|
Royal Brunei Airlines di KLIA
|
JKGR-(IDB) : Ini adalah artikel tersulit yang pernah saya buat. Kemampuan bertutur
seakan-akan hilang seketika, dibatasi oleh begitu banyaknya rambu yang
harus saya patuhi. Merekayasa sebuah realita agar lebih terkesan fiktif,
mengaburkan fakta agar lebih bernuansa hoax, adalah salah satu diantara
sekian banyak tantangan yang saya hadapi. Namun apapun rintangannya,
saya tetap berbangga karena telah mampu menjadi seorang saksi mata,
sekaligus juga saksi bisu..!
Tiga gagang anggrek masih dalam genggaman, ketika Royal Brunei
Airlines mulai menapakan kembali kaki-kakinya di atas landasan KLIA
untuk mengantar saya kembali pulang ke tengah dekapan keluarga tercinta.
“Uncle, terima kasih untuk kunjungannya. Sering-sering datang kemari
ya..!” ungkapan seragam dari anak-anak sahabat saya saat menyerahkan
anggrek-anggrek itu, sesaat sebelum saya meninggalkan Bandar Seri
Begawan. Tawa kami pun berderai. Kenangan manis di Brunei itu, masih
melekat di hati sanubari. Terima kasih sahabat, untuk tali persaudaraan
yang telah kita jalin selama lebih dari 20 tahun. Salam takziah untuk
ayahanda tercinta..!
Menyusuri koridor-koridor KLIA yang megah, membawa kembali ingatan
pada penuturan sahabat saya beberapa hari yang lalu tentang kisah
durhaka pemimpin Malaysia hingga menjadi sumber pangkal bekunya jalinan
harmonis yang selama ini telah terbangun. Nun di tahun 1998, ketika
Malaysia dikejar deadline untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan
Commonwealth Games 1998. Kegundahan jelas tersirat di wajah-wajah para
pemimpin Malaysia. Krisis ekonomi Asia yang datang menerjang, telah
meluluhlantakan sendi-sendi perekonomian nasional yang telah terbangun.
Proyek-proyek bersekala besar banyak yang terbengkalai bahkan harus rela
terhenti. Kondisi yang tidak menentu, telah mengancam munculnya
bopeng-bopeng yang akan mencoreng wajah-wajah kota yang akan ditampilkan
pada pentas opera yang bersekala antara bangsa.
Tak ayal, Mahathir Muhammad pun ikut meradang. KLIA, Pusat
pemerintahan Puterajaya, KL Sentral, Stadium Bukit Jalil, dan lain-lain
adalah sebuah paket proyek raksasa yang sejatinya bersifat multiyears,
yang pengerjaannya diprogram sedemikian rupa agar bisa selesai serentak
dengan waktu penyelenggaraan event olahraga negara-negara persemakmuran.
Alih-alih menjadi media pertunjukan kebesaran bagi Malaysia,
Commonwealth Games malah beralih rupa menjadi sebuah media yang justru
mengancam akan memojokan kegusaran dan kekerdilan Malaysia.
Akhirnya dengan sedikit menahan rasa malu, sang PM pun pergi mencari
pertolongan, hingga sampailah di hadapan sang Baginda Sultan Brunei
Darussalam, Sultan Hasanal Bolkiah. Selanjutnya yang kita dengar adalah
cerita-cerita heroik tentang sang PM, keberaniannya menentang IMF,
kegigihan, keuletan dan kecerdasannya dalam mengendalikan krisis, dan
menjadikannya sebagai negara pertama di Asia yang berhasil keluar dari
cengkeraman krisis. Tapi benarkah demikian yang terjadi sesungguhnya?
Hehehe..! Ingat, tidak ada makan siang yang gratis..! Begitulah
kira-kira ungkapan yang tepat untuk dilayangkan dalam kasus ini.
Meskipun akhirnya Malaysia berhasil keluar dari krisis, tapi ongkos yang
harus dibayar juga tidak murah. Limbang..! Ya, inilah nilai dari sebuah
harga diri.
Setelah terbebas dari krisis, Mahathir Muhammad yang kemudian lengser
keprabon, menyerahkan Limbang melalui tangan suksesornya, yakni
Abdullah Ahmad Badawi. Meskipun beliau sendiri turut mencaci, tapi tak
seorang pun tokoh di Malaysia yang berani menggugatnya di Mahkamah
Internasional, termasuk sang Raja Agong sekalipun. Bukan seorang
Abdullah Ahmad Badawi jika harus takut berkorban. Putera seorang tokoh
agama paling berpengaruh di Malaysia ini, memilih rela menjadi tumbal
sebuah harga diri bangsa, dari pada harus melawan tetapi hasilnya justru
hanya akan mempermalukan bangsa dan negara dengan kadar yang tiada
tara.
Fakta membuktikan, pasca penyerahan Limbang kepada Brunei, hingga
kini tidak pernah ada satupun usaha diplomatik yang ingin mengungkit
kembali masalah Limbang, karena segalanya telah terbayar tunai. Bahkan
Brunei sendiri lebih memilih untuk meninggalkan dan membiarkan tapak
istananya yang mewah dan megah di KL terbiar menjadi onggokan kumuh yang
tak bernilai.
Bagi Brunei, pola hubungan yang dibangun dengan Malaysia, telah
menjadi sebuah pelajaran penting yang sangat berharga. Mereka kini
menyadari, di dunia ini, mungkin hanya tinggal Bruneilah yang menganut
sistem monarki absolut, yang menempatkan titah raja, berada di atas
segala-galanya. Sikap ekstra hati-hati ditunjukan dalam memilih rekan
atau sahabat dalam melaksanakan hubungan internasionalnya.
Brunei bukanlah negara yang tertutup dari pengaruh luar. Tapi Brunei
juga bukan negara yang agresif dalam menanamkan pengaruhnya di dunia
internasional. Dengan kemampuan financial yang dimilikinya, sejatinya
bisa saja Brunei menjadi negara industri yang besar seperti Singapore.
Tinggal mendatangkan teknologi dan SDM, dalam sekejap mata, industri
akan maju di tanah Brunei. Tapi bukan itu ambisinya.
Brunei sangat menyadari keterbatasan lahan yang ada. Mereka bukan
Indonesia. Mereka juga gak mungkin membeli lahan di Indonesia. Mereka
inginkan negeri mereka tetap hijau, minyak bisa dihemat dan rakyatnya
selamat. Brunei akan memproteksi produk yang bisa dihasilkan oleh
industrinya, tetapi tidak akan sungkan untuk import produk berteknologi
tinggi. Sikap penuh kepedulian yang ditunjukan oleh sang Sultan pada
rakyatnya inilah, yang membuat rakyat Brunei begitu loyal dan mencintai
Sultannya.
Rakyat Brunei tidak pernah melihat kekuatan militer negara manapun
sebagai sebuah ancaman, selama kekuatan itu tidak mengancam kedudukan
sang Sultan. Karena itu tidak heran, ketika negara lain sedang sibuk
berlomba menumpuk senjata, Brunei justru menghibahkan kapal-kapal
perangnya. Bahasa filosofi yang ingin disampaikan Brunei adalah bahwa
senjata hanya bersifat sesuatu, sementara kepercayaan adalah bersifat
lebih dari itu. Kepercayaan memiliki nilai yang sama dengan kedaulatan.
Karena itu Brunei dipercaya untuk berdaulat, dan berdaulat untuk
memberikan kepercayaan.
Pelepasan Timor Leste dari NKRI, adalah titik awal kekaguman Sultan
Brunei pada Indonesia. Baginda merasakan kepedihan yang dirasakan oleh
sebagian besar rakyat Indonesia. Tapi kebenaran harus ditegakkan. Dan
sejak saat itu pulalah, percaya atau tidak, bangsa Indonesia untuk
pertama kalinya berani berdiri dengan kepala tegak dalam setiap
perundingan internasional. Dalam kasus Sipadan dan Ligitan, meskipun
kita kalah, tapi kita sudah berusaha maksimal hingga maju ke perundingan
Mahkamah Internasional.
Brunei juga terpesona dengan sikap jantan kita saat menghadapi kasus
Ambalat dan sikap luwes kita dalam kasus Aceh dan Papua. Bagi Brunei,
apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah sebuah
pengejawantahan nilai-nilai luhur adat istiadat para leluhur yang sudah
turun temurun. Untuk itu, pemberian atau hibah alat perang pada
Indonesia adalah sebuah simbol kepercayaan tertinggi, karena bisa
bermakna bahwa mulai sekarang, hidup dan matinya kami, andalah yang
menjaga..! Beruntung para petinggi bangsa ini hidup di negara yang
berlandaskan Pancasila, sehingga masih bisa berbudi pekerti luhur dan
tahu berterima kasih.
|
Bandar Seri Begawan
|
Pada tahun 2008, Sultan Hasanal Bolkiah, didaulat menjadi anggota
kehormatan di berbagai satuan elite TNI. Sesudah itu, berbagai hibah
peralatan militer dari Brunei mulai berdatangan. Dan baru-baru ini
giliran sang Putera Mahkota yang menapak tilasi jejak sang Ayahanda.
Beliau dinobatkan sebagai anggota kehormatan dalam satuan elite TNI,
seperti Kopassus TNI AD, Marinir TNI AL dan Korpaskhas TNI AU. Lalu
peran dan andil apa yang layak kita tunggu setelah ini? Hehehe..!
Ternyata salah besar jika kita harus menunggu. Sang Putera Mahkota
justru sudah berperan besar, jauh sebelum upacara penyerahan baret
kehormatan..!
Seperti pada pagi itu, Jumat, 09 May 2014. Ini hari terakhir saya di
Brunei Darussalam. Saya sengaja check out dari hotel lebih awal,
meskipun jadwal penerbangan saya untuk pulang ke KL pada jam 16.20
petang. Sahabat saya ingin mengajak main tenis di sebuah tempat menarik
yang pernah dia janjikan. Mobil kami meluncur ke arah jalan yang menuju
ke airport, tapi setelah melewati airport, mobil kami tidak ada
tanda-tanda akan berhenti.
Selanjutnya saya menduga bahwa kami akan main tenis di kawasan
industri Muara, tapi ternyata tidak. Begitupun ketika saya coba
menebak-nebak bakal lokasi kami untuk bermain tenis, mulai dari Royal
Dutch Sell Petroleum Refinery Complex, pelabuhan peti kemas Muara
Brunei, pelabuhan laut dalam yang dikelola PSA Holdings, dan mungkin
salah satu hotel besar di sekitar pantai Muara.
Ternyata tidak ada satu pun terkaan saya yang tepat sasaran. Mobil
saya memasuki jalan sepi yang pasangi oleh begitu banyak CCTV. Dan di
sebuah pos penjagaan, sahabat saya membukakan jendela mobil sambil
melambaikan tangan, yang disambut dengan sikap tegak penuh hormat dari
sang penjaga pos. Disini banyak herder berseragam loreng berkeliaran.
Mobil kami yang meluncur ke arah tepian dermaga tak luput dari perhatian
dan pengawasan mereka. Inilah Muara Naval Base, markas besar angkatan
laut Tentara Diraja Brunei Darussalam. Kawasan super luas yang tampak
sedang berbenah melengkapi berbagai fasilitas yang dimilikinya.
Jika Naval Base TNI AL di Surabaya sudah terkenal sebagai Naval Base
terbesar di Asia Tenggara, maka bisa jadi, Muara Naval Base adalah yang
kedua terbesar. “Welcome to Surabaya..!” celetuk sahabat saya, membuat
saya agak terperanjat, seakan dia bisa membaca pikiran saya. Ternyata
pembangunan Muara Naval Base ini memang terinspirasi oleh kemegahan dan
kelengkapan naval base TNI AL di Surabaya, pada saat Sultan Hasanal
Bolkiah menerima penganugerahan anggota kehormatan Marinir di Surabaya
pada 2008 dulu.
Di sisi kiri dan kanan kanal dermaga terlihat puluhan kapal perang
berbendera asing. Di kanal lain, terlihat kapal kebesaran keluarga
kerajaan yang megah, dengan bendera Brunei yang berkibar. Tidak jauh
dari kapal itu, beberapa kapal lain turut bersandar. Yang membuat saya
terkejut adalah adanya bendera merah putih yang berkibar..! Ya, itu KRI
milik TNI AL. Sedangkan yang lainnya adalah kapal perang milik Uni
Emirat Arab.
|
Royal Brunei Navy
|
Mobil kami terus meluncur ke arah Timur dermaga. Di ujung pelabuhan
yang sepi, kanalnya dibuat agak menjorok ke dalam. Tidak terlihat ada
anjungan kapal di situ. Namun ketika mobil kami mulai mendekati batas
zona terlarang, sekali lagi jantung saya berdegup kencang. Lutut saya
terasa bagai tak bertulang.
Mata saya memelototi lima bendera merah putih yang
berkibar di atas lima kapal selam..! 401, 401, 402, polos, polos..!
Untuk meyakinkan rasa penasaran saya, saya share dengan sahabat saya,
bahwa sebagian besar rakyat Indonesia hanya mengetahui bahwa TNI AL cuma
memiliki 2 unit kapal selam.
Jika mereka melihat kelima kapal selam ini, maka mereka akan dibilang
mimpi atau dicap pembohong. Tapi sahabat saya berujar, bahwa orang
Brunei mengetahui TNI AL memiliki 20 unit kapal selam, jika Indonesia
mengaku cuma punya kelima unit kapal selam ini, maka Indonesia adalah
pembohong dan telah menganggap orang Brunei lagi mimpi. Hehehe..! Kadang
dunia ini memang suka jungkir balik..!
Setelah melaksanakan shalat Jumat, kami meninggalkan kawasan Muara
Naval Base. Jangan lewatkan untuk menikmati kesegaran ikan laut di
daerah ini. Dan itu pulalah yang kami lakukan pada hari itu. Menyambangi
sebuah restoran yang menyajikan ikan laut segar, menjadi acara yang tak
kalah seru. Di dalam restoran itu, bukan saja ikan laut segar yang saya
temui, tapi juga para prajurit TNI yang kekar..! Hahaha..! Senang
sekali bisa bertemu dengan saudara sebangsa dan setanah air yang
bertugas di luar negeri. Dia bilang ada ratusan personel TNI dari
berbagai satuan yang setiap tahun di kirim ke Brunei untuk menjadi
instruktur pelatih berbagai keahlian militer tentara Diraja Brunei. Wah,
mendengar kabar ini, rasa bangga saya kian bertambah.
Waktu sudah menunjukan jam 14.00, ketika mobil kami memasuki pintu
gerbang sebuah perkantoran megah. Sahabat saya meminta passport saya
untuk discan di tempat pemeriksaan identitas yang ada di pos jaga.
Setelah itu kami meluncur ke sebuah bangunan megah dengan tiang
menjulang yang dihiasi lampu kristal yang menjuntai, lantai pualam dan
karpet persia serta pernak pernik perak yang tampak berkilauan. Di
ruangan terdepan, saya diminta mengisi buku tamu, yang telah lebih dulu
mencantumkan nama beserta nomor ID Card saya. Setelah itu, pasport saya
sekali lagi didekatkan pada sebuah layar komputer, yang diikuti oleh
bunyi denting bell, pertanda bahwa pintu lift berwarna emas itu telah
terbuka. Wow..! Menaiki sebuah lift, terasa menaiki sebuah kamar istana
yang bergerak..! Jauh lebih megah dari istana negara di Jakarta atau
istana Raja Agong Malaysia yang baru itu. Padahal ini bukanlah istana..!
Ya benar, itu bukanlah istana. Gedung itu adalah Bolkiah Garrison.
Kantor Kementerian Pertahanan(MinDef) Brunei Darussalam. MinDef berada
di bawah kendali langsung Sang Sultan. Alasannya ternyata tak lepas dari
sejarah masa lalu. Ketika Inggris menawarkan Brunei untuk bersama-sama
Sabah dan Sarawak, bergabung menjadi bagian dari Negara Persekutuan
Tanah Melayu. Brunei dengan tegas menolak tawaran itu, dan lebih memilih
untuk menunda kemerdekaan secara penuh dari Inggris.
Pada masa penantian penyerahan kedaulatan penuh ini, semua urusan
luar negeri, pertahanan, dan moneter berada dibawah kekuasaan Inggris.
Sedangkan sang Raja hanya berhak mengurusi masalah internal istana
dengan segala tetek bengek adat istiadat yang mengaturnya, mengurusi
masalah dalam negeri, termasuk didalamnya adalah masalah agama, seni
budaya, transportasi, pendidikan dan kesehatan. Bagi Brunei, sektor
Pertahanan bukan hal yang biasa. Pertahanan adalah simbol kedaulatan
penuh kerajaan. Karena itu, sejak awal kemerdekaan, Kementerian
Pertahanan akan selalu berada dibawah kendali sang Sultan, sebagai
pemegang simbol kedaulatan penuh negara.
Nun berabad-abad lampau, kerajaan Brunei pernah dikuasai Sriwijaya
dan Majapahit. Di masa kekuasaan Majapahit itulah, Brunei justru
berhasil membebaskan diri bahkan juga berhasil memperbesar wilayah
kekuasaannya hingga ke Manila. Kekuatan dan kebesaran masa lampau,
menjadi kekuatan spiritual yang amat besar untuk menjadi sebuah bangsa
yang mandiri dan berdaulat. Karena itu mereka pantang menjadi sebuah
boneka bangsa manapun..!
Semangat dan rasa percaya diri yang besar itu, tergambar dari
foto-foto pemimpin mereka yang banyak terdokumentasikan di dalam ruangan
kantor sahabat saya yang luas dan besar. Termasuk kiriman foto teranyar
dari Jakarta mengenai liputan perjalanan sang Putera Mahkota ke
Indonesia. Pandangan mata saya tiba-tiba terpagut oleh sebuah foto besar
yang terpajang di salah satu sisi dinding. Dua wajah itu, sudah sangat
saya kenal, tapi yang satunya..?
“Those are our King with your former President Habibie and the other
one is UAE’s King.” Sahabat saya seperti selalu mengetahui segala
sesuatu yang sedang menjadi tanda tanya saya. Merekalah yang merancang
dibentuknya poros kerjasama tiga negara antara Indonesia, Uni Emirat
Arab dan Brunei Darussalam, yang kemudian dinamakan Poros Jakarta-Abu
Dhabi-Bandar Seri Begawan (Poros JAB). Ini bukan semata-mata poros
kekuatan, tapi lebih bersifat poros kepercayaan. Sama seperti halnya
aliansi yang diajukan sahabat saya beberapa waktu lalu.
Penunjukan saya,
jelas bukan untuk mewakili negara dan pemerintah Indonesia, dan juga
bukan untuk menjadi agen asing di Indonesia. Tapi sahabat saya meyakini
dan percaya bahwa saya akan bisa bersikap bijaksana dalam menghadapi dua
kepentingan yang berbeda. Pengalaman kami dulu sebagai kaum minoritas
di tengah komunitas kami yang sangat Latino sewaktu tinggal kami tinggal
di Maracaibo, Venezuela, telah berhasil membangun rasa dan sikap saling
peduli dan melindungi, sehingga kemudian tumbuh rasa saling
mempercayai.
Pola hubungan seperti inilah yang akan dianut Brunei untuk
memenangkan kompetisi dalam bingkai Masyarakat Ekonomi Asean mendatang.
Ketika banyak negara sibuk mengejar formalitas, ternyata Brunei menyodok
ke bawah dengan jurus barunya yang terkadang sulit dibaca. Apapun
jurusnya, fakta lebih bisa berbicara, hingga saat ini tidak ada satu
negara pun yang berani menteror negara sekecil Brunei Darussalam. Bahkan
China sekalipun terlihat lebih bersikap santun. Malaysia yang songong,
tidak sekalipun berani melakukan unjuk kekuatan di sekitar pekarangan
Brunei Darussalam. Pertanyaannya, jadi selama ini siapa yang jaguh..?
Jawabannya yang pasti adalah, “Ya Indonesialah..!” Hehehe..! Selamat
berakhir pekan, Bung..!