Pages

Minggu, November 10, 2013

Tjahjo Kumolo: Evaluasi Menyeluruh Semua Alutsista Program MEF

JAKARTA-(IDB) : Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI-P Tjahjo Kumolo menyarankan TNI agar segera melakukan evaluasi menyeluruh pada semua alut sista dalam program Minimal Essensial Force (MEF).

Heli M 17 milik TNI AD yang mengalami kecelakaan di Kalimantan Utara dan menewaskan belasan prajurit TNI diketahui masih baru dan dibeli dalam program MEF.


"Selama ini kita mampu membeli alut sista yang modern dan canggih sampai ratusan trilyun rupiah, tetapi apakah kita juga telah membeli suku cadang yang cukup? Bagaimana dengan sistim pemeliharaannya termasuk biaya pemeliharaan yang disediakan? Segera evaluasi semua alut sista baru baik di jajaran TNI baik AD, AL maupun AU," ucap Tjahjo, Minggu (10/11).


Menurut dia, jika sistim pengadaan suku cadang dan sistim pemeliharaannya tidak mendapatkan perhatian serius, maka tidak mustahil semua alut sista modern tersebut lambat laun akan menjadi barang yang tak ada manfaatnya atau justru membahayakan prajurit sendiri karena tak memiliki daya tangkal lagi dalam sistim pertahanan Indonesia.


Pihaknya menduga, Heli M 17 yang jatuh itu bukan karena kesalahan manusia (human error), namun karena kesalahan alat. Tjahjo memaparkan bahwa Heli TNI AD yang dibeli dari Rusia sejak 2011 ini merupakan jenis Heli serbu tapi juga serba guna karena dapat dipakai menjadi Heli angkut untuk kebutuhan-kebutuhan mobilitas lainnya.


Berdasarkan hasil kunjungan Komisi I DPR RI ke Pangkalan Udara TNI AD di Semarang, sambung Tjahjo, terdapat banyak Heli baru yang dibeli tapi tidak mempunyai tempat atau garasi yang memadai.


"Waktu kita kesana tidak ada garasi untuk Heli baru seperti garasi yang tahan panas/hujan. Ini bisa mempengaruhi peralatan elektronilknya. Komis I sudah mendesak faktor fasilitas tambahan dan pemeliharaan untuk diprioritaskan," pungkasnya. 




Sumber : Metrotvnews

USS Gerald Ford, Kapal Induk Baru Amerika Serikat

WASHINGTON DC-(IDB) : Angkatan Laut AS, Sabtu (9/11/2013), meresmikan kapal induk baru USS Gerald Ford, sebuah kapal besar yang dibangun dengan biaya mahal di tengah masa penghematan anggaran.

Putri mantan presiden AS, Susan Ford Bales, memecahkan botol sampanye dalam upacara peresmian di pelabuhan Newport News, Virginia, tak jauh dari pangkalan AL Norfolk.

"Semoga Tuhan memberkati dan menjaga USS Gerald Ford, mereka yang membangunnya dan mereka yang berlayar bersama kapal ini," ujar Susan Ford sebelum memecahkan botol sampanyenya.

Selain Susan Ford, sederet tokoh ternama, teman dan kerabat mendiang Presiden Ford juga memberikan sambutan dalam peresmian itu, yang sekaligus peringatan terhadap kehidupan Ford, presiden AS ke-38.

"Dia (Ford) adalah orang yang memiliki nilai keberanian. Dan pra pria serta wanita yang berlayar di kapal ini pasti membawa kualitas yang sama dalam pengabdian mereka untuk negeri ini," kata mantan menteri pertahanan, Donald Rumsfeld.

Masalah pengetatan anggaran sempat menghambat pembangunan kapal ini yang baru 70 persen selesai. Pengiriman kapal induk ini ke AL ditunda hingga 2016.

Dihadapkan dengan pemotongan anggaran dan keperluan untuk membeli peralatan lain seperti kapal selam, Panglima AL Laksamana Jonathan Greenert memperingatkan USS Gerald Ford baru akan benar-benar selesai dibangun dua tahun lagi.

Itu berarti AL Amerika Serikat harus memaksimalkan kinerja 10 kapal induk yang ada saat ini. Sesuai undang-undang, angkatan laut seharusnya memiliki 11 kapal induk. Namun saat ini hanya 10 kapal induk yang aktif sejak USS Enterprise pensiun pada 2012.

Armada kapal induk yang ada saat ini, diluncurkan antara 1975-2009, semuanya adalah kapal kelas NImitz. Namun Gerald Ford mewakili kelas baru kapal induk dengan rancangan baru.

Kapal ini nantinya akan diikuti kapal dengan kelas yang sama yaitu USS John F Kennedy dan Enterprise baru. Semuanya memiliki panjang geladak 330 meter.

Kapal induk kelas Ford ini dirancang untuk menambah sorti pesawat dan helikopter tempur menjadi 25 persen lebih banyak, menghasilkan listrik lebih banyak, dan memproduksi air tawar lewat proses desalinasi lebih banyak.





Sumber : Kompas

Buntut Penyadapan : Indonesia Ogah Tampung Sementara Pencari Suaka

SYDNEY-(IDB) : Australia terpaksa menerima 63 orang pencari suaka yang diselamatkan oleh kapal SAR Australia sekitar 80 kilometer selatan Jawa, karena Indonesia tak mau lagi menampung mereka, tulis AFP, Sabtu (9/11/2013).

Pencari suaka itu sudah selama tiga hari terkatung-katung di Samudra Indonesia dan baru Sabtu kemarin (9/11/2013) mereka ditampung di Pulau Christmas yang terletak di Samudra Indonesia namun milik Australia. Indonesia sudah ogah menampung sementara para pencari suaka.

Ini merupakan buntut sengkarut diplomatik Indonesia-Australia terkait dengan penyadapan di Kedutaan Besar Australia di Jakarta. Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa sudah mengingatkan Menlu Australia Julie Bishop Jumat dua pekan lalu, bahwa jika Australia tak menghentikan penyadapan komunikasi di kedubesnya di Jakarta, kerja sama RI-Australia dalam penanganan pencari suaka atau penyelundupan manusia (human trafficking) akan dihentikan.

Jumat kemarin Menko Polkam Djoko Suyanto sudah mewanti-wanti Australia bahwa Indoenesia tak lagi mau menampung sementara pencari suaka yang hendak menuju Australia. “Pemerintah Indonesia tak pernah menyetujui kebijakan Australia (soal pencari suaka),” kata Djoko Suyanto yang pernah menjabat sebagai Panglima TNI itu, seperti dikutip News.Com.Au, Sabtu (9/11/2013).

“Pemerintah Indonesia mengatakan kepada para pejabat Australia bahwa mereka kini meninjau ulang permintaan Australia,” ujar Menteri Imigrasi Australia Scott Morrison dalam sebuah pernyataan.

“Kita menyambut baik peninjauan kembali Indonesia terhadap permintaan Australia, namun demi keselamatan para penumpang perahu dan awak kapal penyelamat dan kapal SAR Australia yang menunggu bantuan, pagi ini (Sabtu) saya meminta Letnan Jenderal Campbell untuk memindahkan dari kapal SAR (Search And Rescue) ke Pulau Christmas,” ujar Morrison lagi.

Para pencari suaka itu akan ditransfer lagi ke tempat penampungan di Pulau Manus yang masuk wilayah negara Papua New Guinea atau di kepulauan kecil Nauru, selaras dengan kebijakan Australia yang kaku dalam menangani pencari suaka yang datang dengan perahu.

Padahal sebelumnya Indonesia senantiasa sepakat untuk menangani para pencari suaka dengan menampung sementara di Indonesia sesuai dengan praktik “Operation Soverign Borders” Australia yang sesuai dengan protokol SAR Internasional. Protokol ini mewajibkan negara terdekat untuk menampung sementara pencari suaka.

Namun anggota Partai Buruh Australia Richard Marles menganggap langkah pemerintah Australia ini mundur dan memalukan. Katanya: “Diplomasi pemerintahan PM Australia Tony Abbott dengan Indonesia mengenai para pencari suaka ini aneh.”

“Abbott mendiktekan syarat-syarat kepada pemerintah Indonesia. Ini memalukan,” katanya.

“Ini diplomasi anak sekolah didukung pemecahan setengah hati dan sungguh memalukan,” tambahnya. Partai Hijau Australia menyebut kebijakan pemerintah Abbott sebagai compang-camping.

Dalam dua kali pertemuan antara Menlu Marty Natalegawa dan Menlu Australia Julie Bishop di Perth, Australia Barat Jumat dua pekan silam dan di Forum Demokrasi Bali Kamis pekan lalu (7/11/2013), Marty sudah mencecar soal penyadapan dan ancaman Indonesia mengenai penanganan para pencari suaka itu.

Koran Sydney Morning Herald (SMH) sudah menyebut kapasitas pemerintahan Tony Abbott dan Menlu Julie Bishop dalam diplomasi dibanding kemampuan Marty Natalegawa amat jauh berbeda. SMH menyebut Menlu Marty sebagai diplomat karir, sementara Julie Bishop dianggap anak bawang dalam diplomasi.

Memang sudah saatnya Indonesia bersikap tegas terhadap Australia. Tetangga kita itu sejak dulu senantiasa merasa paranoid dan berhalusinasi akan diserang oleh tentara Indonesia, tetapi selalu memancing ketegangan dan mengambil keuntungan.

Kasus “Timor Gap” dalam hal minyak dan gas, yang tahun 1990 ditandatangani Menlu Ali Alatas dan Menlu Gareth Evans dan kini beralih ke Timor Leste, tetap menguntungkan Australia. Dan sekarang Australia menyadap komunikasi Indonesia dari kedubesnya di Jakarta, yang disebut Marty sebagai “tidak bisa diterima”. Kini hubungan Indonesia-Australia menjadi masam.





Sumber : Inilah

DPR Setuju Pemerintah Tinjau Ulang Kerjasama Amerika Dan Australia

JAKARTA-(IDB) : Penyadapan yang dilakukan Amerika Serikat dan Australia terhadap Indonesia memunculkan reaksi keras. Sebab, aksi penyadapan itu sama saja mengganggu kedaulatan suatu negara.


Menurut Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Ramadhan Pohan, Sabtu 9 November 2013,  kerja sama Indonesia dengan AS dan Australia yang sudah berlangsung lama dan 'mesra' kini tercoreng oleh aksi penyadapan.



"Terkait aksi penyadapan itu, kerja sama yang sudah tercipta seperti cuma basa-basi saja. Meskipun sudah berhubungan baik, AS dan Australia masih mencurigai Indonesia," kata Pohan, saat ditemui di Jakarta.



Dia menambahkan, saat ini, pemerintah Indonesia harus meninjau kembali kerja sama antara AS dan Australia dalam hal pertukaran informasi. Kerja sama di semua bidang harus dikaji ulang. "Buat apa ada kerja sama, yang hanya sekedar basa-basi," ujarnya.



Saat ini, tambah Pohan, pemerintah Indonesia masih dalam proses membicarakan penyadapan ini dengan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.



"Pemerintah juga ingin mendengar penjelasan dari perwakilan negara AS dan Australia yang ada di Indonesia. Jika AS dan Australia tidak juga membeberkan alasan penyadapan, Indonesia harus siap terhadap kondisi terburuk yang akan terjadi," ujar Pohan.



Wakil Sekertaris Jenderal Partai Demokrat itu juga menegaskan, jika memang terbukti AS dan Australia melakukan penyadapan, tidak hanya pihak intelijen di Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Australia yang akan dipulangkan.



"Duta Besarnya juga akan kami pulangkan ke negaranya masing-masing," tegas Pohan.


"Indonesia adalah bangsa yang merdeka dari perjuangan darah dan nyawa. Jika mereka sudah melecehkan negara kita,  buat apa kita bersahabat dengan mereka," kata Pohan.





Sumber : Vivanews

Spionase KJanguru Di Tanah Garuda (Bag 1)


JAKARTA-(IDB) : “Buka rahasia mereka, lindungi rahasia kita (reveal their secrets, protect our own)”. Itulah semboyan Badan Intelijen Australia (Defence Signals Directorate) yang tahun 2013 ini berganti nama menjadi Australian Signals Directorate. Dengan moto itu, agen-agen DSD menjejakkan kaki di Bali ketika Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2007.

Mereka membawa tugas khusus, mengumpulkan nomor-nomor telepon para pejabat pertahanan dan keamanan di Indonesia. Dalam misinya itu, DSD bekerja bahu-membahu dengan badan keamanan nasional Amerika Serikat (National Security Agency) untuk memperoleh informasi yang menjadi target mereka. Semua itu diungkapkan Edward Snowden --mantan kontraktor NSA yang kerap membocorkan rahasia intelijen AS-- dalam dokumen yang ia bocorkan dan dilansir harian Inggris The Guardian, 2 November 2013.

DSD bahkan disebut memasukkan ahli Bahasa Indonesia ke dalam timnya untuk memonitor dan menyeleksi informasi dari komunikasi yang berhasil mereka dapatkan. “Tujuan dari upaya (spionase) ini adalah untuk mengumpulkan pemahaman yang kuat tentang struktur jaringan yang diperlukan dalam keadaan darurat,” kata dokumen Snowden itu.

Sayangnya misi Australia itu pada akhirnya dianggap gagal karena satu-satunya nomor telepon pejabat yang berhasil mereka ketahui adalah milik Kepala Kepolisian Daerah Bali.

Namun, gagal di Bali, bukan berarti Australia tak mendapat apa-apa. Upaya penyadapan atau pengumpulan informasi bukan hanya dilakukan sekali itu.

Harian Australia The Sydney Morning Herald melaporkan Negeri Kanguru secara intensif dan sistematis melakukan aksi mata-mata dan membangun jejaring spionase mereka di Tanah Garuda ini melalui kantor kedutaan besar mereka di Jakarta. Media Australia lainnya, Fairfax, menyatakan pos-pos diplomatik Australia yang tersebar di Asia mempunyai fasilitas untuk mencegat lalu-lintas data dan panggilan telepon dari pejabat-pejabat penting di negara-negara di kawasan ini.

Aktivitas pengintaian itu dilakukan tanpa sepengetahuan mayoritas diplomat Australia yang berkantor di Kedutaan Australia. Data-data intelijen dikumpulkan DSD melalui kedutaan-kedutaan Australia di Jakarta, Kuala Lumpur, Bangkok, Hanoi, Beijing, Dili, dan Port Moresby. Dengan demikian negara-negara yang menjadi sasaran aksi spionase Australia adalah Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, China, Timor Leste, dan Papua Nugini.

Laporan mengenai aksi mata-mata Australia itu merupakan bagian dari dokumen yang dibocorkan Snowden dan dipublikasikan oleh harian Jerman, Der Spiegel. Dokumen itu menyoroti kemitraan spionase “Lima Mata” yang antara lain mencakup Inggris, Kanada, dan Australia. Disebutkan bahwa fasilitas penyadapan mereka seperti antena, kerap tersembunyi dalam fitur arsitektur palsu atau atap gudang pemeliharaan di berbagai kantor kedutaan.

Seorang mantan perwira di DSD menyatakan Kedutaan Besar Australia di Jakarta menjadi pemain kunci dalam mengumpulkan informasi. Australia menyasar data politik, ekonomi, dan intelijen melalui kedutaannya yang berlokasi di kawasan sibuk Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Selain di Jakarta, Konsulat Jenderal Australia di Denpasar, Bali, juga disebut digunakan untuk mengumpulkan data-data intelijen.

Jakarta menjadi pusat aksi spionase Australia di Asia karena dua faktor. Pertama, pertumbuhan jaringan telepon seluler yang pesat di Indonesia dan Jakarta khususnya. Kedua, elite politik di Jakarta disebut amat cerewet. “Jaringan seluler merupakan anugerah besar, dan elite Jakarta adalah kelompok yang amat suka bicara. Mereka bahkan tetap mengoceh meski merasa agen intelijen Indonesia sendiri mendengarkan (menyadap, red) mereka,” kata mantan perwira DSD itu seperti dikutip International Business Times Australia

Sejumlah data intelijen yang dicari Australia di Indonesia antara lain terkait terorisme dan penyelundupan manusia. Aksi terorisme kerap terjadi di Indonesia, sedangkan penyelundupan manusia menyangkut ribuan imigran gelap yang selalu menempuh jalur laut melalui Indonesia untuk mencari suaka di Australia. Parahnya, cara masuk ilegal via Indonesia ini amat berbahaya sehingga ratusan imigran seringkali tewas tenggelam saat menyeberang dengan perahu ke perairan Australia.

 Kemarahan Jakarta 

Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono melalui juru bicaranya Julian Aldrin Pasha, Jumat 8 November 2013, menyatakan tak dapat menerima adanya aksi penyadapan Australia terhadap Indonesia. “Selama ini hubungan bilateral kami selalu kondusif, baik, dan saling percaya. Kalau benar ada tindakan (penyadapan) seperti itu, kami sangat tak bisa menerimanya. Pemerintah mengecam hal ini. Sikap kami tegas,” kata Julian kepada VIVAnews.

Indonesia telah memanggil Duta Besar Australia di Jakarta, Greg Moriarty, untuk memberikan penjelasan. Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa pun mengancam akan mengevaluasi kerjasama di bidang informasi dan intelijen dengan Australia. “Kami harus mengkaji ulang bagaimana ke depannya kerjasama dengan negara-negara yang tidak bisa memberikan konfirmasi apakah aksi penyadapan seperti ini benar dilakukan (atau tidak),” kata Marty.

Padahal Indonesia dan Australia selama ini menjalin kerjasama erat di bidang penangkalan aksi teror dan penyelundupan manusia. “Kalau mereka (Australia) mengumpulkan informasi di luar forum resmi, lalu apa manfaat kerangka yang resmi itu? Hal ini perlu dipikirkan masak-masak. Indonesia tidak terima diperlakukan seperti ini,” ujar Marty.

Pernyataan Marty itu mencerminkan kekesalan Indonesia yang tidak mendapat klarifikasi memuaskan. Isu penyadapan ini telah ditanyakan Indonesia ke perwakilan negara terkait dalam berbagai kesempatan. “Tapi jawaban mereka tetap sama, bahwa mereka tidak bisa mengkonfirmasi atau menyangkal pemberitaan tersebut,” kata Marty.

Indonesia menuntut komitmen Australia dan AS untuk tak lagi melakukan aksi spionase. “Kami perlu tegaskan, tidak boleh ada tindakan yang mengingkari atau tidak selaras dengan semangat persahabatan antar negara. Enough is enough. Setiap negara tidak sepatutnya melakukan aksi itu,” ujar Marty. Apalagi ongkosnya akan jauh lebih mahal jika aktivitas spionase tersebut terbongkar, yakni potensi kerusakan hubungan bilateral kedua negara karena hilangnya rasa saling percaya.

Marty pun menyindir Australia dan AS sekaligus. “Jika Australia sendiri yang menjadi subyek aktivitas (mata-mata) itu, menurut mereka itu tindakan bersahabat atau tidak? Kami tidak bisa menerima aksi spionase Australia atas perintah Amerika Serikat,” ujar mantan Duta Besar RI untuk PBB itu.

Hal yang saat ini penting dilakukan Indonesia, kata Marty, adalah meningkatkan kewaspadaan dan kapasitas untuk meminimalkan penyadapan. Dalam rangka itu pula Indonesia bergabung dengan Jerman dan Brasil dalam mensponsori resolusi anti spionase yang diajukan ke Sidang Umum PBB. Rancangan resolusi itu meminta dihentikannya aksi spionase Internet dan pelanggaran privasi. Indonesia berharap, melalui resolusi itu Australia dan AS tak lagi memata-matai Indonesia dan puluhan negara lain.

 Canberra Bungkam 


Pernyataan Perdana Menteri Australia Tony Abbott sama sekali tak dapat menjernihkan isu penyadapan ini. Ia hanya mengatakan badan dan agen intelijen negaranya selalu bertindak dalam koridor hukum. “Setiap badan pemerintah Australia bertugas sesuai aturan yang berlaku,” kata dia.

Dubes Australia untuk RI, Greg Moriarty, juga tak mau berkomentar soal pemanggilannya oleh Kemlu RI terkait aksi spionase Australia. Juru Bicara Moriarty, Ray Marcello, dalam surat elektroniknya kepada VIVAnews menyatakan pihaknya terus mengikuti perkembangan pemberitaan di Indonesia.

Australia pun mahfum dengan ancaman Marty Natalegawa untuk memutuskan kerjasama dengan Australia di bidang penangkalan aksi teror dan penyelundupan manusia. Marcello mengatakan, Australia sangat menghargai hubungan kemitraan yang dekat dengan Indonesia. Kerjasama bilateral yang telah dibangun sejak lama itu dianggap Australia sangat menguntungkan kedua negara.

“Kami terus menantikan kerjasama dengan Indonesia di beragam bidang seperti penanggulangan aksi terorisme dan penyelundupan manusia,” kata Marcello.

Menanggapi kemarahan Indonesia, Australia pun mengutus menteri pertahanannya, David Johnston, untuk terbang ke Jakarta, Kamis 7 November 2013. Namun setelah menggelar pertemuan dengan Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro, Jumat 8 November 2013, Johnston tak bersedia memberikan keterangan kepada media. Ia langsung kembali ke Australia.

Hasil pertemuan itu jauh dari memuaskan. Menurut Purnomo, dia dan Johnston menyerahkan isu penyadapan tersebut kepada kementerian luar negeri kedua negara karena isu penyadapan terkait hubungan diplomatik. “Itu adalah isu makro yang sedang dibicarakan pada level politik luar negeri antara Menlu Australia Julie Bishop dengan Menlu RI Marty Natalegawa,” kata Purnomo.

Bishop yang berada di Indonesia terkait agenda Bali Democracy Forum VI pada 7-8 November 2013, membantah hubungan bilateral Australia dengan Indonesia rusak karena isu penyadapan. “Saya tidak terima apabila ada pernyataan yang menyebut hubungan kedua negara retak,” kata dia. Bishop justru mengatakan telah melakukan diskusi yang bermanfaat dengan beberapa menteri Indonesia terkait masalah penanggulangan aksi teror dan penyelundupan manusia.

Sementara itu pakar keamanan Australia dari Australian National University, Profesor Michael Wesley, mengatakan Indonesia akan rugi bila memutus hubungan diplomatik dengan Australia. Wesley tak yakin Menlu RI Marty Natalegawa bersungguh-sungguh dengan ancamannya untuk menghentikan kerjasama dengan Australia.

Wesley berpendapat Marty hanya menggertak pemerintahan baru Australia yang masih berjalan dua bulan. Dikutip Sydney Morning Herald, dia mengatakan, “Marty Natalegawa adalah diplomat yang amat berpengalaman. Dia tahu pemerintahan di Canberra masih baru. Di sana ada perdana menteri dan menteri luar negeri yang tak berpengalaman.” 





Sumber : Vivanews

Konsep Ruang Bawah Monas

JAKARTA-(IDB) : Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan membangun ruang bawah tanah di kawasan Monumen Nasional, Jakarta Pusat, tahun depan. Konsep ini sudah dirancang sejak 1997, namun tak kunjung direalisasikan.
 
Desain ruang bawah tanah ini akan disesuaikan dengan sistem pertahanan yaitu sebagai tempat evakuasi. Pemprov DKI menargetkan pembangunan rampung dalam dua tahun. 


Ruang bawah tanah ini akan mengikuti rencana detail tata ruang Jakarta 2030. Itu artinya akan terintegrasi dengan segala moda transportasi yang saat ini dalam tahap pembangunan.

Ruang bawah tanah juga terkoneksi dengan wilayah lain di sekitar Monas. Di dalam ruang bawah tanah disediakan travelator atau alat untuk mempercepat orang berjalan.


Kepala Perencana PT Jakarta Konsultindo, Arya Abieta, memaparkan ruang bawah tanah ini dibangun menyilang di empat sisi Monas, yakni sisi barat, utara, selatan dan timur.


Sebuah koridor akan menyambungkan empat sisi itu secara menyilang. Di sisi selatan akan dibangun basement parkir tiga lantai dan di atasnya terdapat amfiteater berkapasitas 900 orang yang bisa dimanfaatkan sebagai ruang interaksi warga.

Di sisi barat, ruang bawah tanah akan terhubung dengan MRT. Sedangkan sisi timur bisa terkoneksi dengan Stasiun Gambir. Untuk sisi utara sengaja dikosongkan. Semua jalur bawah tanah ini dihubungkan lantai berjalan.

Berikut denahnya:

Denah bawah tanah monas

Warna Merah:
- Nomor 1-3 MRT
- Nomor 2 panggung utama teater
- Nomor 4 Serbaguna

Warna Hijau:
- Nomor 1 Pos Polisi
- Nomor 2 Klinik
- Nomor 3 Gudang
- Nomor 4 Toilet
- Nomor 5 Mushola
- Nomor 6 Kios
- Nomor 7 Ruang Teknisi
- Nomor 8 Kios PKL





Sumber : Vivanews

Hindari Penyadapan, Indonesia Harus Perkuat System Sandi

JAKARTA-(IDB) : Mantan Panglima TNI (Purn) TNI Agus Suhartono mengungkapkan pentingnya sistem sandi untuk mencegah penyadapan pihak asing. Menurut Agus, saat dirinya masih menjabat sebagai Panglima TNI, ide tersebut sudah ada dengan misi dan fungsi yang sama.
 

"Sudah ada (sistem sandi), tapi butuh waktu merealisasikannya. Sumber daya manusianya harus dilatih, agar bisa mengawal organisasi," kata Agus kepada VIVAnews.



Agus menjelaskan, ada peralatan otomatis yang disebut enkripsi, yang dapat dikembangkan oleh Pemerintah. Namun, sayangnya belum semua alutsista yang dimiliki RI menggunakan alat tersebut.



"Untuk alusista kita, dilengkapi dengan peralatan pengamanan yang pertama sandi yang sifatnya manual, yang jika dibaca dia harus melihat buku. Seperti pesawat dan alat tempur kita. Sekarang masalahnya, belum semua dilengkapi enkripsi. Akibatnya adalah manakala salah satu menggunakan enkripsi atau tidak, itu tidak akan berguna. Oleh karena itu, alusista kita harus dilengkapi dengan enkripsi," katanya.



Agus menilai, aksi sadap yang dilakukan Amerika Serikat dan Australia dilancarkan untuk memperkuat strategi negara mereka. Maka, langkah yang harus dilakukan untuk mencegah penyadapan asing, menurut dia, adalah memperkuat sistem persandian.



"Yang paling penting, kita disadap tapi tidak bisa dimengerti oleh mereka. Oleh karena itu sistem persandian itu penting," ujarnya.



Sementara, karena belum adanya pernyataan yang jelas dan memuaskan hingga kini, Dewan Perwakilan Rakyat pada Senin 11 November 2013 akan mengundang Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty dan Wakil Dubes Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia, Madam Bauer ke Gedung Parlemen. 


Menurut Wakil DPR, Priyo Budi Santoso DPR ingin berdialog soal isu penyadapan yang dilakukan kedua negara itu kepada pejabat tinggi Indonesia. 





Sumber : Vivanews

Cara Cerdas Indonesia Desak Amerika Akui Aksi Penyadapan

JAKARTA-(IDB) : Aksi penyadapan yang dilakukan Amerika Serikat memicu reaksi keras dari berbagai kalangan di Indonesia. Salah satunya adalah untuk meninjau ulang hubungan diplomatik antara Indonesia dan AS.


Menurut Ganetawati Wulandari, Pengamat Hubungan Internasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), perlu smart diplomacy untuk menyelesaikan masalah penyadapan itu.



"Maksud dari smart diplomacy adalah menggunakan cara-cara persuasif. Jadi, Indonesia tidak perlu menggunakan kekuatan yang berlebihan. Sudah tidak zaman lagi kita melakukan protes dengan menggunakan hard power," kata Ganetawati.



Dia menambahkan, dalam konteks penyadapan ini, dirinya yakin tidak ada yang mau berperang dengan negara yang melakukan penyadapan.



"AS adalah negara besar yang memiliki kemampuan keuangan dan dukungan militer yang global. Apakah kita mampu menghadapinya? Itu adalah yang perlu diukur sebelum memutuskan hubungan diplomatik," ujar Ganetawati.



Ganetawati juga menyampaikan pemutusan aksi diplomatis itu akan menyebabkan nilai kerugian yang jauh lebih besar bagi Indonesia. Dan tidak ada manfaat positif dari pemutusan hubungan diplomatik dengan AS.



Menurutnya, salah satu contoh untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan menawarkan isu-isu terkait dengan kepentingan suatu negara. Misalnya, data dalam masalah terorisme, AS sangat membutuhkan data-data tersebut.



"Untuk membuat AS mengaku telah melakukan penyadapan apa saja, Indonesia harus mengunci data mengenai terorisme yang dibutuhkannya. Ada proses tawar menawar untuk mendesak AS mengakui penyadapannya," kata Ganetawati.



Selain itu, tambah Ganetawati, Indonesia juga harus meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dalam bidang teknologi. Sebab, peran teknologi dalam menangkal penyadapan sangat penting.


"Sekarang model penyadapan semakin canggih dan rumit. AS mungkin saja melakukan penyadapan dengan menggunakan satelit di ruang angkasa," kata Ganetawati. 





Sumber : Vivanews