JAKARTA-(IDB) : Jakarta merapat ke Moskow. Jet tempur Sukhoi seri terbaru bakal meraung
di langit Indonesia. Bukan hanya di awang tapi juga di tanah. Kendaraan
tempur dan rudal juga bakal dibeli dari sana. Indonesia dan Negeri
Beruang Merah itu juga bakal bekerjasama. Dalam banyak soal.
Negeri kita memang pasar yang subur. Dan itulah
sebabnya, dalam dekade terakhir, Rusia rajin menyambangi pameran
pertahanan Indonesia. Mereka juga rajin hadir pada pameran dirgantara.
Meski
sudah masuk dalam kelompok elit G20, Indonesia dipandang belum memiliki
alutsista yang memadai. Dalam pameran Indo Defence, Indo Aerospace and
Indo Marine Expo & Forum, yang rutin berlangsung di Kemayoran,
Jakarta, delegasi Rusia selalu menjadi penghuni anjungan yang luas.
Mereka
memamerkan rupa-rupa model persenjataan. Dari prototipe pesawat tempur,
helikopter militer, radar, hingga senapan serbunya yang sudah mendunia,
Kalashnikov (AK).
Pada setiap pameran dua tahunan itu, terakhir
pada awal November 2012, anjungan Rusia selalu ramai dikunjungi. Dari
warga biasa hingga para petinggi militer. Pameran itu menghadirkan 500
peserta dari 40 negara. Dikunjungi 20.000 orang.
Seperti di
pameran-pameran sebelumnya, produk-produk senjata Rusia di Indo Defence
2012 banyak disanjung. Saat mengunjungi pameran itu, Wakil Kepala Staf
TNI Angkatan Laut, Laksamana Marsetio, terkesan akan ketangguhan
mesin-mesin perang dari Negeri Beruang Merah.
Dia menegaskan
bahwa tank amfibi buatan Rusia, PT-76, sampai kini masih dipakai oleh
TNI. Padahal usianya sudah 50 tahun. "PT-76 ini masih kami pakai sejak
1962," kata Laksamana Marsetio, yang sejak Desember 2012 naik jabatan
menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Laut.
Pertama kali diproduksi
pada awal dekade 1950an, PT-76 menjadi tank ringan amfibi standar bagi
militer Uni Soviet dan negara-negara anggota Pakta Warsawa. Menurut
laman Main Battle Tanks, PT-76 dipakai 25 negara.
TNI
masih memakai tank ini, seperti diungkapkan Laksamana Marsetio. Di
jajaran TNI Angkatan Laut, PT-76 merupakan aset yang dipakai oleh Korps
Marinir, spesialis operasi militer dari laut ke darat.
Di dunia
internasional, digunakan pada berbagai perang besar - seperti Perang
Vietnam dan Perang Arab-Israel. PT-76 diakui kalangan pengamat sebagai
tank amfibi yang populer karena memiliki desain yang sederhana.
Efektif. Mampu dipakai di medan-medan berat.
Itulah sebabnya
PT-76 menjadi salah satu simbol sukses Soviet, dan kini Rusia, dalam
memproduksi tank maupun kendaraan lapis baja. Selain itu masih ada
tank-tank tempur legendaris lain era Soviet, seperti T-62 dan T-72.
Ingin
meneruskan kejayaan Soviet, Rusia pun gencar memproduksi
kendaraan-kendaraan lapis baja baru. Salah satu andalan mereka saat ini
adalah kendaraan tempur (ranpur) BMP3. Ini merupakan ranpur amfibi yang
bergerak lebih lincah dari tank-tank terdahulu dan mampu mengangkut
hingga tujuh personel serta bisa dikendalikan tiga orang.
Keunggulan
itulah yang membuat Indonesia memperkuat militernya dengan membeli
kendaraan tempur BMP3 seri F. Dibuat oleh perusahaan Kurganmashzavod,
Indonesia telah memiliki 17 unit BMP3-F pada 2008 dan berencana menambah
37 unit lagi untuk memperkuat Satuan Marinir TNI-AL.
Seorang
prajurit Marinir TNI-AL, Guntur Pasaribu, mengungkapkan kelebihan
BMP-3F. "Korps Marinir Indonesia sangat berpengalaman mengendalikan
tank-tank buatan Rusia, mulai dari PT-76 sampai BMP-3F. Menurut
pengalaman kami, tank-tank dari Rusia sangat memuaskan," kata Pasaribu
seperti dikutip media Rusia, RBTH.
Alternatif AS
Bukan
cuma soal alat tempur, Indonesia dan Rusia juga bekerjasama dalam
latihan militer. Juga membangun proyek patungan alutsista. Dan
sesungguhnya, kerjasama kedua negara bukan hal baru.
Ketika masih
berbentuk Uni Soviet (USSR), Rusia sudah menjual persenjataan ke
Indonesia, tidak lama setelah kedua negara membuka hubungan diplomatik
pada 1950. Pada masa-masa awal itu, banyak pula personel angkatan laut
dan udara dikirim ke Uni Soviet. Mereka sekolah di sana.
Hubungan
itu terganggu pertengahan dekade 1960an karena alasan politis. Kedua
negara kembali melanjutkan hubungan di awal dekade 1990an, meski baru
efektif beberapa tahun kemudian. Contohnya, pembicaraan soal jual-beli
jet tempur Rusia Sukhoi-30 ke Indonesia berlangsung sejak 1997. Namun
jual-beli itu baru disepakati pada 2003.
Hubungan itu kembali
terajut, setelah renggangnya Indonesia dengan Amerika Serikat di akhir
dekade 1990an. Kerenggangan itu muncul setelah Washington menjatuhkan
embargo penjualan senjata ke Jakarta karena menilai Indonesia saat itu
melanggar Hak Asasi Manusia di Timor Timur, yang kini bernama Timor
Leste sejak menjadi negara berdaulat pada 2002.
Embargo senjata
AS ke RI itu, berikut suku cadang, berlangsung selama 1999-2005. AS
mengakhiri embargo ketika Presidennya saat itu, George W Bush,
menganggap Indonesia termasuk mitra penting memerangi terorisme.
Setelah
mencabut embargo, AS pun terlihat aktif menawarkan mesin-mesin
perangnya kepada Indonesia. Pada 2011, AS sepakat mengirim 24 unit jet
tempur bekas tipe F-16 seri C/D blok 25 kepada Indonesia secara
cuma-cuma, kecuali untuk biaya pemutakhiran (upgrade).
Pada
akhir 2012, AS dan Indonesia berunding untuk jual-beli helikopter
serbaguna UH-60 Black Hawk dan helikopter tempur AH-60D buatan
Boeing.
Namun, belajar dari embargo AS itu, Indonesia membuka
pintu kerjasama seluas-luasnya kepada negara lain, termasuk Rusia, agar
tidak lagi bergantung kepada satu pihak dalam pengadaan alutsista.
Maka, sejak itu, Indonesia tidak hanya kembali berbisnis senjata dengan
AS, namun juga mempererat kerjasama serupa dengan Rusia.
Maka,
Indonesia dan Rusia bersepakat soal jual beli jet tempur dan mesin-mesin
perang lain. Sejak 2003, Rusia telah mengirim 12 unit jet tempur Sukhoi
ke Indonesia dan pengiriman empat unit lagi masih menunggu persetujuan
lebih lanjut.
Moskow pun telah menjual sejumlah helikopter
militer Mi-35 dan Mi-17 kepada Jakarta. Alutsista lain yang dijual Rusia
ke Indonesia adalah kendaraan tempur lapis baja BMP-3F, kendaraan
pengangkut personel BTR-80A, serta senapan serbu AK-102.
Untuk
membeli persenjataan itu, Moskow pada 2007 memberi fasilitas kredit
sebesar US$1 miliar kepada Jakarta. Kerjasama pertahanan di luar
jual-beli persenjataan juga telah berlangsung, seperti menggelar latihan
bersama memerangi perompak di laut antara pasukan Indonesia dengan
Rusia pada 2011.
Baru-baru ini pun Rusia menawarkan bantuan ke
Indonesia membangun sistem pertahanan udara. Saat ini, Indonesia hanya
memiliki rudal-rudal pertahanan SAM (surface-to-air missile) jarak dekat.
Viktor
Komardin dari perusahaan ekspor senjata-senjata Rusia, Rosoboronexport,
mengungkapkan bahwa Moskow akan menjual perangkat sistem SAM sekaligus
membantu Indonesia bila tertarik mempersiapkan jaringan pertahanan
udara.
Malaysia, katanya, sudah membentuk suatu sistem
pertahanan udara terintegrasi. "Tapi Indonesia belum memilikinya.
Padahal sistem pertahanan ini penting dimiliki Indonesia," lanjut
Komardin seperti dikutip kantor berita Russian Beyond the Headlines.
Alih Teknologi
Namun
kerjasama ini tidak berlangsung sangat mulus. Kepala Komunikasi Publik
Kementerian Pertahanan RI, Brigjen TNI Sisriadi, mengatakan kerjasama
pertahanan antara RI dengan Rusia masih terbentur pada adanya alih
teknologi yang harus menyertai setiap pembelian alutsista dari sana.
Keharusan itu termuat dalam UU No. 16 tahun 2012 tentang industri
pertahanan.
Dalam UU itu tertulis setiap pembelian sistem senjata
dari luar negeri, wajib ada konten lokal. Bentuknya, antara lain
pelatihan, kerja sama pembuatan, dan kerja sama operasi. Hal itu
diungkap Sisriadi, ketika dihubungi VIVAnews, Jumat 1 November 2013.
"Setelah
adanya UU Industri Pertahanan No. 16 Tahun 2012 itu, maka kami
mengganti format pertemuan bilateral yang selalu dilakukan setiap tahun
dengan Rusia. Kami menyampaikan kepada mereka bahwa pembelian produk
alutsista dari negara mana pun harus disertai alih pengetahuan dan
teknologi," ungkap Sisriadi.
Hingga saat ini, lanjut Sisriadi,
pihak Rusia masih belum dapat memenuhi inisiatif tersebut. Kendati
begitu, pihak Kemhan tidak lantas menghentikan kerjasama pertahanan
dengan Negeri Beruang Merah. "Kami masih akan terus mendorong Rusia
supaya alih teknologi itu dilakukan,”katanya.
Proses negosiasi
itu, lanjutnya, sangat alot, karena mereka ngotot tidak dapat memenuhi
inisiatif RI. Rusia sendiri, ujar Sisriadi, tidak mengungkapkan secara
gamblang alasan di balik penolakan mereka melakukan alih teknologi.
"Kemhan
juga tidak tahu alasannya. Karena mereka tidak mengemukakan alasannya.
Tiap kali kami tanyakan, mereka malah kembali membahas pinjaman yang
ditawarkan Rusia kepada Indonesia," katanya.
Pinjaman negara
yang dimaksud Sisriadi adalah dana pinjaman yang ditawarkan Pemerintah
Rusia untuk membeli peralatan alutsista dari mereka. Nominalnya mencapai
US$1 miliar atau Rp11 triliun. Namun, kata Sisriadi, dalam ada
ketentuan, disebutkan bahwa pinjaman hanya dapat membeli produk
alutsista tertentu. “Mereka juga menyertakan daftar belanja alutsista
apa saja yang dapat kami beli,” ujarnya.
Dana pinjaman itu
merupakan bagian dari kesepakatan kerjasama pertahanan yang diteken oleh
kedua Pemerintah sejak delapan tahun silam. Kedua pucuk pimpinan yakni
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Vladimir Putin telah menyepakati
adanya dana pinjaman tersebut.
Dari dana yang ditawarkan senilai
US$1 miliar, Kemhan baru menggunakan sebagian dari dana tersebut untuk
membeli pesawat jet tempur Sukhoi, helikopter MI-17 dan MI-31 serta tank
BMP-3F. Totalnya mencapai US$308 juta atau Rp3,4 triliun.
Pesawat
Sukhoi yang dibeli menggunakan dana pinjaman ini, merupakan pesawat
yang dikirimkan pada gelombang awal ke Indnesia. "Jadi bukan pesawat
Sukhoi baru yang dikirim pada September lalu ya. Kami membeli itu
menggunakan dana pinjaman dari bank swasta," ujarnya.
Total ada
lima pesawat Sukhoi SU-27 SKM yang baru dikirim pada September lalu
dibeli dengan harga US$470 juta atau Rp5,2 triliun. Kontraknya
ditandatangani oleh Kepala Baranahan Kemhan dengan Rosoboronexport
Rusia pada tanggal 29 Desember 2011 silam.
Lima pesawat jet
tempur ini akan melengkapi 11 pesawat tempur Sukhoi SU-30 MK2 yang sudah
terlebih dahulu tiba di Indonesia dan berjumlah 11 unit.
Maka
total pesawat Sukhoi yang dimiliki telah mencapai 16 unit atau satu
skuadron. Sementara untuk harga helikopter MI-17 dan MI-31, Sisriadi,
tidak menyebutkan harganya.
Ditanya VIVAnews apakah ada
alutsista lainnya yang masih berniat dibeli dari Rusia, Sisriadi
menyebut hingga kini Kemhan masih belum ingin menggunakan sisa dana yang
ada untuk membeli alutsista lainnya. Mereka tidak ingin melanggar UU
yang berlaku.
Soal keunggulan pesawat jet tempur Sukhoi dari Rusia, Sisriadi menyebut burung besi itu memiliki sistem sensor yang baik. "Endurance atau
jangkauan operasional jauhnya pun juga hebat sehingga bisa dioperasikan
untuk jarak jauh dan bisa kembali lagi. Selain itu sistem avionik yang
dimiliki Sukhoi juga bagus. Pesawat ini lincah di kelasnya, " papar
Sisriadi.
Ke depan, lanjut Sisriadi, untuk alutsista pesawat
Sukhoi dirasa sudah cukup. Pesawat tempur itu akan dicampur dengan F-16
yang juga sudah ada.
Sisriadi mengatakan pelajaran lain dari
peristiwa embargo yang dipetik Kemhan yakni jangan bertumpu kepada satu
negara saja dalam mengandalkan pembelian alutsista. Jadi ketika
diembargo, masih ada alutsista lain yang dapat digunakan.