Pages

Selasa, Juli 01, 2014

Program MEF Indonesia Dan Ancaman Kawasan

Kapal Induk China Liaoning yang bergerak ke Laut China Selatan (photo; PLA Navy)
Kapal Induk China Liaoning yang bergerak ke Laut China Selatan

JAKARTA-(IDB) : Pengamat militer, Connie Rahakundini Bakrie, berpendapat, perlu ada koreksi mendalam tentang pendekatan penyusunan Minimum Essential Force (MEF) Indonesia. Selama ini, dia menilai, pelaksanaan MEF hanya terfokus pada pendekatan anggaran yang tersedia, tidak didasarkan pada ancaman yang berkembang. Jika ini terus dilakukan, MEF tidak akan tercapai.


“Jika pengukuran MEF itu berdasarkan ancaman, artinya angkanya harus berubah tiap tahun. Ancaman kita 10 tahun lalu, ancaman kita 5 tahun lalu, dengan ancaman kita hari ini, kan sudah berubah,” ucap Connie.


Ia menjelaskan, dinamika ancaman kawasan saat ini sudah cukup kompleks. Oleh karenanya, penegasan terhadap paradigma outward looking TNI yang sudah dicetuskan sejak reformasi 1998, perlu segera diwujudkan, tidak sekadar wacana di atas kertas.


“Seperti ada ancaman ketika Tiongkok menetapkan kebijakan green water policy. Green water policy Tiongkok akan masuk sampai pada Selat Malaka. Dan blue water Tiongkok akan masuk sampai Samudera Hindia. Kalau kita mengukur MEF dari ancaman tersebut, seharusnya sudah berubah hitungan MEF dari Kemhan hari ini,” katanya.


Untuk matra laut, Connie berpandangan, Indonesia setidaknya memerlukan 755 kapal perang KRI, 4 buah kapal induk, dan 22 kapal selam. Kebutuhan ini untuk melindungi kepentingqan Indonesia, minimum hingga 60 tahun mendatang.


“Visi MEF saya bagaimana melindungi kepentingan Indonesia minimum 60 tahun mendatang. Visi MEF hari ini itu per 10 tahun, susah. Itu cara perhitungannya berbeda,” cetus Connie.

Dia melihat kemunduran cara berpikir dalam paradigma pembangunan pertahanan Indonesia sekarang. Salah satunya, masih dominannya orientasi pertahanan darat. Seharusnya, jika sejalan dengan doktrin outward looking military, arah penguatannya ada pada matra laut dan udara.

“Paradigma pertahanan kita juga terlalu berorientasi kepada daratan. Cara kita menetapkan ancaman kita juga dari darat. Kenapa kita tidak seperti zaman nenek moyang kita dahulu, seperti kerajaan Ternate dan Tidore misalnya? Mereka melihat ancaman itu dari laut. Makanya kenapa dulu kekuatan maritim kita bisa sampai ke Madagaskar. MEF kita zaman sekarang kalah dengan MEF kita zaman Tidore. Cara berpikir kita sekarang benar-benar mundur,” pungkasnya.




Sumber : JurnalMaritim

Satgas Rimpac 2014 Latihan Tembak Dan Fastrope




HAWAI-(IDB) : Segenap prajurit Korps Marinir TNI AL yang tergabung dalam Satgas Latma Multilateral Rim of Pacific (RIMPAC) 2014 dibawah pimpinan Mayor Marinir Briand Iwan Prang melaksanakan latihan di Marine Corps base Hawaii (MCBH) Kaneohe, OAHU-Hawaii, Minggu (29/06/2014).





Dalam kegiatan tersebut para prajurit dibagi menjadi dua peleton, peleton pertama yang dipimpin Kapten Marinir Agus Mutaqim, melaksanakan latihan ground/airboune Integrated Terminal & Fast Rope di boondeckren MCBH yang melibatkan marinir Amerika dan Korea.






Sementara itu, peleton kedua yang dipimpin oleh Lettu Marinir William David Halley melaksanakan latihan menembak di rank 9 bersama dengan marinir Amerika, Australia dam Tonga.





Para prajurit baret ungu ini dalam rangka mengikuti latihan militer maritim terbesar di dunia bertajuk Latma Multilateral RIMPAC 2014, merupakan latihan 2 tahunan yang digelar oleh Armada ke 3 Amerika dengan melibatkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, yang berlangsung mulai 2 Juni sampai dengan 1 Agustus 2014 mendatang.





Sumber : Kormar

Danguspurlaarmabar Tinjau Perairan Tanjung Datu

TD-(IDB) : Komandan Gugus Tempur Laut Komando Armada RI Kawasan Barat (Danguspurlaarmabar) Laksamana Pertama (Laksma) TNI Didik Setiyono melaksanakan peninjauan bersama tim verifikasi (Joint Verification) di perairan Tanjung Datu pada tanggal 19 sampai dengan 20 Juni 2014. Kegiatan verifikasi tersebut dalam rangka menindaklanjuti kemungkinan adanya pelanggaran batas wilayah perairan Indonesia oleh pihak Malaysia yang membangun tiang pancang lampu suar di Tanjung Datu, yang berada di daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Sarawak.

Tim verifikasi tersebut di antaranya Wiwiek S Firman (Plh Dirjen Hukum dan Perjanjian Kemenlu), Oktaviano Alimudin (Dir. Perjanjian Polkamwil Kemenlu), Dr. Sobar Sutisna (Peneliti Senior Badan Informasi Geospasial), Kolonel Laut (P) R  Achmad Rivai (Paban II Ops Sops Mabes TNI AL), Soedirman (Kasubdit Perambuan Kemenhub), Kolonel Laut (KH) Haris Joko Nugroho (Kemenhan), Kolonel Laut (P) Guntur Wahyudi (Danlanal Pontianak), Yuri Bestari Alwis (Kemenlu).

Dalam kegiatan tersebut, Komandan Guspurlaarmabar bersama tim verifikasi bertolak dari Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) Pontianak menuju perairan Tanjung Datu dengan menggunakan KRI Imam Bonjol-383.

Selain KRI Imam Bonjol-383, TNI Angkatan Laut juga mengerahkan dua KRI lainnya di antaranya KRI Lemadang-632 dan KRI Sembilang-850. Ketiga kapal perang tersebut merupakan unsur Satuan Kapal Eskorta (Satkor), Satuan Kapal Cepat (Satkat) dan Satuan Kapal Patroli (Satrol) jajaran Komando Armada RI Kawasan Barat.

Dalam kegiatan tersebut Danguspurlaarmabar beserta rombangan melaksanakan verifikasi dan pengumpulan data-data sebagai bahan referensi pada saat melaksanakan meeting antara pihak Indonesia dengan Malaysia di Bandung, yang rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 25 sampai dengan 26 Juni 2014. Untuk sementara pihak Indonesia maupun pihak Malaysia telah mendapatkan penghitungan secara cepat/quick count namun penghitungan secara detail/teliti terhadap hasil pengukuran posisi tiang pancang akan dilakukan di Jakarta dengan komputer.



Sumber : Koarmabar

Indonesia Sea And Cost Guard Diharapkan Segera Terbentuk

JAKARTA-(IDB) : Pelaku usaha pelayaran sangat berharap, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Sea and Coast Guard dapat ditetapkan menjadi Peraturan Pemerintah sebelum bergantinya pemerintahan saat ini dengan pemerintahan baru hasil Pemilihan Presiden, 9 Juli 2014.

Ketua Umum INSA Carmelita Hartoto, mengatakan, RPP tersebut sudah dinantikan pelaku usaha pelayaran untuk mengakhiri tumpang tindih kewenangan penegakan hukum di laut. "Kami berharap segera selesai. Kalau tidak, Indonesia belum memiliki badan tunggal dalam penegakan hukum di laut," katanya.

Carmelita menjelaskan pentingnya RPP ini menjadi landasan dasar bagi pemerintah untuk membentuk Badan Tunggal Sea and Coast Guard yang representatif, sesuai amanat UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.

Menurutnya, badan tunggal tersebut diharapkan mampu memutus rantai pengamanan laut yang dilakukan berbagai instansi seperti TNI Angkatan Laut, Polisi Air dan Udara, Bea dan Cukai, serta Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP).

Beberapa waktu lalu, Menteri Perhubungan EE. Mangindaan pernah mengatakan bahwa pembentukan badan tunggal pengamanan laut dan pantai bisa dilakukan pada tahun ini, seiring segera disahkannya RPP tentang Indonesia Sea and Coast Guard.

Kemenhhub telah menyetujui penyelarasan beberapa pasal dalam RPP Sea and Cost Guard yang selama ini menghambat proses penyusunan beleid RPP tersebut.

UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran mengamanatkan, pembentukan badan tunggal Sea and Coast Guard memiliki batas waktu tiga tahun setelah aturan itu keluar, yakni pada 2011. Namun, hingga tahun ini, RPP Sea and Cost Guard masih terkatung-katung.

Sementara itu, Direktur Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) Tri Yuswoyo menjelaskan kesiapan pihaknya jika tahun ini RPP Sea and Coast Guard disahkan. Tri berpendapat, domain keselamatan pelayaran berada di KPLP, bukan di institusi yang lain.

Menurut Tri, selama ini masih banyak ego sektoral yang membelenggu keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia, sehingga RPP Sea and Cost Guard sulit dicetuskan pemerintah.

"Karena banyak ego sektoral, pihak Kemenhub sendiri sudah sering melakukan harmonisasi dengan berbagai kementerian dan institusi agar RPP ini bisa disahkan tahun ini," ujar Tri.

Cost Guard Indonesia bisa jadi akan menggabungkan beberapa institusi menjadi badan tunggal yang kuat untuk mengamankan dan menjaga keselamatan pelayaran Indonesia. 


Revisi Pasal 24 UU Perairan Indonesia, Bakorkamla Menjadi Bakamla 

Konsekuensi dan tanggung jawab Indonesia sejak berlakunya Konvensi PBB tentang Hukum Laut Tahun 1982 dan diterimanya konsep Negara Kesatuan RI sebagai Negara Kepulauan dengan laus lautan mencapai 5,8 juta kilometer persegi dan garis pantai sepanjang kurang lebih 81 ribu kilometer, serta ditetapkannya alur laut kepulauan di Indonesia untuk mengakomodasi kepentingan layar kapal asing yang akan berlayar di Zona Ekonomi Eksklusif di perairan Indonesia adalah melakukan perlindungan terhadap kemanan laut.

"Pengelolaan keamanan di laut Indonesia selama ini diselenggarakan oleh 13 instansi pemerintah yang memiliki strategi dan kebijakan yang berbeda-beda, sehingga tidak terintegrasi dan satu komando," ujar Amir.

Hal tersebut, lanjut Amir, mengakibatkan terus meningkatnya ancaman keamanan dan pelanggaran hukum di laut, sehingga mengganggu keamanan perairan kawasan dan perbatasan antarnegara.

"Untuk itu perlu adanya perubahan konsep pengelolaan keamanan di laut dari multi agency single task menjadi single agency multy task. Oleh karenanya perlu memperkuat lembaga badan koordinasi keamanan laut (Bakorkamla) menjadi badan keamanan laut (Bakamla) dengan merevisi Pasal 24 UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia," ujar Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin, sebagai pengusul Revisi UU Perairan, sebagaimana dilansir laman DPR RI.

Seperti diketahui, Badan Legislasi DPR dan Pemerintah (Kementerian Hukum dan HAM) menyepakati RUU tentang Perubahan (Revisi) UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas 2014.

Hal tersebut disepakati dalam Rapat Kerja Baleg DPR dipimpin Ketua Baleg, Ignatius Mulyono, dengan Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin, di Ruang Rapat Baleg, Gedung DPR RI, Jakarta, membahas usulan tiga RUU baru dalam Prolegnas 2014.

RUU tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia merupakan RUU usul dari pemerintah.

Menurut Mulyono, dengan penambahan satu RUU tersebut, RUU Prioritas 2014 menjadi 67 RUU. Ia mengingatkan, masih cukup banyak RUU Prioritas 2014 yang belum diselesaikan, sementara waktu kerja Anggota DPR RI Periode 2009-2014 hanya sampai 30 September 2014.

“Saya mengingatkan teman-teman, capaian kita masih sangat rendah dan saya minta untuk ditingkatkan. Karena apabila pembahasan RUU tidak selesai maka akan diulang untuk menjadi bahan usulan baru RUU pada Prolegnas 2014-2019,” tutur politisi Partai Demokrat tersebut.




Sumber : JurnalMaritim

Mengintip Upgrade F-16 Blok 25 Hibah

ARC-(IDB) : F-16 C/D Blok 25 upgrade TNI-AU sudah semakin didepan mata. Situs TNI-AU mengabarkan, para calon penerbang telah dikirim ke Amerika Serikat untuk berlatih menggunakan pesawat hibah tersebut. Dari data yang didapat ARC, F-16 tersebut akan tiba pada akhir Juli 2014 nanti.

Dari sisi avionik, kemampuan F-16 C/D Blok 25 Upgrade itu telah mengalami peningkatan kemampuan signifikan. Dari data yang dikeluarkan Kementrian Pertahanan pada Oktober lalu, terlihat jelas sejumlah modifikasi dan peningkatan itu. 

Diantaranya adalah pemasangan Modular Mission Computer, Digital Video Recorder, IDM, dan lainnya. Namun demikian untuk radar tampaknya masih menggunakan standar Blok 25 yaitu APG-68 (V). Itu untuk urusan avionik. Di kokpit sejumlah sentuhan modernisasi juga dilakukan. 

 Diantaranya pemasangan Common Color Multifunction Display, NVIS cockpit dan lainnya. Ditambah pula dengan perangkat bela diri berupa RWR ALR-69, External ECM dan lainnya. untuk lengkapnya, lihat bagan dibawah ini.
Selain upgrade kemampuan, dilakukan juga peremajaan struktur berupa program Falcon Star. Dengan program ini usia pesawat akan meningkat hingga 10.800 EFH (equivalent Flying Hours). Jika penggunaan pesawat sebanyak 200-300 EFH pertahun, maka F-16 hibah itu masih bisa digunakan antara 12 hingga 24 tahun.
Untuk Proyek ini Kemenhan tampaknya tidak main-main. Sejumlah persenjataan juga diborong, meski dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Beberapa diantaranya adalah AIM-120 C7 AMRAAM, JDAM Kit, hingga JHMCS (joint helmet mounted cueing system). Namun demikian, khusus pengadaan senjata ini masih menunggu persetujuan Pemerintah Amerika Serikat.

Memang disadari F-16 Blok 25 Upgrade ini masih kalah canggih dibanding F-16 Blok 52 milik Singapura. Namun demikian, upaya ini patut diapresiasi, karena mampu mengembangkan otot TNI-AU secara signifikan.




Sumber : ARC

Pesawat F-16 C/D k 52 ID Yang Akan Perkuat TNI AU

TUCSON-(IDB) : Indonesia akan memiliki 24 pesawat tempur F-16 setara Block 52. Pesawat F-16 C/D ini merupakan pesawat bekas hibah dari US Air Force yang telah diupgrade menjadi setara Block 52.

Pengadaan pesawat tempur ini sempat mendapat protes dari Komisi I DPR. Mereka meminta TNI AU membeli pesawat baru saja, daripada pesawat bekas hibah yang diupgrade. Namun TNI AU menjamin pesawat F-16 ini pun tak kalah canggih dengan beli baru.

"Pesawat tempur F-16 C/D yang saat ini sedang diupgrade di Hill AFB memiliki nama resmi F-16 C/D k 52 ID. Pesawat ini memiliki kemampuan dalam banyak hal setara dengan pesawat F-16 Block 52. Khususnya bidang kecanggihan avionic, kemampuan tempur dan jenis persenjataannya," kata Kadispen TNI AU Marsekal Hadi Tjahjanto, Selasa (1/7).

Seluruh pesawat sebelumnya digunakan oleh USAF dan disimpan dengan baik di Davis Monthan AFB/AMARG (Aerospace Maintenance & Regeneration Group) yang berlokasi di gurun yang sangat kering.

Sementara seluruh mesin pesawat tipe F100-PW-220/E menjalani upgrade di fasilitas pabrik Pratt & Whitney di Old Kelly AFB. Sehingga menjadi baru kembali memiliki umur komponen dua kali lebih lama dari mesin standar.

"Seluruh pesawat menjalani upgrading dan refurbished rangka serta sistem avionic dan persenjataan di Ogden Air Logistics Center yang berada di Hill AFB, Odgen, Utah. Rangka pesawat diperkuat, jaringan kabel dan elektronik baru dipasang, semua sistem lama direkondisi menjadi baru dan system baru ditambahkan agar pesawat lahir kembali siap menjadi pesawat baru dengan kemampuan jauh lebih hebat dari saat kelahirannya," kata Hadi.

Sebetulnya pesawat F-16 C/D 52ID F-16 berdasarkan F-16 C/D Block 25 yang memiliki bentuk fisik dan berat kotor maksimum serta tipe mesin yang sama dengan pesawat F-16 Block 15 A/B OCU yang kita miliki.

Memang pesawat F-16 C/D Block 52 dengan daya dorong lebih besar mampu mengangkut senjata lebih berat dan bisa terbang lebih jauh. Namun dalam close combat atau pertempuran udara jarak pendek maka pesawat F-16 TNI AU memiliki kelincahan yang lebih baik dari F-16 Block 52.

Sehingga untuk urusan pertempuran udara dengan rudal jarak pendek AIM-9 Sidewinder P-4/L/M dan IRIS-T (NATO) serta rudal jarak sedang AIM-120 AMRAAM-C jelas pesawat F-16 C/D 52ID TNI AU tidak kalah dengan pesawat F-16 C/D Block 50/52.

Untuk serangan permukaan darat dan perairan Pesawat F-16 ID juga mampu menggotong persenjataan kanon 20 mm, bomb standar MK 81/82/83/84, Laser Guided Bomb, JDAM (GPS Bomb), rudal AGM-65 Maverick, rudal AGM-84 Harpoon (anti kapal), rudal AGM-88 HARM (anti radar).

Pesawat ini juga mampu menggunakan navigation dan targeting pod untuk operasi malam hari serta missi Supression Of Enemy Air Defence (SEAD) menghancurkan pertahanan udara musuh. Improved Data Modem memungkinkan penerbang melakukan komunikasi tanpa suara hanya menggunakan komunikasi data dengan pesawat lain dan radar darat, radar laut atau radar terbang.

TNI AU mengklaim upgrade Pesawat F-16 C/D 52ID tidak main-main karena mengejar kemampuan setara dengan Block 52. Di antaranya memasang Mission Computer MMC- 7000A versi M-5 yang dipakai Block 52+, Improved Data Modem Link 16 Block-52, Embedded GPS INS (EGI) block-52 yang menggabungkan fungsi GPS dan INS.

Selain itu AN/ALQ-213 Electronic Warfare Management System, ALR-69 Class IV Radar Warning Receiver, ALE-47 Countermeasures Dispenser Set untuk melepaskan Chaff/Flare. Sementara radar AN/APG-68 (V) diupgrade agar meningkat kemampuannya.

Pesawat F-16 C/D 52ID TNI AU menjalani program The Common Configuration Implementation Program (CCIP) seperti yang dilakukan pada pesawat F-16 CD Blok 40/42 USAF agar meningkat menjadi standar Blok-50/52. Semua pesawat F-16 C/D 52ID TNI AU juga menjalani modifikasi struktur rangka pesawat dengan program Falcon STAR (Structural Augmentation Roadmap) sehingga umur rangka pesawat menjadi lebih dari 10.000 jam.

Hal ini memungkinkan pesawat dipakai selama 10 tahun lagi sebelum menjalani Dervice Life Extension Program (SLEP) yang mampu menambah umur rangka pesawat sekitar 2000 jam atau 10 tahun masa pakai.




Sumber : Merdeka