JAKARTA-(IDB) : Pembangunan industri pertahanan yang mampu menjadi salah satu penopang profesionalisme alat pertahanan negara telah menjadi impian bangsa ini sejak lama.
Tonggak awal cita-cita membangun industri strategis itu dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1983. Saat itu, pemerintah Indonesia berkehendak membangun industri pertahanan yang bernaung di dalam badan usaha milik negara industri strategis (BUMNIS).
Ada 10 industri strategis yang ditetapkan keppres tersebut, antara lain industri pertahanan bidang kedirgantaraan yang ditangani PT IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia/PT DI), bidang kemaritiman ditangani PT PAL, dan bidang persenjataan dan amunisi ditangani PT Pindad.
Sebagai sebuah kemauan politik, keppres tersebut harus jujur diakui membawa keberhasilan tersendiri bagi pembangunan industri pertahanan, kala itu. Tercatat, PT Dirgantara Indonesia mampu memproduksi pesawat transpor sayap tetap, helikopter, pesawat patroli maritim, pesawat pengintai, dan simulator pesawat terbang maritim.
PT PAL memproduksi Korvet, kapal patroli, landing platform dockship, tanker, kapal pencegah bencana laut, dan dok pemeliharaan kapal perang. Adapun PT Pindad memproduksi senjata ringan, senjata khusus, dan kendaraan tempur.
Namun, krisis ekonomi 1997 telah mengikis habis eksistensi industri strategis, sehingga mati suri. Dia seolah baru siuman ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan revitalisasi industri pertahanan dalam salah satu program di 100 hari pemerintahannya pada 2009.
"Ini era kebangkitan industri pertahanan," tandas Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, saat itu.
Revitalisasi industri pertahanan bahkan menjadi satu dari 12 program prioritas pemerintah. Kebangkitan industri pertahanan diperkukuh dengan kehadiran Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), melalui Perpres No 42 Tahun 2010, tepatnya pada 17 Juni 2010.
Mendekati penghujung Oktober 2011, Presiden Yudhoyono dalam sambutannya saat meninjau pameran pesawat terbang di PT DI kembali memacu semangat insan industri pertahanan dalam negeri. Kali ini, Presiden Yudhoyono menantang PT Pindad membuat kendaraan tempur kelas dunia. "Saya sudah mempersiapkan nama yang khas Indonesia," katanya.
Dibutuhkan Keseriusan Dan Proyek Jangka Panjang
Kendati semangat merevitalisasi industri pertahanan dalam negeri relatif terasa, nyatanya kondisi di lapangan belum bergerak seiring. Sebagaimana diungkapkan Direktur Teknologi dan Pengembangan PT DI Ardonni Jafri kepada Media Indonesia, akhir pekan lalu di Bandung, Jawa Barat, sejumlah program pengembangan pesawat di perusahaannya hingga kini belum dapat dijalankan. Hal itu terjadi, sambung dia, karena tidak ada order.
"Bahkan untuk produksi helikopter, PT DI sudah habis lisensinya sehingga tidak dapat lagi memproduksi helikopter," keluhnya.
Padahal, menurut Ardonni, rata-rata usia helikopter yang dimiliki TNI sudah di atas 40 tahun. Dengan demikian memang tak terelakkan kewajiban untuk mengembangkan pesawat baru. "Proyeknya harus jangka panjang agar skill pun bisa dikembangkan," katanya.
Donni juga mempersoalkan industri pendukung untuk menunjang produksi PT DI. Sampai sekarang, kata dia, PT DI masih harus mengimpor sejumlah bahan baku, di antaranya propelan.
Sementara itu, Direktur Sumber Daya Manusia dan Umum PT PAL Sewoko Kartanegara menilai, seharusnya pemerintah segera membentuk UU industri strategis. Hal itu ditujukan, kata dia, agar laju industri pertahanan dapat diarahkan.
Lantaran itulah, kendati menilai keberadaan Komite Kebijakan Industri Pertahanan sangat baik, Sewoko mengingatkan, dukungan UU akan lebih dapat menguatkan. "Negara yang maju adalah negara yang industri perkapalannya maju. Indonesia negara maritim tapi gak maju-maju kemampuan maritimnya," jelasnya.
Terkait itu, anggota Komisi I Bidang Pertahanan DPR Hayono Isman menyatakan, pihaknya melihat adanya urgensi untuk melahirkan aturan perundangan baru tentang pengembangan dan pemanfaatan industri strategis untuk pertahanan. Kelak industri pertahanan nasional, kata dia, harus mampu menjadi pemain di tingkat global.
"Dengan adanya undang-undang ini, negara dapat mendukung sepenuhnya keberadaan industri pertahanan dengan memanfaatkan anggaran militer yang jumlahnya mulai signifikan," katanya, akhir pekan lalu.
Memang, membangun industri pertahanan berarti juga membangun kekuatan pertahanan nasional yang kian kukuh, mandiri, dan berdaya gentar tinggi. Sangat diharapkan, pembangunan industri pertahanan memberikan efek bola salju pada industri-industri pendukung yang pada gilirannya membangun perekonomian nasional.
Namun harus disadari, kendala besar yang menghadang pembangunan industri pertahanan adalah persoalan laten. Yakni, persoalan sumber pembiayaan. Sebagai ilustrasi, Kementerian Pertahanan hingga kini masih terus berjuang untuk mendapatkan tambahan dana penutup kekurangan anggaran perawatan dan pengadaan alat utama sistem persenjataan atau alutsista. Kekurangannya mencapai Rp57 triliun dari total kebutuhan Rp157 triliun, di luar alokasi anggaran belanja rutin pegawai.
Tonggak awal cita-cita membangun industri strategis itu dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1983. Saat itu, pemerintah Indonesia berkehendak membangun industri pertahanan yang bernaung di dalam badan usaha milik negara industri strategis (BUMNIS).
Ada 10 industri strategis yang ditetapkan keppres tersebut, antara lain industri pertahanan bidang kedirgantaraan yang ditangani PT IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia/PT DI), bidang kemaritiman ditangani PT PAL, dan bidang persenjataan dan amunisi ditangani PT Pindad.
Sebagai sebuah kemauan politik, keppres tersebut harus jujur diakui membawa keberhasilan tersendiri bagi pembangunan industri pertahanan, kala itu. Tercatat, PT Dirgantara Indonesia mampu memproduksi pesawat transpor sayap tetap, helikopter, pesawat patroli maritim, pesawat pengintai, dan simulator pesawat terbang maritim.
PT PAL memproduksi Korvet, kapal patroli, landing platform dockship, tanker, kapal pencegah bencana laut, dan dok pemeliharaan kapal perang. Adapun PT Pindad memproduksi senjata ringan, senjata khusus, dan kendaraan tempur.
Namun, krisis ekonomi 1997 telah mengikis habis eksistensi industri strategis, sehingga mati suri. Dia seolah baru siuman ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan revitalisasi industri pertahanan dalam salah satu program di 100 hari pemerintahannya pada 2009.
"Ini era kebangkitan industri pertahanan," tandas Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, saat itu.
Revitalisasi industri pertahanan bahkan menjadi satu dari 12 program prioritas pemerintah. Kebangkitan industri pertahanan diperkukuh dengan kehadiran Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), melalui Perpres No 42 Tahun 2010, tepatnya pada 17 Juni 2010.
Mendekati penghujung Oktober 2011, Presiden Yudhoyono dalam sambutannya saat meninjau pameran pesawat terbang di PT DI kembali memacu semangat insan industri pertahanan dalam negeri. Kali ini, Presiden Yudhoyono menantang PT Pindad membuat kendaraan tempur kelas dunia. "Saya sudah mempersiapkan nama yang khas Indonesia," katanya.
Dibutuhkan Keseriusan Dan Proyek Jangka Panjang
Kendati semangat merevitalisasi industri pertahanan dalam negeri relatif terasa, nyatanya kondisi di lapangan belum bergerak seiring. Sebagaimana diungkapkan Direktur Teknologi dan Pengembangan PT DI Ardonni Jafri kepada Media Indonesia, akhir pekan lalu di Bandung, Jawa Barat, sejumlah program pengembangan pesawat di perusahaannya hingga kini belum dapat dijalankan. Hal itu terjadi, sambung dia, karena tidak ada order.
"Bahkan untuk produksi helikopter, PT DI sudah habis lisensinya sehingga tidak dapat lagi memproduksi helikopter," keluhnya.
Padahal, menurut Ardonni, rata-rata usia helikopter yang dimiliki TNI sudah di atas 40 tahun. Dengan demikian memang tak terelakkan kewajiban untuk mengembangkan pesawat baru. "Proyeknya harus jangka panjang agar skill pun bisa dikembangkan," katanya.
Donni juga mempersoalkan industri pendukung untuk menunjang produksi PT DI. Sampai sekarang, kata dia, PT DI masih harus mengimpor sejumlah bahan baku, di antaranya propelan.
Sementara itu, Direktur Sumber Daya Manusia dan Umum PT PAL Sewoko Kartanegara menilai, seharusnya pemerintah segera membentuk UU industri strategis. Hal itu ditujukan, kata dia, agar laju industri pertahanan dapat diarahkan.
Lantaran itulah, kendati menilai keberadaan Komite Kebijakan Industri Pertahanan sangat baik, Sewoko mengingatkan, dukungan UU akan lebih dapat menguatkan. "Negara yang maju adalah negara yang industri perkapalannya maju. Indonesia negara maritim tapi gak maju-maju kemampuan maritimnya," jelasnya.
Terkait itu, anggota Komisi I Bidang Pertahanan DPR Hayono Isman menyatakan, pihaknya melihat adanya urgensi untuk melahirkan aturan perundangan baru tentang pengembangan dan pemanfaatan industri strategis untuk pertahanan. Kelak industri pertahanan nasional, kata dia, harus mampu menjadi pemain di tingkat global.
"Dengan adanya undang-undang ini, negara dapat mendukung sepenuhnya keberadaan industri pertahanan dengan memanfaatkan anggaran militer yang jumlahnya mulai signifikan," katanya, akhir pekan lalu.
Memang, membangun industri pertahanan berarti juga membangun kekuatan pertahanan nasional yang kian kukuh, mandiri, dan berdaya gentar tinggi. Sangat diharapkan, pembangunan industri pertahanan memberikan efek bola salju pada industri-industri pendukung yang pada gilirannya membangun perekonomian nasional.
Namun harus disadari, kendala besar yang menghadang pembangunan industri pertahanan adalah persoalan laten. Yakni, persoalan sumber pembiayaan. Sebagai ilustrasi, Kementerian Pertahanan hingga kini masih terus berjuang untuk mendapatkan tambahan dana penutup kekurangan anggaran perawatan dan pengadaan alat utama sistem persenjataan atau alutsista. Kekurangannya mencapai Rp57 triliun dari total kebutuhan Rp157 triliun, di luar alokasi anggaran belanja rutin pegawai.
Sumber : MediaIndonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar