Pages

Kamis, Juli 14, 2011

Indonesia Singapura Laksanakan Patroli Terkoordinasi


JAKARTA-(IDB) : Patroli Terkoordinasi (Patkor) antara Indonesia dan Singapura (Indosin) di sekitar Selat Singapura kembali dilaksanakan dengan melibatkan kapal perang TNI Angkatan Laut dan Royal Singapura Navy. Upacara pembukaan patroli tersebut dilaksanakan di  Batam baru-baru ini.

Patroli Indosin yang digelar ini merupakan patroli dibawah kendali operasi Gugus Keamanan Laut Komando Armada RI Kawasan Barat (Guskamlaarmabar) yang dikomandani Laksamana Pertama TNI D.A Mamahit., M.Sc.

Patkor Indonesia Singapura yang dilaksanakan kali ini merupakan patroli yang ke 77 dengan sasaran tercapainya peningkatan kemampuan kerjasama patroli antara unsur TNI Angkatan Laut dengan unsur Angkatan Laut Singapura dalam pengamanan Selat Philips dan Selat Singapura.

Pada pelaksanaan Patkor Indosin-77/11 TNI Angkatan Laut melibatkan empat Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) yakni KRI Siribua-859, KRI Boa-807, KRI Silea-858 dan KRI Sigurat-864. Sedangakan Angkaran Laut Singapura melibatkan dua Kapal Perangnya masing-masing RSS Resilience-92 dan RSS Blue Shark-PK 53.

Rencannya pelaksanaan Patroli Terkoordinasi Indonesia dan Singapura yang di pusatkan di Selat Singapura dan Selat Philips ini akan dilaksanakan selama kurang lebih enam puluh hari dengan melibatkan tiga ratus personel dari Angaktan Laut masing- masing Negara.

Sumber: Koarmabar

Update : Presiden SBY Lantik Perwira Remaja TNI

YOGYAKARTA-(IDB) : Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kamis pagi akan melantik 635 perwira remaja TNI angkatan 2011 di kompleks Akademi Angkatan Udara, Maguwo, Yogyakarta.

Kepala Negara menghadiri acara prasetya perwira dan juga mengambil sumpah 635 perwira remaja lulusan akademi militer, akademi angkatan laut dan akademi angkatan udara.

Data dari Puspen TNI, Taruna Akmil yang dilantik berjumlah 295 orang, Karbol Akademi Angkatan Udara yang dilantik berjumlah 124 orang dan kadet angkatan laut yang dilantik berjumlah 216 orang.


 

Usai menghadiri prasetya perwira dan pengambilan sumpah, Presiden beserta rombongan dijadwalkan bertolak menuju Jakarta dari Pangkalan Militer Adi Sutjipto sekitar pukul 12:30 WIB.

Presiden melakukan kunjungan kerja di Yogyakarta dan Magelang sejak Selasa (12/7). Selama di Yogyakarta, selain melantik perwira remaja, Kepala Negara juga memberikan pembekalan pada para calon perwira remaja, sementara di kompleks Akademi Militer Magelang, Presiden bertemu dan memberikan pengarahan pada perwira tinggi TNI serta perwira menengah setingkat Kolonel.

Presiden yang didampingi Ibu Negara Ani Yudhoyono dijadwalkan tiba di Jakarta sekitar pukul 13:30 WIB.

Sumber: Antara

Iran Akan Mengirim Armada Lebih Banyak di Perairan Internasional

TEHRAN-(IDB) : Angkatan Laut Republik Islam Iran akan mempertahankan kehadirannya di perairan internasional guna menjaga kepentingan negara. 
 
Wakil Panglima Angkatan Laut Republik Islam Iran, Laksamana Sayid Mahmoud Mousavi menyatakan, "Angkatan Laut Iran mampu menjaga kepentingan strategis Iran dan akan terus meningkatkan kekuatan militernya di perairan internasional." Demikian dilaporkan IRNA (13/7). 
Sayid Mousavi lebih lanjut menjelaskan bahwa Angkatan Laut Iran akan mengirim beberapa kelompok armadanya ke perairan internasional seraya menegaskan, "Angkatan Laut Iran siap hadir di wilayah mana pun dalam rangka menjaga kepentingan negara." 
Awal Juli lalu, sebuah kapal selam Iran bersama sejumlah kapal perang dari Armada 14 Angkatan Laut Iran, kembali dari misi selama dua bulan di Laut Merah dan Teluk Aden. 
Penempatan kapal selam Iran di Laut Merah merupakan yang pertama dalam misi jarak jauh Angkatan Laut Iran. Iran juga mengirim sejumlah kapal perangnya untuk menghadapi para bajak laut Somalia. 
Meningkatnya aksi perompakan di Teluk Aden, telah membuat jalur tersebut menjadi jalur paling berbahaya di dunia. 
Pada bulan Februari, dua kapal perang Iran, Khark dan Alvand, melintasi Terusan Suez, rute pelayaran strategis di Mesir, untuk pertama kalinya sejak kemenangan revolusi Islam Iran pada tahun 1979. 
Dalam beberapa tahun terakhir, Iran telah mencapai berbagai perkembangan di sektor pertahanan serta swasembada dalam memproduksi dan merawat persenjataan dan perlengkapan logistik. 
Namun pada saat yang sama, Iran berulangkali menegaskan bahwa peningkatan kekuatan militernya itu membawa pesan perdamaian bagi negara-negara regional dan tidak mengancam negara mana pun. Karena doktrin pertahanan Republik Islam Iran berdasarkan pada asas pencegahan. 

Sumber: Irib

Iran Kerahkan Pasukan di Perbatasan Kurdistan Irak

TEHRAN-(IDB) : Republik Islam Iran mengerahkan 5 ribu pasukan militer di barat laut negara ini yang juga perbatasan dengan wilayah Kurdistan Irak.
 
Menurut laporan tersebut, kekuatan militer ini ditempatkan di sepanjang perbatasan dengan Kurdi Irak, tepatnya di Sardasht. Penempatan pasukan Iran di Sardasht itu bertujuan menstabilkan wilayah perbatasan dan memerangi kelompok-kelompok kontra-revolusioner yang berusaha menyusup melalui wilayah tersebut.

Seorang komandan senior militer Iran belum lama ini mengatakan, "Dengan dukungan AS, Pemimpin Kurdistan, Massoud Barzani mengalokasikan tanah 300.000 hektar di Kurdistan untuk kelompok teroris, Party for a Free Life in Kurdistan (PJAK)

"Kelompok ini menggunakan tanah ini untuk melakukan kegiatan militer anti-Iran, " kata seorang komandan militer Iran.

PJAK merupakan kelompok yang berafiliasi Partai Buruh Kurdistan (PKK) yang dinyatakan sebagai kelompok teroris oleh banyak komunitas internasional, termasuk AS.

Selan itu, PKK memerangi pemerintah Turki sejak tahun 1984 dan menuntut independensi. Kedua organisasi teroris itu beraktivitas di kawasan perbukitan Kurdistan Irak. Wilayah perbukitan itu menjadi sarang aktivitas kelompok-kelompok teroris itu untuk melakukan terorisme di negara-negara tetangga, termasuk Iran. 

Sumber: Irib

Lagi-lagi Iran Sukses Gagalkan Aksi Perompak

TEHRAN-(IDB) : Kapal perang Angkatan Laut Iran telah menggagalkan serangan perompak laut terhadap sebuah kapal kargo di Samudra Hindia di pantai tenggara Somalia, Tanduk Afrika.
 
Kapal kargo Iran diserang pada Ahad pagi setelah sejumlah orang bersenjata mendekati kapal itu dengan beberapa perahu ringan berkecepatan tinggi, kata Wakil Komandan Angkatan Laut Iran Laksamana Sayyid Mahmoud Mousavi seperti dikutip IRNA, Selasa (12/7).

Dia menjelaskan bahwa kapal perang Iran yang berpatroli di kawasan itu bergegas menuju sasaran setelah menerima panggilan darurat, yang melaporkan adanya upaya tidak sah oleh beberapa orang.

Pelaut Iran berhasil menggagalkan serangan perompak setelah terlibat dalam kontak senjata. Tidak ada korban luka di antara para awak kapal Iran.

Sejalan dengan upaya-upaya internasional melawan pembajakan, Angkatan Laut Iran telah melakukan patroli anti-pembajakan di Teluk Aden sejak November 2008 untuk mengawal jalur perdagangan maritim dan lalu lintas kapal, khususnya kapal minyak atau kargo milik Iran. 

Sekjen Organisasi Maritim Internasional (IMO), Efthimios E. Mitropoulos pada Mei lalu mengakui efektifitas operasi anti-pembajakan yang dilakukan oleh Angkatan Laut Iran.

"Angkatan Laut Iran melakukan langkah efektif dalam memerangi bajak laut. Seluruh komunitas maritim berhutang budi kepada negara-negara yang telah bertindak untuk melawan pembajakan dengan mengerahkan pasukan," ujar Mitropoulos.

Seraya menyinggung kehadiran pasukan reaksi cepat Iran di daerah yang paling rentan terhadap serangan perompak, Mitropoulos mengatakan ia sebelumnya telah mengucapkan terima kasih atas upaya anti-pembajakan Iran dalam sebuah surat kepada duta besar Iran untuk Inggris.

Teluk Aden, yang menghubungkan Samudera Hindia dengan Terusan Suez dan Laut Mediterania, adalah rute tersibuk yang dilalui lebih dari 20.000 kapal setiap tahunnya tujuan Asia, Eropa dan Amerika.

Sumber: Irib

Jerman Redam Kekhawatiran Israel Soal Leopard

BERLIN-(IDB) : Menteri Pertahanan Jerman Thomas de Maiziere, Selasa (12/7) tiba di Tel Aviv untuk mengadakan pertemuan dengan para pejabat militer rezim Zionis Israel. Tujuan lawatan itu adalah memberi jaminan kepada Tel Aviv terkait kepentingan Israel dalam transaksi persenjataan dengan negara-negara Timur Tengah dan Arab.
 
Israel menentang penjualan tank-tank Leopard ke Arab Saudi dan Menhan Jerman bermaksud memberi jaminan kepada rezim itu bahwa Saudi tidak akan menggunakan Leopard terhadap kepentingan Israel. 

Pada 27 Juni lalu, Jerman memutuskan untuk menjual lebih dari 200 tank Leopard ke Arab Saudi menurut perjanjian multi-miliaran euro setelah dewan keamanan pemerintah negara itu memberikan persetujuannya. Der Spiegel mengatakan Saudi telah lama mengusahakan tank Leopard dari Jerman, tapi negara itu berualangkali menolak permintaan tersebut, dengan alasan itu bahaya bagi Israel.

Tank Leopard tergolong kendaraan perang canggih di dunia karena badannya berbalut baja kuat, gerak cepat, kemampuan menembak saat bergerak, punya kemampuan manuver tinggi dan mampu meredam demonstrasi jalanan serta dapat melewati segala rintangan. Seluruh model tank ini dilengkapi digital fire control system dengan laser rangefinder, meriam utama dengan kestabilan tinggi serta night vision dan peralatan pembidik. Tank ini juga memiliki kemampuan untuk berperang dengan sasaran bergerak walaupun melewati medan yang sangat sulit. 

Sebenarnya, Israel tidak mengkawatirkan kepemilikan tank Leopard oleh pemerintah Saudi saat ini, tapi mereka takut suatu saat nanti kepemimpinan di negara monarki itu jatuh ke tangan rakyat sebagaimana di negara-negara Arab lain.

Dari sisi lain, memperhatikan semakin dekatnya masa pembahasan proposal pembentukan negara merdeka Palestina di Majelis Umum PBB, maka isu ini termasuk fokus lain pembicaraan antara pejabat Jerman dan Israel. Sebuah delegasi Jerman baru-baru ini dalam pertemuannya dengan pemerintah Otorita Ramallah juga berupaya membujuk para pejabat Palestina agar mengurungkan niatnya untuk mencari dukungan pembentukan negara merdeka Palestina di Majelis Umum PBB.

Secara umum, Jerman dan Israel punya hubungan luas di bidang politik, militer, keamanan dan ekonomi. Pemerintah Jerman setelah Inggris dan Italia, terbilang sebagai negara ketiga pendukung Zionis di tengah kekuatan-kekuatan Eropa. Kerjasama itu terwujud dalam kegiatan saling kunjung antara pejabat Berlin dan Tel Aviv, penandatanganan kontrak-kontrak penting militer dan penjualan senjata canggih Jerman ke Israel, termasuk kapal selam bertenaga nuklir.

Transformasi baru-baru ini di Timur Tengah menunjukkan adanya perubuhan kondisi secara signifikan dan Arab Saudi dan Israel semakin saling membutuhkan. Oleh karena itu, penguatan militer Saudi selain bukan ancaman bagi keamanan Israel, tapi justru jaminan atas keamanan rezim ilegal itu, karena Riyadh akan menggunakan peralatan tempurnya untuk menumpas gerakan-gerakan rakyat di Saudi, Bahrain dan mungkin juga di negara-negara lain di Teluk Persia.

Sumber: Irib

Amerika China Saling Tuding Sebagai Biang Memanasnya Situasi Di Laut China Selatan

BEIJING-(IDB) : Kepala Staf Gabungan Militer Amerika Serikat, Mike Mullen, mengakhiri kunjungannya ke Cina dengan tanpa meraih hasil dalam menyelesaikan atau paling tidak mereduksi ketegangan berkepanjangan antara Washington dan Beijing. Bahkan friksi militer dan politik antara Cina terus mengganjal hubungan kedua negara. 
 
IRNA melaporkan, kunjungan itu dilakukan di saat Mullen mengetahui bahwa kehadiran militer Amerika Serikat di perairan selatan Cina telah membuat geram para pejabat tinggi Beijing. Namun Mullen mengatakan, "Amerika Serikat merasa bertanggung jawab untuk hadir di perairan selatan Cina." 

Para pejabat Cina menilai pernyataan tersebut merefleksikan watak intervesif Amerika Serikat. Kehadiran militer AS itu juga membuktikan bahwa Washington sama sekali tidak mempertimbangkan protes Beijing sebelumnya atas berbagai manuver yang digelar militer Amerika bersama dengan negara lain di dekat perairan Cina. 

Amerika sengaja menggelar manuver militer dengan Vietnam dan Filipina di perairan selatan Cina yang hingga kini masih dipersengketakan. 

Jika para pejabat Cina menilai kehadiran militer Amerika di perairan tersebut sebagai faktor penyulut perselisihan di kawasan, namun tampaknya kunjungan Mullen ke Beijing dimaksudkan untuk mengesankan bahwa Cina-lah yang menjadi biang friksi.

Dalam konferensi persnya di Cina, Mullen mengatakan, "Amerika Serikat mengkhawatirkan perselisihan kawasan laut di selatan Cina yang kaya sumber energi." 

Sama seperti para pejabat Amerika lainnya, Mullen dengan mudah menjustifikasi manuver militer AS bersama Vietnam dan Filipina dengan menyatakan, "Washington khawatir. Kami termasuk negara yang khawatir dan kekhawatiran tersebut benar. Terjadi banyak peristiwa di kawasan ini yang tidak menyenangkan." 

Koran Taipei Times dalam hal ini menulis, "Amerika Serikat mendukung Filipina dalam masalah sengketa laut selatan Cina dan berpendapat bahwa masalah ini sangat penting mengingat wilayah tersebut kaya sumber energi. Namun Cina berpendapat bahwa hanya negara-negara regional yang berhak menyelesaikan masalah ini tanpa campur tangan Amerika."

China Daily menyinggung janji Amerika Serikat dalam mendukung Filipina dalam kasus sengketa perairan selatan Cina itu, menulis, "Negara-Negara ASEAN tidak boleh membiarkan campur tangan pihak asing."

Kepala Staf Gabungan Militer Cina, Chen Bingde, mereaksi pernyataan Mullen dan menyatakan, "Amerika Serikat bersikap dan berkata kontradiktif. Mereka berbicara tentang penyelesaian damai friksi namun mereka menyatakan tidak akan meninggalkan kawasan. Mereka juga menggelar manuver militer. Mereka menurunkan pasukan namun pada saat yang sama berkoar tentang perundingan." 

Dalam kunjungannya, Cina menyatakan bahwa Cina adalah kekuatan baru dunia yang terus menguat setiap hari. Peritungan yang keliru akan mengakibatkan bahaya serius dan lepas kontrol di kawasan." 

Dengan mengakui bahwa Cina sebagai kekuatan besar yang terus berkembang, Mullen juga berusaha menggiring opini umum bahwa kekuatan baru dengan peritungan keliru itu akan mengancam kawasan dan besarnya kekuatan tersebut juga berbahaya bagi negara lain.

Perspektif Mullen itu semakin jelas ketika ia mengatakan bahwa "Kekuatan militer yang lebih besar harus dibarengi dengan tanggung jawab, kerjasama, dan transparansi yang lebih besar. Tanpa itu semua, kekuatan militer tersebut akan berwatak menjajah.

Para pemerhati menilai statemen Mullen itu merefleksikan hebatnya kekhawatiran dan kecemburuan para pejabat tinggi Gedung Putih atas peningkatan kekuatan Cina baik di sektor ekonomi maupun militer.

Sumber: Irib

Brunei and Singapore Conduct Pelican Exercises


TAIPEI-(IDB) : The Republic of Singapore Navy (RSN) and the Royal Brunei Navy (RBN) conducted the bilateral Exercise Pelican from July 10-13 in Brunei waters.
The RSN participated with a Formidable-class stealth frigate (RSS Stalwart), while the RBN joined the exercise with a new Darussalam-class offshore patrol vessel (KDB 07 Darulehsan) and two Itjihad-class corvettes (KDB 19 Syafaat and KDB 17 Itjihad).

Brunei took delivery of three new German-built Lurssen Werft Darussalam-class vessels this year. Each are armed with a Bofors 57mm in the 'A' position along with four Exocet MM40 anti-ship missiles.

Brunei also took delivery of four Lurssen Werft-built Itjihad-class corvettes in 2010. They are armed with a single Rheinmetall MLG 27 Gun in the 'A' position.



The RSN's anti-terrorist Accompanying Sea Security Team (ASSeT), responsible for safeguarding chemical and gas tankers, also took part in the exercise and conducted joint boarding training with personnel from RBN.

ASSeT members are trained in close quarter combat and Hapkido, a Korean marital art. In addition, both navies carried out joint discussions on naval helicopter operations and warfare tactics.

Hosted by Brunei, Exercise Pelican 2011 is the 31st in this series of bilateral exercises held since 1979. The exercise underscores the close defense ties between RSN and RBN.

The two navies also engage in a wide range of bilateral exercises and professional exchanges, which have enhanced the professionalism and strengthened ties between them.

Brunei just concluded its third Brunei Darussalam International Defence Exhibition (BRIDEX) from July 6-9. Organized by the Royal Brunei Technical Services, BRIDEX 2011 showcased the latest regional and international defense technologies and equipment in land, sea, air and security systems.

Source: Defencetalk

Indonesia-South Korea KFX Cooperation: The Second-Best Option?

DT-(IDB) : Indonesia and South Korea are getting ready to sign an MoU on the joint-development of a KFX fighter jet program (dubbed Boramae) later this year, following a letter of intent in March 2009 on Indonesian participation in a KFX study. When enacted, the MOU will provide a breakthrough for both countries in terms of bilateral defense collaboration and aircraft technology indigenization.

The defense community and members of parliament believe that the cooperation will help the revitalization of the Indonesian defense industry. MPs urged the government to conduct a feasibility test before embarking on a US$2 billion venture that spans across an eight-year period. It is expected from the collaboration that five prototypes will be built before 2020.

Approximately 200+ aircraft will be manufactured for both the Indonesian and Korean Air Force. Surely there is a sense of pride creeping into every Indonesian’s minds knowing that the biggest Muslim country in the world is going to carry on an indigenize a fighter jet program, debunking the myth that only technologically advanced countries can achieve this.

Indeed, the cooperation will not only allow Indonesia to access the so-called 4.5th generation fighter jet technology, but also help South Korea preserve the bloodline for an indigenous fighter jet program since they can only afford 60 percent of the necessitate fund.

But before we indulge in a techno-nationalism fantasy, several imminent issues need to be pondered. Sarcastic remarks as to why Indonesia uses a jet fighter project as sustenance for the aerospace industry when the capacity of the Indonesian Aerospace is still limited to transport aircraft and helicopter, will inevitably raise.

Therefore, it is important to answer basic questions such as what the “indigenize fighter jet program” means in reality and how this will help revitalize the defense industry. There is also an urgency to shed some light upon the KFX program and whether it fits into the Indonesian strategic and defense-industrial interests.

The first issue is the technical and fiscal feasibility of the KFX project. The controversial project was initiated in 2001, with an estimated cost of $13 billion for the production of 120 aircraft, and has not progressed from a feasibility study since. It is acknowledged that South Korea is lacking both in technical and fiscal abilities to kick start the program, with the Korean Aerospace Industry (KAI) as a prime contractor possessing only 63 percent of technological capability needed.

Established through a merger of three companies in 1999, KAI has a modest experience of developing the indigenous KT-1 Wong Bee trainer, license-producing F-16K and joint-developing T-50 advanced trainer as well as making parts for F-15 (forward fuselage and wings).

It does not have an extensive track record as it exports only the KT-1 trainer to Indonesia and Turkey, and is still unable to sell a single T-50 advanced trainer jet despite having been shortlisted for procurement in the United Arab Emirates (UAE), Israel, Greece, Singapore and the US.

The second issue is the “sovereignty” of technology contained in the KFX and sustainability of in-service operation, since the KFX will be using subsystems such as engine and avionics from third countries that might present political complication for Indonesia. The KFX will be developed from T-50 Golden Eagle, a supersonic advance jet trainer jointly developed by KAI and the US Lockheed Martin, with the latter provided the avionics system, flight control and wings. In addition to the US, it is possible that Israel also contributes through an Active Electronically Scanned Array (AESA) radar that will be built domestically in South Korea.

With the Korean Defense Acquisition Program Administration (DAPA) statement about the necessity to bring in international partner from big players such as Boeing, Lockheed Martin, EADS and Saab to help develop the KFX, obviously there will be further third country subsystems fitted into the KFX platform, which bring more complexities of supply in the future. Nevertheless, there is benefit, as Indonesia might be able to absorb world class knowledge through cooperation with those big aerospace companies and establish a position in the global supply chain.

The third issue is risk associated with developing new technology; among them are cost overruns, under performance and delay. Under the MOU, Indonesia will bear 20 percent of the initial budget worth $8 billion, but the real cost can easily stretch out along the process. The risks of cost overruns and delay have taken place in similar collaborations such as the Joint Strike Fighter (JSF) and the Eurofighter.

The JSF cost overrun is almost double its initial estimated price within 10 years of project (2001-2010), whereas the Eurofighter experienced cost overrun and “eternal delay” so bad that the participating countries decided to cut down the amount of aircraft order. Indonesia needs to be clear on how flexible they can be in terms of accepting risks incurred from participation in the project and whether the risk will be worthy of being paid off.

The fourth issue is whether the KFX project will really help revitalize the Indonesian defense industry, through job creation, transfer of technology and creation of local supply chains. Jakarta needs to be articulate in the clearest way possible about the expectation of the economic benefits possibly derived from the project.

It is not clear yet as to which model of work share is to be employed, whether it is juste retour (just return) or earned work shares (participation based on demonstrated competencies), or will Jakarta only access the know-how without participating in the production line (which is nearly impossible).

For the sake of comparison, the Eurofighter project helps create 30,000 jobs across Europe. However, with a cost at $45-50 million per copy, it sees limited prospect of export when facing competition from the JSF and Gripen, not to mention competing Russian and Chinese products in the non-European market.

Aviation Week estimated the break-even-point of the KFX will be reached with production of at least 200-250 aircraft, and it is only if the unit price of each copy can be pushed down to $41 million that makes it possible for export. If Indonesia were to order around 50 aircraft, it is possible to negotiate 20-25 percent of total work-share based on “juste retour” principle, and this will materialize in a significant number of jobs. Without export, however, the long-term economic benefits will likely demise once the project completes.

Experts share doubt whether the KFX can really offer the cutting-edge technology as offered by 5th Generation fighters such as the JSF and the Indo-Russian PAKFA in 2020s, which means in terms of strategic calculation, the KFX may not be the best option to fight with a more technologically advanced enemy.

Facing the 5th G fighter jet race from China, Japan, and Indo-Russia, the South Korean government has a difficult time calculating a trade-off between strategic and industrial interest, between building an indigenous fighter or buy best off-the-shelf (OTS) available on the market. Indonesia may not face a similar dilemma as there is no imminent 5th G fighter race with neighboring countries, but it does not mean that Jakarta do not need to explore another value for the money option.

Another possibility of using defense acquisition as industrial policy tool is using an offsets obligation to accompany the OTS procurement. Alternatively, $2 billion will enable Indonesia to get more than a squadron of cutting-edge OTS technology. Neither joint-development nor procuring OTS will give sovereignty of supply, but the OTS does not only give the advantage of value for money because it bypasses the development cost, but it also ensures getting the attested technology that probably would serve both defense-industrial and strategic interests better.

Source: Defencetalk

Eurofighter Typhoon to Display Agile Multi-Role Capability at RIAT 2011

DT-(IDB) : The Eurofighter Typhoon will be making a rare demonstration of its unrivaled agility and engine power with a full weapon load air display at this year’s Royal International Air Tattoo (RIAT) from the 15th to 17th July at RAF Fairford.

BAE Systems Chief Test Pilot for Combat Air, Mark Bowman, will fly a Warton based development aircraft (IPA 5) on each day of the show and a full scale replica of the aircraft, including full weapon display, will be available for general public access. In addition, the RAF will have a Typhoon on display in the static aircraft park.

IPA 5 will fly in a swing-role configuration, including four Paveway II laser guided bombs, two 1000 ltr fuel tanks, four AMRAAMs (Advanced Medium-Range Air-to-Air Missiles) and two ASRAAMs (Advanced Short Range Air-to-Air Missiles) and will highlight to the trade and public visitors that the Typhoon is agile regardless of weapon load, pulling up to an impressive 5.5g and in excess of 20 degrees angle of attack.

Mark said: “I am looking forward enormously to displaying at RIAT this year. The aim is simply to demonstrate the Typhoon's power, performance and presence in a truly representative combat load. Different than most other 'clean aircraft' displays, I hope the observer will get a real sense of why Typhoon is not only at the forefront of world combat aviation, but also acknowledge the role of European technology, engineering and ingenuity in producing this 'awesome' aircraft”.

Most air displays are achieved by reducing fuel and weapon loads, however with this display, IPA 5 demonstrates significant weapon carriage and manoeuvrability whilst still able to demonstrate carefree handling for the pilot.

This will be the biggest ever Royal Tattoo for Typhoon and will highlight how Eurofighter Typhoon is the world’s most advanced, new generation multi-role combat jet. Eurofighter will also be sponsoring the crew’s enclosure at the show.

Source: Defencetalk

Navalized ASN-206 Drone unveiled

BEIJING-(IDB) : The Navy of the Chinese People’s Liberation Army (PLA) kicked off its first remote communication support drill with drones at 05:00 of July 10, 2011 at a comprehensive training range of a general communication station of the South China Sea Fleet of the PLA Navy. 
All the communication drones offering remote communication support for joint combat troops successfully accomplished the drill on 10-plus subjects including air information relay, mass information delivery and special situation handling before returning back at full speed.





A landing ship flotilla of the South China Sea Fleet under the Navy of the Chinese People’s Liberation Army (PLA) conducted real-combat drill in a sea area of the South China Sea on July 8, 2011.

The training subjects included the ship formation maneuver under complicated conditions, comprehensive defense, anti-aircraft live-shell firing during daytime and emergency handling in the case of equipment being damaged in a sea battle. 



Source: Defencetalk