JAKARTA-(IDB) : Komisaris Jenderal Sutarman menjadi calon tunggal
orang nomor satu di Kepolisian Republik Indonesia. Sutarman akan
menduduki kursi Tribrata I menggantikan Jenderal Timur Pradopo yang
memasuki masa pensiun pada Januari 2014 mendatang.
Kepastian itu didapat setelah Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat RI
menerima surat pengajuan Kepala Kepolisian RI baru yang dikirimkan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Surat itu diterima DPR Jumat pagi, 27
September 2013 sekitar pukul 10.00 WIB.
"Presiden SBY hanya mengajukan satu nama, yaitu Komjen Pol.
Sutarman," kata Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, di Gedung DPR RI,
Senayan, Jakarta.
Sebenarnya, peluang Sutarman menjabat komandan
tertinggi di korps baju cokelat itu sudah diperkirakan sebelumnya.
Peluang itu terlihat saat Presiden SBY menunjuk Wakil Kepala Staf TNI AD
Letnan Jenderal TNI Moeldoko sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat
pada 20 Mei 2013. Tak lama kemudian Moeldoko diangkat jadi Panglima TNI,
pada 30 Agustus.
Sutarman merupakan satu-satunya anggota Polri
seangkatan Moeldoko--lulusan tahun 1981 yang memiliki pangkat jenderal
bintang tiga. Selain Moeldoko, Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana
Marsetio dan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Ida Bagus Putu,
juga angkatan 1981. Itu artinya pucuk pimpinan TNI sudah dipegang
angkatan '81.
Dan perwira tinggi angkatan '81 pun berada di atas angin di bursa pencalonan Kapolri.
Meski
bukan lulusan terbaik Akademi Kepolisian angkatan 1981, setidaknya
Sutarman yang kini menjabat Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, sudah
menyingkirkan tiga jenderal bintang tiga yang namanya sempat
digadang-gadang. Mereka adalah Kepala Lembaga Pendidikan Polri Komisaris
Jenderal Budi Gunawan, Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Komisaris
Jenderal Badrodin Haiti, dan Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris
Jenderal Anang Iskandar.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai
Golkar, Bambang Soesatyo, menilai penunjukan Sutarman tepat mengingat
pria kelahiran 5 Oktober 1957 itu merupakan perwira senior sehingga bisa
menutupi persoalan kompetisi antar angkatan. "Sutarman lebih senior
dibandingkan kandidat-kandidat lainnya," kata dia.
Dalam waktu dekat Komisi Hukum DPR RI akan menggelar fit and proper test.
Bila melihat rekam jejaknya, Priyo yakin perjalanan Sutarman akan mulus
di DPR. Sejauh ini, kata Priyo, semua partai politik merasa nyaman
dengan Sutarman. Kata dia, Sutarman tidak pernah dekat dengan partai
politik manapun.
Jenderal 'Namratus'
Nama
Sutarman memang tidak asing lagi di intitusi Polri. Sejumlah jabatan
bergengsi pernah dia emban. Kariernya di kepolisian dimulai pada 1982
sebagai Kepala Staf Lalu Lintas Polres Bandung. Tak lama dia di situ,
lalu naik jadi Kapolsek Dayeuh Polres Bandung.
Kariernya terus
meningkat hingga perwira kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, ini dipercaya
jadi ajudan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada 2000 sampai
2004.
Dari situ sampai tahun 2010, jalur Sutarman cukup gemilang.
Dia menduduki sejumlah pos strategis, mulai Kapolwiltabes Surabaya,
Kapolda Kepulauan Riau, dan Kepala Sekolah Lanjutan Perwira - Lembaga
Pendidikan dan Latihan Polri.
Di tahun 2010, Sutarman diangkat
menjadi Kapolda Jawa Barat. Setelah itu dia dilantik jadi Kapolda Metro
Jaya menggantikan Timur Pradopo, sebelum akhirnya ditunjuk menjadi
Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri pada 6 Juli 2011.
Bila proses menuju kursi Kapolri lancar, maka pria yang biasa disapa
juru warta dengan sebutan 'Jenderal Namratus' itu--membaca nama Sutarman
dari belakang--sudah dua kali menggantikan posisi Timur.
Meski
demikian, perjalanan Sutarman di Polri bukan tanpa sandungan. Belum lama
ini, Bareskrim jadi sorotan publik saat terjadi polemik penanganan
kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulator Surat Izin Mengemudi
antara Kepolisian RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Polemik
antara kedua institusi ini mencuat sejak penggeledahan yang dilakukan
KPK di Gedung Korps Lalu Lintas Polri pada 30 Juli 2012. Polemik ini
semakin bertambah saat keduanya menetapkan sejumlah tersangka yang sama.
KPK
menetapkan mantan Kepala Korlantas Polri Irjen Djoko Susilo sebagai
tersangka dalam kasus tersebut, pada 27 Juli 2012, bersama Wakil Kepala
Korlantas Brigadir Jenderal Didik Purnomo, Direktur Utama PT Citra
Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto, dan Direktur Utama PT Inovasi
Teknologi Indonesia Sukoco S Bambang.
Sementara itu, Bareskrim
pimpinan Sutarman juga menetapkan lima tersangka sejak Rabu 1 Agustus
2012, pada kasus yang sama. Mereka adalah Wakil Kepala Korps Lalu Lintas
Brigadir Jenderal Didik Purnomo sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
proyek simulator SIM, Ketua Pengadaan Simulator SIM AKBP Teddy Rusmawan,
dan Bendahara Korlantas Polri seorang Komisaris berinisial LGM.
Dari
pihak swasta, Sutarman menetapkan sejumlah nama, yakni Direktur Utama
PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (PT CMMA) Budi Susanto, dan Direktur
Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia (PT ITI) Sukoco S. Bambang.
Alhasil, KPK dan Polri menetapkan tiga tersangka yang sama, yakni Didik Purnomo, Budi Susanto, dan Sukoco Bambang.
KPK
yang merasa lebih dulu menangani kasus ini meminta Polri mundur dan
hanya membantu proses penyidikan saja. Namun, Polri menolak. Mereka
mengatakan KPK telah menerabas etika dalam penanganan kasus ini.
Dua lembaga penegak hukum ini pun bersitegang, sebelum akhirnya ditengahi Presiden SBY.
Amankan 2014
Kepada
calon penerusnya ini, Kapolri Jenderal Timur Pradopo rupanya sudah
menitahkan amanat. Dia mewanti-wanti bahwa isu pengamanan Pemilu 2014
merupakan prioritas kerja bagi Kapolri selanjutnya.
Dia berharap penggantinya adalah jenderal yang siap menjaga keamanan
Indonesia di tahun politik yang panas ini. "Pengamanan Pemilu nanti yang
utama. Harus siap," kata jenderal berbintang empat itu.
Anggota
Komisi III DPR RI, Eva Kusuma Sundari, berharap Kapolri baru bisa
menjaga netralitas dan tidak berpihak pada partai penguasa. "Pada Pemilu
2009 lalu tidak netral, lebih condong ke Partai Demokrat dan Presiden,"
Eva mengritik.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional Eddy Hasibuan menyebut ada
sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Sutarman. Kasus
penembakan misterius terhadap sejumlah anggota kepolisian adalah salah
satu yang utama.
Seharusnya, sebagai aparat penegak hukum dapat
menjamin keamanan masyarakat. Kini yang terjadi sebaliknya. Polisi
justru jadi sasaran teror. "Jika dibiarkan berlarut-larut dikhawatirkan
memberi efek psikologis yang besar bagi masyarakat," kata Eddy.
Tugas lain yang tak kalah penting adalah memberantas kasus korupsi
yang masih menggerogoti tubuh Polri. Dia menduga masih banyak pejabat
Polri yang terlibat praktik haram ini. "Sutarman harus mengubah citra
Polri dengan mengungkapnya."