TNI AD-(IDB) : Sebagai suatu strategi perang asimetrik
abad 21, bisa dikatakan perang terorisme mencapai banyak keberhasilan
dan merupakan strategi perang yang efektif. Terorisme bukan sekedar
sebagai metode perang (method of combat), terorisme merupakan strategi
dalam perang asimetrik. Terorisme menggunakan kekerasan dan ancaman
kekerasan hanya untuk mencapai tujuan politik yang lebih substansial.
Diprediksi tidak ada wacana dan konsep
perang modern abad 21 ini yang tidak bisa dilepaskan dari kosakata
(terminologi) terorisme. Istilah ini seolah-olah menjadi objek tijauan
utama dalam studi perang pada abad 21, baik oleh para ahli militer di
Indonesia maupun di lingkungan internasional. Para pakar dan ahli
militer sibuk memikirkan dan mempelajari sepak terjang ‘mahkluk’ yang
bernama terorisme ini. Bukan hanya para ahli studi perang, tapi juga
para pengambil kebijakan dan publik terbuai dengan wacana terorisme
tersebut. Bagaimana tidak, aroma terorisme menyebar, dari benua Amerika,
Eropa, Afrika dan Asia. Ancaman terorisme bahkan mampu menjebol sistem
pertahanan dan keamanan negara digdaya seperti Amerika Serikat. Simbol
kemegahan ekonomi, gedung World Trade Centre (WTC) dan simbol pertahanan
negeri Paman Sam, Pentagon menjadi target para pelaku terorisme.
Sampai-sampai, Amerika Serikat mendeklarasikan perang global melawan
terorisme (global war against terorrism). Fakta tersebut membuktikan
terorisme merupakan ancaman abad 21 yang menakutkan dan menghancurkan.
Fenomena yang sama juga dialami oleh
Indonesia dimana ancaman terorisme telah menebar aroma ketakutan bagi
rakyat Indonesia. Berbagai ledakan bom dan bom bunuh diri menghantui
penduduk negeri ini. Aksi dan praktik terorisme di Indonesia
diorganisasikan melalui Jaringan teroris Jamaah Islamiyah (JI). Jaringan
JI ini tidak hanya di Indonesia, tapi mencakup ruang lingkup kawasan
Asia Tenggara. Dengan demikian, terorisme JI merupakan jaringan
terorisme yang bersifat transnasional (lintas negara). Berbagai
kebijakan kontra-terorisme telah diambil oleh pemerintah. Banyak
keberhasilan yang dicapai dengan porak-porandanya jaringan terorisme
tersebut. Namun demikian, ancaman terorisme belum sepenuhnya bisa
diselesaikan. Untuk itulah essai ini ingin mengkaji strategi perang
terorisme sebagai bentuk perang abad 21. Tulisan ini kemudian akan
mengkaji sifat (nature), definisi, strategi, dan dampak yang diakibatkan
oleh terorisme dalam lingkungan internasional dan nasional. Dengan
demikian, akan dihasilkan suatu pemikiran yang dapat memperkaya wacana
studi perang semesta nantinya. Pada akhir tulisan ini, akan coba di
tawarkan beberapa rekomendasi pemikiran yang bisa menambah khazanah
kebijakan kontra terorisme di Indonesia.
Definisi Terorisme.
Pembahasan pengertian terorisme telah
dibahas dalam Eropean Convention Suppersion Of Terorism ( ECST ) di
Eropa pada tahun 1977. Disini pengertian terorisme mengalami perluasan
arti dari Crimer againt state menjadi Crimes Againt Humanity , teroris
berhubungan dengan tindak pidana untuk mencitakan suatu kedaan yang
mengakibatkan individu, golongan dan masyarakat umum ada dalam suasana
yang teror. Dengan demikian, pengertian diatas hendak menjelaskan bahwa
terorisme berkaitan erat dengan penciptaaan suasana dan kondisi
ketakutan.
Kemudian pada tahun 1992 PBB menjelaskan
terorisme sebagai “an anxiety inspiring method of repeated violent
action, employed by semi-clandestine individual, group or state actors,
for idiosyncratic, criminal or political reasons, whereby – in contrast
to assassination – the direct targets of violence are not the main
targets (sebuah metode yang menimbulkan keresahan dengan menggunakan
tindakan kekerasan yang berulang-ulang, dilaksanakan secara semi
klandestin oleh individu, kelompok maupun negara, dengan tujuan kriminal
atau politik yang unik, dimana berlawanan dengan pembunuhan, sasaran
langsung tindakan kekerasan bukanlah sasaran utama). Definisi PBB
tersebut memaparkan bahwa terorisme merupakan suatu metode atau cara
yang bisa dipakai oleh siapa saja, baik individu, kelompok maupun
negara. Situasi dan kondisi yang hendak dicapai oleh aksi terorisme
adalah penyebaran rasa taku kepada khalayak yang luas. Perjelasan yang
dipaparkan diatas juga menjelaskan bahwa bukan objek sasaran atau korban
yang hendak dicapai, tapi pesan dibalik itu semua.
Tabel Tipologi Terorisme
Menurut U.S Departemen of State and
Defense, Terorisme adalah kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh
agen negara atau kelompok subnasional terhadap kelompok non-kombatan.
Biasanya dengan maksud mempengaruhi audien. Terorisme internasional
adalah terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari
satu negara. Definisi tersebut menggambarkan bahwa terorisme seringkali
bermotifkan politis dimana aksi terorisme itu sendiri bukanlah tujuan
dari pada praktek-praktek terorisme. Dengan demikian, mengetahui motif
politis yang mendalangi setiap aksi terorisme menjadi perlu untuk
diperhatikan dalam strategi kontra terorisme.
Sementara itu, menurut pemerintahan
Kerajaan Inggris, terorisme merupakan ,”the use or threat of serious
violence against persons or serious damage to property, designed to
influence the government or intimidate the public or a section of the
public…for the purpose of advancing a political, religious or
ideological cause” (penggunaan atau ancaman kekerasan yang serius
melawan individu-individu atau kerusakan yang serius terhadap benda
berharga, yang didesain untuk mempengaruhi pemerintahan atau
menginditimidasi khalayak umum atau sebagain dari masyarakat dengan
maksud untuk mencapai sebab-sebab politik, agama dan ideologi).
Pengertian diatas tersebut menegaskan kembali bahwa terorisme adalah
suatu cara untuk mencapai suatu tujuan, bisa berupa ideologi, politik
maupun agama tertentu.
Pemerintah Indonesia sendiri
berdasarkan UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Terorisme, mendefinisikan Terorisme sebagai perbuatan melawan hukum
secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa
dan negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan
kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror
atau rasa takut terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi
kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, kebutuhan pokok
rakyat, lingkungan hidup moral, peradaban, rahasia negara, kebudayaan,
pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum atau
fasilitas internasional. Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
definisi-definisi konseptual diatas lebih menjelaskan terorisme sebagai
suatu cara atau metode (a method of combat, merely a tactic in the war
being waged) dalam mencapai tujuan tertentu. Definisi-definisi diatas
juga menjelaskan bahwa terorisme sebagai sebuah sarana untuk mencapai
tujuan (a means to an end).
Konsep Perang Asimetrik.
Sebelum berbicara tentang perang
terorisme sebagai perang asimetrik abad ini, ada baiknya untuk
menjelaskan terlebih dahulu konsep perang asimetrik. Dengan demikian
akan lebih mudah nantinya untuk menjalaskan karakter perang asimetrik
terorisme sebagai strategi perang abad 21. Andrew J.R. Mack’s dalam
tulisannya “Why Big Nations Lose Small Wars” di jurnal World Politics,
mengatakan bahwa pada era Perang Dingin yang lalu, “asymmetric” dirujuk
pada indikasi pembeda yang jelas pada kekuatan (power) antar lawan pada
suatu konflik. Power yang dimaksud dalam hal ini adalah sebagai kekuatan
material seperti pasukan yang besar, Alutsista yang mutakhir,
keunggulan ekonomi dan seterusnya. Kemudian selesai perang dingin di
tahun 1990an penelitian yang menelusuri hipothesis Andrew Mack mulai
memperlihatkan kecocokan. Namun baru setelah tahun 2004, Angkatan
Bersenjata Amerika Serikat mulai secara serius memperhitungkan
potensi-potensi masalah yang mereka hadapi menyangkut asymmetric
warfare.
Konsep perang asimetrik dikenal sebagai
perang antara kelompok yang berseteru yang memiliki perbedaan yang
menonjol pada kekuatan militernya, atau yang menggunakan strategi dan
taktik yang berbeda dari strategi dan taktik perang konvensional. Konsep
ini juga dijelaskan sebagai konflik yang mana kedua peseteru tersebut
terbedakan dari esensi perjuangannya, interaksi dan eksploitasi terhadap
karakter kelemahannya masing-masing. Perjuangan semacam itu
membutuhkan suatu strategi dan taktik “unconventional warfare”, dimana
strategi kombatan yang kekurangan dalam kuantitas dan kualitas
kekuatannya dapat tertutupi. Strategi yang digelarnya belum tentu
berupa strategi militer. Disinilah perbedaan menonjol dengan gelaran
symmetric warfare, dimana kekuatan mereka yang berseteru tersebut
memiliki kemiripan kekuatan dan sumbernya yang diramu dalam suatu taktik
yang mirip pula dimana pembedanya hanya pada detil dan eksekusinya
saja.
Di tahun 2004 perujukan Perang Asimetrik
di arahkan pada betuk giat model perang gerilya, insurgency
(pemberontakan/kelompok perlawanan), terorisme, counterinsurgency, dan
kontra terorisme. Kini, perujukan itu melebar dengan mengukur antara
lain pada rahasia kemenangan si lemah dalam suatu peperangan. Kunci
penjelasan bentuk perang Asimetrik biasanya memasukkan unsur-unsur,
antara lain Interaksi Strategis, keberanian dan kemauan si Lemah untuk
menanggung beban dan biaya perang, adanya dukungan luar terhadap
pelaku/pelaksana yang lemah, kekuatan pasukan dari pelaku yang kuat, dan
bentuk peperangan yang diluaskan oleh pelaku yang kuat. Adapun
tujuan-tujuan dari perang seperti ini adalah: pertama, untuk mencapai
tujuan perang dengan lebih efektif dan efisien. Kedua, untuk menutup
kekurangan yang dimiliki Pasukan Reguler. Ketiga, untuk memisahkan
tanggung jawab Pasukan Reguler dalam suatu misi/operasi perang. Keempat,
untuk meringankan biaya Perang dari segala aspek. Kelima, untuk
memperingan biaya pemeliharaan Pasukan karena Pasukan Perang Asimetrik
yang masuk dalam kategori Pasukan Irregular tidak diatur seperti Pasukan
Reguler.
Strategi Dan Taktik Perang Asimetrik.
Pada hampir setiap perang konvensional,
kubu yang berseteru menggelar kekuatan yang mirip antar satu dengan
lainnya sehingga hasilnya bisa diperkirakan berdasarkan kuantitas
kekuatan tempur dan kualitasnya dimana biasanya yang memiliki kelebihan
keunggulan seperti misalnya kemampuan fasilitas C4ISR yang lebih canggih
dan berdaya atas kekuatan yang dimiliki lawannya, bisa menang.
Kelebihan pemanfaatan fasilitas khususnya fasilitas yang mampu untuk
memprediksi potensi dari segenap kemungkinan potensi serangan dalam
bentuk yang diluar kebiasaan atau kewajaran akan sangat membantu.
Sementara basis taktik perang asimetrik
antara lain, pertama, mencari peluang secara khusus untuk memiliki
keunggulan teknologi yang dapat mengungguli jumlah kekuatan pasukan
lawan dalam skala gelaran. Kedua, pelatihan taktik diutamakan pada
konsentrasi pasukan kecil taktis berkemampuan tinggi yang khas. Ketiga,
saat terjadi situasi dimana lawan berkekuatan besar telah menyerang dan
menduduki, maka gelaran siasat “tidak biasa” dipilih dengan taktik hit
and run, gangguan-gangguan tanpa harus keluar dari jalur perang
konvensional seperti pada perang Vietnam yang dilakukan oleh pasukan
Vietkong dimana bentuk mereka tetap sebagaimana dengan pasukan reguler
namun bertaktik asimetrik/irregular. Keempat, taktik lainnya adalah
dengan melakukan berbagai manipulasi situasi seperti misalnya dengan
memanfaatkan atribut-atribut yang diakui badan dunia sebagai atribut
netral seperti misalnya eksploitasi mobil ambulan untuk memindahkan
pasukan atau menyerang dari balik gedung rumah sakit atau bahkan tempat
pengungsian. Dan kelima, psy-war memainkan peran besar dalam gelaran
taktik perang asimetrik. Otak menjadi andalah utama sebagai mesin
perang dominan.
Kemudian di dalam medan pertempuran
disebut medan yang sulit bagi operator perang asimetrik bila ada situasi
kondisi dimana kekuatan pasukan yang lebih kecilnya tidak berhasil
memanfaatkan kelemahan kekuatan yang lebih besar pada kondisi dan
situasi medan pertempuran tersebut karena satu dan lain hal. Selanjutnya
Sun Tzu dalam The Art of War mengatakan bahwa permukaan medan tempur
harus menjadi penolong utama pasukan dimana kemudahannya terlihat pada
terbukanya jumlah kekuatan lawan secara jelas, terlihatnya potensi
bencana didepan, dan berapa jarak mereka yang kesemuanya dipentingkan
dalam menentukan suatu kemenangan. “Mereka yang bertempur tanpa
memanfaatkan kesempatan untuk mengetahui itu semua, akan kalah”. Adapun
Mao Zedong menggariskan bahwa Pasukan Gerilya “harus” bisa bergerak
diantara masyarakat banyak seperti ikan yang berenang di laut. Dalam
beberapa situasi perkembangan taktis peperangan asimetrik menggiring
pada situasi terjadinya perang kota dengan segenap teknik dan taktik
yang beragam yang kerap belum pernah terlihat sebelumnya dengan
peralatan yang unik pula.
Adapun kelebihan dan kekurangan perang
asimetrik adalah, pertama, Unsur kemampuan “otak” individu menjadi
dominan, dimana “yang siap memangsa yang lengah, yang pandai
mempecundangi yang bodoh”. Kedua, Bisa dalam jumlah yang sangat
terbatas; 1 atau 2 orang saja dalam setiap operasi tempur. Ketiga,
biasanya membutuhkan peralatan khusus yang bisa dibuat “home made”.
Keempat, kemampuan yang sangat menonjol adalah pada giat intelijen dan
sabotase. Kelima, berkemampuan menyerbu langsung ke jantung lawan.
Keenam, serangan bisa dilakukan dari jarak yang cukup aman dari lawan.
Dan ketujuh, sering dianggap sebagai kegiatan kriminil yang tidak serta
merta dirujuk sebagai kegiatan taktis perlawanan terhadap kedaulatan
suatu negara.
Karakteristik Perang Terorisme
Dalam sebuah laporan yang berjudul The
Sociology and Psychologi of Terorism :Who become a teroris and why?
Divisi riset Federal AS (kongres AS) menyebutkan ada lima ciri dari
kelompok terorisme, yaitu :
- Separatis-nasionalis;
- Fundamentalis-religius
- Religius baru
- Revolusioner-sosial
- Teroris sayap kanan
Klarifikasi kelompok ini di dasarkan
pada asumsi bahwa kelompok-kelompok teroris dapat di kategorikan menurut
latar belakang politik dan ideologi. Loudewijdk F Paulus mengatakan
bahwa berdasarkan matrik perbandingan karakteristik kelompok pengguna
tindak kekerasan guna mencapai tujuanya, dapat disimpulkan ciri-ciri
terorisme sebagai berikut:
- Organisasi yang baik, berdisiplin tinggi, militan, organisasinya
merupakan kelompok-kelompok kecil, disiplin dan militansi ditanamkan
melalui indoktrinasi dan latihan yang bertahun-tahun.
- Mempunyai tujuan politik, tetapi melakukan perbuatan kriminal untuk mencapai tujuan.
- Tidak mengindahkan norma-norma yang berlaku, seperti agama, hukum dan lain-lain
- Memilih sasaran yang menimbulkan efek psykologis yang tinggi untuk menimbulkan rasa takut dan mendapatkan publikasi yang luas.
- Lebih lanjut Loudewijk F Paulus berpendapat juga bahwa karekteristik dari terorisme dapat ditinjau dari 4 macam pengelompokan ;
- Karakteristik organisasi yang mencakup organisasi, rekrutmen, pendanaan dan hubungan Internasional.
- Karakteristik operasi, yang meliputi; perencanaan, waktu, taktik dan kolusi
- Karakteristik prilaku yang terdiri dari; motivasi, dedikasi, disiplin, keinginan membunuh dan keinginan menyerah hidup-hidup.
- Karakteristik sumber daya yang meliputi; Latihan/kemampuan,
pengalaman perorangan dibidang teknologi, persenjataan, perlengkapan dan
transportasi.
Metode Perang Asimetrik Terorisme.
Kondisi obyektif saat ini menunjukkan
bahwa ancaman terorisme bersenjata meningkat cukup pesat dan dapat
mengancam keselamatan bangsa dengan cara menebarkan rasa takut dan
menimbulkan korban tanpa mengenal rasa prikemanusiaan dan sasaran aksi
terornya-pun dapat menimpa siapa saja, sehingga sulit diprediksi dan
ditangani dengan cara-cara biasa. Oleh karena itu penanganan aksi
terorisme ini harus dilakukan oleh alat negra yang propesional dan
memiliki kemampun serta pengalaman yang baik, mengingat dalam taktis
terorisme :
Pertama, Biasa menggunakan bom yang sering digunakan
kelompok teroris dan tercatat 67% ( enam puluh tuju persen ) aksi teror
menggunakan bom;
Kedua, Pembajakan sangat populer dilancarkan oleh
kelompok teroris selama periode 1960-1970. tetapi jenis pembajakan yang
lebih populer saat ini adalah pembajakan pesawat terbang komersil.
Ketiga, Pembunuhan adalah bentuk aksi teroris yang tertua dan masih
digunakan hingga saat ini, sasaran dari pembunuhan ini sering kali sudah
diramalkan. Teroris akan mengklaim bertanggung jawab atas pembunuhan
yang dilaksanakan. Sasaran dari pembunuhan ini biasanya adalah pejabat
pemerintah, pengusaha, politis dan aparat keamanan. Dan 10 tahun
terakhir tercatat 246 kasus pembunuhan teroris di seluruh dunia.
Keempat, Penghadangan yang telah dipersiapkan jarang sekali gagal. Hal
ini juga brlaku bagi operasi yang dilakukan oleh kelompok teroris, aksi
ini biasanya direncanakan secara seksama, dilaksanakan latihan
pendahuluan dan gladi serta dilaksanakan secara tepat. Dalam bentuk
operasi ini waktu dan mdan berpihak pada kelompok teroris.
Kelima, Tidak
semua penghadangan bertujuan untuk membunuh. Dalam kasus kelompok
gerilya Abu sayaf di Filipina, penghadangan lebih ditujukan untuk
menculik personil. Penculikan biasanya akan diikuti oleh tuntutan
tebusan berupa uang, atau tuntutan politik lainnya.
Keenam, Pebedaan
antara penculikan dan penyandraan dalam dunia terorisme sangat tipis.
Kedua bentuk operasi ini sering kali memiliki pengertian yang sama,
penculikan biasanya menahan korbanya ditempat tesembunyi dan tuntutanya
berupa materi dan uang, sedangkan penyandraan berhadapan langsung dengan
aparat dengan menahan sandra di tempat umum, tuntutan penyandraan
biasanya lebih dari materi, biasanya tuntutan politik lebih sering
dilemparkan teroris pada kasus penyandraan;
Ketujuh, Operasi yang
dilakukan oleh kelompok teroris adalah sangat mahal. Untuk mendanai
kegiatan mereka, teroris biasanya merampok bank tau mobil lpis baja yang
membawa uang dalam jumlah besar, perampokan bank juga dapat digunakan
sebagai ujian bagi program latihan personil baru. Kedelapan,
Ancaman/intimidasi merupakan suatu usaha, pekerjaan, kegiatan atau
tindakan untuk menakut-nakuti untuk mengancam dengan menggunakan
kekerasan terhadap seseorang atau kelompok didaerah yang di anggap
rawan, sehingga sasaran terpaksa menuruti kehendak pengancam untuk
tujuan dan maksud tertentu.
Strategi Perang Asimetrik Terorisme.
Perang Terorisme dikatakan sebagai
perang asimetrik dikarakteristikkan oleh, antara lain: Pertama, perang
ini melibatkan pihak-pihak bermusuhan yang tidak seimbang kekuatan
tempurnya satu sama lain. Kedua, kekuatan yang lebih lemah (para
terorism) mengeksploitasi kelemahannya tersebut sebagai kekuatannya.
Ketiga, persis seperti perang gerilya, para pelaku terorisme tidak
secara langsung terlibat konfrontasi dengan lawannya yang memiliki
kekuatan lebih.
Hanya saja, dalam konsep perang terorisme, para teroris
tidak menguasai suatu wilayah sebagai basis perangnya. Terorisme tidak
memiliki markas atau lokasi sebagai basis pergerakkannya, namun bersifat
transnasional, melintasi batas-batas ruang sehingga tidak mudah untuk
disergap dan dihancurkan. Strategi teroris bukanlah dimaksudkan untuk
secara langsung mengontrol suatu teritori.
Dalam kenyataannya para
teroris mencoba untuk memaksakan kehendak mereka terhadap masyarakat
melalui menebar rasa takut, yang pada intinya tidak mengenal batas-batas
geografis. Terorisme sebagai suatu strategi tidak melandaskan
perjuangan mereka pada suatu daerah tertentu untuk mengkonsolidasikan
kekuatannya. Sebagai suatu strategi, terorisme tetap pada domain
(wilayah) pengaruh psikologi tanpa sekat geografis . Perang yang
dilakukan oleh para teroris bukanlah tujuan dari perang terorisme itu
sendiri. Hal inilah yang perlu digarisbawahi dalam perang
kontra-terorisme.
Aksi-aksi ledakan bom yang dilakukan oleh para teroris
pasti dilandasi oleh motif politik (political purpose). Dalam
perspektif level of war (tingkatan perang), strategi berarti berbicara
tentang penggunaan sarana (means), cara (way) untuk mencapai tujuan
perang. Namun perang itu sendiri merupakan kelanjutan dari politik
dengan cara lain (war is the continuation of politics by other means) .
Dalam perspektif level of war (tingkatan
perang), strategi berarti berbicara tentang penggunaan sarana (means),
cara (way) untuk mencapai tujuan perang. Namun perang itu sendiri
merupakan kelanjutan dari politik dengan cara lain (war is the
continuation of politics by other means) . Tujuan dari perang terorisme,
khususnya yang berbasiskan Islam adalah untuk menghancurkan
pemerintahan demokratis dan menggantikannya dengan model negara
Khalifah. Strategi perang terorisme bersifat: jangka panjang,
berbasiskan (mengatasnamakan) ideologi islam (terorisme berlabel Islam),
menggunakan system jaringan sel, clandestain (gerakan rahasia),
teroganisir secara efisien dan efektif. Strategi perang terorisme di
menggunakan ideologi agama untuk merekrut, mendidik, melatih dan
meningkatkan militansi anggotanya. Strategi perang terorisme menggunakan
aksi terror untuk menebar rasa ketakutan melalui pemanfaatan propaganda
media yang tersedia. Pada level operasional, terorisme memanfaatkan
situasi demografi, geografi, kultur masyarakat, dukungan simpatisan pada
akar rumput, dukungan dana teroris internasional. Pada tingkat taktis,
terorisme menggunakan ‘pasukan-pasukan’ bom bunuh diri yang sudah
diindoktrinasi dan dilatih serta sulit dideteksi. Terorris yang tidak
memiliki tank, kapal selam, atau pesawat tempur sebagai alutsista secara
strategis dan taktis mampu menggetarkan negara yang menjado sasarannya.
Sebagai suatu strategi perang asimetrik
abad 21, bisa dikatakan perang terorisme mencapai banyak keberhasilan
dan merupakan strategi perang yang efektif. Terorisme bukan sekedar
sebagai metode perang (method of combat), terorisme merupakan strategi
dalam perang asimetrik. Terorisme menggunakan kekerasan dan ancaman
kekerasan hanya untuk mencapai tujuan politik yang lebih substansial.
Strategi perang terorisme bertujuan untuk: pertama, melalui dramatisasi
tindakan kekerasan dan teror yang dilakukannya, para teroris berusaha
mencari perhatian media dan publik akan diri dan tujuan mereka. Melalui
‘propaganda gratis’ liputan media, para teroris mampu menebar rasa takut
kepada khalayak umum. Kedua, melalui aksi-aksi terorisme tersebut, para
teroris berusaha mencari pengakuan dari publik dan negara akan
eksistensi dan tujuan perjuangan mereka yang dilupakan atau dinegasikan
oleh pemerintah.
Dengan begitu, selain mencari pengakuan dari
pemerintah, para teroris juga mencari pengakuan dan simpati dari para
pendukung dan pengikut-pengikut mereka. Ketiga, para teroris berusaha
mengkapitalisasi kepentingan dan pengakuan atas tindakan kekerasan
mereka melalui justifikasi-justifikasi yang mereka lakukan, bahwa apa
yang mereka perbuat merupakan perbuatan yang benar dan suci. Keempat,
dengan mendapatkan legitimasi dan pengakuan atas tindakan mereka
tersebut, para teroris berusaha mempengaruhi otoritas pemerintahan yang
berkuasa dengan mengharapkan terjadinya perubahan dalam pemerintahan dan
lingkungan mereka. Ini adalah jantung perjuangan perang terorisme.
Kelima, para teroris berusaha mengkonsolidasikan kendali langsung mereka
atas negara, tanah air atau masyarakat mereka. Penting untuk dicatat,
bahwa untuk poin satu sampai tiga, para teroris sukses melakukan hal
tersebut. Namun, untuk poin empat dan lima, bisa dikatakan strategi para
teroris tersebut jauh dari berhasil.
- Perang Terorisme merupakan strategi perang asimetrik abad 21. Untuk
itu, kebijakan perang melawan terorisme di Indonesia harus benar-benar
mencermati hal itu. Dengan demikian, perlu dilakukan revisi atas konsep
perang kontra-terorisme yang dilakukan di Indonesia.
- Perlu dirumuskan dan diformulasikan kebijakan kontra-terorisme yang
komprehensif untuk menanggulangi perang asimetrik terorisme yang terjadi
di Indonesia.
- Untuk melengkapi khasana ini dalam bentuk kajian strategis di bidang
terorisme diperlukan pendalaman secara teori maupun pengalaman di
lapangan sehingga menambah referensi pengalaman terhadap kajian
strategis yang berkaitan dengan perang terorisme di abad 21.