JAKARTA-(IDB) : Hadirnya broker dalam bisnis alat utama sistem senjata (alutsista) menjadikan harga senjata lebih mahal. Indonesia bahkan harus mengeluarkan dana tambahan belasan persen dari harga aslinya.
Pengamat militer dari Universitas Indonesia Andi Widjajanto mengungkapkan, para broker senjata itulah yang menghubungkan pemerintah (Indonesia sebagai pembeli) dengan produsen atau pemerintah dengan bank yang sanggup memberikan pinjaman kredit ekspor. Broker tentu saja akan mendapat fee dari transaksi dengan besaran bervariasi, tergantung pada negara dan produk yang dijualbelikan.
Andi mencontohkan, di Eropa standar fee untuk broker telah ditentukan dengan batas maksimal 3% dari nilai transaksi. Dana tambahan ini bisa semakin tinggi bila memakai perbankan untuk memberikan kredit ekspor karena pasti akan ada tambahan biaya baru. Misalnya untuk asuransi,agensi, dan nilai bunga yang besarnya di atas ketentuan bunga internasional.
“Sehingga naiknya bisa belasan persen,”katanya di Jakarta kemarin. Menurut dia, jika Pemerintah Indonesia mau terhindar dari broker, pilihan yang bisa ditempuh dengan melakukan pembelian sistem kerja sama G to G (government to government). Artinya, produk yang dibeli didanai oleh negara yang diajak kerja sama. Namun, hal itu sulit dilakukan jika parlemen negara setempat tidak menyediakan fasilitas tersebut.“Sehingga pilihannya tinggal kita masuk ke pasar privat.Kalau sudah masuk pasar privat,bank yang terlibat juga bank privat,”ungkap Andi.
Dalam kondisi seperti itu, yang perlu dilakukan pemerintah adalah menyampaikan breakdown pembiayaan secara detail yang dapat diakses oleh publik sehingga publik dapat mengetahui berapa harga sebenarnya dari produk alutsista yang dibeli.“Kalau mau jujur, akan kelihatan berapa harga produknya dan apa saja dan berapa pembiayaan lain-lain,” terangnya. Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin meminta pemerintah menghindari pembelian melalui broker.
“Kalau mau mengurangi kerugian akibat broker ya harus G to G,”katanya. Langkah ini tetap bisa ditempuh walaupun perusahaan yang akan dibeli produknya merupakan milik swasta. Sebab, industri senjata harus tetap dikontrol dan seizin negara bersangkutan. “Kalau lewat pemerintah kan namanya bukan broker.Jadi, dari produsen langsungke Indonesia,”ujarnya. Di samping itu,juga disepakati agar pemerintah membeli produk dari dalam negeri selama industri pertahanan dalam negeri sanggup memproduksinya.
Kecuali untuk produk yang belum mampu diproduksi di Tanah Air. Direktur Manufaktur PT Pindad Tri Harjono menjelaskan, salah satu kendala yang dihadapi PT Pindad selama ini menyangkut dana, yang jadi model pembayaran dari pemerintah yang selalu dilakukan di akhir tahun.Padahal,kebutuhan dana untuk produksi alutsista tidak sedikit .
Pengamat militer dari Universitas Indonesia Andi Widjajanto mengungkapkan, para broker senjata itulah yang menghubungkan pemerintah (Indonesia sebagai pembeli) dengan produsen atau pemerintah dengan bank yang sanggup memberikan pinjaman kredit ekspor. Broker tentu saja akan mendapat fee dari transaksi dengan besaran bervariasi, tergantung pada negara dan produk yang dijualbelikan.
Andi mencontohkan, di Eropa standar fee untuk broker telah ditentukan dengan batas maksimal 3% dari nilai transaksi. Dana tambahan ini bisa semakin tinggi bila memakai perbankan untuk memberikan kredit ekspor karena pasti akan ada tambahan biaya baru. Misalnya untuk asuransi,agensi, dan nilai bunga yang besarnya di atas ketentuan bunga internasional.
“Sehingga naiknya bisa belasan persen,”katanya di Jakarta kemarin. Menurut dia, jika Pemerintah Indonesia mau terhindar dari broker, pilihan yang bisa ditempuh dengan melakukan pembelian sistem kerja sama G to G (government to government). Artinya, produk yang dibeli didanai oleh negara yang diajak kerja sama. Namun, hal itu sulit dilakukan jika parlemen negara setempat tidak menyediakan fasilitas tersebut.“Sehingga pilihannya tinggal kita masuk ke pasar privat.Kalau sudah masuk pasar privat,bank yang terlibat juga bank privat,”ungkap Andi.
Dalam kondisi seperti itu, yang perlu dilakukan pemerintah adalah menyampaikan breakdown pembiayaan secara detail yang dapat diakses oleh publik sehingga publik dapat mengetahui berapa harga sebenarnya dari produk alutsista yang dibeli.“Kalau mau jujur, akan kelihatan berapa harga produknya dan apa saja dan berapa pembiayaan lain-lain,” terangnya. Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin meminta pemerintah menghindari pembelian melalui broker.
“Kalau mau mengurangi kerugian akibat broker ya harus G to G,”katanya. Langkah ini tetap bisa ditempuh walaupun perusahaan yang akan dibeli produknya merupakan milik swasta. Sebab, industri senjata harus tetap dikontrol dan seizin negara bersangkutan. “Kalau lewat pemerintah kan namanya bukan broker.Jadi, dari produsen langsungke Indonesia,”ujarnya. Di samping itu,juga disepakati agar pemerintah membeli produk dari dalam negeri selama industri pertahanan dalam negeri sanggup memproduksinya.
Kecuali untuk produk yang belum mampu diproduksi di Tanah Air. Direktur Manufaktur PT Pindad Tri Harjono menjelaskan, salah satu kendala yang dihadapi PT Pindad selama ini menyangkut dana, yang jadi model pembayaran dari pemerintah yang selalu dilakukan di akhir tahun.Padahal,kebutuhan dana untuk produksi alutsista tidak sedikit .
Sumber : Sindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar