JAKARTA-(IDB) : Sejak MV Sinar Kudus disandera pembajak Somalia 16 Maret lalu, berkembang keinginan di Tanah Air untuk menggunakan kekuatan TNI dalam membebaskan ABK freighter yang dioperasikan maskapai pelayaran PT Samudera Indonesia (Samin).
Sepertinya, desakan itu besar kemungkinannya dapat direalisasikan mengingat proses negosiasi antara manajemen perusahaan yang didirikan oleh tokoh pejuang Almarhum Soedarpo Sastrosatomo dan para lanun Somalia dinilai bertele-tele.
Di samping itu, dukungan terhadap opsi operasi militer telah mengalir dari Malaysia dan Singapura. Sebelumnya, sebagaimana diungkapkan oleh Panglima TNI Agus Suhartono kepada media massa, India sudah menawarkan bantuan untuk melakukan operasi penyelamatan bersama.
Pertanyaannya kini, apakah opsi operasi militer merupakan upaya terbaik dalam pembebasan ABK dari cengkeraman para perompak? Kira-kira, apa saja tantangan yang akan menghadang TNI dalam menggelar pasukan di Somalia?
Perompakan Somalia, seperti perompakan di Selat Malaka, Jamaika dan berbagai tempat lainnya di dunia, sejatinya merupakan sebuah bisnis; perusahaan pelayaran dan pembajak sama-sama mendapat untung. Yang buntung hanya pelautnya.
Menurut International Maritime Organization (IMO), jika dihitung sejak 1995, saat ketika statistik perompakan mulai dikumpulkan untuk pertama kalinya oleh International Maritime Bureau/IMB, lebih dari 350 pelaut telah meregang nyawa akibat perompakan. Ini berarti lebih-kurang 30 pelaut meninggal tiap tahunnya karena aksi ini.
Pendataan perompakan di dunia memang paling banyak dilakukan oleh organisasi nirlaba tersebut melalui Piracy Reporting Center (PRC) di Kuala Lumpur. IMO hanya tinggal mengutipnya saja. Selain IMB, pendataan, paling tidak untuk kawasan Asia, juga dilakukan oleh Information Sharing Center atau ISC yang berbasis di Singapura.
Lembaga ini merupakan ”anak” dari Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robery against Ships in Asia, dikenal dengan singkatan ReCAAP yang digagas pada 2001 oleh PM Junichiro Koizumi dari Jepang. Selain negara anggota Asean, India, Bangladesh, Cina, Sri Lanka dan Korea Selatan juga merupakan anggota dari perjanjian tersebut. Sayang, Indonesia tidak masuk dalam klab ini.
Sebagaimana diketahui, pemilik atau operator kapal-kapal yang berlayar di laut lepas (high seas) melindungi aset mereka dengan berbagai skim asuransi, di antaranya hull and machineries dan P&I atau protection and indemnity.
Jika kapal-kapal itu berlayar di kawasan berbahaya seperti Somalia atau Selat Malaka, perlindungan pun ditambah dengan asuransi war-risk surcharge. Pemilik barang pun juga tidak ketinggalan dalam mengasuransikan kargo yang mereka kirim. Bagaimana dengan pelaut? Mereka hanya mendapat perlindungan asuransi standar seperti kecelakaan dan kesehatan. Tidak atau belum ada skim asuransi untuk mereka ketika melintasi kawasan rawan.
Ketika sebuah kapal dibajak, skim asuransi yang melindungi kapal maupun barang tadi bisa diklaim oleh pemilik atau operator kapal dan pemilik barang. Seandainya tidak dirompak, premi yang sudah bayarkan kepada perusahaan asuransi besar kemungkinannya akan hangus. Di sini para bajak laut telah membantu maskapai pelayaran dan pemilik barang dalam menarik kembali dana yang sudah dikeluarkan. Karena itu, negosiasi merupakan pilihan yang paling bijak dalam melepaskan kapal dan awaknya.
Operasi militer
Dalam konteks seperti itu, opsi penggunaan kekuatan senjata, mulai dari mempersenjatai ABK, menyiagakan pasukan keamanan swasta di atas kapal hingga operasi militer sesungguhnya dapat merusak simbiosis mutualisme yang ada antara perompak dan perusahaan pelayaran. Bahkan, melaporkan bahwa kapal telah dibajak kepada instansi keamanan dapat menimbulkan dampak terhadap ”kerja sama” tadi.
Jika pemerintah jadi mengirimkan pasukan untuk membebaskan ABK MV Sinar Kudus, menurut sejumlah media massa malah sudah dikerahkan, ada sejumlah permasalahan yang akan menghadang. Pertama, mengingat kapal tersebut sudah berada di dalam perairan teritorial Somalia, pengiriman pasukan TNI dapat dinilai sebagai bentuk invasi oleh negara itu. Operasi pasukan komando AL Korea Selatan dalam menyelamatkan MV Samho Jewelry menjadi cerita sukses karena kapalnya masih berada di perairan internasional (hot pursuit).
Kedua, pengerahan pasukan TNI akan memakan waktu karena titik berangkatnya dari Jakarta. Pada kasus Prancis, dan juga Korea Selatan, manuver pasukan relatif lebih cepat karena AL kedua negara telah hadir di Teluk Aden sejak awal. Indonesia memang memiliki satu kapal perang, yakni KRI Diponegoro, di perairan internasional tapi posisinya berada di sekitar Libanon. Karena kedatangan pasukan TNI terhitung lambat nantinya, unsur pendadakan sudah tidak ada sehingga jika terjadi kontak senjata dengan perompak bisa-bisa kelimpungan.
Ada baiknya negosiasi dengan perompak Somalia tetap dikedepankan diiringi dengan kesabaran yang tinggi. Apa lagi memang sudah ada kesepakatan antara Samin dan perompak Somalia.
Sepertinya, desakan itu besar kemungkinannya dapat direalisasikan mengingat proses negosiasi antara manajemen perusahaan yang didirikan oleh tokoh pejuang Almarhum Soedarpo Sastrosatomo dan para lanun Somalia dinilai bertele-tele.
Di samping itu, dukungan terhadap opsi operasi militer telah mengalir dari Malaysia dan Singapura. Sebelumnya, sebagaimana diungkapkan oleh Panglima TNI Agus Suhartono kepada media massa, India sudah menawarkan bantuan untuk melakukan operasi penyelamatan bersama.
Pertanyaannya kini, apakah opsi operasi militer merupakan upaya terbaik dalam pembebasan ABK dari cengkeraman para perompak? Kira-kira, apa saja tantangan yang akan menghadang TNI dalam menggelar pasukan di Somalia?
Perompakan Somalia, seperti perompakan di Selat Malaka, Jamaika dan berbagai tempat lainnya di dunia, sejatinya merupakan sebuah bisnis; perusahaan pelayaran dan pembajak sama-sama mendapat untung. Yang buntung hanya pelautnya.
Menurut International Maritime Organization (IMO), jika dihitung sejak 1995, saat ketika statistik perompakan mulai dikumpulkan untuk pertama kalinya oleh International Maritime Bureau/IMB, lebih dari 350 pelaut telah meregang nyawa akibat perompakan. Ini berarti lebih-kurang 30 pelaut meninggal tiap tahunnya karena aksi ini.
Pendataan perompakan di dunia memang paling banyak dilakukan oleh organisasi nirlaba tersebut melalui Piracy Reporting Center (PRC) di Kuala Lumpur. IMO hanya tinggal mengutipnya saja. Selain IMB, pendataan, paling tidak untuk kawasan Asia, juga dilakukan oleh Information Sharing Center atau ISC yang berbasis di Singapura.
Lembaga ini merupakan ”anak” dari Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robery against Ships in Asia, dikenal dengan singkatan ReCAAP yang digagas pada 2001 oleh PM Junichiro Koizumi dari Jepang. Selain negara anggota Asean, India, Bangladesh, Cina, Sri Lanka dan Korea Selatan juga merupakan anggota dari perjanjian tersebut. Sayang, Indonesia tidak masuk dalam klab ini.
Sebagaimana diketahui, pemilik atau operator kapal-kapal yang berlayar di laut lepas (high seas) melindungi aset mereka dengan berbagai skim asuransi, di antaranya hull and machineries dan P&I atau protection and indemnity.
Jika kapal-kapal itu berlayar di kawasan berbahaya seperti Somalia atau Selat Malaka, perlindungan pun ditambah dengan asuransi war-risk surcharge. Pemilik barang pun juga tidak ketinggalan dalam mengasuransikan kargo yang mereka kirim. Bagaimana dengan pelaut? Mereka hanya mendapat perlindungan asuransi standar seperti kecelakaan dan kesehatan. Tidak atau belum ada skim asuransi untuk mereka ketika melintasi kawasan rawan.
Ketika sebuah kapal dibajak, skim asuransi yang melindungi kapal maupun barang tadi bisa diklaim oleh pemilik atau operator kapal dan pemilik barang. Seandainya tidak dirompak, premi yang sudah bayarkan kepada perusahaan asuransi besar kemungkinannya akan hangus. Di sini para bajak laut telah membantu maskapai pelayaran dan pemilik barang dalam menarik kembali dana yang sudah dikeluarkan. Karena itu, negosiasi merupakan pilihan yang paling bijak dalam melepaskan kapal dan awaknya.
Operasi militer
Dalam konteks seperti itu, opsi penggunaan kekuatan senjata, mulai dari mempersenjatai ABK, menyiagakan pasukan keamanan swasta di atas kapal hingga operasi militer sesungguhnya dapat merusak simbiosis mutualisme yang ada antara perompak dan perusahaan pelayaran. Bahkan, melaporkan bahwa kapal telah dibajak kepada instansi keamanan dapat menimbulkan dampak terhadap ”kerja sama” tadi.
Jika pemerintah jadi mengirimkan pasukan untuk membebaskan ABK MV Sinar Kudus, menurut sejumlah media massa malah sudah dikerahkan, ada sejumlah permasalahan yang akan menghadang. Pertama, mengingat kapal tersebut sudah berada di dalam perairan teritorial Somalia, pengiriman pasukan TNI dapat dinilai sebagai bentuk invasi oleh negara itu. Operasi pasukan komando AL Korea Selatan dalam menyelamatkan MV Samho Jewelry menjadi cerita sukses karena kapalnya masih berada di perairan internasional (hot pursuit).
Kedua, pengerahan pasukan TNI akan memakan waktu karena titik berangkatnya dari Jakarta. Pada kasus Prancis, dan juga Korea Selatan, manuver pasukan relatif lebih cepat karena AL kedua negara telah hadir di Teluk Aden sejak awal. Indonesia memang memiliki satu kapal perang, yakni KRI Diponegoro, di perairan internasional tapi posisinya berada di sekitar Libanon. Karena kedatangan pasukan TNI terhitung lambat nantinya, unsur pendadakan sudah tidak ada sehingga jika terjadi kontak senjata dengan perompak bisa-bisa kelimpungan.
Ada baiknya negosiasi dengan perompak Somalia tetap dikedepankan diiringi dengan kesabaran yang tinggi. Apa lagi memang sudah ada kesepakatan antara Samin dan perompak Somalia.
Sumber: Antara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar