Pages

Kamis, Juni 26, 2014

Map Of Conflict Series : Analisa Umum Pasifik (6)

Luang Prabang, kota kecil cagar budaya yang dilindungi Unesco, yang menjadi ibu kota pertama Laos, sebelum pindah ke Vientine
Luang Prabang, kota kecil cagar budaya yang dilindungi Unesco, ibu kota pertama Laos, sebelum pindah ke Vientine



A. Laos
 
JKGR-(IDB) : Sejarah Laos tidak pernah lepas dari konflik berkepanjangan, dari konflik menentang penjajah hingga konflik pertikaian saudara. Perancis, Jepang, Amerika, China, dan Vietnam pernah ikut mencelupkan tangan mereka dalam kobar api peperangan di Laos. Sebagaimana kedatangan kedua Belanda di Indonesia, pasca perang dunia kedua Perancis juga ingin mendirikan kembali negara protektoratnya di Laos. Masuknya Vietnam Utara untuk membantu gerilyawan lokal, operasi clandestine Amerika untuk menghalangi masuknya komunis di Laos, perang saudara untuk memperebutkan kekuasaan. Itulah sederet panjang konflik yang terjadi semenjak awal abad kedua puluh hingga membentuk wajah Laos yang sekarang. Bisa dikatakan Laos adalah salah satu negara terakhir di ASEAN yang merasakan kedamaian setelah perjuangan yang panjang, dan entah sampai kapan lagi mereka dapat menikmati itu.


Dalam masa kekinian Laos seolah tidak terpengaruh dengan gegap gempita LCS dan tetap tenang menjalani kehidupannya seperti biasa. Secara geografis Laos memang tidak memiliki wilayah laut, sebagian besar berupa rangkaian pegunungan sehingga kurang memiliki pengaruh politis. Semenjak 1977 ketika kelas – kelas terdidik berduyun duyun meninggalkan Laos, praktis ekonomi Laos hanya bertumpu pada sektor agraria dan harus bekerja keras mengejar ketertinggalannya dengan negara kawasan. Dan ketika Laos mulai membuka diri pada 2004 pertumbuhan ekonomi Laos terus meningkat didorong oleh mengalirnya arus investasi asing, dimana antara China dan Jepang bersaing ketat menyumbang porsi investasi di Laos.


Berbeda dengan negara kawasan, Laos masih mempertahankan postur militernya tidak jauh berbeda dari dulu, selama beberapa dekade kebelakang tidak ada pembelian alut sista “baru” oleh Laos. Dengan tidak adanya lagi konflik internal dan potensi konflik eksternal penguasa Laos masih merasa “nyaman” dengan postur militernya yang sekarang. Secara politik Laos banyak dipengaruhi oleh Vietnam, demikian karena Vietnam telah berjasa membantu perjuangan kemerdekaan Laos. Dan disaat yang sama Laos juga medan kepentingan politik antara China dan Jepang melalui jalur investasi yang ditanamkan di Laos, dimana tujuan utamanya adalah mengamankan SDA Laos dalam monopoli perdagangan eksklusif.


Selain berkepentingan ekonomis Jepang juga menyimpan kepentingan untuk menjaga Laos agar tidak jatuh ketangan China sepenuhnya, dengan tujuan untuk mengamankan sisi barat Vietnam bilamana konflik dengan RRC meletus. Sebab Vietnam sendiri adalah relasi di selatan yang lebih penting bagi Jepang daripada Laos yang terisolasi daratan. Sementara itu hubungan Laos dengan RRC lebih terfokus pada masalah ekonomi, jalinan hubungan militer antara Laos dan China dilakukan secara terbatas dan “sembunyi – sembunyi” dibawah hidung Vietnam. Keberadaan Vietnam disebelahnya dan bagaimana peran serta Vietnam dalam sejarah Laos tidak dapat serta merta dikesampingkan begitu saja. Mendekat dalam poros militer RRC akan sama dengan mengundang api peperangan dari “sahabat lama”. Namun disaat yang sama Laos juga sadar diri bahwa mereka juga butuh “pembangunan ekonomi”, dan RRC datang membawa paket madu yang lebih manis dari pada tawaran Jepang atau Vietnam.


Hubungan Indonesia dengan Laos baru sebatas kerja sama perdagangan dengan nilai yang masih relativ kecil serta kerja sama militer dalam hal pengadaan senjata bagi angkatan darat Vietnam. Sebagaimana dengan Kamboja dan Vietnam, kedekatan khusus antara Indonesia – Laos terletak dibawah permukaan dan bagaimana fungsi Laos bagi Indonesia masih dipertanyakan. Terlihat juga Laos hanya memfokuskan hubungan militernya dengan Vietnam, RRC dan Indonesia. Kemungkinan besar langkah ini adalah strategi Laos untuk mengejar ketertinggalannya dalam ekonomi dengan menggandeng negara – negara “rising tides” yang sejalan, dan disaat yang sama berusaha menjamin keamanan dalam negerinya melalui kerjasama bilateral.


B. Myanmar / Burma
 
Sejak kemerdekaannya pada 4 januari 1948 Burma hingga kini masih mengalami pergolakan internal. Konflik ini sendiri dipicu oleh dominasi etnis Birma dalam pemerintahan yang dianggap sepihak. Junta militer yang didominasi oleh etnis Birma melakukan kudeta pada pemerintahan resmi pasca kemerdekaan yang dipimpin oleh Aung San (ayah aktivis pro demokrasi Aung San Suu Kyi) dan terus berlanjut hingga sekarang. Meskipun junta militer kemudian merubah nama negara menjadi Myanmar agar etnis lain ikut merasa menjadi bagian dari negara. Tetap saja langkah ini tidak dapat menenangkan konflik etnis yang terjadi di Myanmar dan resistensi masih terus berlanjut. Demontrasi masa menuntut pendirian pemerintahan demokrasi masih kerap kali terjadi dan pemberontakan etnis minoritas di daerah yang menuntut kemerdekaan pun masih berlangsung hingga sekarang. Bisa dikatakan Myanmar adalah satu satunya negara Indochina yang masih bergolak dalam api konflik.


Pagoda Shwedagon, di Ibu kota Myanmar, Yangon
Pagoda Shwedagon, di Ibu kota Myanmar, Yangon

Guna mendapatkan dana untuk mendukung operasi – operasi intelejennya, CIA melalui operasi clandestine Indochina menjadikan Myanmar, Laos dan Thailand sebagai segitiga emas penghasil narkoba dunia. Produksi terbesar narkoba ada di Myanmar dan dilakukan oleh gembong pemberontak yang beroperasi di daerah pedalaman. Salah satu gembong narkoba yang paling terkenal dan berkuasa yaitu Khun Sa dalam masa hidupnya terindikasi berafiliasi dengan pemerintah. Pasca diburu oleh AS atas tuduhan menyelundupkan opium sebanyak 9000 ton ke Amerika, Khun Sa menyerahkan diri pada pemerintah Myanmar dan hidup di bawah perlindungan junta militer sembari menikmati investasinya. Secara tidak langsung bisa dikatakan pemerintahan Myanmar turut pula menikmati “bagi hasil” dari bisnis narkoba tersebut. Hal ini menjadi ironis mengingat hasil dari penjualan narkoba tersebut juga digunakan untuk membiayai pemberontakan pada pemerintah.


Sementara itu dalam satu dasawarsa terakhir Myanmar menjadi salah satu negara Indochina yang melakukan belanja militer secara agresif. Walaupun secara geografis Myanmar tidak terpengaruh oleh konfflik LCS dan tidak pula memiliki ancaman konflik dengan negara tetangga. Namun itu tidak menghalangi junta militer Myanmar untuk memperkuat otot – otot militernya di ketiga matra. Tekanan dunia internasional yang dimotori oleh Amerika yang menuntut dilaksanakannya demokrasi di Myanmar agaknya teah membuat junta militer Myanmar merasa gerah dan was – was.


Bagaimana tindak tanduk Amerika dalam menyelesaikan permasalahan yang selalu berujung dengan invasi sepihak mendorong junta militer untuk mempersenjatai diri. Selain itu junta militer juga merasa perlu memiliki kekuatan yang cukup untuk mengendalikan pemberontak di daerah serta mengontrol “perdagangan gelap” dikawasannya. Disinyalir hasil dari bisnis gelap tersebut juga menjadi sumber pendanaan militer pemerintah Myanmar, oleh karenanya junta militer membutuhkan kekuatan untuk membuatnya tetap dalam batas – batas “terkendali”.


Sebagian besar peralatan militer yang dibeli Myanmar disuplai oleh RRC dan sebagiannya lagi dibeli dari Rusia dan negara Eropa Timur. RRC juga banyak memberikan hibah alut sista militer kepada Myanmar, hal ini kemudian menandai hubungan Myanmar dengan China yang menjadikan junta militer Myanmar sebagai sekutu dekat Beijing. Junta militer merasa perlu mendekat pada RRC untuk meminta perlindungan dari tekanan Amerika dan Eropa. Sebagai ganti ongkos perlindungan Myanmar kemudian menjadi pelayan RRC bagi kepentingannya di Indochina dan Samudera Hindia. 

Di daratan mereka dihadapkan dengan Vietnam serta disaat yang sama diarahkan untuk mengamankan Laos, sementara di laut Myanmar berperan menjadi penyedia fasilitas pendukung bagi armada RRC ketika beroperasi di Samudera Hindia. Proyeksi penguatan militer Myanmar kemudian menjadi menarik untuk diperhatikan, jika alasan penguatan tersebut untuk menghadapi pemberontak maka itu akan menjadi terlalu “berlebihan”. Nampaknya penguatan tersebut sebagai respon Myanmar dan RRC atas penguatan yang sama yang dilakukan oleh Thailand, kedekatan Thailand dengan AS turut pula memicu akselerasi Myanmar. Dengan progresnya yang sekarang terdapat pula kemungkinan kelak kekuatan Myanmar akan diarahkan China untuk masuk kedalam konflik LCS atau ikut dalam konfrontasi dengan India pada saatnya nanti, sebagai kuda hitam yang bergerak dari sisi barat Indochina.

Tidak terlihat ada kedekatan khusus antara Indonesia dan Myanmar masih baru dalam tahap “akrab”, perjanjian persahabatan terakhir yang ditandatangani pada 2006 masih belum diratifikasi oleh Indonesia. Namun inisiatif masih berada pada pihak Indonesia yang terus mendorong kemajuan hubungan kedua negara, sebagai bentuk cermin kebijakan politik luar negeri Indonesia dan visinya atas ASEAN. Langkah pendekatan Indonesia atas Myanmar menjadi sangat penting sebab dikemudian hari apa yang dilakukan Indonesia dapat menyelamatkan ASEAN dari kekacauan yang diakibatkan oleh campur tangan negara – negara besar. Dengan menyatukan ASEAN agar lebih “melihat kedalam” dengan sendirinya akan menguatkan ASEAN dari dalam. Oleh alasan yang sama pula hasil pemilu 2014 di Indonesia menjadi sangat krusial, tidak hanya bagi dalam negeri tapi juga negara – negara kawasan yang berkepentingan dengan Indonesia. Sebab langkah yang akan diambil Indonesia akan berpengaruh langsung kepada situasi politik kawasan. Negara – negara seperti Vietnam, Brunei dan Fillipina akan sangat berharap presiden terpilih Indonesia selanjutnya akan meneruskan kebijakan yang telah dirintis oleh pemimpin sebelumnya. 




Sumber : JKGR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar