Pages

Senin, Juni 23, 2014

AMIS Ancam Kedaulatan Laut Indonesia

JAKARTA-(IDB) : Australia’s Maritime Identification System (AMIS) dapat mengancam kedaulatan laut Indonesia. AMIS merupakan manifestasi konsep regional maritime security Amerika Serikat yang diterjemahkan Australia untuk menguatkan strategi pertahanan maritim.


“Dengan adanya AMIS, Australia dapat memantau seluruh potensi laut kita melalui radarnya. Mereka menganggap Indonesia adalah jalur strategis yang dapat membendung kekuatan Tiongkok,” ujar Kepala Sub Dinas Penerangan Umum Dispenal Mabesal, Kolonel Laut Suradi AS saat ditemui JMOL di ruang kerjanya.


Melihat ancaman tersebut, sudah selayaknya pemerintah menanamkan doktrin maritim bagi rakyat Indonesia untuk meng-counter gejala ini. Doktrin tersebut juga akan berpengaruh pada alutsista TNI AL dalam menjaga kedaulatan laut.


Lebih jauh, Suradi mengatakan, saat ini TNI AL telah melakukan langkah-langkah strategis untuk membendung AMIS. Namun, karena berkaitan dengan strategi maka langkah-langkah tersebut juga bersifat rahasia.


“Tentunya langkah-langkah strategis yang berkaitan dengan strategi untuk membendung AMIS itu berkaitan juga dengan alutsista, dan ini belum menjadi konsumsi publik karena nanti kekuatan kita dapat diukur oleh negara tetangga,” tambahnya.


Memberdayakan Pulau Terluar


Sementara itu, di tempat terpisah, peneliti dari Klub Studi Perbatasan (KSP), Steven Pailah, menyatakan, konsep AMIS merupakan kelanjutan dari regional defence yang menjadi pijakan strategi forward defence Australia. Jika ditelusuri, kebijakan pertahanan Australia justru menempatkan Indonesia sebagai wilayah ancaman dalam konsentrik pertahanannya.


Menurut Steven, Pertahanan Australia dari tahun ke tahun terbagi dalam beberapa fase. Fase pertama tahun 1901-1942 dan 1945-1969 yang membawa militer Australia terintegrasi dalam pertahanan Inggris, Imperial Defence, menjadi Commonwealth Defence.


Fase kedua tahun 1955-1972, Australia menerapkan forward defence atau strategi pembendungan komunisme di Asia Tenggara. Fase ketiga tahun 1973-1997, strategi pertahanan Australia menjadi Defence of Australia.


Fase keempat tahun 1997 hingga sekarang, Australia menerapkan regional defence dengan strategi varian kerja sama pengembangan Pertahanan Misil (Missile Defence) bersama AS.


Melihat perkembangan pertahanan Australia dari tahun ke tahun, Steven berharap agar Indonesia dapat membuat kebijakan yang diarahkan pada supply logistic reguler dengan memberdayakan pulau-pulau kecil sebagai pangkalan bantu dan perantara.


“Dengan demikian, meskipun anggaran terbatas, kapasitas minimum dan kesiapan armada laut yang serba pas-pasan, setidaknya kita sudah melakukan upaya untuk menjaga Tanah Air Indonesia,” katanya.




Sumber : JurnalMaritim

Bakamla Butuh Otoritas Penuh Amankan Wilayah Maritim Indonesia

DENPASAR-(IDB) : Laut di wilayah Perairan Indonesia berperanan penting bagi hajat orang banyak. Bukan hanya kekayaan sumberdaya alam, namun juga penghubung pulau-pulau, bahkan benua. Dengan peningkatan kegiatan perniagaan, pengamanan wilayah maritim saat ini belum optimal.

“Badan Keamanan Laut (Bakamla) membutuhkan otoritas penuh dalam mengamankan wilayah kemaritiman Indonesia,” ujar Kalakhar Bakorkamla, Laksamana Madya DA. Mamahit mewakili Menkopolhukam, Djoko Suyanto, dalam 5th Maritime Security Desktop Excersise (MSDE) bekerja sama dengan Australian Custom and Border Protection Service (ACBPS) di Bali, 16-18 Juni 2014.


Di depan perwakilan 17 negara yang hadir, Mamahit menjelaskan keterbatasan pengamanan maritim yang disebabkan beberapa hal, antara lain sarana dan prasarana, juga strategi pengamanan negara yang belum terintegrasi.


MSDE adalah kegiatan rutin yang diselenggarakan Indonesia dan Australia. Selain menjadi forum komunikasi dan pertukaran informasi badan keamanan maritim kedua belah pihak, juga menjadi ajang latihan bersama dalam menangani penegakan hukum di laut yang sering terjadi di lintas negara.




Sumber : JurnalMaritim

DPR : Perlu Penguatan Dan Peningkatan Personel TNI AL

JAKARTA-(IDB) : Anggota Komisi I DPR RI Susaningtyas Kertopati mengatakan perlu dilakukan penguatan dan peningkatan personel dan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI AL mengingat eskalasi ancaman.

"Ancaman dan tantangan keamanan terbesar yang ada di wilayah Asia Tenggara saat ini adalah memanasnya konflik Laut Tiongkok Selatan dimana melibatkan beberapa negara di kawasan Asean seperti Filipina, Malaysia, Thailand ,Vietnam," kata Susaningtyas atau Nuning di Jakarta, Senin.

Politisi Partai Hanura itu mengatakan situasi di Laut Tiongkok Selatan patut diwaspadai karena merupakan salah satu jalur laut tersibuk di dunia.

"Oleh karena itu Indonesia dalam hal ini TNI mempunyai peranan penting dalam membangun kestabilan dan keamanan regional guna memelihara keseimbangan di antara negara-negara berkepentingan yang dikendalikan oleh kekuatan dari luar wilayah," kata dia.

Indonesia, katanya, harus bisa meningkatkan hubungan, menyebarkan gagasan, dan melontarkan inisiatif terwujudnya �U-shape line area� sebagai zona ASEAN- China Strategic Petroleum Reserve dan terciptanya ASEAN-China Maritime Security Initiative pada pengawasan dan patroli laut-udara di wilayah Laut Cina Selatan.

Masalah keamanan yang lain dan perlu untuk ditangani bersama adalah mengatasi kejahatan lintas Negara (transnational crime ) dan isu-isu keamanan perbatasan lainnya.

Wilayah perbatasan yang jauh dan pengawasan sering dimanfaatkan pihak-pihak tertentu sebagai gerbang kegiatan ilegal, misalnya perompakan/pembajakan, penyelundupan, penangkapan ikan secara ilegal, perambahan hutan ilegal, penggeseran patok-patok perbatasan dan pelintasan batas ilegal.

"Saya setuju dengan apa yang disampaikan oleh Joko Widodo bahwa sebagai negara maritim kita harus memberi penguatan terhadap politik anggaran kemaritiman diperbesar, hal tentu mengingat meningkatnya eskalasi ancaman kewilayahan yang ada," ujarnya.

"Ini sebenarnya kan suatu kondisi yang terkait Sea Power di mana dalam menjaga wilayah terpadu. Kita mayoritas perairan, justru itu armada laut yang dibesarkan agar kita juga bisa lakukan pengawasan critical border," kata Nuning.



Sumber : Antara

Perang Modern Butuh Kecanggihan Otak

“Paradigma perang modern adalah perang kecanggihan otak, kecanggihan sistim, kecanggihan peralatan tempur dan juga kecanggihan logistik, bukan lagi hanya perang secara konvensional atau tradisional,” ujar Danjen Akademi TNI.

YOGYAKARTA-(IDB) : Komandan Jenderal (Danjen) Akademi TNI Marsda TNI Bambang Samoedro, S.Sos.,M.M memberikan pembekalan kepada 453 orang Calon Perwira Remaja (Capaja) lulusan Akmil, AAL dan AAU di Gedung Graha Sabang Merauke (GSM) Akademi Angkatan Udara, Yogyakarta, Minggu (22/6/2014).

Marsda TNI Bambang Samoedro mengatakan, perkembangan globalisasi dunia saat ini sangat dinamis, termasuk didalam  teknis strategi perang. Perang modern kedepan sarat dengan upaya adu domba dan provokasi.

“Paradigma perang modern  adalah  perang kecanggihan otak, kecanggihan sistim, kecanggihan peralatan tempur dan juga  kecanggihan logistik, bukan lagi hanya perang secara konvensional atau tradisional,” ujar Danjen Akademi TNI.

Karena itu, katanya, para Capaja harus mempersiapkan diri secara maksimal  agar mampu memahami dan berperan serta mengantisipasi segala efek yang mungkin diakibatkannya.

Disadari atau tidak, bahwa  pengetahuan dan  kemampuan  yang  saudara peroleh selama mengikuti pendidikan  di Akademi TNI, tentunya masih sangat jauh dari cukup apalagi sempurna.

“Oleh karenanya, tidak ada kata cukup untuk ilmu pengetahuan dan wawasan, jangan pernah berhenti dalam menggali dan menimba ilmu,” pungkasnya.

Gubernur Akademi TNI didampingi Gubernur AAL Laksda TNI Taufiqoerrochman, S.E., Gubernur AAU Marsda TNI Tabri Santoso, S.E. dan Wagub Akmil Brigjen TNI Sumedy, S.E.,M.M.




Sumber : PelitaOnline

Mantan KSAD : Alutsista Indonesia Paling Tertinggal

JERMAN-(IDB) : Pembelian 164 unit tank Leopard jenis main battle tank dan medium tank IFV Marder sebagai bagian dari modernisasi alutsista. Sebab di antara beberapa tetangga negara Asean, Alutsista Indonesia termasuk yang paling terbelakang.

“Selama ini Indonesia hanya mengandalkan pada tank tempur ringan seperti Scorpion, dan AMX 13 yang sudah terbilang uzur,” ujar mantan KSAD Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo di Jakarta,(23/6/2014).

Edhie yang menginiasi pembelian tank Leopard ketika dirinya menjabat sebagai KSAD itu sebagai bagian dari modernisasi alutsista.

Pembelian ini merupakan bagian penting dari penyegaran alutsista yang terakhir dilakukan pada 30 tahun lalu.

“Indonesia perlu melakukan penyegaran untuk menjamin kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” katanya.

Rencananya, Pramono Edhie hari ini bertolak ke Hamburg, Jerman untuk hadir dalam upacara pengiriman pertama 52 tank Leopard yang dipesan TNI AD, melalui Kementerian Pertahanan pada 2013.

Upacara pengiriman paket pertama tank Leopard ini akan dilaksanakan di Unterluss, Jerman. Rombongan High Level Committee (HLC) dipimpin oleh Wamenhan, Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin.

Tank Leopard itu dibeli lengkap beserta amunisi, peluru latihan, dan suku cadang dari perusahaan Jerman, Rheinmettal AG, atas persetujuan Pemerintah Jerman



Sumber : PelitaOnline

Latihan Defence Post Dan Shelter Kontingen Garuda

NAQOURA-(IDB) : Deputy Force Commander (DFC) UNIFIL (United Nations Interim Force in Lebanon) Brigadir Jenderal Tarundep Kumar asal India meninjau prajurit TNI yang tergabung dalam Satgas Indo FPC (Indonesia Force Protection Company) TNI Kontingen Garuda (Konga) XXVI-F2/UNIFIL melaksanakan Latihan Defence Post dan Shelter, bertempat di Green Hill (Area of Operation), Naqoura, Lebanon Selatan, Sabtu (21/6).

Latihan kesiapsiagaan menghadapi ancaman kondisi keamanan di wilayah Lebanon Selatan tersebut merupakan bentuk latihan kesiapsiagaan satuan yang merupakan tindak lanjut dari hasil briefing beberapa waktu lalu, yang dipimpin langsung oleh Deputy Force Commander UNIFIL kepada seluruh pejabat branch office UNIFIL yang terkait urusan keamanan Markas UNIFIL.

Turut hadir dalam briefing tersebut, diantaranya Komandan Satgas (Dansatgas) Indo FPC TNI Konga XXVI-F2/UNIFIL Letkol Inf Aulia Dwi Nasrullah, Dansatgas SLFPC (Srilangka Force Protection Company) Letkol Nilantha Fernando serta Komandan Kontingen Garuda TNI UNIFIL Kolonel Inf Adipati Karnawijaya.

Diskenariokan, kondisi keamanan di wilayah daerah misi meningkat, bahkan Head Quarter (HQ) UNIFIL juga merasakan imbas dari meningkatnya status keamanan ini. Satgas Indo FPC TNI sebagai penanggung jawab keamanan HQ UNIFIL, khususnya Green Hill Area langsung mendapatkan perintah untuk menambah perkuatan di semua sektor sesuai dengan Standart Operational Procedur yang ada.

Dengan sigap seluruh personel Satgas Indo FPC TNI Konga XXVI-F2/UNIFIL berkumpul di lapangan Sudirman dan dengan tangkas menaiki kendaraan yang telah disiapkan untuk mengantar para personel tersebut memasuki tempat Defence Post yang telah ditentukan, termasuk penempatan 3 sniper di Observation Post.

Selanjutnya, karena eskalasi semakin meningkat, semua personel yang berada di Sudirman Camp segera mendapatkan perintah untuk memasuki Shelter yang telah disiapkan, pengendalian operasional terhadap personel yang bertugas di lapangan dilakukan dari dalam bungker tersebut.

Seusai pelaksanaan latihan, DFC UNIFIL Brigadir Jenderal Tarundep Kumar mengatakan bahwa latihan ini bagus dan berjalan dengan tertib serta aman. “Kesiapsiagaan satuan faktor utama adalah kesiapan operasional seluruh Ranpur yang dimiliki”, katanya.

“Saya merasa bangga kepada seluruh personel yang terlibat dalam latihan ini, dengan performance yang sudah ditampilkan pada latihan ini kita dapat menjawab semua tugas yang diberikan oleh UNIFIL”, kata Dansatgas Indo FPC TNI Letkol Inf Aulia Dwi Nasrullah.



Sumber : SuaraPembaruan

UAV Produksi Lapan

JAKARTA-(IDB) : Calon presiden nomor urut 2 Joko Widodo (Jokowi) menginginkan penggunaan Drone atau pesawat tanpa awak untuk meminimalisir praktik perikanan ilegal (illegal fishing) yang merugikan negara. Drone ini sudah diproduksi di dalam negeri oleh Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan).

"Lapan sudah membuat pesawat tanpa awak atau disebut Lapan Surveillance Unmanned (LSU) Aerial Vehicle," kata Deputi bidang Teknologi Dirgantara Lapan Rika Andiarti saat ditemui detikFinance di Kantor Pusat Lapan, Jalan Pemuda Persil, Rawamangun, Jakarta, Senin (23/06/2014).

Rika mengungkapkan, Lapan sudah memulai memproduksi pesawat tanpa awak sejak tahun 2011 seiring pengembangan program penerbangan nasional. Pesawat tanpa awak pertama yang dibuat dan dikembangkan Lapan adalah jenis Lapan Surveillance UAV-01X.

"LSU 01X dioperasional pada tahun 2012. Saat itu kita operasikan untuk mitigasi bencana meletusnya Gunung Merapi," imbuhnya.

Lapan Surveillance UAV-01X adalah jenis pesawat tanpa awak berukuran kecil yang membawa kamera seberat 1,5 kg. Cara menerbangkan pesawat ini cukup hanya dilempar dan dapat mengudara selama 30 menit sepanjang 40 km dengan daya tinggi jelajah 500 meter.

Setelah itu, Lapan kemudian mengembangkan LSU 02 dengan ukuran dan tingkat daya jelajah lebih besar dibandingkan 01X. Teknologi yang digunakan juga jauh lebih tinggi dibandingkan 01X.

"Lapan Surveillance Unmanned Aerial Vehicle-02 atau LSU 02 terbang sejauh 200 kilometer. Dengan kecepatan terbang mencapai 100 km/jam. LSU 02 memiliki bentang sayap 2.400 mm dengan panjang beda 1.700 mm. Pesawat tanpa awak ini dapat digunakan untuk keperluan Airbone Remonte Sensing dengan tinggi daya jelajah 3.000 meter," paparnya.


Mampu Padamkan Kebakaran Hutan 

Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan) serius menggarap dan mengembangkan pesawat tanpa awak atau Lapan Surveillance Unmanned (LSU) Aerial Vehicle. Setelah memproduksi pesawat tanpa awak jenis Lapan Surveillance UAV-01X dan LSU 02, Lapan juga mempunyai LSU 03.

Ukuran pesawat tanpa awak ini lebih besar dari seri sebelumnya yaitu LSU 02.

"LSU 03 bentangannya 5 meter itu hanya bentang sayap, badan 4 meter. Daya jelajah 400 km dengan ketinggian antara 3.000-4.000 meter," kata Deputi bidang Teknologi Dirgantara Lapan Rika Andiarti saat ditemui detikFinance di Kantor Pusat Lapan, Jalan Pemuda Persil, Rawamangun, Jakarta, Senin (23/06/2014).

Secara total, jumlah koleksi pesawat tanpa awak milik Lapan berjumlah 3 unit. Di tahun ini, Lapan juga sedang mengembangkan jenis pesawat tanpa awak terbaru dengan series LSA 05.

"Namanya bukan LSU lagi tetapi LSA atau Lapan Surveillance Aircraft 05 buatan Indonesia Prototipe sudah disiapkan tinggal uji terbang. LSA 05 ini lebih canggih dan ukurannya lebih besar. Kapasitas bahan bakar lebih banyak," katanya.

Nantinya pesawat tanpa awak jenis LSA 05 bisa digunakan untuk pemadaman kebarakan hutan dan keperluan pemantauan strategis lainnya. Pesawat ini mampu terbang non-stop 6-8 jam dengan jangkauan tempuh hingga mencapai 1.300 km dan tinggi hingga 5.000 km serta mampu membawa beban hingga 160 kg.

"Sedang terus kita kembangkan hingga bisa diuji terbang dan digunakan untuk keperluan negara," jelasnya.  


40% Komponen Masih Impor

Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan) sudah mampu membuat dan membangun pesawat tanpa awak atau Lapan Surveillance Unmanned (LSU) Aerial Vehicle. Komponen produk pesawat tanpa awak ini tidak sepenuhnya buatan lokal. Masih ada yang harus diimpor, seperti mesin dan motor penggerak.

"Komponen impor masih ada karena memang keterbatasan kita seperti motor dan mesin," kata Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Lapan Jasyanto saat ditemui detikFinance di Kantor Pusat Lapan, Jalan Pemuda Persil, Rawamangun, Jakarta, Senin (23/06/2014).

Selain motor dan mesin, komponen lainnya murni dibuat di Indonesia. Porsi komponen lokal pesawat tanpa awak yang dibuat Lapan jauh lebih besar dibandingkan komponen impornya.

"Kalau untuk kerangka badan pesawat, bentang sayap hingga program dibuat di dalam negeri semua. Porsinya 60% komponen dari dalam negeri sisanya impor," imbuhnya.

Di tempat yang sama, Deputi bidang Teknologi Dirgantara Lapan Rika Andiarti mengakui, masih ada beberapa komponen pesawat yang masih harus diimpor dari negara lain. Impor dilakukan karena keterbatasan industri yang ada di dalam negeri.

"Masih ada komponen yang harus kita impor terutama dari sisi elektronik. Tetapi kita juga mampu membuat alat elektronik lainnya yang dibutuhkan pada jenis pesawat ini," katanya. 


Harga Murah

Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan) sudah mampu membuat dan membangun pesawat tanpa awak atau Lapan Surveillance Unmanned (LSU) Aerial Vehicle. Setidaknya ada 3 pesawat tanpa awak yang diproduksi Lapan, yaitu Lapan Surveillance UAV-01X, LSU 02, dan LSU 03.

Lalu berapa harganya?

Pesawat tanpa awak atau Drone ini masuk jadi salah satu visi dan misi calon presiden Joko Widodo (Jokowi), untuk mengawasi penangkapan ikan ilegal di lautan Indonesia.

"Saya hanya contohkan satu jenis pesawat saja yaitu LSU 02. Kalau LSU 02 harganya Rp 40 juta/unit," ungkap Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Lapan Jasyanto saat ditemui detikFinance di Kantor Pusat Lapan, Jalan Pemuda Persil, Rawamangun, Jakarta, Senin (23/06/2014).

Menurut Jasyanto, faktor yang mempengaruhi besar kecilnya harga pesawat tergantung spesifikasi yang dimiliki pesawat tersebut. Lapan Surveillance Unmanned (LSU) Aerial Vehicle-02 atau LSU 02 memiliki spesifikasi bisa terbang sejauh 200 kilometer. Dengan kecepatan terbang mencapai 100 km/jam.

LSU 02 memiliki bentang sayap 2.400 mm dengan panjang beda 1.700 mm. Pesawat tanpa awak ini dapat digunakan untuk keperluan Airbone Remonte Sensing dengan tinggi daya jelajah 3.000 meter.

Jasyanto mengakui harga LSU 02 buatan Lapan jauh lebih murah dibandingkan pesawat tanpa awak dengan spesifikasi serupa buatan negara lain.

"Ada penawaran dari negara luar dengan spesifikasi yang sama harganya bisa capai Rp 1 miliar/unit," imbuhnya.

Jasyanto mengungkapkan, saat ini hampir semua negara sudah mulai membangun dan mengembangkan industri pesawat terbang tanpa awak. Salah satunya adalah negara Malaysia.

"Penelitian pesawat tanpa awak ini sudah banyak, hampir setiap negara juga punya. Malaysia juga sudah punya," cetusnya.

Seperti diketahui, Lapan dari tahun 2011 hingga saat ini telah mempunyai 3 jenis pesawat tanpa awak yaitu pesawat tanpa awak jenis Lapan Surveillance UAV-01X dan LSU 02, dan LSU 03. Di tahun 2014 ini, Lapan juga sedang mengembangkan jenis pesawat tanpa awak terbaru dengan series LSA 05.

Nantinya pesawat tanpa awak jenis LSA 05 bisa digunakan untuk pemadaman kebarakan hutan dan keperluan pemantauan strategis lainnya. Pesawat ini mampu terbang non-stop 6-8 jam dengan jangkauan tempuh hingga mencapai 1.300 km dan tinggi hingga 5.000 km serta mampu membawa beban hingga 160 kg.




Sumber : Deik

Anggaran Terbatas, Lapan Belum Bisa Produksi Satelit Made In Indonesia

JAKARTA-(IDB) : Keterbatasan dana yang diberikan pemerintah kepada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) membuat sejumlah program termasuk pembuatan satelit belum berjalan optimal.

Tahun ini Lapan mendapatkan alokasi anggaran Rp 800 miliar. Sementara rata-rata biaya pembuatan satelit mencapai Rp 2,5 triliun.

"Kami juga prihatin dengan anggaran untuk antariksa yang besar itu jauh dari semestinya. Kita dengar bank nasional membeli satelit sendiri dengan harga Rp 2,5 triliun untuk 7 sampai 15 tahun ke depan. Dengan anggaran Lapan hanya kurang dari Rp 1 triliun, saya anggap anggaran masih sangat kecil dibandingkan harga satu satelit komunikasi saja," kata Kepala Lapan Thomas Djamaluddin saat melakukan kerjasama penandatangan penggunaan teknologi dengan Pemerintah Daerah di Gedung Utama Lapan, Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (23/06/2014).

Thomas menjelaskan, kepemilikan satelit bagi Indonesia penting, untuk berbagai tujuan, seperti untuk komunikasi, kerahasiaan informasi negara, informasi cuaca dan manfaat lainnya. Bila kebutuhan yang besar ini tidak dipenuhi dari produksi dalam negeri, maka Indonesia akan sepenuhnya menumpang satelit dari organisasi atau negara lain.

"Kebutuhan satelit informasi dan penginderaan jauh kita masih bergantung dari negara lain. Satelit sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari negara kita. Satelit jelas membantu mengembangkan daerah. Kalau begitu kita harus mandiri. Sejak tahun 1976 kita menjadi pengguna satelit komunikasi dan hingga saat ini masih bergantung dari negara lain," tuturnya.

Ia sangat berharap pemerintah mendatang bisa membuat program pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Salah satu harapan dia adalah pemerintah mendatang memberikan porsi anggaran yang jauh lebih besar untuk membangun dan mengembangkan IPTEK di dalam negeri.

Lapan bermimpi bisa meluncurkan satelit penginderaan jarak jauh sendiri. Kemudian merancang, membuat, meluncurkan, dan mengorbitkan sendiri. Selain itu Lapan juga berharap sama untuk membangun satelit komunikasi dengan wahana sendiri dan mempunyai bandara sendiri.

"Itu cita-cita besar kami. Mudah-mudahan janji capres dan cawapres untuk mengembangkan IPTEK bukan hanya sekedar janji. Kita harap tahun 2015 pengembangan IPTEK akan tinggi lagi," cetusnya.



Sumber : Detik

KASAD : Menwa Komponen Penting Mewujudkan Sishanneg

BANDUNG-(IDB) : Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad), Jendral TNI Budiman, bertindak selaku Inspektur Upacara pada peringatan 55 Tahun Menwa Mahawarman Jawa Barat di Lapangan Kampus ITB, jl Ganesa, Bandung pada Sabtu (14/6) pukul 08.00 Dalam amanatnya Kasad menyampaikan bahwa Resimen Mahasiswa (Menwa) merupakan komponen pendukung (komduk) yang memiliki kedudukan penting dalam mewujudkan Sistem Pertahanan Negara yang tangguh hingga momen peringatan tersebut seyogyanya dimanfaatkan untuk menyegarkan dan mengembangkan lebih lanjut rasa kebanggaan serta kecintaan Menwa terhadap bangsa dan negara Indonesia tercinta.
 

Adapun kegiatan tersebut dihadiri oleh para pejabat Pemprov Jawa Barat, perwakilan perguruan tinggi se-Jawa Barat, Dankodiklat TNI AD, Pangdam III/Siliwangi, para asisten Kasad, para Komandan Balakpus, Civitas Korps Nasional Menwa Indonesia, Civitas Korps Mahawarman Jawa Barat, dan peserta upacara sekitar 300 anggota Menwa dari 12 batalyon yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di Jawa Barat.
 

Kegiatan dilanjutkan Seminar nasional di Aula Timur ITB dengan Tema “Cyber War Attack” yaitu Kewaspadaan dan Implementasi Kebijakan Nasional Menghadapi Cyber War Attack Kasad selaku narasumber menegaskan bahwa kepercayaan pada SDM maupun bahan baku lokal dalam pembangunan infrastruktur cyber technology/ warfare untuk memperkuat sistem pengamanan berskala nasional sebagai perisai menghadapi gencarnya serbuan-serbuan teknologi asing yang bertujuan melemahkan pertahanan NKRI.
 

Menurut Budiman dalam Riset dan pengembangan teknologi cyber warfare serta sumber energi alternatif pun, , konsisten dijalankan dengan melibatkan para peneliti unggulan plus bahan baku asli Indonesia,”Semua konten lokal kita terbukti unggul di kelasnya.” Kata Jendral TNI Budiman.
 

Seiring kemajuan Teknologi Pertahanan, Cyber War menjadi salah satu unsur Potensi gangguan keamanan dari Negara lain. Dalam mempersiapkan kemungkinan yang terjadi di masa depan, Kepala Staf TNI AD (Kasad), Jenderal TNI Budiman akan merubah pola Recruitment Prajurit TNI AD.


Mulai tahun ini “Recruitment TNI AD akan diitikberatkan pada kualitas intelektual Tinggi bagi calon Prajurit. Mulai dari Tamtama, Bintara dan Perwira” Dikatakan Kasad, Jenderal TNI Budiman saat menjadi Narasumber di Seminar Kewaspadaan dan Implementasi Kebijakan Menghadapi Cyber War di Aula Timur ITB, Bandung,
 

Pada akhir seminar, Kasad juga menegaskan bahwa untuk dapat menempati posisi Komponen Cadangan dalam Sistem Pertahanan Nasional, para anggota Menwa harus memenuhi kualifikasi militer tertentu yang prosedurnya tergantung pada para pembuat kebijakan. Namun, menurutnya, satu hal terpenting adalah bahwa para anggota Menwa hendaknya konsisten mengasah potensi intelektual mereka agar dapat mengimplementasikan rasa cinta Tanah Air secara lebih cerdas dan konstruktif untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang tangguh di masa depan. Salah satu implementasinya adalah penguasaan teknologi yang berhubungan dengan perangkat cyber security.



Sumber : TNI AD

Peranan PPAL Mendukung Pemenuhan Alutsista TNI AL

JAKARTA-(IDB) : Peranan Persatuan Purnawirawan Angkatan Laut (PPAL) dalam konteks memajukan TNI AL kembali dipertanyakan. Berawal dari tulisan Laksamana Pertama TNI Untung Suropati pada majalah Cakrawala edisi 417 tahun 2013 berjudul ‘Peran Strategis dan Posisi Tawar PPAL ke Depan, Ketua PPAL, Laksamana (Purn) Achmad Sutjipto, merespons kritikan tersebut.

“Saya terkesan dengan tulisan tersebut. Saya menilai, tulisan itu sebagai tulisan yang jujur. Terlebih, itu ditulis oleh seorang perwira aktif yang masih jauh dari pergumulan politik,” ucap Achmad.


Pasalnya, dalam tulisan tersebut, Laksma TNI Untung Suropati menyandarkan harapannya kepada para senior yang purnatugas, terutama kepada PPAL.


Selain itu, Laksma TNI Untung Suropati juga mengkritisi PPAL dengan sedikit menukil peran organisasi serupa, yaitu NLUS (Navas League US) atau Liga Angkatan Laut Amerika Serikat.

Achmad Sutjipto menilai, “Tentu saja PPAL tidak bisa dibandingkan dengan NLUS, karena perbedaan tradisi dan sejarah yang panjang.”


Keberadaan NLUS sebagai kekuatan pelobi politik diprakarsai dan dibiayai oleh kelompok industrialis pertahanan. Hal itu tentu berawal dari sejarah kiprah US Navy yang tidak diragukan lagi, dan tidak terlepas dari implementasi visi besar Amerika dalam kekuatan laut (sea power).

“Sedangkan kita berada dalam lingkungan yang berbeda. Kita adalah Angkatan Laut di negara yang sudah lama percaya diri sebagai negara agraris. Doktrin ini telah meracuni masyarakat dari tingkat bawah hingga elite nasional, sehingga fakta obyektif Indonesia sebagai Negara Maritim terkubur,” ungkapnya.


Menyangkut peran PPAL untuk mampu melicinkan jalan, melakukan semacam lobi politik untuk mendukung pemenuhan kebutuhan TNI AL akan alutsista atau lainnya tentu dapat dilakukan manakala tersedia forum konsultasi antara TNI AL dengan PPAL sehingga PPAL tahu arah apa yang harus diperjuangkan.


“Terus terang, PPAL masih pada posisi menunggu signal dari Mabesal untuk ikut dalam proses pemikiran dengan harapan tidak dipandang sebagai suatu intervensi,” tegasnya.


Visi Kenegaraan


Mantan KSAL periode 1999-2000 ini juga menambahkan untuk perlunya reinventing, revitalizing, reshaping untuk menata ulang visi kenegaraan.


“Beberapa waktu lalu PPAL mengeluarkan sikap resmi tentang Amandemen UUD 1945, dan ini adalah bagian dari ikhtiar kami dalam peran aktif ikut mendesain Indonesia ke depan,” tuturnya.


Achmad Sujtipto mengingatkan, jangan sampai mengikis kepribadian, identitas, dan jati diri sebagai Angkatan Laut. Terjun ke dunia politik adalah salah satu pilihan tepat di alam demokrasi saat ini, mengingat seluruh nasib negara senatiasa dipertaruhkan di meja politik.


“Sejujurnya kita masih lemah di bidang ini, karena sedemikian lamanya Angkatan Laut terjauhkan dari percaturan politik dan di kala TNI terlegalisasi sebagai kekuatan yang menyandang fungsi sosial politik,” pungkasnya.



Sumber : JurnalMaritim

Tanpa Persenjataan Mutakhir, SDM Mumpuni Akan Lemah

JAKARTA-(IDB) : Pertahanan sangat penting bagi kedaulatan sebuah negara. Dengan kekuatan sistem pertahanan sangat baik, dapat dipastikan NKRI menjadi Negara Kepulauan yang disegani dunia.

“Hampir 80 persen perdagangan internasional melalui laut. Dan yang menakjubkan 60 persennya melalui jalur perairan Indonesia,” ujar Kasubdispenum Mabes AL, Kolonel Laut (P) Suradi Agung Slamet, ketika dijumpai di kantornya.


Dari kepadatan Perairan Indonesia yang dilalui kapal-kapal niaga tersebut, bukan tidak mungkin mengancam Kedaulatan NKRI. Menurut Suradi, ihwal mengenai kedaulatan, sangat dibutuhkan sebuah sistem pertahanan kekinian atau mutakhir.


Ia menjelaskan, dalam alutsista, TNI AL bercara pandang, "Senjata yang diawaki, bukan awak yang dipersenjatai."


Suradi yang pernah menjadi Komandan Kapal Republik Indonesia (KRI) itu pun mengatakan, dalam mempertahankan kedaulatan, SDM yang berkemampuan mumpuni tanpa dipersenjatai mutakhir akan lemah.


TNI AL memiliki Empat Sistem Persenjataan Terpadu, yakni KRI, senjata, Korps Marinir, dan pangkalan.


Pentingnya persenjataan tersebut dapat diartikan sebagai kekuatan garda terdepan dalam menghadapi ancaman dari luar.



Sumber : JurnalMaritim