Pages

Jumat, Juni 27, 2014

Tiger Akan Tampil Di HUT TNI 2014

PARIS-(IDB) : Upacara kebesaran HUT ke-69 TNI akan menjadi ajang pertama bagi 'macan' baru TNI memperkenalkan diri kepada warga Indonesia. Macan itu sedang dalam tahap akhir persiapkan fisik di benua Eropa.
 

Macan itu adalah helikopter serang Eurocopter Tiger H61. Mereka akan melengkapi helikopter serbu MI 35 dan Apache memperkuat TNI AD. Selain itu ada tiga kapal fregat multifungsi untuk TNI AL yang sedang dibangun di  Manchester, Inggris.
 

"Seluruh alutsista yang baru ini akan ikut dalam peringatan Hari TNI 5 Oktober," kata Wamenhan Sjafrie Sjamsoeddin di Paris, Jumat (26/6/2014).
 

Wamenhan berkunjung ke Paris bersama rombongan Komite Kebijakan Industri Pertahanan. Selain itu mereka ke Belanda juga untuk memastikan perkembangan seluruh alutsista yang dipesan Indonesia untuk jajaran TNI.
 

"Saat ini seluruh pesanan itu sudah dalam tahap akhir dan akan segera dikirim secara bertahap ke Indonesia," sambung matan Pangdam Jaya ini.
 

Sjafrie merasa puas karena selain pembelian alutsista ada banyak tawaran bagi pengembangan kerja sama industri pertahanan. Terutama untuk Pindad yang terbuka peluang bagi pengembangan panser Anoa serta kendaraan tempur dan amunisi lainnya.
 

Bersama Dirut Pindad Sudirman Said, Wamenhan bertemu juga Presiden Volvo Group, Stefano Chmielewski untuk membicarakan pasokan mesin Renault sebagai sumber tenaga Panser Anoa. "Pindad sudah memproduksi 250 unit panser kebutuhan TNI AD. Sekarang Pindad mempunyai kesempatan untuk memasok 250 unit lainnya dan Renault bersepakat untuk memasok kebutuhan mesinnya," kata Sjafrie



Sumber : Metrotvnews

Berita Foto : KRI Banda Aceh 593 Sandar Di Pearl Harbor

HAWAI-(IDB) : Sebuah kapal memberikan garis pembatas antar kapal perang negara pada KRI Banda Aceh-593 ketika memasuki Dermaga Mike Pier Two, US Naval Base, Hawaii, Rabu (25/6). Kapal perang buatan Indonesia jenis Landing Platform Dock (LPD) tersebut akan bergabung dengan 23 negara dalam Latihan Bersama Multilateral Rim of the Pasific (RIMPAC) M-01 2014.

Berikut liputannya :




Sumber : Metrotvnews

Kebangkitan Pelabuhan Besar Indonesia, Kematian Bagi Singapura

JAKARTA-(IDB) : Bila banyak pelabuhan besar dan kekuatan angkatan laut yang memadai, Indonesia akan menjadi Negara Maritim besar, mengulang kejayaan Sriwijaya dan Majapahit. Hal itu disampaikan Kasubdispenum Dispenal Mabesal, Kolonel Laut Suradi AS, di kantornya, saat ditemui JMOL beberapa waktu lalu.

“(Sejumlah) 80 persen distribusi barang di dunia melalui lautan sebagai sarananya, dan 60 persennya ada di Indonesia,” ucap Suradi.


Dengan potensi tersebut, hampir satu abad terakhir telah menjadikan Singapura sebagai negara kecil yang memiliki jasa pelabuhan terbesar dan kuat perekonomiannya.


Menurut Suradi, sambil menunjuk peta ASEAN dan Indonesia yang ada di ruangannya, Singapura akan surut apabila Indonesia memiliki pelabuhan-pelabuhan besar, tempat kapal-kapal dagang dunia bersandar.


“Wilayah barat Sumatera, selatan Jawa, dan membentang sampai Indonesia Timur cukup potensial untuk dibangun beberapa pelabuhan besar maupun pelabuhan perantara, sehingga kapal-kapal tidak perlu lagi singgah di Singapura,” tegasnya.


Banyaknya pelabuhan dan kapal yang bersandar akan membawa dampak perekonomian setempat, dan tentunya akan membawa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.


“Potensi tersebut juga diiringi dengan pembangunan angkatan laut kita yang berkelas dunia, yang akan mengamankan jalur pelayaran,” tambahnya.


Pasalnya, berdasarkan Undang-Undang TNI, TNI AL merupakan matra yang bertugas untuk bidang pertahanan di laut, penegakan hukum dan keamanan di wilayah laut, melaksanakan tugas diplomasi, dan melaksanakan pemberdayaan wilayah laut.


“Salah satu ukuran besarnya angkatan laut adalah dengan adanya alutsista yang memadai, dan dalam TNI AL dikenal istilah senjata yang diawaki manusia bukan manusia yang dipersenjatai,” pungkasnya.




Sumber : JurnalMariitm

Brigif-1 PIK/JS Terjunkan 39 Panser ANOA Di Karawang

KARAWANG-(IDB) : “TNI Angkatan Darat memiliki 3 Batalyon Infanteri Mekanis dibawah Brigade Infanteri-1 Pengamanan Ibukota/Jayasakti Kodam Jaya untuk menghadapi ancaman sesuai perkembangan lingkungan strategis global yang makin dinamis dan beragam.

Batalyon Infanteri Mekanis merupakan satuan mekanis dari satuan Infanteri organik Sebagai Pengamanan Ibukota dan bukanlah suatu tugas yang ringan tetapi membutuhkan pengorbanan yang cukup berat dan selalu siap untuk mengamankan Ibukota serta mampu menyelesaikan tantangan dan mengatasi hambatan dalam melaksankan tugas ke depan yang semakin kompleks”.


Kesejahteraan yang paling hakiki bagi seorang Prajurit adalah Latihan. Untuk itu demi meningkatkan Kualitas Prajurit Brigif-1 PIK/JS menyelenggarakan Latihan Pemantapan Yonif Mekanis yang diikuti oleh 3 Batalyon Infanteri Mekanis Jajaran Brigif-1 PIK/JS.”


Kegiatan latihan ini dipimpin langsung oleh Komandan Brigif-1 PIK/JS Kolonel Inf Andi Perdana Kahar.


Sebanyak 39 Panser Anoa dari 3 Batalyon Infanteri Mekanis yang merupakan Ranpur dari Yonif Mekanis turut diterjunkan untuk mendukung latihan yang bertujuan untuk mengasah kemampuan Prajurit dan menjawab perkembangan global bidang militer yang berpengaruh terhadap strategi perang dan strategi militer di masa yang akan datang.


Oleh karena itu Brigif-1 PIK/JS terus meningkatkan kualitas Prajurit dari Yonif Mekanis 201/Jaya Yudha, Yonif Mekanis 202/Tajimalela dan Yonif Mekanis 203/Arya Kamuning agar selalu menjalankan tugas pokok dengan baik seiring dengan perkembangan serta situasi Ibukota yang merupakan barometer dari Negara ini.


Adapun materi yang dilatihkan kali ini Materi Patroli Kota, Serangan, Latihan Pertempuran kota dan Latihan Pertahanan Taktik Yonif Mekanis bertempat di daerah latihan Dawuan Kerawang. Seluruh Prajurit melaksanakan latihan dengan penuh keseriusan dan tanggung jawab berbekal kalimat bijak “Lebih baik mandi keringat dimedan latihan, daripada mandi darah dimedan pertempuran”.




Sumber : Poskota

Indonesian SAMs Break Cover, Promising Enhanced Anti-UAV Capability

JANE'S-(IDB) : The new Land Rover-based surface-to-air missile (SAM) systems destined for Indonesia went on public display for the first time at the Defence Vehicle Dynamics (DV) exhibition at Millbrook Proving Ground on 25 June.

Indonesia ordered the Thales Starstreak SAMs as part of a wider ForceShield air defence package in January 2014 and is understood to have subsequently signed up to acquire Thales' Lightweight Multirole Missile (LMM) in mid-June. Both missiles share a similar physical footprint and are virtually identical from the warhead back, with exactly the same physical connector on their canisters to link into the pedestal mount, enabling the weapons to be carried in mixed loads.

LMM is primarily an anti-surface weapon - it has been selected for the UK's new Future Anti-Surface Guided Weapon (Light) requirement, for example - but it also offers a limited air-defence capability. Warrant Officer Graham Chastell, a member of the UK Defence And Security Organisation's Export Support Group, told IHS Jane's that the weapon's shaped charge/blast fragmentation warhead offers a better capability against small unmanned aerial vehicles and slow helicopters than the triple-hittile Starstreak.
 

Three ready-to-fire weapons are carried on a pedestal mounted on Land Rover 110 twin-cab vehicles, outfitted for the role by Hobson Industries. Modifications include building a flat loadbed with fold-out sides to increase the operator area, mechanical stabilisers to steady the platform and limited shielding on the rear of the cab. The Land Rover's traditional cargo area is retained beneath the firing platform, offering storage for six missile reloads and other spares.

Thales refused to specify any delivery dates or discuss build numbers, citing customer confidentiality. However, an Indonesian defence source told IHS Jane's earlier in the year that "the British system consists of five batteries costing USD170 million. Funds have been allocated for both, but the systems have yet to be delivered."




Source : Jane's

Sengketa Perbatasan Indonesia Timor Leste

Indonesia Timor Leste Saling Klaim Lahan Di Perbatasan

KUPANG-(IDB) : Pemerintah Indonesia dan Timor Leste masih mempersoalkan masalah perbatasan antara kedua negara di atas lahan seluas 1.211,7 hektare yang terdapat di dua titik batas yang belum terselesaikan.

"Masih ada dua titik perbatasan kedua negara yang belum diselesaikan antara Indonesia dan Timor Leste," kata Kepala Seksi (Kasie) Operasional Korem 161 Wira Sakti Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Letnan Kolonel Waris Ari Nugroho, Rabu, 25 Juni 2014.

Dua titik batas yang masih dipersoalkan antara kedua negara yakni wilayah di Desa Oepoli, Kabupaten Kupang, yang berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste, dengan luas 1.069 hektare.

Di daerah itu terdapat satu desa yakni Naktuka yang dihuni 45 kepala keluarga berada di zona bebas, namun mereka lebih mendapat perhatian dari pemerintah Timor Leste. "Pemerintah Indonesia tidak mengurusi warga di Naktuka, sehingga mereka diurusi oleh negara tetangga," katanya.

Batas lainnya yang masih bermasalah terletak di Bijai Suna, Desa Oben, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), yang juga berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste, seluas 142,7 ha. "Tidak ada penduduk di lokasi sengketa itu," katanya.

Selain dua batas wilayah yang belum disepakati itu, katanya, terdapat satu titik batas yang sudah disepakati antara kedua negara, yakni Subinah, TTU. Namun masyarakat di perbatasan menolak batas wilayah yang telah ditetapkan itu, sehingga sering terjadi konflik antarwarga dua negara di wilayah perbatasan itu. "Kami sudah tempatkan personil TNI untuk mengamankan wilayah itu," katanya. 

Sengketa Perbatasan, Satu Pulau Bisa Lepas  

Sejumlah warga melambaikan bendera menyambut kedatangan helikopter M1 milik TNI AD saat mendarat di perbatasan Indonesia - Timor Leste di Desa Looluna, Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) (4/7). ANTARA/Yudhi Mahatma

Pulau Batek, salah satu pulau terluar yang terletak Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) terancam menjadi milik Timor Leste, jika masalah perbatasan antarnegara di kecamatan itu tak segera diselesaikan.

"Jika mengikuti patok batas pemerintah Timor Leste, maka Pulau Batek akan menjadi milik mereka," kata Kepala Staf Kodim 1604 Kupang, Mayor (Inf) Dwi Kristianto kepada Tempo di Kupang, Jumat, 25 Oktober 2013.

Pulau Batek adalah satu dari empat pulau terluar di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dijaga oleh anggota TNI. Empat pulau terluar itu adalah Pulau Batek, Ndana Rote, Ndana Sabu, dan Mengudu di Sumba Timur.

Menurut dia, berdasarkan pemahaman warga Distrik Oekusi, Timor Leste, patok batas antar-kedua negara berada di Nonotuinan atau sungai kecil di bagian barat, sedangkan pemahaman warga dan pemerintah Indonesia batas antar-kedua negara berada di Noelbesi atau sungai besar di bagian timur.

"Jika mengikuti pemahaman batas Timor Leste, maka Pulau Batek masuk ke wilayah Timor Leste, bukan Indonesia," katanya.

Dengan belum adanya kesepakatan batas antar-kedua negara itu, maka ditetapkan zona bebas di Desa Naktuka, Kecamatan Amfoang Timur. Kedua belah pihak dilarang beraktifitas di zona tersebut.

Sementara itu, Bupati Kupang, Ayub Titu Eki mengatakan penyelesaian masalah batas antara Indonesia dan Timor Leste khususnya di wilayah Naktuka, Kabupaten Kupang menjadi urusan pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah hanya melakukan pendekatan adat agar tidak terjadi konflik di perbatasan kedua negara.

"Jika diserahkan ke pemerintah daerah, pasti masalah sudah selesai, karena dilakukan secara adat," katanya.

 

 Sumber : Tempo

First 2 F/A-50s To Be Delivered In September 2015

MANILA-(IDB) : Defense Secretary Voltaire Gazmin on Thursday said that the first two South Korean made F/A-50 "Fighting Eagle" jet aircraft will be delivered by September 2015.
 
But prior this, Air Force pilots with high jet time and maintenance crews, will be first sent to South Korea for briefing and training.
 
Gazmin expects delivery of the remaining F/A-50s to be completed within two years after the delivery of the first two.
 
"And after the F/A-50s, we are hoping that we will soon acquire our first modern fighter aircraft," the defense chief said in Filipino.
 
The Philippines and South Korea signed the P18.9-billion contract for the 12 F/A-50 units last March 28.
 
The South Korean jet aircraft can be used to redevelop the supersonic capabilities of the PAF whose last supersonic planes, the Northrop F-5 "Tiger", was retired last 2005.
 
The F/A-50, as per technical specifications obtained from the Department of National Defense (DND), can carry a total of 10,500lbs of weapons including an internal 20-mm automatic cannon, two short-ranged air-to-air AIM-9 "Sidewinder" missiles and air-to-surface AGM-65 missiles for close-air support.
 
A guidance kit called the JDAM (joint direct attack munition) is also installed into the F/A-50, allowing it to convert unguided or "dumb bombs" into all-weather smart munitions.
 
These bombs are outfitted with an inertial guidance system that is tied to a global positioning system receiver to guide the deployed munition intended to precisely hit a specific target, and to minimize collateral damage.
 
This is the first-ever Philippine Air Force (PAF) aircraft to employ such weapons as the Northrop F-5 "Tiger" and Vought F-8 "Crusader" which are the country's first class supersonic fighters do not have the above-mentioned capabilities.
 
Both planes are only armed with 20mm cannons, air-to-air missiles and unguided bombs and rockets.
 
The Philippines retired its F-8 fleet sometime in 1990 due to maintenance costs.
 
Korean Aerospace Industries (KAI)'s F/A-50 has a top speed of Mach 1.5 or one and half times the speed of sound.
 
The F/A-50 will act as the country's interim fighter until the Philippines get enough experience of operating fast jet assets and money to fund the acquisition of more capable fighter aircraft.
 
The F/A-50 design is largely derived from the F-16 "Fighting Falcon", and they have many similarities: use of a single engine, speed, size, cost, and the range of weapons.
The aircraft has a maximum speed of Mach 1.4-1.5. 




Source : PNA

ITB Gandeng Korea "Cyber Security"

BANDUNG-(IDB) : Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Korea Cyber Security menjalin kerja sama dalam rangka penelitian dan pengembangan sumber daya manusia sektor cyber security atau keamanan dunia maya.

"Kerja sama ini dilakukan untuk membangun kualitas sumber daya manusia. Hal ini juga diharapkan memberikan pengetahuan betapa pentingnya cyber security," kata Dekan Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB Prof Dr Suwarno di Bandung, Jumat.

Ia menyebutkan Indonesia kini tengah dalam keadaan mendesak dalam hal cyber security sehingga masyarakat perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan global termasuk dalam sektor penggunaan internet.

"Bicara tentang internet maka kita otomatis melakukan kerja sama dengan pihak luar negri," katanya.

Suwarno menyebutkan, pengembangan dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia di sektor sumber daya manusia cyber security sangat mendesak dan menjadi masa depan ketahanan cyber Indonesia.

"Perkembangan global yang cepat menjadi suatu tantangan bagi kita, terutama dalam pengembangan SDM," katanya.

Sementara itu Kim Byun Hwan dari Koica selaku partner kerja sama itu mengatakan Indonesia adalah sasaran strategis untuk kerja sama di bidang cyber.

"Indonesia merupakan target strategis bagi Korea untuk menjalin kerja sama ini," katanya.

Program ini ke depannya akan melibatkan negara lain dan mengembangkan pelatihan kepada masyarakat untuk mengenalkan dan memberi tahu pentingnya penetahuan cyber security.

"Sosialisasi berguna untuk mengenalkan betapa pentingnya cyber security. Dengan pelatihan-pelatihan pendek diusahakan memerikan info mengenai cyber security kepada masyarakat khususnya pegawai dan pejabat atau kepolisian," kata Suwarno menimpali.




Sumber : Antara

Perkembangan UAV Lokal

Drone Buatan Dalam Negeri Tak Dihargai Lokal
 
JAKARTA-(IDB) : Riset drone atau pesawat udara nirawak (PUNA) di Indonesia ternyata tidak banyak berkembang. Dana yang minim dan cibiran menghantui perkembangan PUNA di Indonesia.

Menurut Kepala Bidang Teknologi Hankam Matra Udara BPPT, Mohamad Dahsyat, sejak awal dikembangkan di BPPT tahun 2004, kegiatan riset PUNA hanya memiliki investasi total Rp 20 miliar. Ini artinya, BPPT hanya diberikan dana Rp 2 miliar dalam kurun setahun.

Angka ini sangat jauh jika dibandingkan dengan dana riset drone yang digelontorkan Amerika. Menurut situs Singularityhub.com, dana riset PUNA untuk tahun 2001 hingga 2013 lalu menghabiskan US$ 26 miliar. Jika dihitung rata-rata per tahun, dana riset tersebut mencapai US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 21 triliun.

"Budget memang menjadi kendala. Selain itu juga kurangnya dukungan. Antara lain, orang kita yang selalu membandingkan produknya dengan negara-negara maju. Tentu saja tidak seimbang. Kita baru belajar, mereka sudah lama," papar Mohammad kepada VIVAnews, Kamis, 26 Juni 2014.

Memang tidak adil jika kita membandingkan drone produk lokal dengan luar negeri. Di Amerika, drone sudah digunakan untuk segala bidang, termasuk untuk persenjataan militer sampai pengiriman barang. Sama halnya dengan Rusia yang berencana memiliki drone 'pembunuh'.

Untuk biaya pembuatan memang membutuhkan investasi mahal. Satu buah drone diperkirakan memakan biaya 300 juta. Sedangkan untuk jasa penyewaan drone, meski murah namun tidak bisa diterapkan untuk kegiatan pengawasan negara.

"Kalau sewa biasanya untuk keperluan sipil namun untuk militer biasanya punya sendiri. Sebagai ilustrasi, untuk pengambilan photo kelas UAV yang short range, untuk perkebunan dengan hanya beberapa luas wiliayah, sekitar Rp 10 juta sampai Rp 30 juta, tergantung dengan perjanjiannya pekerjaannya," papar Mohammad.

Oleh karena itu, katanya, akan lebih menguntungkan jika riset terkait drone terus dilakukan sampai bisa memproduksi banyak PUNA untuk banyak fungsi. Keuntungannya adalah, selain menciptakan lapangan kerja baru, drone buatan sendiri juga bisa dikostumisasi sesuai kebutuhan, bahkan kerahasiaan negara lebih terjamin.

"Secara ekonomi memang tidak terjadi capital flight karena duit mengalir di negeri kita sendiri. Yang paling penting adalah jaminan keamanan rahasia negara. Beda sekali jika kita menyewa atau membeli dari asing. Selain itu kita juga bisa menekan risiko terhadap nyawa pilot dan operator," kata Mohammad.

PUNA buatan dalam negeri diberi nama Wulung yang merupakan hasil keroyokan antara PT Dirgantara Indonesia untuk mengurusi produksi, Lembaha Elektronik Nasional (LEN) untuk sistem komunikasi dan elektronik, serta BPPT untuk bagian riset dan pengembangan.

Dikatakan pemerhati persenjataan militer, Haryo Ajie Nogoseno, Wulung nantinya akan ditemani oleh 4 unit drone baru bernama Heron. Wulung dan Heron akan bersanding di Lapangan Udara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat.

"Heron dapat terbang sejauh 350 km dan mampu terbang terus menerus hingga 52 jam. Dengan kecepatan maksimum 207 km/jam, Heron dengan ketinggian terbang hingga 10.000 meter memang layak menjadi spy plane. Sedangkan Wulung memiliki jarak jelajah 200 km yang di dukung mobile ground station, hanya dimungkinkan untuk pengamatan data secara realtime," papar pendiri situs Indomiliter.com ini. 

Teknologi Drone Yang Belum Dikuasai Indonesia 

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) terus mengembangkan kemampuan teknologi pesawat nirawak (drone). Saat ini BPPT sudah mengembangkan pesawat nirawak Wulung dan Sriti, yang mana keduanya didesain untuk pengawasan perairan laut Indonesia.

Meski sudah mampu membuat pesawat nirawak secara mandiri, Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono, mengakui penguasaan teknologi masih belum sepenuhnya dimiliki.

"Untuk desain pesawat kita sudah 100 persen kita sendiri. Tapi untuk sistem komunikasi, sistem kendali mash tergantung dengan komponen dari Eropa maupun Amerika Serikat," jelas Joko kepada VIVanews, Senin malam, 25 Juni 2014.

Bagian yang belum dikuasai itu merupakan bagian yang vital dalam pengawasan sebuah wilayah. Misalnya, pasa sisten komunikasi terdapat komponen kamera, muatan pesawat dan sensor, dan RI masih menggantungkan pada pasokan dari negara asing.

Namun BPPT terus mengembangkan komponen dari dalam negeri. Beberapa komponen pesawat nirawak yang sudah dibuat mandiri oleh Indonesia yaitu komponen untuk menghitung perbedaan tekanan udara agar mengetahui kecepatan pesawat.

"Sekarang kami sedang kembangkan komputer kendali terbang baik yang di pesawat maupun yang di darat. Software Ground Station juga sudah dibuat sendiri," jelas Joko.

Joko tak khawatir dengan membeli komponen sistem komunikasi dari luar bakal menimbulkan celah penyadapan pada data pengawasan.

Menurutnya, dengan pengetahuan mendalam pada program komunikasi, data pengawasan bisa dikelola secara aman.

"Yang penting kita bisa akses ke program, bisa ubah program, integrasi maupun troubleshooting sendiri. Itu nilai tambah," kata dia yang tetap menggarisbawahi kemandirian teknologi pesawat nirawak.

Transfer Teknologi

Upaya penguasaan teknologi tak dilupakan oleh BPPT. Joko mengatakan BPPT tengah mendidik pengembangan sumber daya manusia, agar nantinya mampu menguasai teknologi nirawak secara khusus.

"Ada yang kami sekolahkan ke luar negeri, harus ada strategi ini supaya mereka nanti dedicated untuk teknologi pesawat nirawak," ujarnya.

Upaya penguasaan teknologi ini juga melalui transfer teknologi, yang diamanahkan dalam UU NOmor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.

Dalam undang-undang itu tercantum amanah tranfer teknologi harus tercapai dalam setiap pembelian alutsista, termasuk alat yang merupakan bagian pesawat nirawak.

"Dari negara manapun, itu harus mengacu pada pokom transfer teknologi," ujarnya. 

Perkembangan Riset Teknologi Drone Indonesia

 LSU 02 ujicoba di Diponegoro Class
Drone atau pesawat nirawak untuk pengawasan, menjadi topik hangat beberapa hari lalu, saat menjadi bahasan debar capres sesi ketiga antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Tak hanya seru di debat, topik drone juga ramai dibicarakan di sosial media.

Sejauh ini kemampuan Indonesia untuk mengembangkan teknologi pesawat nirawak itu sudah berjalan. Pengembangan teknologi pesawat nirawak itu dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono, kepada VIVAnews, Senin malam, 25 Juni 2014 mengatakan institusinya sudah mengembangkan pesawat nirawak Wulung, yang tengah diproduksi, dan pesawat nirawak Sriti.

"Sedang diproduksi di PT Dirgantara Indonesia, Bandung dan digunakan Balitbang Kementerian Pertahanan," kata dia.

Menurutnya dengan kemampuan daya jelajah 200 km, PUNA Wulung bisa dimanfaatkan untuk pengawasan di perbatasan, misalnya di Kalimantan bagian Utara. Namun untuk pengawasan itu diperlukan dukungan base station, sebagai lokasi pendaratan pesawat nirawak itu.

"Pulau Kalimantan itu kan panjangnya sampai 2000 Km, itu harus ada base station. Setidaknya di Kalimantan butuh 4 base station," katanya.

Untuk menjangkau pengawasan seluruh wilayah Indonesia, menurutnya butuh 25 titik base station.

Joko mengakui selama ini pesawat nirawak yang dikembangkan masih untuk memasok untuk kebutuhan pengawasan di wilayah perairan Indonesia. Sama pentingnya, pengawasan di perairan didorong untuk menekan pencurian ikan.

Ditambahkan Joko, pesawat nirawak yang dikembangkan BPPT, masih memiliki keterbatasan yaitu ketinggian terbang, lama terbang dan muatan yang dibawa.

Wulung, jelasnya, hanya mampu terbang dengan ketinggian 12-14 ribu kaki, terbang 6 jam dan tak mampu terbang sampai di atas awan.

"Tidak bisa lihat (area pengawasan) jika di atas awan. Kalau cuaca bagus (Tak ada awan) bisa terbang sampai 20 ribu kaki, tapi jangkauannya 150 km, dan di titik itu nggak bisa online kirim data," katanya.

Ia menambahkan pesawat nirawak Wulung mampu mengirimkan data pengawasan secara realtime dalam terbang ketinggian normal.

Untuk itu, BPPT dalam lima tahun mendatang manargetkan mampu kembangkan pesawat nirawak dengan kemampuan lebih dari Wulung. Pesawat itu dinamakan Medium Altitude Long Endurance (MALE).

Pesawat ini lebih besar dari Wulung, mampu terbang lebih tinggi dan memiliki kelengkapan fasilitas muatan untuk kebutuhan pengintaian.

Data terbangnya lebih dari 20 jam dalam sehari, terbang dalam ketinggian 20-30 ribu kaki.

"Muatannya bukan kamera saja, tapi radar untuk melihat benda di bawah awan," katanya.

Pengembangan pesawat nirawak MALE itu akan didanai oleh Kementerian Pertahanan.




Sumber : Vivanews