JAKARTA-(IDB) : Kolom ini dimulai dengan pertanyaan mengapa
bangsa-bangsa jajahan tertinggal dan bangsa-bangsa pewaris imperium
besar tetap saja menjadi bangsa yang paling maju dan berkuasa di dunia
baik politik, militer, ekonomi, maupun peradaban?
Bangsa-bangsa
Barat de facto tetap menjadi penguasa dunia sampai sekarang ini. Dulu
mereka menguasai dunia dengan kolonialisme dan imperialisme, sekarang
tetap juga "menguasai” dunia melalui modus lain yang lebih canggih.
Penguasaan tentu hanya bisa dilakukan oleh bangsa-bangsa yang kuat
(strong nation), percaya diri, dan selalu punya pemimpin dengan mental
penakluk (conqueror).
Jika tidak dengan kualifikasi demikian,
rasanya mustahil mereka berhasil memosisikan negara-negara lain di bawah
kendali kekuasaannya selama berabad-abad. Bangsa-bangsa jajahan
sebaliknya dikenal, meminjam istilah Gunnar Myrdal dalam Asian Drama,
sebagai soft nation, bangsa yang lembek! Sebagai bangsa yang
mengalami penjajahan -mitos atau realitas- 350 tahun, bangsa Indonesia
ditengarai oleh banyak pihak sebagai mengidap mentalitas inlander.
Novel-novel
Pramudya Ananta Toer rasanya banyak mengangkat tema-tema ini: bangsa
yang dituding -dan menuding dirinya– sebagai bangsa yang tanpa rasa
kepercayaan diri yang kuat, inlander, dan bermental kalah. Anehnya,
setelah satu setengah dasawarsa reformasi pun ternyata kita masih
berjalan di tempat. Rasa percaya diri kita sebagai bangsa terus merosot.
Buktinya, kita malah semakin suka memperolok diri sendiri ketika bicara
tentang kemajuan bangsa lain.
Kita Mestinya Bisa
Tetapi,
apakah benar kita tidak bisa menjadi bangsa yang besar? Dulu kita
memang negara jajahan dan menjadi bangsa pecundang. Tetapi, kini kita
meyakini bahwa negara kita ini benar-benar negara besar alias gede
banget. Karena itu, kita mestinya bisa menjadi bangsa yang maju dan
kuat. Bangsa ini hanya memerlukan pemimpin yang hebat dengan mentalitas conqueror.
Pemimpin yang percaya diri dan mampu membuat bangsa ini percaya diri pula. Quails rex talis grex,
demikian rajanya atau pemimpinnya, demikian pula rakyatnya! Jika
pemimpinnya lembek, madek mangu, dan pecundang, demikianlah pula
rakyatnya. Regis ed exemplar, melalui teladan pemimpin masyarakat
diarahkan! Para founding fathers kita mewariskan marwah bangsa yang kuat
dan bermartabat.
Mereka mewarisi darma cinta, ilmu pengetahuan,
dan militansi–tiga darma yang oleh Alain Badiou disebut sebagai syarat
mutlak bagi setiap individu dalam memajukan sebuah peradaban. Mereka
adalah figur-figur saleh yang penuh cinta terhadap bangsa, ilmu
pengetahuan, dan militansi demi tegaknya Merah Putih di Kepulauan
Nusantara. Mereka mengenal bangsa ini, sebagaimana mereka mengenal dan
mencintai diri mereka sendiri.
Dengan pengetahuan, mereka merasa
sederajat dengan bangsa lain, pun dengan seorang kolonial! Spirit mereka
bagaikan pasukan Sparta yang berperang melawan tentara Persia.
Militansi yang tak lekang oleh zaman. Sikap mental begitu penting bagi
republik ini sehingga proyek kebangsaan pertama yang digemakan oleh
Presiden Soekarno adalah nation and character building.
Soekarno
jeli melihat, kemerdekaan politik dan ekonomi hanyalah prasyarat
penting bagi kemakmuran dan kesejahteraan bangsa. Tetapi, dua hal itu
tidak akan berarti jika bangsa Indonesia yang tergerus mentalitas
jajahan selama tiga setengah abad tidak memiliki karakter dan jati diri
bangsa yang kuat. Kecemasan Soekarno dan para pendahulu bangsa ini
mengenai perlunya karakter dan jati diri bangsa juga kita rasakan.
Kita
sesungguhnya adalah bangsa besar yang mempunya watak kuat. Kita
mempunyai tradisi politik, ekonomi, dan sosial yang besar. Kita pernah
mempunyai sejarah kerajaan dan kesultanan di Nusantara yang disegani dan
dikagumi dunia karena memiliki peran strategis dalam bidang politik,
ekonomi, sosial, agama, dan keamanan. Kita juga mewarisi peradaban
Atlantis jika kita bersetuju dengan tesis dan temuan Prof Aryos Santos
dari Brasil itu. Singkat kata, kita tak boleh merasa rendah diri,
minder, malu, dan merasa tak sederajat dengan bangsa-bangsa lain.
Kita
tak boleh mengutuk diri dalam kesendirian dan kebodohan. Kita adalah
bangsa berperadaban besar dan berkemajuan. Nenek moyang kita mewariskan
keteladanan berupa rasa percaya diri (self confidence) dan percaya pada
orang lain (trust) yang notabene adalah dua karakter dasar bagi suatu
bangsa untuk menuju kejayaan peradaban. Dua hal inilah yang harus kita
raih dan miliki kembali. Sejarah modern bangsa Indonesia sebenarnya juga
bergelimang prestasi.
Kita tengok anak-anak SMA kita yang meraih
penghargaan dan medali internasional dalam bidang sains dan teknologi,
menyabet emas olimpiade fisika mengalahkan Amerika Serikat, Jepang,
Inggris, Prancis, dan negara-negara maju lain. Anak-anak Indonesia
banyak pula yang berprestasi di kampus-kampus bergengsi di seluruh
dunia. Mereka membuktikan bahwa bangsa kita bangsa besar yang mempunyai
prestasi.
Hidupkan Cahaya Peradaban
Kita
harus melawan stigma yang tertempel di jidat kita bahwa bangsa Indonesia
berkelas sudra yang tak piawai mencapai peradaban dan keadaban tinggi.
Kishore Mahbubani dalam bukunya Can Asians Think? secara tegas
mengatakan bahwa bangsa Asia termasuk Indonesia memiliki asian values yang membantah mitos jika bangsa Asia itu pemalas.
Kita
ini, sebaliknya, adalah bangsa yang giat dan rajin bekerja, biasa
berkorban untuk sebuah mimpi dan cita-cita, tak pernah putus asa meski
kegagalan kadang menyapa. Selain itu, bangsa Indonesia juga bangsa
muslim terbesar di dunia yang dipengaruhi etos kerja Islam yang
rasional, menghargai waktu, dan berkeinginan untuk maju. Etos Islam pada
dasarnya mirip dengan spirit Protestantisme dan Calvinisme yang menjadi
spirit kemajuan bangsa Barat.
Pada dasarnya agama (Islam)
mengajarkan kepada umatnya untuk menggapai ”kampung dunia" dan ”kampung
akhirat” secara bersamaan. Islam mengajarkan tauhid, keyakinan pada satu
Tuhan, sekaligus amal saleh. Seorang muslim yang beriman adalah
seseorang yang menerjemahkan keyakinannya pada pencapaian amal saleh
melalui sedekah, zakat, dan infak. Itulah etos Islam yang berkemajuan
dan itulah subkultur sebagian besar rakyat Indonesia yang bersifat
dinamis dan gandrung pada kemajuan dunia untuk meraih surga di akhirat
kelak.
Penelitian Clifford Geertz di Mojokuto (Pare, Kediri)
membuktikan bahwa spirit dan etos kerja muslim pada hakikatnya adalah
etos berkemajuan mirip temuan Max Weber tentang etika Protestan di Eropa
Barat. Dalam konteks dan perspektif ini, yang mendesak untuk dilakukan
adalah perubahan mentalitas budaya masyarakat Indonesia yang tampaknya
masih jauh dari –meminjam istilah Plato– cahaya peradaban.
Bangsa
Indonesia pada sejatinya memiliki semua prasyarat untuk maju dan
berkemajuan: pengalaman yang sangat kaya, sejarah bangsa yang besar, dan
berkali-kali jatuh bangun melakukan perubahan sistem politik dan
ekonomi. Ini semua seharusnya cukup untuk mendorong bangsa ini bergerak
maju dengan dinamis.
Hambatan kemajuan adalah dan hanyalah
mentalitas feodalistik, minder, serta hilangnya konfidensi dan trust.
Ini harus segera dipungkasi. Kita berharap demokrasi yang kini tengah
mekar dan memasuki era konsolidasi dapat mentransformasi mentalitas
kebudayaan bangsa yang kokoh dan berkarakter kuat yakni mentalitas
rasional, tekun, dan giat bekerja dalam mencapai kemajuan yang dilandasi
prinsip cinta bangsa.
Kita selalu berdoa semoga presiden baru
yang janji-janjinya luar biasa hebat itu akan benar-benar mampu membawa
bangsa Indonesia yang tengah berubah ini menuju sebuah perubahan
transformatif, berkemajuan, dan berkeadaban. Semoga!