Pihak Korea pernah menganggap enjinir Indonesia tak mengerti
tentang perancangan jet tempur. Tetapi anggapan itu segera berbalik,
ketika tim Indonesia memaparkan desain dan berbagai masukan. Pihak
Indonesia pula lah yang akhirnya berhasil menyakinkan bahwa berat
lepas-landas pesawat harus sebesar 50.000 pound.
JAKARTA-(IDB) : Konfirmasi dari Parlemen Korea Selatan tentang dilanjutkannya program
KFX/IFX disambut hangat tim perancang dari Indonesia. Mereka di
antaranya meminta kedua pemerintahan segera memanggil para enjinir yang
terlibat untuk mempersiapkan pekerjaan yang telah lama tertunda. Mereka
juga menginginkan pemerintah kedua negara memastikan satu dari dua
desain yang telah dihasilkan dalam Fase Technology Development untuk digarap dalam fase selanjutnya.
“Program KFX/IFX adalah program multi-years, berbiaya besar,
serta melibatkan berbagai sektor dan rekanan asing. Untuk itu memang
harus ada deklarasi yang pasti tentang kelanjutannya. Bagi Indonesia
ini penting untuk menentukan skema pembiayaan dan perencanaan SDM-nya,”
ungkap Dr Rais Zain, M.Eng, KFX/IFX Configuration Design Leader kepada
Angkasa, akhir Januari lalu.
“Dalam waktu dekat Indonesia juga akan menggarap N219 dan R-80. Kita
tak punya cukup enjinir untuk menggarap ketiga program, apalagi KFX/IFX
akan berlangsung sampai 2020-an. Pemerintah diharapkan bisa memanggil
pulang enjinir yang kini bekerja di luar negeri untuk ikut membantu
proses regenerasinya. Di luar ada sekitar 200 orang. Jika setengahnya
saja bisa kembali ke Tanah Air, itu sudah cukup membantu,” tambah Rais
yang juga dosen di Fakultas Teknik Penerbangan ITB, Bandung.
Seperti diberitakan berbagai media nasional, konfirmasi tentang kelanjutan program pembuatan front-liner jet fighter
Korea-Indonesia diterima Kementerian Pertahanan RI pada 3 Januari 2014.
Pemberitahuan ini selanjutnya diumumkan Menteri Pertahanan Purnomo
Yusgiantoro kepada wartawan, Rabu, 8 Januari 2014, di sela-sela Rapim
Kemenhan di Jakarta. Penjelasan disampaikan terkait paparan rencana
pengadaan alut sista dalam Renstra II, 2015-2019.
Pemerintah Indonesia berharap proyek pembuatan jet tempur generasi
4,5 itu bisa terlaksana karena bakal jadi rujukan program alih teknologi
untuk melepas ketergantungan dari negara lain. Selain KFX/IFX,
Indonesia juga tengah mengejar program pembuatan kapal selam, kapal
perang, propelan, roket, dan tank ukuran medium. Untuk kapal selam,
Indonesia juga menjalin kerjasama dengan negara yang sama.
Lebih Unggul Dari Su-35
Program KFX/IFX dihentikan sementara oleh pemimpin baru Korea Park
Geun-Hye akhir 2012 setelah meninjau kondisi finasial di negaranya.
Proyek prestisius ini digarap sejak awal 2011, tak lama setelah Presiden
Lee Myung-bak dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengukuhkan
kerjasama bilateral di bidang pertahanan di Jakarta. Dari Fase Technology Development yang telah dituntaskan, tim ilmuwan telah menyelesaikan sejumlah desain yang kemudian mengerucut menjadi dua.
Kedua desain itu adalah model jet tempur siluman peraih keunggulan udara bermesin ganda dengan horizontal-tails di belakang, dan satunya lagi dengan canards
di depan. “Masing-masing punya konsekuensi pembiayaan dan mitra kerja
berbeda. Maka, memang harus diputuskan lebih dulu mana yang dipilih.
Ini penting agar manakala dilanjutkan, semua pihak siap
mengerjakannya,” terang Rais Zain, yang sehari-hari dosen di Fakultas
Teknik Mesin Dirgantara, ITB, Bandung.
Seperti dikemukakan Wamenhan Sjafrie Sjamsoeddin, parlemen Korea
telah menyiapkan 20 juta dolar AS (sementara, Indonesia: 5 juta dolar)
untuk melanjutkan program ini pada 2015. Saat itu, tim akan masuk ke
Fase Engineering Manufacturing Development. Selain harus
memiliki mesin dengan tenaga dorong tinggi agar mampu bertarung di
udara, pesawat juga harus memiliki persenjataan yang disimpan di dalam internal weapon bay, data-link yang mampu mengacak komunikasi, radar advanced pemilih sasaran, dan perangkat anti-jamming.
Prototipe diharapkan selesai pada akhir Renstra II. Kalau pun ada hal yang perlu dikritisi, itu adalah soal operation requirement
yang lebih banyak ditentukan pihak AU Korea. Hal ini tak bisa dielakkan
karena Korea menanggung 80 persen pendanaan, dan negeri ini
benar-benar memiliki musuh yang nyata. Program ini ditargetkan
menelurkan jet tempur dengan performa yang sepadan atau lebih unggul
dari jet tempur lawan yang di antaranya adalah Sukhoi Su-35.
Prasyarat tersebut dengan sendirinya menepis desain tandingan yang
diajukan KAI (Korean Aerospace Industrie) baru-baru ini, alih-alih untuk
memangkas biaya pengembangan yang kelewat besar. Dalam konfigurasinya
(lihat Angkasa, Desember 2013), tampak KFX tipe E ini hanya ditenagai satu mesin dengan persenjataan di luar yang rawan sapuan radar lawan.
Angkasa mencermati kekaguman ADD (Agency for Defence
Development, Balitbang Pertahanan Korea) yang disampaikan kepada tim
enjinir Indonesia. Awalnya, pihak Korea memang sempat menganggap tim
Indonesia tak mengerti soal perancangan jet tempur. Namun, anggapan itu
berbalik ketika enjinir Indonesia mulai memaparkan desain dan berbagai
masukan terhadap desain Korea. Pihak Indonesia pulalah yang akhirnya
memastikan bahwa pesawat harus memiliki berat tinggal landas sebesar
50.000 pound.
Sumber : Angkasa