ANALISIS-(IDB) : Menyongsong
KTT APEC di Bali Oktober 2013 mendatang, Global Future Institute
menyambut baik prakarsa Kementerian Perdagangan RI bekerjasama dengan
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menggelar diskusi panel bertema:
Inisiatif Strategis Indonesia Memanfaatkan APEC pada 24 Juni lalu.
Dari
hasil diskusi panel Kementerian Perdagangan dan ISEI, Global Future
Institute setidaknya mencatat ada tiga poin penting yang kiranya bisa
menjadi dasar menyusun skema dan strategi memanfaatkan secara maksimal
kerjasama antar negara-negara APEC. Tiga poin penting tersebut yaitu:
1. Indonesia perlu membuat peta isu-isu prioritas dengan mengukur untung dan ruginya.
2. Melakukan kolaborasi intensif dengan pengusaha.
3. Melaksanakan peran Think Thank dan membangun sinergitas yang komprehentsif.
4. Perlu langkah-langkah Strategis dengan mengedepankan kepentingan nasional.
5. Perlu kerjasama yang lebih kuat dari para pemangku kepentingan untuk memanfaatkan kerjasama APEC.
Sayang
sekali meski penuh dengan itikad baik, dari perspektif kebijakan
strategis dari Kementerian Perdagangan belum menemukan sasaran strategis
yang tepat. Dalam paparannya pada diskusi panel tersebut, Menteri
Perdagangan memang menekankan pentingnya agar Indonesia mendorong
kesepakatan di bidang pertanian, fasilitas perdagangan, dan paket untuk
negara-negara berkembang.
Sayangnya
apa yang dipresentasikan oleh Menteri Perdangan baru sebatas unjuk niat
baik namun belum jelas skema dan strateginya. Sementara itu, forum
diskusi panel baru merumuskan secara normatif betapa pentingya
mengevaluasi kesiapan dunia usaha Indonesia dalam memanfaatkan dan
memaksimalkan skema APEC, serta posisi Indonesia pada APEC 2013.
Berbicara
soal penyusunan skema dan strategi memanfaatkan secara maksimal
kerjasama antar negara-negara APEC, maka Indonesia harus bertumpu pada
gagasan untuk memanfaatkan momentum KTT APEC 2013 sebagai Kebangkitan
Politik Luar Negeri Indonesia yang Bebas dan Aktif.
Maka
itu, dalam menjabarkan kerjsama yang lebih kuat dari para pemangku
kepentingan, sinergi antara Kementerian Perekonomian dan Kementerian
Luar Negeri amat mutlak adanya. Sehingga langkah-langkah strategis
dengan mengedepankan kepentingan nasional sebagaimana yang disuarakan
melalu diskusi panel tersebut, akan mempunyai pedoman dan panduan yang
tepat sasaran.
Dengan
pemikiran yang demikian, peran sentral Kementerian Luar Negeri sangat
dibutuhkan karena KTT APEC 2013 mendatang bukan sekadar isu ekonomi dan
perdagangan. Melainkan harus menjadi momentum bagi Indonesia
mempertunjukkan politik luar negeri bebas aktif sebagai sarana untuk
mengedepankan kepentingan nasionalnya di forum ekonomi Asia Pasifik
tersebut. Dengan kata lain, KTT APEC 2013 mendatang harus dipandang oleh
para pemangku kepentingan (utamanya kementerian-kementerian di bawah
kendali Kementerian Koordinator Perekonomian Nasional) sebagai Perang
Diplomasi di ranah ekonomi dan perdagangan. Karena itu, rujukan-rujukan
pustaka terkait konsepsi Politik Luar Negeri RI harus dipahami dan
dihayati oleh para pemanku kepentingan terkait APEC 2013, sehingga bisa
didayagunakan sebagaimana mestinya.
Dasar Hukum Konsepsi Politik Luar Negeri Bebas Aktif RI
Dasar
hukum politik luar negeri RI jelas bertumpu pada Undang-Undang Dasar
1945, karena UUD merupakan pilar utama suatu negara. Alinea I dan IV
dalam Pembukaan UUD telah jelas.
Misalnya alinea I:
"...
Kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan
di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri
kemanusiaan dan peri keadilan ...".
Kemudian alinea IV:
"... dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ..."..
Maka jelaslah bahwa politik luar negeri RI memiliki landasan hukum sangat kuat karena diatur dalam UUD negara.
Sedang
pengertian bebas aktif itu sendiri, bisa dilihat dari pernyataan
beberapa tokoh dan pakar. Berikut ini kutipan beberapa pendapat sebagai
gambaran mengenai bebas dan aktif guna melanjutkan makalah ini.
(1)
B.A Urbani: Perkataan bebas dalam politik bebas aktif tersebut mengalir
dari kalimat yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai berikut :
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas. Jadi menurut pengertian ini,
dapat didefinisikan:“berkebebasan politik untuk menentukan dan
menyatakan pendapat sendiri, terhadap tiap-tiap persoalan internasional
sesuai dengan nilainya masing-masing tanpa apriori memihak kepada suatu
blok”;
(2)
Mochtar Kusumaatmaja: Bebas. Dalam pengertian bahwa Indonesia tidak
memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila. Aktif.
Artinya di dalam menjalankan kebijaksanaan luar negerinya, Indonesia
tidak bersifat pasif-reaktif atas kejadian-kejadian internasionalnya,
melainkan bersifat aktif;
(3)
A.W. Wijaya: Bebas. Berarti tidak terikat oleh suatu ideologi atau oleh
suatu politik negara asing atau oleh blok negara-negara tertentu, atau
negara-negara adikuasa (super power). Aktif artinya dengan sumbangan
realistis giat mengembangkan kebebasan persahabatan dan kerjasama
internasional dengan menghormati kedaulatan negara lain.
Sekilas Konsepsi Politik Bebas Aktif Menurut Bung Hatta
Gagasan
politik bebas aktif dicetuskan oleh Bung Hatta pada 1948 di tengah
polarisasi dua kekuataan global yang ketat bersaing yakni Blok Barat dan
Blok Timur. Dalam Perang Dingin (1947-1991), Barat dikuasai Amerika
Serikat (AS) sedang Timur oleh Uni Soviet. Gagasan Bung Hatta tentang
bebas aktif bukanlah dimaksud agar Indonesia mau cari amanya saja atau
cari selamat, bukan asal tidak di kiri atau tak ke kanan, atau netral
tidak memihak siapapun, tetapi semata-mata lebih ditujukan pada
menjabarkan kepemilikan jati diri atas prinsip, watak dan warna politik
Indonesia itu tersendiri. Dengan kata lain, Politik Luar Negeri Bebas
dan Aktif barus diabdikan untuk melayani apa yang menjadi hajat
sesunguhnya masyarakat Indonesia.
Selain
beberapa pengertian yang diurai di atas tadi, terminologi “bebas
aktif” memang dapat diterjemahkan sebagai “bebas” yang berarti tak
terikat oleh kedua blok dalam Perang Dingin, hal ini dibuktikan dengan
prakarsa Indonesia menggalang persatuan negara-negara Asia Afrika pada
Konferensi Asia Afrika di Bandung pada April 1955. Yang didukung oleh
negara-negara Asia Afrika secara gegap gempita, baik oleh negara-negara
Asia-Afrika yang sudah merdeka, atau yang masih berjuang memerdekakan
bangsanya.
Kenyataannya,
Gerakan Konferensi AA berkembang menjadi sebuah kekuatan ketiga di
tengah polarisasi antara Amerika dan kubu negara-negara eropa barat,
versus Uni Soviet dan Cina. Kisah sukses kebangkitan negara-negara
Asia-Afrika tersebut, kemudian berkembang lebih meluas dengan
diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi Non Blok di Beograd, pada
1961. Kalau pada Konferensi Asia Afrika lingkupnya adalah sebatas
negara-negara di Kawasan Asia dan Afrika, pada forum KTT Non Blok,
lingkupnya meluas menjadi perhimpunan Negara-Negara Berkembang atau
Dunia Ketiga.
Sedangkan
“aktif “ artinya turut serta dalam perdamaian dunia. Inilah titik awal
dan pokok-pokok pikiran Bung Hatta mengumanndangkan politik luar negeri
Indonesia. Di zamannya, langkah Bung Hatta itu terbilang menggelegar di
tengah Perang Dingin antara dua kutub ideologi yakni kapitalis vs
komunis.
Tersirat
maksud, bahwa pilihan (sikap) politik luar negeri tersebut telah
selaras dengan cita-cita dan tujuan negara (kepentingan nasional) dalam
pembukaan UUD. Tak boleh dipungkiri, melalui watak politik bebas aktif
sejatinya Indonesia menyimpan misi dalam rangka menghapus segala bentuk
imperialisme baik berupa penjajahan fisik negara atas negara lain, atau
ujud penjajahan lain dalam kemasan baru di muka bumi.
Namun
perjalanan politik bebas aktif pasca Bung Karno lengser, pemaknaannya
bergeser menjadi tafsir dari rezim berkuasa. Inilah salah satu kelemahan
politik luar negeri kita hingga kini. Padahal bebas aktif sebagai
“sikap politik negara”, ia adalah skema utama dari negara guna
menjalankan aktivitasnya dalam pergaulan dunia.
Akan
tetapi pada tataran implementasi tidak memiliki tuntunan secara
konstitusional, sehingga seringkali ditafsirkan sesuai hasrat kelompok
kepentingan dan rezim saat itu. Pada gilirannya ia bebas dimaknai dalam
koridor terminologi. Ya. Sebuah sikap negara tanpa dibarengi tuntunan
secara konstitusional akan berpotensi timbul distorsi (bergeser makna),
bahkan seringkali justru dianggap sebagai “strategi rezim”, atau
“kebijakan elit penguasa” dan lainnya. Dan itu berulang terjadi dalam
sistem pemerintahan pasca Bung Karno.
Pada
Era Orde Baru misalnya, kendati secara tersurat tidak muncul secara
tertulis tetapi implikasinya terlihat bahwa “aktif” dimaknai oleh rezim
dengan gencar mendatangkan para investor asing dari berbagai negara,
sedang di sisi lain sang rezim “bebas” pula melakukan revisi-revisi
sistem dan UU yang justru lebih berpihak kepada asing daripada rakyat
(pasal 33 UUD) dan kepentingan nasional RI.
Demikian
juga era-era berikutnya. Memasuki Era Reformasi tampak semakin parah.
Adanya fakta dan data kepemilikan saham oleh dan penjualan kepada asing
atas aset-aset negara dan swasta nasional, serta penguasaan berbagai SDA
di Indonesia justru dilegitimasi oleh sistem dan UU yang ada.
Sepertinya
“bebas aktif” kini boleh diselewengkan cuma sekedar “aktif” mengirim
TKI keluar negeri dan membiarkan para majikan negara lain “bebas”
menyiksa warga Indonesia di luar negeri. Bahkan sarkasme yang lebih
ekstrim lagi ialah bahwa sang rezim “bebas” korupsi serta “aktif”
menggelar karpet merah untuk para predator bagi bangsa dan negaranya.
Makna Baru Bebas Aktif Versi GFI
Menjelang
KTT APEC yang akan digelar tahun 2013 dimana Indonesia akan mendapat
giliran menjadi ketua, maka kami dari GFI ingin memberikan kontribusi
dan masukan perihal pemaknaan baru politik bebas aktif ke depan. Hal ini
terkait dengan perkembangan politik global yang menjadi topik kajian
dan pengamatan GFI selaku institusi.
Telah
jelas dimuka, bahwa politik bebas aktif merupakan skema utama dan sikap
politik negara. Ia bukan strategi rezim atau kebijakan suatu elit
penguasa. Dengan demikian politik bebas aktif tak boleh dimaknai
sekehendak hati, semaunya sendiri. Mutlak harus ada rujukan dan
tuntunannya.
Memaknai
terminologi bebas aktif tidak boleh dipenggal suku katanya, harus
diucapkan dalam “satu tarikan nafas”. Artinya terdapat kebebasan dalam
aktifitas, namun juga ada keaktifan dalam kebebasan tersebut. Kebebasan
bagaimana dan keaktifan seperti apa.
Hal
ini dikandung maksud bahwa siapapun orang, kelompok maupun negara
manapun tak bisa mempengaruhi tindakan Indonesia dalam berkiprah pada
forum internasional. Prinsip, watak bahkan warna tindakan keluar mutlak
harus merujuk kepada kepentingan nasional RI yang tersebar di berbagai
sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, dan terkait juga dalam
interaksi global.
Oleh
karena itu di setiap kementerian harus merumuskan kembali apa dan
bagaimana ujud kepentingan nasional RI bagi sektor yang dibawahinya.
Selanjutnya setelah sektor-sektor tersebut berlabel “kepentingan
nasional” maka bukan lagi domain kementerian yang bersangkutan saja,
namun juga sebagai bahan dan materi yang akan diperjuangkan dalam
politik luar negeri di ranah global.
Praktek
politik bebas aktif bukanlah domain Kementrian Luar Negeri namun mutlak
harus terintegrasi secara holistik dengan bidang pertahanan, intelijen
(keamanan), ekonomi dan perdagangan, ESDM, dan lainnya dan merupakan
refleksi atas KEPENTINGAN NASIONAL.
Politik
bebas aktif bukanlah aktor tunggal yang berdiri sendiri tetapi didukung
oleh berbagai instansi yang telah menitipkan “kepentingan nasional”
pada sektor unggulannya bermuara kepada TUJUAN NASIONAL.
Kepentingan Nasional RI dan Desain Bijak Luar Negeri
Berbicara
kepentingan nasional setiap negara niscaya berbeda-beda sesuai kondisi
geografi, budaya, demografi, sejarah, sosial ekonomi serta politik dan
lainnya. Kepentingan nasional sebuah negara memang akan tergantung
wilayah serta karakter masing-masing. Indonesia membagi dalam tiga aras
kepentingan nasional yaitu utama, penting dan pendukung (Robert
Mangindaan, UUK: Asymmetric Threat Menyerang NKRI, Jurnal CSICI, No 36, 2012).
Kepentingan
nasional yang ‘utama’ berkaitan dengan eksistensi NKRI sebagai negara
berdaulat. Artinya memiliki wilayah yang jelas, penduduk permanen,
tegaknya pemerintah yang legitimasi dan mampu melaksanakan kegiatan
diplomasi.
Kemudian kepentingan nasional yang ‘penting’ ditujukan kepada upaya membangun dan mensejahterakan bangsa.
Sedangkan
kepentingan nasional ‘pendukung’ meski di luar aras kedua kepentingan
utama dan penting tersebut, namun terkait erat dengan keduanya mengingat
hal itu merupakan aspek pendukung.
Bahwa
kebijakan luar negeri negara harus merujuk kepada kepentingan
nasionalnya. Tidak bisa tidak. Amerika Serikat (AS) misalnya, karena
tingkat kebutuhan dan ketergantungan yang tinggi terhadap minyak maka
dalam setiap kebijakan luar negerinya senantiasa berorientasi kepada
minyak, minyak dan minyak. Maka siapapun Presiden AS doktrin politiknya
ialah the power of oil. Demikian juga Cina, Uni Eropa, Jepang, Rusia dan lainnya.
Begitu
pula dengan Indonesia. Daulat pertanian dan ketahanan pangan sudah
saatnya dijadikan landasan kepentingan nasional, dan kita jadikan tema
sentral seluruh pemangku kepentingan kebijakan luar negeri RI dalam
menyusun skema dan strategi nasional pada KTT APEC 2013 di Bali Oktober
mendatang.
Sebagaimana
telah diurai di atas, bahwa kebijakan luar negeri bukan aktor tunggal
yang berdiri sendiri tetapi sesungguhnya merupakan akomodasi berbagai
kepentingan dari instansi, lembaga dan kementrian terkait. Sedang
instansi serta kementrian terkait menyusun kepentingan nasional berdasar
atas aras hierarkhi yakni utama, penting dan pendukung.
Demikian
seharusnya desain kepentingan nasional di republik tercinta ini
dibidani, terbit dan diperjuangkan dalam kebijakan luar negeri RI dalam
skema politik luar negeri bebas aktif.