KAIRO-(IDB):Tahta kekuasaan Presiden Libya, Muamar Gaddafi, kini berada di ujung tanduk, cepat atau lambat bakal terjungkal terutama setelah Konferensi Internasional London pada Rabu (30/3) yang secara terang-terangan mengambil keputusan: "pemimpin negara Afrika Utara itu harus meninggalkan negaranya!"
Konferensi yang dilaporkan diikuti 40 menteri luar negeri dan perwakilan dari organisasi-organisasi penting regional dan internasional itu, sepakat menghakimi nasib penguasa Libya, sang kolonel yang telah berkuasa selama 40 tahun.
Kepala negara yang gemar tidur ditenda-tenda secara berpindah-pindah dengan penjagaan ekstra ketat dan suka bicara lantang itu, tampaknya akan dipaksa untuk menerima "hukuman" itu.
Menlu Inggris, William Hague, selaku ketua pertemuan dalam pernyataannya menegaskan, bahwa para peserta konferensi London menyepakati peningkatan tekanan politik dan militer terhadap Muamar Gaddafi.
"Mereka sepakat Gaddafi dan pemerintah Libya yang dia pimpin telah kehilangan legitimasi dan semua tindakannya harus dipertanggungjawabkan", katanya seperti dikutip oleh kantor-kantor berita transnasional.
Rakyat Libya harus bebas untuk menentukan masa depan mereka sendiri.
Menlu Italia Franco Frattini mengatakan bahwa para peserta konferensi London dengan suara bulat menyepakati pemimpin Libya itu harus meninggalkan negaranya.
Keputusan itu diambil berdasarkan Resolusi 1973 DK PBB tentang zona larangan terbang yang memberi keleluasaan kepada negara-negara kuat untuk melakukan tindakan yang dianggap perlu, guna menghentikan penguasa Libya membantai rakyatnya.
Dalam kaitan itu, peserta konferensi mengakui perlunya semua unsur warga Libya, termasuk Dewan Nasional Transisi Sementara, para pemuka suku, dan lain-lain untuk bersama-sama memulai proses politik inklusif, yang konsisten dan relevan dengan resolusi DK PBB.
Untuk itu, "Kami mengimbau masyarakat internasional untuk mendukung proses ini, bekerjasama erat dengan Perwakilan Khusus Sekjen PBB Abdel-Elah Mohamed Al-Khatib, termasuk aktor-aktor kawasan, khususnya sahabat Libya negara-negara Afrika dan negara-negara Arab tetangganya," kata Hague.
Konferensi juga menegaskan NATO akan mengambil alih kendali operasi di Libya.
Konferensi juga menyambut prakarsa Sekjen PBB Ban Ki-moon untuk memimpin koordinasi bantuan kemanusiaan dan perencanaan dukungan stabilisasi jangka panjang.
Pengasingan
Pernyataan London tidak menyebutkan mengenai kemungkinan pengasingan Gaddafi. Tetapi menurut Frattini konsensus telah dicapai, bahwa peserta pertemuan menghendaki dengan suara bulat agar Gaddafi harus meninggalkan negaranya.
"Di luar itu, tergantung pada negara yang mungkin akan manawarkan diri untuk menyambut baik Gaddafi. Tapi hingga kini belum ada usulan resmi negara yang telah merumuskan rencana seperti itu."
Hengkangnya Gaddafi, menurutnya adalah prasyarat situasi Libya bisa dipecahkan.
Masalahnya adalah akankah Gaddafi menerima begitu saja hukuman yang dijatuhkan padanya oleh masyarakat internasional yang disponsori negara-negara besar itu.
Menurut pers setempat, Gaddafi masih mendapat dukungan sedikitnya dari sekitar 53 persen rakyatnya. Perlawanan dari kubu pro Gaddafi di kota Sirte merupakan salah satu bukti.
Selain di dalam negeri, ternyata pendukung Gaddafi juga bermunculan di luar negeri, termasuk di depan gedung konferensi London itu berlangsung.
Pada saat konferensi berlangsung, sejumlah aktivis pro-pemimpin Libya antara dari kalangan aktivis anti-perang memprotes konferensi internasional yang dicetuskan oleh pemerintah Inggris itu.
Gerakan Hentikan Koalisi Perang (STWC) mengatakan, sangat penting dunia melihat adanya oposisi besar di sini terhadap rencana mereka.
Sementara itu hasil jajak pendapat di Inggris mengenai intervensi memperlihatkan bahwa publik Inggris berbeda pendapat dengan pemerintahnya yang cenderung menggunakan tindakan militer.
Sekitar 53 persen peserta jajak pendapat setuju tidak bisa menerima tentara Inggris berada dalam bahaya cedera atau kematian hanya untuk melindungi pasukan oposisi Libya.
Berbagai media massa di Timur Tengah pada Rabu (30/3) melaporkan, pasukan pemberontak meninggalkan kota minyak Ras Lanuf setelah pasukan yang setia pada Muamar Gaddafi bergerak lebih jauh ke timur dan menggempur posisi-posisi pemberontak dengan roket-roket.
Pihak pemberontak, sebagiannya memang bersenjata senapan ringan dan mengakui kalah dalam persenjataan dan kekuatan militer pasukan Gaddafi.
Ada gagasan dari negara kuat untuk mempersenjatai pemberontak Libya.
Menlu Amerika Serikat Hillary Clinton mengatakan masalah mempersenjatai pemberontak tidak dibicarakan di London, dan menegaskan bahwa tafsiran Washington terhadap Resolusi 1973 DK PBB mengesampingkan hak mempersenjatai siapa pun di Libya.
Tetapi Menlu Prancis Alain Juppe dalam pertemuan Selasa menegaskan negaranya siap membahas dengan sekutunya terkait rencana memasok bantuan militer kepada pemberontak di negara Afrika Utara itu.
Sementara itu Menlu Rusia, Sergei Lavrov, menegaskan bahwa Moskow beryakinan kekuatan asing tidak memiliki hak untuk mempersenjatai pemberontak di Libya atas dasar mandat DK PBB.
Sedangkan Sekjen NATO, Fogh Rasmussen mengakui operasi di Libya digelar dengan tujuan melindungi warga, bukan untuk mempersenjatai mereka.
Lavrov menyatakan sependapat dengan pernyataan Sekjen NATO tersebut.
Sebaliknya Liga Arab sebelumnya menegaskan pihaknya mengharapkan solusi politik dalam konferensi internasional di London bukan angkat senjata.
Liga Arab mengharapkan ada pemecahan politik untuk mengakhiri operasi militer di Libya, tegas Asisten Sekretaris Jenderal Liga Arab, Hesham Youssef menjelang keberangkatan ke London untuk menghadiri konferensi tentang Libya itu.
Gaddafi nasibnya berada di ujung tanduk, begitu juga nasib rakyat Libya, belum tahu bakal dibawa ke mana.
Konferensi yang dilaporkan diikuti 40 menteri luar negeri dan perwakilan dari organisasi-organisasi penting regional dan internasional itu, sepakat menghakimi nasib penguasa Libya, sang kolonel yang telah berkuasa selama 40 tahun.
Kepala negara yang gemar tidur ditenda-tenda secara berpindah-pindah dengan penjagaan ekstra ketat dan suka bicara lantang itu, tampaknya akan dipaksa untuk menerima "hukuman" itu.
Menlu Inggris, William Hague, selaku ketua pertemuan dalam pernyataannya menegaskan, bahwa para peserta konferensi London menyepakati peningkatan tekanan politik dan militer terhadap Muamar Gaddafi.
"Mereka sepakat Gaddafi dan pemerintah Libya yang dia pimpin telah kehilangan legitimasi dan semua tindakannya harus dipertanggungjawabkan", katanya seperti dikutip oleh kantor-kantor berita transnasional.
Rakyat Libya harus bebas untuk menentukan masa depan mereka sendiri.
Menlu Italia Franco Frattini mengatakan bahwa para peserta konferensi London dengan suara bulat menyepakati pemimpin Libya itu harus meninggalkan negaranya.
Keputusan itu diambil berdasarkan Resolusi 1973 DK PBB tentang zona larangan terbang yang memberi keleluasaan kepada negara-negara kuat untuk melakukan tindakan yang dianggap perlu, guna menghentikan penguasa Libya membantai rakyatnya.
Dalam kaitan itu, peserta konferensi mengakui perlunya semua unsur warga Libya, termasuk Dewan Nasional Transisi Sementara, para pemuka suku, dan lain-lain untuk bersama-sama memulai proses politik inklusif, yang konsisten dan relevan dengan resolusi DK PBB.
Untuk itu, "Kami mengimbau masyarakat internasional untuk mendukung proses ini, bekerjasama erat dengan Perwakilan Khusus Sekjen PBB Abdel-Elah Mohamed Al-Khatib, termasuk aktor-aktor kawasan, khususnya sahabat Libya negara-negara Afrika dan negara-negara Arab tetangganya," kata Hague.
Konferensi juga menegaskan NATO akan mengambil alih kendali operasi di Libya.
Konferensi juga menyambut prakarsa Sekjen PBB Ban Ki-moon untuk memimpin koordinasi bantuan kemanusiaan dan perencanaan dukungan stabilisasi jangka panjang.
Pengasingan
Pernyataan London tidak menyebutkan mengenai kemungkinan pengasingan Gaddafi. Tetapi menurut Frattini konsensus telah dicapai, bahwa peserta pertemuan menghendaki dengan suara bulat agar Gaddafi harus meninggalkan negaranya.
"Di luar itu, tergantung pada negara yang mungkin akan manawarkan diri untuk menyambut baik Gaddafi. Tapi hingga kini belum ada usulan resmi negara yang telah merumuskan rencana seperti itu."
Hengkangnya Gaddafi, menurutnya adalah prasyarat situasi Libya bisa dipecahkan.
Masalahnya adalah akankah Gaddafi menerima begitu saja hukuman yang dijatuhkan padanya oleh masyarakat internasional yang disponsori negara-negara besar itu.
Menurut pers setempat, Gaddafi masih mendapat dukungan sedikitnya dari sekitar 53 persen rakyatnya. Perlawanan dari kubu pro Gaddafi di kota Sirte merupakan salah satu bukti.
Selain di dalam negeri, ternyata pendukung Gaddafi juga bermunculan di luar negeri, termasuk di depan gedung konferensi London itu berlangsung.
Pada saat konferensi berlangsung, sejumlah aktivis pro-pemimpin Libya antara dari kalangan aktivis anti-perang memprotes konferensi internasional yang dicetuskan oleh pemerintah Inggris itu.
Gerakan Hentikan Koalisi Perang (STWC) mengatakan, sangat penting dunia melihat adanya oposisi besar di sini terhadap rencana mereka.
Sementara itu hasil jajak pendapat di Inggris mengenai intervensi memperlihatkan bahwa publik Inggris berbeda pendapat dengan pemerintahnya yang cenderung menggunakan tindakan militer.
Sekitar 53 persen peserta jajak pendapat setuju tidak bisa menerima tentara Inggris berada dalam bahaya cedera atau kematian hanya untuk melindungi pasukan oposisi Libya.
Berbagai media massa di Timur Tengah pada Rabu (30/3) melaporkan, pasukan pemberontak meninggalkan kota minyak Ras Lanuf setelah pasukan yang setia pada Muamar Gaddafi bergerak lebih jauh ke timur dan menggempur posisi-posisi pemberontak dengan roket-roket.
Pihak pemberontak, sebagiannya memang bersenjata senapan ringan dan mengakui kalah dalam persenjataan dan kekuatan militer pasukan Gaddafi.
Ada gagasan dari negara kuat untuk mempersenjatai pemberontak Libya.
Menlu Amerika Serikat Hillary Clinton mengatakan masalah mempersenjatai pemberontak tidak dibicarakan di London, dan menegaskan bahwa tafsiran Washington terhadap Resolusi 1973 DK PBB mengesampingkan hak mempersenjatai siapa pun di Libya.
Tetapi Menlu Prancis Alain Juppe dalam pertemuan Selasa menegaskan negaranya siap membahas dengan sekutunya terkait rencana memasok bantuan militer kepada pemberontak di negara Afrika Utara itu.
Sementara itu Menlu Rusia, Sergei Lavrov, menegaskan bahwa Moskow beryakinan kekuatan asing tidak memiliki hak untuk mempersenjatai pemberontak di Libya atas dasar mandat DK PBB.
Sedangkan Sekjen NATO, Fogh Rasmussen mengakui operasi di Libya digelar dengan tujuan melindungi warga, bukan untuk mempersenjatai mereka.
Lavrov menyatakan sependapat dengan pernyataan Sekjen NATO tersebut.
Sebaliknya Liga Arab sebelumnya menegaskan pihaknya mengharapkan solusi politik dalam konferensi internasional di London bukan angkat senjata.
Liga Arab mengharapkan ada pemecahan politik untuk mengakhiri operasi militer di Libya, tegas Asisten Sekretaris Jenderal Liga Arab, Hesham Youssef menjelang keberangkatan ke London untuk menghadiri konferensi tentang Libya itu.
Gaddafi nasibnya berada di ujung tanduk, begitu juga nasib rakyat Libya, belum tahu bakal dibawa ke mana.
Sumber: Antara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar