JAKARTA-(IDB) : Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin mengatakan, Rancangan Undang Undang tentang Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Strategis untuk pertahanan (RUU PPISP) akan memfasilitasi revitalisasi industri strategis pertahanan.
"Saat ini, RUU tersebut yang merupakan inisiatif DPR tengah dibahas di tingkat panitia kerja di Komisi I. Kami harapkan ada masukan dari masyarakat dan instansi terkait," kata Hasanuddin saat seminar "Revitalisasi Industri Strategis untuk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi" di Wisma ANTARA, Jakarta, Rabu.
Menurut dia, RUU Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Strategis untuk pertahanan mewujudkan industri strategis pertahanan yang profesional, efektif, efisien, terintegrasi; mewujudkan kemandirian pemenuhan alat peralatan pertahanan dan keamanan.
Selain itu, meningkatkan kemampuan memproduksi alat peralatan pertahanan dan keamanan, serta mewujudkan kemandirian industri strategis pertahanan, yakni Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) sebagai ujung tombak revitalisasi.
Selama ini, lanjut dia, alutsista yang dimiliki oleh TNI dan Polri masih ada ketergantungan pada pasokan dari pasal luar negeri. Akibatnya, industri strategis tidak dapat berkontribusi secara maksimal dalam pengembangan alutsista dalam negeri.
Selain itu, belum ada aturan mengenai prosentase minimum kebijakan offset (pembuatan/perakitan komponen) dari luar negeri ke industri strategis nasional, masih kurangnya perhatian/insentif terhadap aspek research and development dalam konteks teknologi alutsista inkonsistensi pemerintah (Kemhan/Polri) untuk membeli produk BUMNIS.
Oleh karena itu, pemerintah harus menunjukkan keseriusannya dalam konteks implementasi, sehingga revitalisasi industri strategis tidak hanya menjadi wacana belaka.
"Industri strategis nasional memerlukan landasan hukum, pengembangan organisasi dan SDM, dukungan modal dan komitmen pemerintah secara maksimal," katanya.
Ia menambahkan, dengan adanya RUU itu revitalisasi industri strategis diharapkan dapat melindungi kepentingan nasional, kemandirian, dan ketersediaan alutsista yang relatif murah.
Bahkan, ada kesempatan bagi industri strategis nasional untuk memperluas pasar ke luar negeri (export-oriented) namun tetap dalam prinsip bebas aktif.
Sementara itu, peneliti dari Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, Riefqi Muna, mengatakan, untuk pengembangan industri pertahanan perlu mempertimbangkan beberapa aspek, yakni mengintegrasikan rencana industri pertahanan dalam negeri dengan pemetaan kebijakan pengembangan sains, teknologi dan industri nasional.
Kedua, perlu ada pengembangan kebijakan yang terintegrasi dari pendidikan (training), kajian teoritik dan inovasi secara objektif. Dan ketiga, industri pertahanan harus memusatkan kepada kebutuhan peralatan yang semestinya, sehingga perlu kajian yang objektif sebagai dasar pengembangan kapabilitas pertahanan.
"Saat ini, RUU tersebut yang merupakan inisiatif DPR tengah dibahas di tingkat panitia kerja di Komisi I. Kami harapkan ada masukan dari masyarakat dan instansi terkait," kata Hasanuddin saat seminar "Revitalisasi Industri Strategis untuk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi" di Wisma ANTARA, Jakarta, Rabu.
Menurut dia, RUU Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Strategis untuk pertahanan mewujudkan industri strategis pertahanan yang profesional, efektif, efisien, terintegrasi; mewujudkan kemandirian pemenuhan alat peralatan pertahanan dan keamanan.
Selain itu, meningkatkan kemampuan memproduksi alat peralatan pertahanan dan keamanan, serta mewujudkan kemandirian industri strategis pertahanan, yakni Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) sebagai ujung tombak revitalisasi.
Selama ini, lanjut dia, alutsista yang dimiliki oleh TNI dan Polri masih ada ketergantungan pada pasokan dari pasal luar negeri. Akibatnya, industri strategis tidak dapat berkontribusi secara maksimal dalam pengembangan alutsista dalam negeri.
Selain itu, belum ada aturan mengenai prosentase minimum kebijakan offset (pembuatan/perakitan komponen) dari luar negeri ke industri strategis nasional, masih kurangnya perhatian/insentif terhadap aspek research and development dalam konteks teknologi alutsista inkonsistensi pemerintah (Kemhan/Polri) untuk membeli produk BUMNIS.
Oleh karena itu, pemerintah harus menunjukkan keseriusannya dalam konteks implementasi, sehingga revitalisasi industri strategis tidak hanya menjadi wacana belaka.
"Industri strategis nasional memerlukan landasan hukum, pengembangan organisasi dan SDM, dukungan modal dan komitmen pemerintah secara maksimal," katanya.
Ia menambahkan, dengan adanya RUU itu revitalisasi industri strategis diharapkan dapat melindungi kepentingan nasional, kemandirian, dan ketersediaan alutsista yang relatif murah.
Bahkan, ada kesempatan bagi industri strategis nasional untuk memperluas pasar ke luar negeri (export-oriented) namun tetap dalam prinsip bebas aktif.
Sementara itu, peneliti dari Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, Riefqi Muna, mengatakan, untuk pengembangan industri pertahanan perlu mempertimbangkan beberapa aspek, yakni mengintegrasikan rencana industri pertahanan dalam negeri dengan pemetaan kebijakan pengembangan sains, teknologi dan industri nasional.
Kedua, perlu ada pengembangan kebijakan yang terintegrasi dari pendidikan (training), kajian teoritik dan inovasi secara objektif. Dan ketiga, industri pertahanan harus memusatkan kepada kebutuhan peralatan yang semestinya, sehingga perlu kajian yang objektif sebagai dasar pengembangan kapabilitas pertahanan.
Sumber: Antara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar