadap para pemasok luar negeri.
Yang juga seharusnya jadi pertimbangan Indonesia, Turki walau bagaimanapun dianggap sekutu oleh Amerika Serikat dan pakta pertahanan NATO. Karena itu sama sekali tidak mengagetkan kalau empat tahun yang lalu, Turki membeli 30 unit pesawat tempur F-16C Blok 50, yang harganya US$ 60 juta per unitnya.
Artinya, dengan kepemilikian pesawat-pesawat tempur jenis ini, Turki bakal memiliki armada F-16 terbesar di dunia (sekitar 250 unit). Apa mungkin Amerika mau beresiko menjual pesawat F-16 kpada Turki, jenis pesawat tempur yang pernah digunakan Israel untuk membom gudang persenjataan nuklir Irak semasa pemerintahan Saddam Husein pada 1981? Amerika bersedia melepas F-16 ke Turki karena biar bagaimanapun Turki tergabung dalam Pakta Pertahanan NATO sejak 1952. Saat genting-gentingnya Perang Dingin antara Amerika-Eropa Barat versus Cina-Uni Soviet.
Karena itu Amerika juga tidak merasa khawatir ketika Turki bekerjasama dengan Pakistan, yang juga sama-sama sekutu Amerika, untuk memperbaharui jenis pesawat F-16 dari konfigurasi blok 15 yang sudah kadaluarsa, menjadi konfigurasi jenis blok 40.
Pakistan yang baru-baru ini dicabut embargonya oleh Amerika, maka bermuncullanlah beberapa perusahaan peralatan senjata berat, yang bersaing, untuk memperbaharui beberapa jenis pesawat tempur dan persenjataan buatan Amerika yang sudah tua dan kadaluarsa, namun masih digunakan oleh Angkatan Bersenjata Pakistan.
Begitulah. Pakistan dan Turki, sebagai sama sama sekutu Amerika dan NATO, seringkali menjalin kerjasama perdagangan yang cukup erat, dan bahkan mengembangkan industri perawatan dan pengembangan bagi pesawat-pesawat tempur buatan Amerika yang masih laik terbang. Dan Sekadar informasi, kerjasama Turki-Pakistan tersebut sepenuhnya mendapat persetujuan dan bantuan dari Amerika Serikat dan Israel.
Tak pelak lagi, pesawat F-16 merupakan pesawat tempur yang cukup hebat sejak perang dingin antara Amerika dan Soviet-Cina. Menurut berbagai informasi yang dihimpun tim riset Global Future Institute, ada sekitar 4200 yang sudah berhasil diproduksi saat ini.
24 negara sudah menggunakan pesawat jenis ini, dan masih ada 14 negara lainnya yang sudah memesan, meski sudah punya sebelumnya.
Dengan kondisi seperti ini, Indonesia dalam posisi yang tidak tepat jika merujuk pada keberhasilan Turki dan Pakistan dalam soal F-16. Karena bagaimanapun juga, di mata Amerika Indonesia bukan sekutu solid seperti Turki dan Pakistan.
Ketergantungan dalam soal teknologi dan suku cadang maupun sistem pengendalian kontrol pesawat yang masih di tangan Amerika sebagai pembuat pesawat, tetap rawan dan beresiko bagi Indonesia jika sewaktu-waktu pembelian persenjataan TNI kita diembargo Amerika seperti pada 1991-1992 lalu. Atau ketika sewaktu-waktu TNI AU kita harus berhadapan dengan angkatan udara Amerika, seperti ketika F-16 kita berhasil dikunci ketika seharusnya menembak pesawat Hornet F-18 AS ketika melintasi wilayah perairan Indonesia di Bawean, beberapa tahun lalu.
Sumber : Global