JAKARTA-(IDB) : Polemik mengenai Kawasan Keselamatan
Operasi Penerbangan (KKOP) di bandara Polonia, yang sekarang berubah
nama menjadi Pangkalan Udara (Lanud) Suwondo, masih terus berlanjut.
Sebagai sebuah pangkalan militer, penentuan KKOP Lanud Suwondo ditentukan oleh TNI AU, bukan oleh Kementerian Perhubungan.
Tokoh senior TNI AU, yang juga Ketua
Komite Nasional Keamanan Transportasi (KNKT) Marsma TNI (Purn) Tatang
Kurniadi, mengatakan, memang KKOP untuk bandara sipil berbeda dengan
KKOP bandara militer. Bandara sipil ketentuan KKOP mengacu standar
internasional yang ditetapkan lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yakni
International Civil Aviation Organization (ICAO).
"Sedang bandara militer KKOP-nya
ditetapkan masing-masing negara, yakni pihak militernya, tergantung
jenis pesawat yang keluar-masuk di bandara itu," ujar Tatang Kurniadi
kepada JPNN kemarin (14/8).
Dia mengingatkan, untuk Lanud Sowondo
KKOP-nya jangan diubah, biarkan saja tetap sama dengan KKOP yang lama,
sewaktu Polonia masih menjadi bandara sipil. Sejumlah alasan dia
kemukakan.
Pertama, Lanud Sowondo merupakan lanud
yang strategis di kawasan Sumatera. Strategis dari aspek pertahanan
keamanan negara, maupun dalam situasi darurat seperti ketika terjadi
bencana.
"Jadi KKOP-nya jangan diotak-atik.
Bayangkan, pesawat militer itu membawa roket, bom, dan sejenisnya, yang
bisa membahayakan masyarakat sekitar," pesan Tatang mengingatkan.
Pria yang selalu sibuk tatkala terjadi
kecelakaan pesawat itu memberi contoh. Untuk pesawat tempur jenis F-16,
kata dia, perlu ancang-ancang jauh untuk bisa melesat.
"Idealnya, sepanjang 15 ribu meter dari
ujung landasan tak boleh ada bangunan tinggi. Pesawat F-16 itu melesat
dengan kecepatan 200 kilometer per jam. Lima belas ribu meter itu hanya
ditempuh lima menit," kata pria kelahiran 1946 itu.
Berapa ketinggian yang dilarang di
sepanjang 150 ribu meter itu? Tatang menyebut, idealnya 150 meter. "Tak
boleh lebih tinggi 150 meter karena bisa mengganggu penglihatan pilot,"
cetusnya.
Kedua, jika situasi darurat perang, maka
Lanud Sowondo juga akan dimasuki pesawat-pesawat sipil. "Itu terjadi
jika militer membutuhkan bantuan pesawat-pesawat sipil berbadan lebar,
yang besar-besar, untuk mengangkut pasukan misalnya," ujar Tatang.
Jika ketentuan KKOP diubah, misal aturan
ketinggian bangunan di sekitar Lanud Suwondo diperpendek, maka otomatis
hanya jenis pesawat-pesawat kecil saja yang bisa masuk ke sana. "Hanya
Cassa atau Heli saja," imbuhnya.
Ketiga, Lanud Sowondo itu selevel dengan
Lanud Halim Perdanakusuma di Jakarta Timur. Selain menjadi pangkalan
militer, Lanud Halim juga menjadi semacam bandara cadangan bagi
penerbangan sipil. Karenanya, KKOP Lanud Halim juga sangat ketat, yang
memungkinkan penerbangan pesawat-pesawat sipil berbadan lebar, aman
keluar-masuk.
"Ketika suatu saat bandara Kualanamu ada
masalah, maka mau tak mau penerbangan sipil juga dialihkan sementara ke
Lanud (Suwondo, red). Ini seperti hubungan Halim dengan
Soekarno-Hatta," terang dia.
Keempat, jika terjadi situasi darurat
bencana di wilayah Sumut dan sekitarnya, maka pesawat-pesawat yang
membawa logistik bantuan tetap harus mendarat ke Lanud Sowondo. "Karena
kalau ke Kualanamu, bisa mengganggu jadwal penerbangan sipil, yang
memang sudah padat," imbuhnya.
Terkait dengan keinginan Pemko Medan
yang ingin melakukan pengembangan kota, tapi terbentur ketentuan KKOP
bekas bandara Polonia itu, Tatang mengatakan, pengembangan kota memang
penting tapi keselamatan penerbangan jauh lebih penting.
Malah, Tatang mengingatkan Pemko Medan
agar tetap ikut menjaga 'kebesaran' bandara yang sudah beken dengan nama
bandara Polonia itu. "Karena kebesaran sebuah kota akan hilang jika
bandaranya mengecil," kata Tatang.