ANALISIS-(IDB) : Akhir Agustus 2013 ada kabar luka sejarah dari DenHaag
dengan statemen PM Belanda Mark Rutte bahwa Belanda akan meminta maaf kepada
Pemerintah Indonesia sehubungan dengan kasus pembantaian massal yang dilakukan
negeri itu dalam perang kemerdekaan RI tahun 1945-1949 khususnya kebuasan
Westerling. Berita ini menyebarkan ingatan sejarah pada cerita kejam yang
dilakukan Belanda dalam upaya memuaskan libido menjajahnya yang tak kunjung
orgasme setelah lebih tiga abad memperkosa harga diri bangsa Indonesia. Permintaan
maaf itu direalisasikan secara resmi tanggal 12 September 2013 melalui Dubes
Belanda untuk Indonesia Tjeerd Feico de Zwaan di Jakarta.
Kalau ingin diurut ini adalah kekalahan seri keenam dari
penjajah paling tidak bermutu sedunia itu terkait dengan rangkaian episode
perjalanan bangsa berdaulat penuh Republik Indonesia. Yang pertama pengakuan dan penyerahan kedaulatan
Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia tanggal 27 Desember 1949. Kemudian kekalahan penalti diplomatik Belanda
lewat ancaman militer RI yang kuat pada saat Trikora sehingga Papua kembali.
Ketiga adalah kekalahan keangkuhan “tuan tanah kedaung” Mr Pronk yang merasa
menjadi “tuan dermawan” lewat IGGI. Pak Harto membubarkan IGGI pada bulan Maret
1992 dan menggantinya dengan CGI tanpa ada Belanda lagi.
1 dari 4 KRI Diponegoro Class buatan Belanda |
Seri berikutnya, yang keempat adalah menerima secara
politis dan moral pengakuan kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 yang
dilakukan Belanda tanggal 16 Agustus 2005. Selama 60 tahun Belanda mengakui kemerdekaan
dan kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949. Sebagai penghormatan pengakuan itu Belanda
mengirim Menlunya Ke Indonesia untuk mengikuti upacara HUT Proklamasi
kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 2005 di Istana Negara. Yang kelima adalah pengakuan
kesalahan atas tragedi Rawa Gede dan yang terakhir ini yang lebih seram
pengakuan kesalahan atas tragedi pembantaian Westerling di Sulsel.
PM Belanda Rutte dengan delegasi besarnya akan berkunjung
ke Indonesia minggu ketiga Nopember 2013. Formula langkah diplomatik yang
dilakukan Belanda ini diyakini sebagai pemanis rasa dari pahitnya hubungan
persahabatan kedua negara selama beberapa tahun terakhir ini. Kita mencatat
gagalnya kunjungan Presiden SBY awal Oktober 2010 karena provokasi Wilders dan
RMS. Catatan lain adalah ketika RI hendak bertransaksi bisnis alutsista untuk
membeli tank Leopard, transaksi itu dikaitkan dengan urusan HAM. Akhirnya RI berpaling ke Jerman sambil
berujar: emang lu siape.
Tentu kunjungan PM Belanda akan kita sambut dengan baik
sebagai tanda bangsa ini bermartabat dan menghargai tamu. Kita meyakini disamping ada upaya mencari
simpati Indonesia untuk kerjasama ekonomi dalam arti luas, keinginan untuk bekerjasama
dalam bidang militer sangat kuat auranya. Sepanjang tidak mengkait-kaitkan
transaksi bisnis dengan persyaratan mendikte HAM dan urusan dalam negeri bangsa
ini, kita bisa duduk sama rendah berdiri sama tinggi dan bicara apa saja yang
saling menguntungkan. Bukankah itu
fundamen dasar dalam membangun dan mengelola hubungan antar negara.
Belanda disinyalir terlambat memahami tentang potensi
kekuatan yang dimiliki Indonesia atau terperangkap oleh gengsi diri sebagai
kolonial berpangkat briptu. Maksudnya dia masih merasa sebagai perwira tinggi yang
mau mengatur-atur urusan dalam negeri Indonesia sebagaimana dulu ketika masih
menjajah negeri ini. Padahal untuk urusan jajah menjajah negeri bawah laut itu
tidak membawa nilai apapun bagi bekas jajahanya, Indonesia. Bandingkan dengan Inggris atau Spanyol.
Terhadap negeri–negeri jajahannya dulu Inggris mampu mengakhirinya dengan cara
baik-baik dan elegan. Memberi kemerdekaan dan kemudian bekas jajahannya dikenal
dengan grup persemakmuran. Spanyol,
tidak sekedar menjajah tetapi mampu berinteraksi dan memberikan warna dengan
warga dan kultur jajahannya. Bekas
jajahan Spanyol kita lihat mayoritas agamanya sama, bahkan nama orangnya pun
ikut nama Spanyol, contoh nama orang-orang Filipina.
Sebagian daftar belanja alutsista RI, Belanda ada kok |
Tetapi ada sebuah “nilai tambah” yang bisa menjadi sebuah
“penghargaan” dalam bentuk lain untuk wong londo iki. Nilai tambah itu adalah sebagai lawan tanding RI
dalam perang kemerdekaan 1945-1949.
Kompor nasionalisme untuk pejuang republik adalah si Belanda itu. Bangkitnya semangat patriotik dan
nasionalisme bangsa ini karena ngeyelnya si penjajah itu. Sehingga perjuangan yang berdarah-darah, bahu
membahu seluruh laskar bersenjata RI dan rakyat yang memberikan dukungan
logistik dan moril menumbuhkembangkan jati diri berbangsa, mempertaruhkan
segalanya. Dan itulah keampuhan bangsa
ini sampai sekarang, nasionalisme dan jiwa patriotik.
Fakta tak terbantahkan beberapa tahun ini, belanja
alutsista RI yang besar, pasar ekonomi dengan kekayaan sumber daya alam yang
menggiurkan, kekuatan daya beli, pertumbuhan ekonomi yang jelas berkelas, boleh
jadi adalah hasrat yang ingin dilunasi Belanda untuk menarik dua tiga sendok
madu dari republik ini. Kegagalan
mendapatkan US $280 juta dari transaksi tank Leopard bekas karena arogansi atas
nama kebebasan berpendapat bisa saja akan “dihidupkan” kembali. Lebih dari itu
jika saja Belanda mau memahami cara pandang Indonesia khususnya dalam pola
pengadaan alutsista, tidak sulit mengajak delegasi bisnisnya untuk bermurah
ilmu, membagi teknologi.
Bukankah hubungan historis “sebab akibat”
Belanda-Indonesia dimasa lalu yang hitam itu bisa “dibayar sebagian” dengan
balas jasa teknologi militer berlabel simpati. Saatnya lah Meneer membayar sebagian
luka sejarah itu dengan memberi simpati, menawarkan teknologi militer dan
teknologi-teknologi yang lain untuk kebaikan dan kemajuan bangsa ini. Itu pun kita tak memaksa karena kita toh sudah
mampu berdiri dan berlari menuju tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Kita sedang
menuju kelas negara berpenghasilan menengah, ekonomi kita 16 besar dunia mengungguli
Belanda, anggota G20 Belanda tidak.
Kalau boleh jujur sesungguhnya hubungan persahabatan
dengan Belanda lebih pada hubungan historis, tidak berpengaruh banyak pada
hubungan ekonomi. Posisi kekuatan
ekonomi, kekuatan pasar Indonesia dan potensi kekuatan sumber daya alam Indonesia
yang mengungguli Belanda, itulah sejatinya kekuatan tawar yang dimiliki
Indonesia saat ini. Dan pada posisi itulah
PM Belanda akan berkunjung ke tanah air. Saatnya menegakkan kepala dan
membusungkan dada tapi jangan lupa dengan senyum dan keramahan yang merupakan
jati diri bangsa ini. Selamat datang Meneer.
Sumber : Analisis