MALANG-(IDB) : Shigeru Ono, eks tentara Jepang yang bergabung dengan Indonesia,
merupakan penyusun buku taktik perang gerilya untuk militer Indonesia di
masa revolusi. Kini Ono telah meninggal dunia pada 25 Agustus 2014,
akibat penyakit tifus dan pembengkakan pembuluh darah.
Ketika kalah melawan Sekutu, banyak tentara Jepang bingung; kembali
ke negerinya atau bertahan. Tak sedikit yang melakukan harakiri (bunuh
diri untuk memulihkan kehormatan). Shigeru Ono, serdadu Tentara Ke-16
Angkatan Darat Jepang di Jawa, pun sempat tergoda namun mengurungkan
niatnya.
Ono, yang lahir pada 26 September 1919 di Furano, Hokkaido,
memutuskan bertahan di Indonesia. “Indonesia sudah banyak membantu
Jepang. Kami ingin memberikan yang tidak bisa dilakukan oleh negara
kami,” ujarnya dalam Mereka yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono,
Bekas Tentara Jepang yang Memihak Republik karya Eiichi Hayashi.
Ono keluar dari ketentaraan Jepang. Atas saran Kapten Sugono,
komandan polisi militer Jepang di Bandung, dia mengganti pakaiannya
dengan sarung dan peci, melumuri tubuhnya dengan lumpur agar kulitnya
terlihat lebih gelap, dan menambahkan “Rahmat” di awal namanya: Rahmat
Shigeru Ono.
Sempat melatih pemuda Indonesia, Ono kemudian menyingkir ke
Yogyakarta. Dia menjalankan tugas penting dari Markas Besar Tentara
untuk membuat buku rangkuman tentang taktik perang dan menerjemahkannya
ke bahasa Indonesia. Atas perintah Kolonel Zulkifli Lubis, petinggi
militer Indonesia yang kelak menjadi pejabat KSAD, Ono juga menyusun
buku tentang taktik khusus perang gerilya.
Selain itu, bersama eks tentara Jepang dan pejuang Indonesia, Ono
bergerilya dari satu tempat ke tempat lain. Salah satunya, menyerang
markas KNIL di Mojokerto pada Juni 1947.
Pasca Perjanjian Renville, ada kesepakatan untuk menangkapi semua eks
tentara Jepang yang masih di Indonesia. “Pada Juli 1948, untuk
menghindari penangkapan, serdadu Jepang berkumpul di Wlingi, Blitar,
Jawa Timur untuk membuat satu pasukan. Yang tercecer dikumpulkan,” tulis
Wenri Wanhar dalam Jejak Intel Jepang: Kisah Pembelotan Tomegoro
Yoshizumi.
Ke-28 eks tentara Jepang yang hadir itu lalu membentuk Pasukan
Gerilya Istimewa (PGI) pada 24 Juli 1948. Arif Tomegoro Yoshizumi jadi
komandan dan Ichiki Tatsuo wakilnya. Wilayah operasi mereka di Dampit,
Malang Selatan, dan Wlingi, Blitar. Ono bertugas di Dampit. (Baca:
Tomegoro Yoshizumi, Intel Negeri Sakura dan Ichiki Tatsuo, Kekecewaan
Seorang Jepang).
Pertempuran pertama PGI adalah ketika menyerang pos tentara Belanda
di Pajaran, Malang, semasa gencatan senjata. Aksi mereka berisiko
mencoreng nama Indonesia di dunia internasional, namun PGI beralasan
Belanda lebih sering melanggar perjanjian.
Sepeninggal Tomegoro Yoshizumi dan Ichiki Tatsuo yang gugur dalam
pertempuran, PGI bergabung dalam kesatuan militer formal dan mengubah
namanya menjadi Pasukan Untung Suropati 18.
Usai pengakuan kedaulatan pada akhir 1949, Ono menetap di Batu, Malang,
Jawa Timur. Dia mengisi hari-harinya dengan bercocok tanam. Pada Juli
1950, Ono menikah dengan Darkasih dan dikaruniai lima anak.
“Dia dijodohkan Sukardi, orang Jepang juga, kawan papi,” ujar Erlik
Ono, putri kelima Ono, kepada Historia. Sukardi bernama Jepang Sugiyama.
Ono pernah bekerja sebagai salesman lampu, pegawai perusahaan
peternakan di Jakarta, dan perusahaan eksportir rotan di Kalimantan.
Setelah pensiun pada 1995, dia kembali ke Batu dan mengisi waktu dengan
bertani, menerima wartawan, serta mengunjungi keluarga atau kenalan yang
sakit.