JAKARTA-(IDB) : Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), Jum’at (25/11) menggelar Sidang Pleno Keempat di kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta. Sidang dipimpin oleh Menhan Purnomo Yusgiantoro selaku Ketua KKIP dan dihadiri Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara selaku Wakil Ketua KKIP serta seluruh Anggota KKIP antara lain Wakil Menteri Perindustrian, Menristek, Panglima TNI dan Kapolri yang diwakili oleh Asrena. Hadir pula Wamenhan selaku Sekretaris KKIP. Selain itu, Sidang juga dihadiri Tim Pokja KKIP, Tim Asistensi, Sekretaris Pokja KKIP serta pejabat Eselon I dari Kemhan, Kemkeu, Mabes TNI/Polri, Bappenas dan Badan Usaha Milik Negara Industri Pertahanan (BUMNIP) serta Badan Usaha Milik Swasta (BUMS).
Agenda Sidang Pleno Keempat KKIP kali ini membahas delapan hal, pertama penetapan kriteria industri pertahanan, kedua kebijakan dasar pengadaan Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) dan Alat Material Khusus (Almatsus), ketiga verifikasi kemampuan industri pertahanan, keempat revitalisasi manajemen industri pertahanan BUMNIP, kelima penunjukan langsung proses pengadaan BUMNIP, keenamoffset dari Menhan Malaysia untuk Pembelian panser anoa 6x6 APC produk PT. Pindad, ketujuh informasi tentang industri pertahanan (BUMNIP) dan kedelapan progress RUU Industri Pertahanan. permintaan program
Adapun maksud dari diselenggarakannya Sidang Pleno Keempat KKIP adalah untuk membahas penetapan kriteria/kemampuan dan kesanggupan industri pertahanan dalam rangka akuisisi pemenuhan alat pertahanan serta kebijakan dasar pengadaan Alutsista dan Almatsus. Sedangkan tujuannya adalah terwujudnya kriteria industri pertahanan sehingga industri yang akan ditunjuk mampu memenuhi kebutuhan TNI serta adanya keberpihakan kepada industri pertahanan pada setiap pembelian Alutsista dan Almatsus.
Penetapan kriteria / kemampuan dan kesanggupan industri pertahanan adalah industri yang memiliki kemampuan teknologi rancang bangun (design engineering), mewujudkan desain menjadi suatu prototype atau pengembangan produk (product development), produksi sendiri dan/atau untuk produksi bersama (joint production atau offset), pemasaran (marketing), pelayanan purna jual (after sales service), pelayanan pemeliharaan dan perbaikan (maintenance services and repair) serta modifikasi (upgrading/retrofit) serta pelayanan dukungan atau bantuan logistik terpadu kepada pengguna produknya (integrated logistic support).
Secara garis besar industri pertahanan dikelompokkan kedalam beberapa kelompok, pertama yaitu industri alat utama yang berperan sebagai lead integrator untuk memproduksi alutsista, sebagai pabrikan/produsen/manufaktur. Kedua, industri komponen utama (main component) yang memproduksi bagian-bagian besar (subsistem) dan penting dari alat utama. Yang ketiga, industri komponen atau suku cadang dan atau non alutsista yang berfungsi sebagai industri penunjang serta yang keempat adalah industri bahan baku yang memproduksi bahan baku untuk digunakan di industri alat utama, industri komponen utama dan industri komponen atau suku cadang.
Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP)
KKIP yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No 42 Tahun 2010 dalam rangka memantapkan fondasi industri pertahanan nasional dalam rangka revitalisasi industri pertahanan. Tugas KKIP antara lain merumuskan kebijakan yang terdiri dari penelitian, pengembangan, dan peningkatan sumber daya manusia, mengkoordinasikan kerja sama luar negeri, serta memantau dan mengevaluasi kebijakan industri pertahanan.
Program Revitalisasi Industri Pertahanan merupakan salah satu upaya pemerintah dalam memberdayakan industri pertahanan dalam negeri. Seiring dengan tujuan tersebut pemerintah telah menetapkan kebijakan dalam pemenuhan alat perlatan pertahanan untuk keperluan TNI (Pengguna). Kebijakan pemerintah dimaksud adalah apabila industri pertahanan dalam negeri sudah mampu memproduksi maka pemenuhan kebutuhan alat peralatan pertahanan tersebut harus dibeli dari dalam negeri. Namun apabila industri pertahanan dalam negeri belum mampu dapat dibeli dari luar negeri.
Dalam rangka pembelajaran terhadap industri pertahanan dalam negeri, maka pada setiap pembelian alat peralatan pertahanan dari luar negeri sedapat mungkin melibatkan industri dalam negeri baik melalui Joint Production maupun Offset.
Sumber : DMC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar