NUSA DUA-(IDB) : Setelah sempat memanas gara-gara terbongkarnya skandal penyadapan
Australia atas para petinggi Indonesia November tahun lalu, hubungan
kedua negara berangsur pulih. Di Pulau Dewata, 28 Agustus 2014,
Australia bersedia tandatangani suatu perjanjian khusus seperti yang
selama ini diminta Indonesia.
Nama resmi perjanjian itu adalah Tata Perilaku (COC) dalam rangka
Implementasi Perjanjian Kerangka Kerjasama Keamanan Kedua Negara. Namun,
kalangan media massa Australia dan Indonesia lebih suka menyebutnya
Tata Perilaku soal Penyadapan.
Di atas kertas perjanjian itu, masing-masing pihak bersepakat bahwa,
sebagai dua negara yang sudah lama bersahabat, tidak etis kalau sampai
harus menyadap satu sama lain. Bila ingin minta informasi, tinggal tanya
dan berkoordinasi saja dengan lembaga-lembaga terkait dari kedua
negara.
Indonesia dan Australia masing-masing diwakili menteri
luar negeri masing-masing, yakni Marty Natalegawa dan Julie Bishop.
Penekenan COC itu juga disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
salah satu pejabat Indonesia yang menjadi "korban" penyadapan badan
intelijen Australia, Defence Signals Directorate (DSD).
Marty pun mengaku lega. Sebab, proses enam langkah (six road maps) yang diajukan Presiden SBY sebagai prasyarat pemulihan hubungan kedua negara sudah sampai di langkah keempat.
Apa saja isi COC itu? Marty menjawab ada dua poin penting :.
Pertama,
Indonesia dan Australia tidak akan menggunakan setiap sumber daya
intelijen mereka, termasuk kapasitas penyadapan atau sumber-sumber lain
yang dapat merugikan kepentingan dari kedua pihak.
Kedua,
Indonesia dan Australia akan mendorong kerja sama intelijen
antar lembaga dan badan-badan relevan sesuai dengan hukum dan peraturan
nasional masing-masing.
"Untuk melaksanakan hal tersebut, para
kepala badan intelijen kedua negara akan bertemu dan berkonsultasi,"
kata Marty. Dengan kode perilaku itu, Marty bisa memastikan, kedua
negara tidak akan membiarkan skandal penyadapan kembali terulang.
Di
sisi lain, dia juga yakin hubungan Indonesia dan Australia akan kembali
ke tatanan yang positif seperti sebelumnya. "Pemulihan kerja sama
intelijen dan komunikasi antar angkatan bersenjata kedua negara akan
kembali pulih," imbuh Marty.
Hal ini diamini Menlu Australia
Julie Bishop. Australia dan Indonesia sepakat untuk meningkatkan kerja
sama di bidang intelijen setelah kedua negara meneken Kode Perilaku itu.
Salah satu realisasi meningkatnya kerja sama di bidang intelijen itu
adalah, pemimpin badan intelijen kedua negara sepakat melakukan kontak
secara reguler.
"Kontak ini sangat penting untuk bekerja sama,
meningkatkan, dan menjawab tantangan serta isu keamanan di negara kami,
kawasan Asia dan dunia," kata Bishop.
Dia menambahkan, salah satu
ancaman yang kini tengah melanda adalah paham ekstrimis. yang tumbuh di
negara asal. Para jihadis ini kemudian berangkat untuk berperang dengan
kelompok militan di Irak dan Suriah. Lalu, mereka kembali ke negara
asal dengan paham radikal. "Kami menantikan kerja sama yang erat dan
menguntungkan untuk mencapai hal tersebut," imbuh dia.
Dengan
adanya peningkatan kerja sama di bidang intelijen itu, Indonesia pun
yakin bahwa pengumpulan informasi di luar koridor, seperti penyadapan,
sudah tidak lagi diperlukan. Untuk itu, Marty memastikan bahwa kode
perilaku itu lebih dari sekadar dokumen.
Dengan adanya COC,
imbuhnya, komunikasi dua negara kembali seperti sedia kala. Selain itu,
kerja sama di bidang pertahanan dan angkatan bersenjata seperti patroli
perbatasan bersama dan latihan bersama akan dipulihkan. Namun, Marty
menambahkan tidak ada waktu khusus kapan kedua aktivitas itu berjalan
normal.
COC merupakan syarat sebagai perwujudan six road maps
yang dituntut oleh Presiden SBY, setelah pada akhir tahun lalu menjadi
korban penyadapan badan intelijen Australia (DSD). Informasi itu terkuak
di media Australia yang mengutip bocoran dokumen intelijen milik Edward
J Snowden.
Usai COC diteken, maka masih tersisa dua langkah lagi
yaitu pembuktian COC sungguh dipenuhi dan dijalankan. Sementara,
langkah terakhir. Dua langkah itu adalah kedua negara memastikan bahwa
kode perilaku ini dipatuhi. Terakhir, kerja sama tiga bidang yang sempat
dipetieskan, akan kembali di buka.
Adapun ketiga bidang kerja
sama itu adalah saling tukar-menukar informasi intelijen, kerja sama
polisi, dan patroli gabungan di perbatasan laut untuk mencegah manusia
perahu.
Tak Cukup
Pengamat hukum
internasional dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana memiliki
pandangan lain mengenai kode perilaku dua negara bertetangga itu. Dia
menilai penyadapan tidak bisa diselesaikan dengan menggunakan COC.
Jika memang kesal dengan kelakuan Australia, Pemerintah Indonesia
lebih baik mengusir pejabat diplomat Negeri Kanguru. Gaya yang dipilih
SBY untuk menuntaskan skandal ini, ujar Hikmahanto, mengadopsi gaya
orang Jawa yang ingin melakukan penanganan secara pelan-pelan.
"Yang namanya intelijen suatu negara, di satu waktu tertentu, akan
melakukan penyadapan untuk kepentingan tertentu. Penyadapan itu lazim
dilakukan oleh suatu negara. Yang tidak lazim itu jika terbongkar,"
imbuh pria yang pernah menjadi Dekan Fakultas Hukum UI itu. Oleh sebab
itu, Hikmahanto tidak yakin, Australia akan betul-betul menghentikan
aksi penyadapannya dengan hanya COC itu.
Selain itu, Hikmahanto
turut menyebut sikap marah Presiden SBY atas skandal penyadapan
Australia, lebih didasari kemarahan personal dan bukan mengatasnamakan
negara.
Sebab, aksi penyadapan sudah pernah dilakukan Australia, sebelumnya. Ketika mantan kontraktor Badan Intelijen Amerika Serikat (NSA) Edward J Snowden mengungkap
di media massa, soal adanya ruang khusus di gedung Kedutaan Besar
Australia di Kuningan, Jakarta Selatan yang digunakan untuk menyadap.
"Dia baru marah, ketika namanya dan Ibu Ani Yudhoyono masuk ke dalam daftar penyadapan. Masalah ini dijadikan personal matters," kata Hikmahanto.
Hikmahanto
juga menyebut, Pemerintah Indonesia tidak bisa hanya menimpakan
kesalahan dalam skandal penyadapan kepada Australia semata. Karena, bila
diingat kembali ke belakang, aksi penyadapan itu, dilakukan atas
permintaan Amerika Serikat. "Seharusnya Indonesia, juga berani marah ke
AS. Jangan hanya ke Australia saja," kata dia.
Skandal Penyadapan
November
2013, Indonesia berang. Gara-garanya Australia ketahuan telah melakukan
aksi mata-mata dan membangun jejaring spionase mereka di Tanah Air,
melalui kantor kedutaan besar mereka di Jakarta. Hal itu justru
diketahui Indonesia dari media massa Australia, The Sydney Morning Herald.
Bahkan media Australia lainnya, Fairfax,
menyatakan pos-pos diplomatik Australia yang tersebar di Asia mempunyai
fasilitas untuk mencegat lalu lintas data dan panggilan telepon dari
pejabat-pejabat penting di negara-negara di kawasan ini.
Belum
selesai dengan masalah ini, kekesalan Jakarta atas Canberra bertambah
setelah muncul laporan terbaru dari dua media yang kerap memberitakan
bocoran Snowden, The Guardian dan Sydney Morning Herald.
Muncul kabar bahwa telepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan para
menterinya, bahkan sampai Ibu Negara Ani Yudhoyono pun, pernah disadap
intelijen Australia.
Jakarta makin marah. Sebagai reaksi atas
kabar penyadapan telepon itu, pemerintah RI memanggil pulang Duta Besar
Indonesia untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema, selama waktu yang tidak
ditentukan.
Penarikan dubesnya dari Australia ini bukan kali
pertama dilakukan pemerintah Indonesia. Sebelum masalah penyadapan ini,
pada Maret 2006 pun Pemerintah Indonesia menarik dubesnya dari
Australia. Pemulangan dubes RI saat itu untuk memprotes keputusan
Australia memberikan visa kepada 42 pencari suaka asal Papua.
"Ini
merupakan perbuatan yang tidak bersahabat dan berdampak serius bagi
hubungan kedua negara," kata Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa
saat mengumumkan pemulangan Dubes Nadjib dari Australia, Senin 18
November 2013.
The Guardian dan The Sydney Morning Herald menjelaskan cukup gamblang skandal penyadapan telepon SBY dan para pejabatnya oleh Australia.
Suatu
hari pada bulan Agustus 2009, ada panggilan telepon dari Thailand yang
masuk ke ponsel E90-1 milik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Panggilan
itu dari nomor tak dikenal. Badan Intelijen Australia bersiap
menjalankan misinya: mencegat dan menyadap panggilan telepon itu. Sayang
perbincangan telepon itu tak berlangsung lama. DSD tak berhasil
memenuhi tugasnya.
“Informasi lebih lanjut saat ini nihil (tak
memenuhi batas waktu – perbincangan hanya berlangsung satu menit,”
demikian catatan yang tertulis di bagian bawah slide presentasi berjudul
Indonesian President Voice Intercept (August ’09) milik Departemen Pertahanan Australia dan DSD. Kata-kata "Top Secret" tercantum di bagian atas slide berformat PowerPoint itu.
Itulah salah satu dokumen yang dibocorkan Snowden dan dipublikasikan luas oleh Guardian bersama Australian Broadcasting Corporation serta The Sydney Morning Herald, Senin 18 November 2013. Penyadapan semacam ini dilakukan Australia sejak teknologi 3G masuk ke Asia.
Bukan
hanya Presiden SBY dan Ibu Negara Kristiani Herawati atau Ani Yudhoyono
saja yang disadap. Ada delapan pejabat RI lainnya, yakni Wakil Presiden
Boediono, mantan Wapres Jusuf Kalla, mantan Juru Bicara Kepresidenan
Bidang Luar Negeri Dino Patti Djalal, mantan Juru Bicara Kepresidenan
Andi Mallarangeng, mantan Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, mantan
Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani Indrawati yang kini
menjabat Direktur Bank Dunia, mantan Menteri Koordinator Politik Hukum
dan HAM Widodo AS, dan mantan Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil.
Kesepuluh nama orang penting di RI itu terpampang berurutan dalam slide berjudul IA Leadership Targets + Handsets.
Di samping nama-nama mereka, tercantum pula jenis ponsel yang mereka
gunakan. Presiden SBY, Ani Yudhoyono, Hatta Rajasa, Sri Mulyani, dan
Sofyan Djalil pada tahun 2009 sama-sama memakai ponsel Nokia E90-1.
Sementara Boediono dan Dino Patti Djalal menggunakan BlackBerry Bold
9000, Jusuf Kalla menggunakan Samsung SGH-Z370, Andi Mallarangeng
memakai Nokia E71-1, dan Widodo AS menggunakan Nokia E66-1.
Satu hal jelas, seluruh ponsel itu memiliki teknologi 3G.