LK-(IDB) : Ditengah proses pencarian pesawat
Malaysian Airlines flight MH-370 yang masih dinyatakan hilang sampai
tulisan ini dibuat, penulis ingin mengangkat peran vital aset anti kapal
selam di dalam misi pencarian Kapal/Pesawat hilang yang diduga
tenggelam di laut.
Aset anti kapal selam bisa berupa kapal permukaan
yang memiliki perangkat pendeteksi kapal selam, pesawat udara (sayap
tetap maupun sayap putar) yang memiliki perangkat pendeteksi kapal
selam, maupun kapal selam itu sendiri. Perangkat pendeteksi kapal selam
di pesawat udara sering disebut ASW (Anti submarine warfare) suites.
Hilangnya flight MH-370 ini mengingatkan
kita pada tragedi kecelakaan pesawat Adam Air di laut lepas Sulawesi
yang tiba-tiba menghilang dari radar. Mengingat salah satu kemungkinan
yang terjadi pada flight MH-370 ini adalah crash dan menghujam
lautan, dengan tidak adanya sinyal ELT yang harusnya mengapung dan
memancarkan sinyal ketika bersentuhan dengan air, maka harus dilakukan
pencarian manual di perairan yang diduga menjadi lokasi jatuhnya
pesawat, dalam kasus Adam Air, ada 2 sinyal ELT yang muncul.
Pencarian
manual dilakukan oleh berbagai pihak, tidak hanya dari Malaysia, tapi
juga China, vietnam, filipina, singapore, Indonesia, bahkan AS.
Pencarian manual ini dilakukan untuk menemukan tanda-tanda seperti
serpihan atau tumpahan minyak mengapung untuk mengidentifikasi
kemungkinan lokasi pesawat.
Selain menggunakan identifikasi visual,
pencarian juga dilakukan dengan menggunakan perangkat yang biasanya
digunakan dalam mendeteksi kapal selam. Pada pembahasan ini penulis akan
menitikberatkan pada aset pesawat udara yang memiliki jangkauan jauh
dan waktu reaksi cepat sehingga bisa menyapu daerah yang luas dalam
waktu yang lebih singkat. Tiga perangkat pendeteksi kapal selam yang
bisa digunakan dalam misi pencarian kapal/pesawat yang mengalami
kecelakaan dilaut adalah radar maritim, dipping sonar (sonar celup), dan MAD (magnetic anomaly detector).
Radar maritim yang dimiliki oleh
pesawat/helikopter buru kapal selam biasanya memiliki fitur pendeteksi
periskop kapal selam. Fitur ini bisa dimanfaatkan apabila ada serpihan
pesawat/kapal yang mengapung di laut dan cukup besar sehingga memiliki
bagian yang menyembul diatas permukaan laut sehingga bisa dideteksi oleh
radar. Apabila serpihan yang ada tidak cukup besar atau rata dengan
permukaan laut, ada kemungkinan akan dianggap sebagai seawave biasa dan tidak dikategorikan sebagai positive detection oleh radar.
Sonar dan pendeteksi anomaly magnetik
pada dasarnya akan mampu mendeteksi serpihan metal yang cukup besar di
dalam air. Gelombang sonar akan memantul pada komponen metal
pesawat/kapal dan MAD akan mendeteksi bahwa ada anomali magnetik di
dalam air jika ada komponen metal. Jika kapal/pesawat terbaring di dasar
laut, maka ada kemungkinan secara sekilas operator sonar tidak bisa
membedakannya dengan permukaan laut, jika kedalaman laut tidak terlalu
dalam, besar kemungkinan MAD mampu mendeteksi adanya metal di dalam
laut. Sehingga MAD bisa meminimalkan terlewatnya kapal/pesawat nahas
karena human factor.
MH-60R LAMPS MKIII milik US Navy adalah
salah satu contoh helikopter pendeteksi kapal selam yang memiliki fitur
fitur diatas, maka tak heran jika Helikopter ini ikut diterjunkan oleh
US Navy untuk ikut mencari keberadaan MH-370, Singapura juga mengirim
S-60Rnya untuk ikut bergabung dalam tim SAR. Australia dan Amerika juga
mengirim P-3C Orion yang dilengkapi radar maritim dan MAD kedalam tim
SAR untuk membantu menemukan pesawat yang hilang.
Indonesia tentunya sudah banyak belajar
dari pengalaman pencarian pesawat Adam Air yang hilang di teluk Majene.
Meskipun ASW Suites dalam pesawat anti kapal selam tidak menjamin
diketemukannya pesawat/kapal yang hilang, tetapi kehadirannya tentu
membuat kemungkinan keberhasilan misi pencarian menjadi lebih besar.
Penggunaan ASW suites bisa mempercepat penyapuan suatu wilayah, meskipun
konfirmasi visual masih diperlukan. Ketiadaan ASW suites dalam aset
udara anti kapal selam TNI merupakan keprihatinan yang harus menjadi
perhatian kita bersama. Peran ASW suites tidaklah hanya berguna di masa
perang untuk memburu kapal selam, tapi juga di masa damai. Peran yang
tak kalah penting di masa damai ini seharusnya menjadi perhatian, bahwa
harga yang harus dibayarkan sepadan dengan fungsinya.
Kita harus
berusaha meminimalkan konsep “platform first, equipment later”
karena dari pengalaman sebelumnya, akan memerlukan waktu lama sebelum
peralatan yang dibutuhkan bisa terpasang. Sehingga ada baiknya ketika
pengadaan pesawat sudah lengkap dengan peralatan penunjang misinya.
Karena meskipun dapat dipasang dengan cepat, diperlukan pengalaman
operator dalam mengoperasikan perangkat untuk meminimalkan false detection. Semoga apabila terjadi kecelakaan kapal/pesawat di perairan Indonesia, TNI bisa menjadi first responder yang dibekali peralatan yang memadai untuk menemukan segera dan menyelamatkan korban bila ada.