Pages

Kamis, Agustus 18, 2011

Indonesia Harus Mempunyai Pertahanan Yang Tangguh Dan Mumpuni

JAKARTA-(IDB) : Anggota Komisi I dari Fraksi PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo, mengatakan, Indonesia harus memiliki sistem pertahanan yang tangguh untuk mempertahankan dan menjaga kedaulatan NKRI. 

“Dana untuk pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang dianggarkan oleh pemerintah melalui Kementerian Pertahanan dalam RAPBN 2012 memang tidak terlalu besar. Tapi yang terpenting ada “blue print” dan ada pertanggungjawabannya,” kata Tjahjo di sela-sela peringatan HUT ke-66 RI di Lapangan Kantor DPP PDIP di Lenteng Agung, Rabu. 

Dalam pembacaan Nota Keuangan dan RAPBN 2012 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di DPR RI, Selasa, disebutkan bahwa alokasi anggaran untuk Kemhan sebesar Rp64,4 triliun. 

Menurut dia, Indonesia merupakan negara yang besar, sehingga perlu didukung oleh sistem pertahanan yang kuat. 

“Kalau ingin pertumbuhan ekonominya baik, maka harus didukung oleh sistem pertahanan yang baik. Yang terpenting bisa dipertaggungjawabkan dan mampu meningkatkan industri pertahanan dalam negeri serta selalu siap siaga,” kata Tjahjo. 

Ia memperkirakan dana yang diputuskan oleh pemerintah itu dalam rangka blue print (Minimum Esensial Force/MEF) atau kekuatan pokok minimum pada 2024 nanti. 

“Saat ini kita sudah punya armada yang cukup, sudah punya kapal selam. Sistem pertahanan ini harus kuat,” ucap Sekjen DPP PDIP itu.

Sumber: KabarPolitik

Pengadaan Kapal Selam TNI AL Harus Dipercepat

Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo mengatakan, saat ini sejumlah negera tetangga Indonesia, terus meningkatkan kemampuan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Khususnya alutsista kapal selam, untuk mengawasi dan mengontrol negara satu dan lainnya lewat laut.

Malaysia misalnya mulai tahun depan akan segera menambah kapal selamnya, termasuk Australia. Sementera Singapura telah terlebih dahulu melakukan hal itu. Bahkan ada indikasi Singapura akan menambah jumlah kapal selamnya.

”Oleh karena itu, suka tidak suka dan mau tidak mau, Indonesia juga perlu mempercepat pengadaan kapal selamanya untuk menambah dari yang telah dimiliki. Ini untuk mengimbangi kekuatan negara tetangga. Jika tidak, kekuatan laut Indonesia yang lemah saat ini, akan semakin lemah dan mudah diintervensi negara lain,” ujar Tjahjo kepadapada Jurnalparlemen.com, Rabu (17/8).

Menurut Tjahjo, saat ini kebutuhan tambahan dua kapal selam bagi Indonesia telah mendesak. Komisi I akan terus mendorong pembahasan guna pengadaan kapal selam tersebut, terlepas dalam kondisi baru atau bekas. Namun yang penting memiliki spesifikasi yang standar.

”Masalah pertahanan laut negara ini tidak bisa main-main lagi. Terlebih kenyataanya negara tetangga kita saat ini sangat agresif dalam peningkatan alutsista-nya di luat. Pertanyaannya kan kemudian hal itu untuk apa dan ditujukan untuk siapa. Jelas ya untuk mengawasi Indonesia kan. Karenanya Indonesia harus mengimbangi hal itu,” kata Ketua Fraksi PDIP ini.

Lebih lanjut Tjahjo mengatakan, pengadaan dua kapal selam itu nantinya harus ditempatkan di Indonesia bagian utara dan selatan. Ke selatan di arahkan di Australia dan ke arah utara diarahkan ke Singapura dan Malaysia. Karena dua wilayah perairan itu memang lemah dalam pertahanan di kawasan laut Indonesia.

”Kawasan perairan Indonesia bagian utara dan selatan memang masih lemah hingga saat ini. Sementara kekuatan negara asing terus bertambah," ujarnya.
Menurut Tjahjo, Indonesia memang tetap perlu waspada dengan negara tetangga, yaitu Papua Nugini, Australia, Singapura dan Malaysia. Karena mereka adalah ’musuh’ yang paling dekat dengan Indonesia. Karena setiap  saat dan setiap waktu mereka terus mengawasi kekuatan pertahanan Indonesia dan terus berusaha meningkatkan alutsista-nya.

”Terutama Australia, negara tersebut telah nyata memiliki kepentingan besar untuk terus mengontrol Indonesia, baik lewat militernya maupun dengan cara lainnya. Ingat lepasnya Provinsi Timur-Timor, yang kini menjadi Negara Timor Leste, adalah nyata tidak lepas dari campur tangan Australia. Itu nyata dan riil. Sejarah pun telah bercerita hal itu lewat kesaksian mantan Presiden HB Habibie selama ini. Termasuk kondisi keamanan Papua yang terus bergejolak hingga saat ini, tidak lepas dari kepentingan Austrlia. Ini riil. Makanya kita tetap perlu waspada dan tidak lengah. Termasuk pemerintah tidak perlu terpengaruh manisnya diplomasi Australia selama ini, karena mereka bersikap dualisme untuk beberapa persoalan dengan Indonesia. Tidak konsisten,” paparnya sengit.

Dalam pembacaan Nota Keuangan dan RAPBN 2012 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di DPR RI, sebelumnya, disebutkan bahwa alokasi anggaran untuk Kemhan sebesar Rp 64,4 triliun. Dana tersebut termasuk untuk pembelian alutsista.

Sumber: Jurnamen

Kamera Pengintai Pengamatan Udara Lanud Abdulrachman Saleh Di Modernisasi

MALANG-(IDB) : Kementerian Pertahanan terus berupaya meningkatkan teknologi alutsista di lingkungan TNI. Seperti mengganti kamera pengintai dan pengamatan udara yang dimiliki Pangkalan TNI AU Abdulrachman Saleh dari SRS 2000 retina ke tipe lebih canggih.  

Kasubdit Teknologi Kementrian Pertahanan Kolonel TNI AU Taufik Arief mengatakan, penggunaan teknologi kamera pengintai lebih canggih dari yang dimiliki sekarang, untuk mendukung kepemilikan alutsista di lingkungan TNI AU. SRS 2000 retina akan diganti dengan tipe kamera di atasnya yang mempunyai daya jangkau lebih jauh serta hasil maksimal. 

"Kamera yang baru akan bisa digunakan pada siang dan malam hari, daya jangkaunya mencapai 7 Km atau 500 ribu feet," kata Taufik kepada detiksurabaya.com di Pangkalan TNI AU Abdulrachman Saleh, Kamis (18/8/2011).  Ia mengungkapkan, SRS 2000 retina dimiliki sejak tahun 2006 itu hanya mempunyai daya jangkau 10 ribu feet dan tidak dapat dioperasikan pada malam hari. Dengan kamera baru menggunakan jenis Kamera Hitachi ini akan mampu meningkatkan operasi militer di tanah air.  

"Kemampuan kamera yang baru ini tiga kali lipat dari SRS 2000 retina," ungkapnya.  Perubahan lamera baru ini juga diikuti dengan modifikasi alat pendukung seperti baterai serta perekam hasil pemotretan. Diharapkan hasil pemotretan atau rekaman video segera dapat ditransfer baik ke darat maupun kepada alata tempur lainnya. 

"Hasil pemotretan nanti bisa langsung dilihat di darat atau dikirim ke armada laut atau alutista darat lain, jadi tidak menunggu pesawat turun," tandasnya.  Untuk membangun alutista pendukung ini, kata dia, Kementerian Pertahanan menggandeng BUMN yang khusus membidangi alutsista tersebut, yakni LEN industri. 

Selain itu, insinyur lokal juga dilibatkan dalam membangun alat foto udara terbaru ini, dikarenakan modifikasi para insinyur ini diharapkan bisa menekan anggaran yang dikeluarkan.  "Kita mampu membangun kontruksi alat foto udara, dengan melibatkan insinyur yang dimiliki. Soal teknologi apa itu kamera, lensa kita masih impor," bebernya. 

Ia menambahkan, pada Oktober 2011 mendatang kamera pengintai dan pengamatan udara menghabiskan anggaran sebesar Rp 6 miliar ini bisa di uji cobakan. "Oktober nanti kita uji coba," ujarnya seraya meneliti kamera pengintai lama.  

Sementara Kepala Dinas Operasi Pangkalan TNI AU Abdulrachman Saleh Kolonel (penerbang) Novyanto Widadi menuturkan, pengembangan alutista ini merupakan program dari Presiden Susilo Bambang Yudhyono yang menharapkan angkatan bersenjata tanah air didukung oleh teknologi termodern dalam alutista.  "Ini program yang dijalankan kementerian pertahanan," tuturnya.

Sumber: Detik

STARLite Radar Demonstrates Dismount Tracking at Empire Challenge 2011

DT-(IDB) : At the U.S. Joint Forces Command's Empire Challenge 2011, Northrop Grumman Corporation successfully demonstrated the ability of its STARLite radar to provide Ground Moving Target Indicator (GMTI) data and Synthetic Aperture Radar (SAR) imagery to ground commanders in real time.

Flying on the company's Firebird optionally manned aircraft, STARLite demonstrated its Dismount Moving Target Indicator (DMTI) capability from a moving platform for the first time in a joint exercise.

STARLite also demonstrated its ability to cue other sensors on an aircraft and to function as part of a networked system using standard protocols. Empire Challenge marked the first time STARLite transmitted information through a Tactical Common Data Link from an unmanned aircraft under operational conditions.

"Our experience at Empire Challenge proved again that STARLite can give commanders the information they need to make tactical decisions in real time," said John Jadik, vice president of weapons and sensors for Northrop Grumman's Land and Self Protection Systems Division. "STARLite is the only production radar in its class that offers warfighters this combination of SAR, GMTI and DMTI capability."

During Empire Challenge, two different STARLite configurations were demonstrated. The baseline system plus an extended range antenna that will double the range capability of the radar took part in the exercise.

Northrop Grumman's AN/ZPY-1 STARLite Small Tactical Radar – Lightweight is the U.S. ArmyUnmanned Aircraft System. Each STARLite radar comes equipped with a complete software package for interfacing with U.S. Army systems, enabling easy operator control of the SAR maps and ground moving target detection features on standard Army maps. The AN/ZPY-1 leverages Northrop Grumman's experience acquired from the company's proven Tactical Endurance Synthetic Aperture Radar and the Tactical Unmanned Aerial Vehicle program of record for the MQ-1C Gray Eagle Radar programs.

Northrop Grumman is a leading global security company providing innovative systems, products and solutions in aerospace, electronics, information systems, and technical services to government and commercial customers worldwide.
Source: Defencetalk

Update : Bangkit PT DI, Bangkit Industri Pesawat Indonesia

SURABAYA-(IDB) : Sejarah pabrik pesawat di Indonesia selalu diwarnai kritikan pedas. Banyak yang menilai bahwa bangsa ini belum siap memiliki pabrik pesawat yang membutuhkan modal besar dan teknologi tingkat tinggi. Bahkan tak sedikit pula yang melihat pabrik pesawat hanya sekadar pemborosan.

Terlepas dari pro dan kontra. Keberadaan PT Dirgantara Indonesia (DI) atau dulu Industri Pesawat Terbang Nurtanio alias Nurtanio itu jelas memberi citra eksklusif sebagai bangsa pertama di Asia Tenggara yang mampu membuat pesawat terbang. Industri strategis ini juga mendorong kemandirian pertahanan sebagai solusi menghadapi embargo senjata yang pernah dialami negeri ini.

Ester Gayatri Saleh, Pilot Uji PT DI, boleh jadi satu dari sekian banyak masyarakat Indonesia yang berharap industri pesawat terbang Indonesia lebih berkembang. Ester yang sudah 27 tahun bekerja di PT DI, dari sejak Nurtanio, sejak awal memiliki kebanggaan bisa berkiprah di pabrik pesawat satu-satunya, dan pertama di Asia Tenggara.

Ester yang bertugas menerbangkan pesawat pesanan negara lain, sangat berharap industri pesawat PT DI kembali mendapat dukungan penuh pemerintah dan masyarakat Indonesia. Kebanggaan Ester tentu menjadi kebanggaan semua rakyat Indonesia, manakala pesawat karya putra-putri Indonesia, meramaikan lalu lintas penerbangan dunia.

Harapan PT DI akan bangkit dan bisa unjuk gigi di dunia internasional diungkapkan Budiman Saleh, Direktur Aircraft Integration PT DI. Dengan tenaga jumlah karyawan 4.300 personel, Budiman meyakini jika mendapat dukungan penuh, pesawat buatan Indonesia akan semakin banyak dilirik dunia. Dan tenaga-tenaga ahli Indonesia yang kini betebaran di pabrik-pabrik pesawat dunia, akan kembali dan berkarya untuk kemajuan industri pesawat Tanah Air.

PT DI kini terus mencoba untuk bangkit. Berbagai terobosan dilakukan, seperti mendesain pesawat kecil dengan kode N-219, dan membuat alat utama sistem senjata (alutsista) seperti heli serbu, kendaraan tempur dan hovercraft.

Sumber: Metrotvnews

PT PAL Siap Rebut Kembali Kejayaan Perkapalan Indonesia

SURABAYA-(IDB) : PT Penatarsan Angkatan Laut (PAL) Indonesia terus berupaya bangkit kembali dari `kemunduran` akibat gejolak perkapalan dunia. Harga kapal saat itu naik turun tak menentu. Sedangkan harga pelat sebagai bahan baku utama kapal, juga melambung tak keruan. Ditambah lagi minimnya order. Kini, PT PAL Indonesia siap merebut kembali kejayaan itu.

Menurut Direktur Utama PT PAL Indonesia Harsusanto, kondisinya kini sudah mulai membaik. Pesanan terus berdatangan, baik dari perusahaan dalam negeri seperti Pertamina yang memesan tanker 17.500 maupun dari luar negeri, seperti Italia.  Kementerian Pertahanan RI pun kini menunggu pesanannya, yakni tiga unit kapal cepat rudal dan satu unit kapal perusak kawal rudal.

Dengan kondisi itu, Harsusanto optimistis PAL Indonesia akan kembali berjaya di industri perkapalan. Hanya diakui selama perjalanan itu, ada sejumlah kendala, terutama soal importasi dengan pihak Bea Cukai. Kalau itu sudah diatasi, Harsusanto meyakini kembali melesat. Itu membanggakan karena proses pembuatan kapal 100 persen telah dikuasai putra-putra Indonesia.

Industri perkapalan PT PAL bermula jauh sebelum Indonesia merdeka. Adalah tahun 1822 Gubernur Jenderal V.D. Capellen yang pertama kali mencetuskan ide membangun industri perkapalan di Hindia Belanda. Industri perkapalan ini diharapkan akan mampu menunjang armada laut Kerajaan Belanda di wilayah Asia .

Seiring waktu berjalan, industri perkapalan yang diharapkan berdiri pada 1939 dengan nama Marine Establishment (M.E.). Pada tanggal 27 Desember 1949 diserahkan kepada Pemerintah Indonesia dan diubah menjadi Penataran Angkatan Laut (PAL).

Hingga kini peran dan fungsi PT PAL Indonesia tidak berubah, yaitu mendukung dan memberikan pelayanan pemeliharaan dan perbaikan kepada armada Angkatan Laut Indonesia. Setelah berubah menjadi Konatal (Komando Penataran Angkatan Laut), lalu Perusahaan Umum (Perum) PAL, dan kini menjadi PT PAL Indonesia (Persero).

Produk-produk yang telah dikuasai PT PAL, antara lain kapal patroli cepat lambung baja klas 57 m, kapal patroli cepat/kapal khusus lambung aluminium klas sampai dengan 28 m, kapal tugboat dan anchor handling tug/supply sampai dengan klas 6.000 BHP, kapal ikan sampai dengan 600 GRT, dan kapal ferry dan penumpang sampai dengan 500 pax.

Sumber: Metrotvnews

PT DI Jatuh Bangun Bangkitkan Industri Pesawat Indonesia

BANDUNG-(IDB) : Banyak yang menilai Indonesia belum siap memiliki pabrik pesawat yang membutuhkan modal besar dan teknologi tingkat tinggi. Banyak pula yang menganggap pabrik pesawat itu hanya sekedar pemborosan. Meski demikian, PT Dirgantara Indonesia (DI) terus berjuang membangkitkan pabrik pesawat sebagai citra eksklusif bangsa.

Dulu pabrik pesawat itu bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Keberadaan IPTN memberi citra eksklusif Indonesia sebagai bangsa pertama di Asia Tenggara yang mampu membuat pesawat terbang. Industri itu mendorong kemandirian pertahanan sebagai solusi menghadapi embargo senjata yang pernah terjadi di Nusantara.

Pada 1961, Kepala Staf Angkatan Udara membangun Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (Lapip) sebagai cikal bakal IPTN. Lapip menjalin kerja sama dengan industri pesawat Polandia, Cekop. Kedua industri itu kemudian membangun fasilitas manufaktur dan pelatihan sumber daya manusia. Kerja sama itu membuahkan pesawat terbang pertama buatan Indonesia berupa lisensi pesawat Cekop PZL 104. Julukan untuk pesawat baru itu yakni Gelatik.

Lima tahun kemudian, pemerintah membentuk Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (Lipnur). Lembaga itu kemudian berubah nama menjadi IPTN dengan BJ Habibie yang menjabat sebagai Presiden Direktur.

Sayang, langkah IPTN nyaris terjungkal saat krisis moneter menerpa. Bahkan Dana Moneter Internasional (IMF) melarang pemerintah membantu IPTN. Padahal IPTN merupakan industri strategis yang harus mendapat sokongan dari pemerintah. 

Akibatnya, proyek pengembangan pesawat N-250 tidak rampung ke tahap produksi. Perusahaan kekurangan biaya untuk sertifikasi. Sehingga pesawat yang desain dan konstruksi murni hasil karya anak bangsa itu mati suri. Indonesia pun terpaksa melupakan mimpi membuat pesawat jet N-2130 karena kendala biaya.

Di pertengahan tahun 2000, IPTN bangkit dan berganti nama menjadi PT DI. Industri itu pun mendapat pesanan ekspor pesawat seperti ke Thailand, Malaysia, Brunei, Korea, dan Filipina.

Namun PT DI kembali menemukan tantangan. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan industri itu pailit. Alasannya, industri itu tak mampu membayar utang berupa kompensasi, manfaat pensiun, dan jaminan hari tua para karyawan.

Keputusan itu dibatalkan. Namun lagi-lagi masalah keuangan membelit perusahaan tersebut. Kendati demikian, PT DI berusaha bangkit. Perusahaan kemudian membuat terobosan dengan mendesain pesawat kecil berkode N-219. Perusahaan pun membuat perlengkapan alutsista seperti heli serbu, kendaraan tempur, dan hovercraft.

Sumber: Metrotvnews

Industri Startegis Indonesia PT. Pindad

BANDUNG-(IDB) : Indonesia patut bangga memiliki industri strategis di bidang pertahanan. PT Perindustrian Angkatan Darat atau dikenal Pindad adalah satu-satunya pabrik senjata di Asia Tenggara.

Selain menjadi indikator kemampuan bangsa Indonesia di bidang industri presisi, keberadaan PT Pindad juga menjadi pondasi menuju kemandirian pertahanan Indonesia.

PT Pindad memiliki fasilitas industri di Bandung, Jawa  Barat, dan Malang, Jawa Timur. Fokus pabrik di Bandung adalah produksi senjata dan kendaraan tempur. Sementara pabrik di Malang, memproduksi amunisi dan bahan peledak.

Sumber: Metrotvnews

USAF to Conduct Study of F-22 Oxygen Generators

AMERIKA-(IDB) : Air Force officials continue to conduct an Aircraft Oxygen Generation study, with members of the Air Force Scientific Advisory Board taking the leading role.

Secretary of the Air Force Michael Donley directed the quick look study in the wake of recent F-22 Raptor incidents.

Officials seek to identify a common thread among the incidents and will report their findings to senior Air Force leaders to help prevent such incidents from occurring in the future.

In a July 13 memorandum to the secretary of defense, Secretary Donley noted that pilots flying the F-22 have reported in-flight, physiological events at a rate three times higher than crews from other similar aircraft. The symptoms are similar to those resulting from an inadequate oxygen supply which affected the performance of the pilots experiencing them in varied ways.

"The Air Force takes flying-related incidents seriously. We met with leaders, operators and maintainers in the F-22 community to talk about the Scientific Advisory Board's oxygen generation study," said Lt. Gen. "Hawk" Carlisle, the deputy chief of staff for Operations, Plans and Requirements, Headquarters U.S. Air Force. "As part of the meeting we were able to provide the latest information on the status of the study and address their concerns regarding a timely return to fly."

"This board is the secretary's brain trust," said Lt. Col. Matthew Zuber, the Air Force SAB executive director. "It utilizes the nation's best scientists and engineers to advise Air Force senior leadership on science and technology issues."

The SAB, composed of special government employees, works with Air Force officials to conduct three to five studies per year and advises the secretary and the chief of staff on the findings, Zuber said.

Zuber added the Air Force has expanded the scope of the scientific investigation beyond the F-22 to include such platforms as the F-35 Lightning II, T-6A Texan II, F-16 Fighting Falcon and the A-10 Thunderbolt II. The study has incorporated extensive ground testing and limited flight testing as well.

The SAB study panel investigation is supported by the F-22 System Program Office, the Air Force Safety Center, industry partners, Naval Air Systems Command and Air Force Research Labs.

"We're all in the same room and not holding back any effort to determine whether these events are related to hypoxia, air contaminants or other factors," Zuber said, adding that no possibilities have been eliminated.

This particular investigation, Zuber explained, involves a strong fact-finding analysis with deliberation among a cross-section of experts.

The study will benefit from technical data generated by flight test activities conducted at Edwards Air Force Base, Calif., laboratory tests conducted by Air Force Research Labs, and contractor personnel, he said.

"The zero-risk solution is not to fly, and that's not a long-term option; it's an inherently dangerous business to fly and fight wars," Zuber said. "We want to make sure we mitigate risks to a level that's appropriate for the urgency of the mission."

The SAB AOG study plans to provide the Air Force secretary and Air Force chief of staff interim reports prior to the final report projected for later this fall. Once complete, the product will be releasable to the general public.

Until the report is submitted, it would be inappropriate to speculate on potential outcomes of the study, Zuber said.
Source: Defencetalk

KRI Dewa Ruci Bersandar di Batam

BATAM-(IDB) : Kapal Republik Indonesia (KRI) Dewa Ruci yang membawa 82 taruna Akademi Angkatan Laut (AAL) tiba di dermaga Pelabuhan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau, pukul 08.00, Rabu (17/8/2011). Kedatangan KRI Dewa Ruci dari Bangkok, Thailand, itu disambut sejumlah kapal patroli Pangkalan Angkatan Laut Batam, dan kelompok nelayan di perairan Batam.

KRI Dewa Ruci berangkat dari Bangkok sejak 13 Agustus. KRI Dewa Ruci melakukan pelayaran di Asia dari Surabaya dengan rute Bitung, Sulut, Filipina, China, Thailand, Batam, dan kembali ke Surabaya.

Setiba di dermaga, para taruna, awak buah kapal, perwira, dan Komandan KRI Dewa Ruci Letkol Haris Bima diterima dan disambut antara lain oleh Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Batam Kolonel Iwan Isnurwanto, pejabat terkait, dan masyarakat setempat.

Selanjutnya, para taruna yang sudah siap dengan seragam dan pakaian khusus akan mengikuti upacara Kemerdekaan ke-66 RI di kantor Wali Kota Batam, dan menampilkan atraksi drum band.

Sumber: Kompas