JAKARTA-(IDB) : Tokoh militer Indonesia, Chappy Hakim,
memiliki kegelisahan tersendiri terhadap perwira angkatan perang negeri
saat ini, terutama setelah merebaknya kasus bocornya surat Dewan
Kehormatan Perwira (DKP) tentang pemecatan salah satu prajurit, Prabowo
Subianto, 16 tahun silam. Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara periode
2002-2005 itu menuangkannya dalam sebuah artikel di laman blog
pribadinya, www.chappyhakim.com, yang diunggahnya pada Sabtu
(14/6/2014).
Dalam tulisan berjudul “Tangan yang Sudah Mulai Keriput” itu, peraih
beberapa penghargaan satyalencana ini membuka tulisan dengan nostalgia
mengingat tangan keriput ayahnya yang kini juga ia lihat di punggung
tangannya. Keriput, baginya menandakan ketuaan dan berumur.
“Tidak terasa, sudah lebih kurang 10 tahun saya pensiun setelah
berkiprah lebih dari 30 tahun sebagai Perwira Angkatan Perang Negeri
ini. Sekarang, terminologi yang digunakan secara umum bagi orang-orang
seperti saya , yang sudah pensiun adalah “purnawirawan”. Bijaksana
adalah hal yang sangat didambakan dari mereka yang telah berumur. Bijak
dalam bertindak dan bijak dalam berbicara sehingga patut diteladani oleh
mereka yang jauh lebih muda,” tulisnya pada bagian pembuka.
Lulusan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Bagian Udara
ini menganggap Akabri sebagai lembaga pendidikan Tinggi yang sangat
terhormat, yang ia junjung tinggi, membanggakan, dan telah menghasilkan
begitu banyak perwira dengan segudang prestasi pengabdiannya kepada
negeri tercinta. Satu lembaga pendidikan perwira militer yang cukup
disegani, bahkan di pentas global sekalipun.
Empat tahun ia digembleng di Kawah Candradimuka yang bernama Akabri.
Dalam perjalanan karier, ia menjabat sebagai “Komandan Wing” (Resimen)
Taruna Akademi Angkatan Udara, Gubernur Akademi Angkatan Udara, dan juga
sebagai Komandan Jenderal Akademi TNI.
“Saya mengenal betul dan sangat mencintai almamater yang sekali lagi ‘sangat terhormat dan membanggakan’ itu,” ungkapnya.
Kegelisahannya bermula saat di berbagai media, menurut dia, demikian
vulgar para lulusannya kini, terutama para purnawirawan, telah saling
melemparkan banyak hal negatif dan bahkan membuka data-data yang
seyogianya tersimpan rapi di dalam “personal data” masing-masing dan di
dalam lemari instansi yang terhormat.
Menurut Chappy, perebutan kekuasaan telah memporakporandakan
“keperwiraan” dan sifat “kesatria” purnawirawan. Membuka aib prajurit
baginya akan membuat cemar lembaga pendidikan yang seharusnya dijunjung
tinggi kehormatannya.
“Saya baru menyadari, bahwa ternyata dalam realitanya sifat ‘perwira’
itu mungkin hanya akan terdapat di dalam dongeng-dongeng belaka.”
“Masih adakah ‘kehormatan’ itu, yang telah porak poranda hanya dalam
hiruk pikuknya Pemilihan Presiden Republik Indonesia? Hanya karena ingin
jadi presiden? Sebagai pemimpin, tidak harus menjadi presiden! Lalu di
mana ‘patriotisme’ para purnawirawan lulusan Akabri itu, di mana rasa
hormat kepada almamaternya? Entah di mana pula kesakralannya himne
Taruna, yang selalu mendirikan seluruh bulu roma saat dinyanyikan? Di
mana Sumpah Prajurit dan Saptamarga?” papar Chappy yang mulai gelisah
ini.
Pada akhir tulisannya, Chappy kembali mengingat sosok sang ayah yang
baginya hanya orang biasa tetapi sangat memegang nilai patriotisme. Ayah
yang tak pernah mengungkapkan keburukan temannya di hadapan publik.
Ayahnya yang tak pernah mengenyam pendidikan di Akabri.
“Ternyata memang Akademi tidak sanggup memberikan segala-galanya
dalam membangun karakter seseorang, di sisi lain seorang ayah terbukti
sangat besar pengaruhnya dalam membentuk dan membangun karakter
seseorang,” tutup Chappy.
Sumber : Kompas