Pages

Jumat, Agustus 02, 2013

Anggaran Militer Besar, TNI Kembali Berjaya

TNI
ARTILERI-(IDB) : Di masa akhir pemerintahannya, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) banyak membuat prestasi di bidang pertahanan. Setidaknya SBY telah mengalokasikan anggaran militer untuk periode 2010-2014 sebesar Rp 150 triliun.


Walau dinilai masih kecil, namun dengan anggaran itu TNI yang merupakan kebanggaan Indonesia, kini tidak dipandang remeh lagi oleh negara lain. Patut kita apresiasi kerja pemerintah untuk bidang pertahanan.

Setelah nyaris mati suri selama 15 tahun, modernisasi alutsista TNI kini berjalan sangat progresif. Hingga habis masa pemerintahan SBY pada 2014, Kekuatan Pokok Minimum (MEF) yang ditargetkan tercapai sedikitnya 30%.


"Dengan dinamika yang terjadi sekarang, (modernisasi) bisa dipercepat," ujar Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.

 

Menhan pun mencontohkan beberapa rencana yang berjalan justru lebih cepat dari target. Seperti pembelian jet tempur F-16 dari Amerika Serikat, dari rencana awal hanya menambah 6 unit F-16 baru baru, namun realisasinya menjadi 24 pesawat, meskipun bekas pakai. Tidak hanya itu, AS juga menawarkan 10 F-16 lagi.   

"Ini belum, sekarang kita di-offer 10 lagi," terang Purnomo.


Demikian pula dengan airlifter jenis Hercules, yang mulanya belum masuk rencana 2013, karena rencananya hanya akan diisi dengan pesawat CN-295 buatan PT Dirgantara Indonesia (DI) yang bekerjasama dengan Airbus Military. Tetapi kini akan ditambah 10 unit, juga bekas pakai dari Australia. Dengan 34 pesawat F-16 dan 10 Hercules ini, Purnomo yakin postur kemampuan tempur TNI akan meningkat signifikan.


"Ditambah dengan yang sudah kita punya saat ini, kita akan menjadi amat kuat," katanya.


Di darat, postur TNI AD juga akan berubah dengan tambahan 100-130 unit tank Leopard asal Jerman, yang sudah lama diidamkan TNI-AD.


Pengamat militer dan pengajar pada jurusan Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI), Andi Widjajanto mengatakan, klaim Purnomo bukan isapan jempol. "Saya kira percepatan sangat mungkin. Dalam Latihan Gabungan (Latgab) TNI lalu, tampak bahwa kekuatan TNI sudah 40%," puji Andi.


Sekilas Rencana Tambahan Alusista TNI Tahun 2013

Pada 2013, pemerintah sudah dan sedang memperkuat armada TNI dengan mendatangkan beberapa alutsista. Diantaranya adalah:


1. Helikopter

  • Heli full combat SAR mission
  • Heli angkut
  • Heli serang lengkap (dengan senjata dan amunisi)
  • Heli serbu lengkap
  • Heli AKS dan suku cadang
2. Pesawat
  • 6 Sukhoi Su-30 MK2
  • Pengganti MK-53 dan support
  • CN-295 (pengganti Fokker 27)
  • CN-235 MPA (Patmar)
3. Ranpur
  • MBT Leopard dan ranpur lain (support) juga asal Jerman
  • Panser amfibi BTR 80 A
  • Tank amfibi BMP 3F dan suku cadang
  • Rantis 2,5 ton 4x4
  • Kendaraan angkut amunisi 5 ton
4. Kapal Perang

  • MLM KRI kelas korvet tahap I
  • Kapal bantu hydro-oceanografi
  • Kapal latih (pengganti KRI DWR)
TNI dan Paradox ASEAN

Negara-negara di kawasan Asia tiba-tiba serius memperhatikan perkembangan di Indonesia, ketika Presiden SBY mengumumkan akan menghabiskan anggaran pertahanan hingga Rp150 triliun antara 2010-2014.

Andi Widjajanto mengatakan, posisi Indonesia yang semula dipandang remeh dalam isu alutsista di Asia, kini mulai berubah. Selama ini, Malaysia dan Singapura selalu menjadi pemimpin terdepan dalam hal belanja alutsista di ASEAN.


Ketegangan di Laut China Selatan akibat adu klaim teritorial dengan raksasa Asia, China, telah memaksa Filipina dan Vietnam turut mengasah peralatan tempurnya.


Vietnam membeli berbagai senjata dari Republik Ceko, Kanada, dan Israel serta kapal selam dari Rusia. Bahkan Vietnam dikabarkan tengah memesan rudal canggih dari India dan radar anti pesawat siluman dari Belarus. Sementara Filipina menargetkan pembelian dua kapal sergap baru, dua helikopter anti kapal selam (AKS), tiga kapal cepat patroli pantai, ditambah delapan kendaraan serbu amfibi hingga 2017. Seluruhnya untuk mempertahankan wilayah Laut Filipina Barat yang diperebutkan dengan China.


China sendiri, kata Andi, tak usah ditanya. Setelah memamerkan kegarangan kapal induk Liaoning di perairan Dalian September lalu, China terus menumpuk perbendaharaan alutsista hingga total belanja melampaui USD100 miliar untuk pertama kalinya tahun 2012.


Secara keseluruhan, laporan Institut Internasional untuk Strategi Keamanan (IISS) London menyebutkan, besaran belanja senjata di Asia tahun 2013 meningkat 14% lebih dibanding tahun lalu. Sebaliknya, angka belanja senjata di 26 negara Eropa terus turun seiring dengan krisis ekonomi yang belum pulih. Asia tengah mengalami lomba senjata, tulis seorang pengamat dalam jurnal IISS.


Peningkatan signifikan angka belanja senjata sudah muncul tahun 2012, dan menurut IISS, belanja alutsista Asia mencapai $287 miliar atau naik kira-kira 8,6% per tahun. "Situasi ini tidak bisa dibilang lumrah," kata Andi Widjajanto.


ASEAN tengah menikmati periode damai, dengan tingkat pendapatan masing-masing negara terus meningkat, dan hubungan antar negara yang makin matang. Bahkan dalam dua tahun, 2015, sebanyak 10 negara di Asia tenggara ini akan memasuki babak baru Komunitas ASEAN.


"Ini sebuah paradoks, ASEAN sangat damai tapi belanja senjata malah naik pesat," kata Andi.


Pencetusnya adalah ketidakpastian di Laut China Selatan yang membuat beberapa negara ASEAN terlibat langsung dalam konflik ini, seperti Filipina dan Vietnam.


"Anggota melihat situasi damai justru sebagai kesempatan untuk untuk mengisi arsenal masing-masing," tambah doktor lulusan Universitas Pertahanan di Washington ini.


Untunglah tak ada ancaman langsung konflik Laut China Selatan terhadap Indonesia. "Indonesia itu negara netral. Sepanjang (konflik) itu tidak menular ke perbatasan kita," kata Menhan Purnomo. Sebaliknya, Indonesia juga memahami ambisi China yang habis-habisan mendongkrak belanja senjatanya. Karena itu, kita dukung penguatan alutsista TNI, agar bisa berbicara di dunia internasional.






Sumber : Artileri

Program Jet Tempur Turki Senilai US$ 50 Miliar Jadi Tanda Tanya

3 Desain TF-X Turki
Tiga Desain jet tempur TF-X Turki
ANKARA-(IDB) : Turki setidaknya harus mengeluarkan dana sebesar US$ 50 juta jika tetap ingin berniat melanjutkan rencananya untuk membuat 200 jet tempur dalam negeri, dan membeli 100 unit lebih jet tempur F-35 dari Amerika Serikat. Dan sayangnya jumlah dana yang fantastis tersebut bahkan belum termasuk biaya mesin untuk pembuatan jet tempur dalam negerinya.

Ketika Ankara berencana untuk mengembangkan sendiri alutsista udaranya, ini tentu rencana yang besar dan memang tidak ada yang menyangsikannya. Tapi ambisi turki yang ingin membangun jet tempur sendiri dan membeli jet tempur multinasional F-35 mungkin akan melampaui kapasitas pembiayaan Turki.

Pejabat industri pertahanan Turki memperkirakan bahwa untuk membangun delapan prototipe-nya saja dari pesawat tempur nasional Turki setidaknya akan memakan biaya lebih dari US$ 10 miliar.
"Setidaknya akan menghabiskan dana US$ 11 miliar hingga US$ 13 miliar," ujar seorang pejabat senior yang turut andil dalam program tersebut.

Mengenai harga dan jumlah final jet tempur Turki jika program itu berhasil, pejabat tersebut mengatakan: "Kami menargetkan US$ 100 juta per pesawat. Saya pikir 200 (unit) adalah angka yang realistis mengingat armada pesawat kami yang sudah tua yang segera akan memasuki phase out pada dekade depan."

Itu berarti Turki harus menghabiskan US$ 31 miliar hingga US$ 33 miliar untuk seluruh jet tempur mulai dari merancang, mengembangkan hingga memproduksi. Namun banyak analis independen berpendapat bahwa perhitungan Turki ini terlampau optimis.

"Kita tahu bahwa rencana Turki tersebut belum termasuk biaya mengembangkan mesin untuk pesawat tempurnya. Selain itu, saya pikir, US$ 100 juta per pesawat mungkin terlalu optimis mengingat kendala teknologi Turki, tingginya biaya industri dan fakta bahwa pendatang baru (dalam industri jet tempur) seperti Turki akan mengalami kemunduran, cobaan dan kesalahan selama proses secara keseluruhan," ujar seorang analis.

Sebelumnya Turki telah melalukan pembicaraan dengan Saab, industri dirgantara terkemuka Swedia, mengenai pekerjaan desain pra-konseptual untuk jet tempur nasional pertama negara itu. Saab sendiri adalah pembuat JAS 39 Gripen, jet tempur ringan multiguna bermesin tunggal. Jet tempur ini dibuat untuk menggantikan Saab 35 Draken dan 37 Viggen di Angkatan Udara Swedia. Jet tempur Gripen ini sendiri menggunakan mesin Volvo-Flygmotor RM12, turunan dari mesin General Electric F404, dan memiliki kecepatan tertinggi Mach 2.

100 Unit F-35 dari AS

Turki berharap jet tempur nasional yang dijuluki TF-X tersebut, akan bisa terbang pada tahun 2023, tepat 100 tahun Republik Turki. Perusahaan dirgantara utama Turki, TAI, telah mengonsep tiga desain jet tempur yang berbeda, dan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan lah yang kemungkinan akan memutuskan apakah akan terus maju dengan rencana ini pada pertemuan komite industri pertahanan akhir tahun ini.

Sementara itu, Turki, yang armada tempur udaranya terdiri dari pesawat-pesawat tempur buatan AS, juga berencana untuk membeli F-35 Joint Strike Fighter, jet tempur generasi kelima, hasil pengembangan program multinasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat.

Sebagian besar armada tempur udara Turki adalah F-16, yang telah diupgrade oleh Lockheed Martin, dan rencana pembelian Turki untuk F-35 kemungkinannya sangat besar mengingat pengaruh teknologi AS yang sudah melekat pada Turki. Pesawat tua Turki sendiri adalah F-4, diupgrade sendiri oleh Turki dan F-16 yang tertua juga diupgrade oleh Turki sendiri, setidaknya cukup "bersih" dari pengaruh teknologi AS. Tapi pesawat-pesawat tua ini akan segera dinonaktifkan pada tahun 2020.

Pejabat pengadaan Departemen Pertahanan Turki mengatakan Ankara berencana untuk membeli 100 F-35. Analis pertahanan memperkirakan total biaya yang dibutuhkan untuk itu adalah sekitar US$ 16 miliar (jika harga F-35 tidak naik lagi), itulah sebabnya dana yang dibutuhkan untuk memodernisasi armada tempur udara Turki di masa depan menjadi sebesar US$ 50 miliar (program TF-X plus F-35).






Sumber : Artileri

Analisis : KTT APEC 2013 Harus Di Bawah Tuntunan Politik Luar Negeri Bebas-Aktif RI

ANALISIS-(IDB) : Menyongsong KTT APEC di Bali Oktober 2013 mendatang,  Global Future Institute menyambut baik prakarsa Kementerian Perdagangan RI bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menggelar diskusi panel bertema: Inisiatif Strategis Indonesia Memanfaatkan APEC pada 24 Juni lalu. 


Dari hasil diskusi panel Kementerian Perdagangan dan ISEI, Global Future Institute setidaknya mencatat ada tiga poin penting yang kiranya bisa menjadi dasar menyusun skema dan strategi memanfaatkan secara maksimal kerjasama antar negara-negara APEC. Tiga poin penting tersebut yaitu:

 

1. Indonesia perlu membuat peta isu-isu prioritas dengan mengukur untung dan ruginya. 

2. Melakukan kolaborasi intensif dengan pengusaha. 

3. Melaksanakan peran Think Thank dan membangun sinergitas yang komprehentsif. 

4. Perlu langkah-langkah Strategis dengan mengedepankan kepentingan nasional. 

5. Perlu kerjasama yang lebih kuat dari para pemangku kepentingan untuk memanfaatkan kerjasama APEC.   

 

Sayang sekali meski penuh dengan itikad baik, dari perspektif kebijakan strategis dari Kementerian Perdagangan belum menemukan sasaran strategis yang tepat. Dalam paparannya pada diskusi panel tersebut, Menteri Perdagangan memang menekankan pentingnya agar Indonesia mendorong kesepakatan di bidang pertanian, fasilitas perdagangan, dan paket untuk negara-negara berkembang. 

 

Sayangnya apa yang dipresentasikan oleh Menteri Perdangan baru sebatas unjuk niat baik namun belum jelas skema dan strateginya. Sementara itu, forum diskusi panel baru merumuskan secara normatif betapa pentingya mengevaluasi kesiapan dunia usaha Indonesia dalam memanfaatkan dan memaksimalkan skema APEC, serta posisi Indonesia pada APEC 2013. 

 

Berbicara soal penyusunan skema dan strategi memanfaatkan secara maksimal kerjasama antar negara-negara APEC, maka Indonesia harus bertumpu pada gagasan untuk memanfaatkan momentum KTT APEC 2013 sebagai Kebangkitan Politik Luar Negeri Indonesia yang Bebas dan Aktif. 

 

Maka itu, dalam menjabarkan kerjsama yang lebih kuat dari para pemangku kepentingan, sinergi antara Kementerian Perekonomian dan Kementerian Luar Negeri amat mutlak adanya. Sehingga langkah-langkah strategis dengan mengedepankan kepentingan nasional sebagaimana yang disuarakan melalu diskusi panel tersebut, akan mempunyai pedoman dan panduan yang tepat sasaran. 

 

Dengan pemikiran yang demikian, peran sentral Kementerian Luar Negeri sangat dibutuhkan karena KTT APEC 2013 mendatang bukan sekadar isu ekonomi dan perdagangan. Melainkan harus menjadi momentum bagi Indonesia mempertunjukkan politik luar negeri bebas aktif sebagai sarana untuk mengedepankan kepentingan nasionalnya di forum ekonomi Asia Pasifik tersebut. Dengan kata lain, KTT APEC 2013 mendatang harus dipandang oleh para pemangku kepentingan (utamanya kementerian-kementerian di bawah kendali Kementerian Koordinator Perekonomian Nasional) sebagai Perang Diplomasi di ranah ekonomi dan perdagangan. Karena itu, rujukan-rujukan pustaka terkait konsepsi Politik Luar Negeri RI harus dipahami dan dihayati oleh para pemanku kepentingan terkait APEC 2013, sehingga bisa didayagunakan sebagaimana mestinya. 

 

Dasar Hukum Konsepsi Politik Luar Negeri Bebas Aktif RI

 

Dasar hukum politik luar negeri RI jelas bertumpu pada Undang-Undang Dasar 1945, karena UUD merupakan pilar utama suatu negara. Alinea I dan IV dalam Pembukaan UUD telah jelas. 

 

Misalnya alinea I: 

"... Kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan ...".

 

Kemudian alinea IV: 

"... dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ...".. 

 

Maka jelaslah bahwa politik luar negeri RI memiliki landasan hukum sangat kuat karena diatur dalam UUD negara.

 

Sedang pengertian bebas aktif itu sendiri, bisa dilihat dari pernyataan beberapa tokoh dan pakar. Berikut ini kutipan beberapa pendapat sebagai gambaran mengenai bebas dan aktif guna melanjutkan makalah ini.

 

(1) B.A Urbani: Perkataan bebas dalam politik bebas aktif tersebut mengalir dari kalimat yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai berikut : supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas. Jadi menurut pengertian ini, dapat didefinisikan:“berkebebasan politik untuk menentukan dan menyatakan pendapat sendiri, terhadap tiap-tiap persoalan internasional sesuai dengan nilainya masing-masing tanpa apriori memihak kepada suatu blok”;

 

(2) Mochtar Kusumaatmaja: Bebas. Dalam pengertian bahwa Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila. Aktif. Artinya di dalam menjalankan kebijaksanaan luar negerinya, Indonesia tidak bersifat pasif-reaktif atas kejadian-kejadian internasionalnya, melainkan bersifat aktif; 

 

(3) A.W. Wijaya: Bebas. Berarti tidak terikat oleh suatu ideologi atau oleh suatu politik negara asing atau oleh blok negara-negara tertentu, atau negara-negara adikuasa (super power). Aktif artinya dengan sumbangan realistis giat mengembangkan kebebasan persahabatan dan kerjasama internasional dengan menghormati kedaulatan negara lain.

 

Sekilas Konsepsi Politik Bebas Aktif Menurut Bung Hatta

 

Gagasan politik bebas aktif dicetuskan oleh Bung Hatta pada 1948  di tengah polarisasi dua kekuataan global yang ketat bersaing yakni Blok Barat dan Blok Timur. Dalam Perang Dingin (1947-1991), Barat dikuasai Amerika Serikat (AS) sedang Timur oleh Uni Soviet. Gagasan Bung Hatta tentang bebas aktif bukanlah dimaksud agar Indonesia mau cari amanya saja atau cari selamat, bukan asal tidak di kiri atau tak ke kanan, atau netral tidak memihak siapapun, tetapi semata-mata lebih ditujukan pada menjabarkan kepemilikan jati diri atas prinsip, watak dan warna politik  Indonesia itu tersendiri. Dengan kata lain, Politik Luar Negeri Bebas dan Aktif barus diabdikan untuk melayani apa yang menjadi hajat sesunguhnya masyarakat Indonesia.

 

Selain beberapa pengertian yang diurai di atas tadi,  terminologi “bebas aktif” memang dapat diterjemahkan sebagai “bebas” yang berarti tak terikat oleh kedua blok dalam Perang Dingin, hal ini dibuktikan dengan prakarsa Indonesia menggalang persatuan negara-negara Asia Afrika pada Konferensi Asia Afrika di Bandung pada April 1955.  Yang didukung oleh negara-negara Asia Afrika secara gegap gempita, baik oleh negara-negara Asia-Afrika yang sudah merdeka, atau yang masih berjuang memerdekakan bangsanya. 

 

Kenyataannya, Gerakan Konferensi AA berkembang menjadi sebuah kekuatan ketiga di tengah polarisasi antara Amerika dan kubu negara-negara eropa barat, versus Uni Soviet dan Cina. Kisah sukses kebangkitan negara-negara Asia-Afrika tersebut, kemudian berkembang lebih meluas dengan diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi Non Blok di Beograd, pada 1961. Kalau pada Konferensi Asia Afrika lingkupnya adalah sebatas negara-negara di Kawasan Asia dan Afrika, pada forum KTT Non Blok, lingkupnya meluas menjadi perhimpunan Negara-Negara Berkembang atau Dunia Ketiga. 

 

Sedangkan “aktif “ artinya turut serta dalam perdamaian dunia. Inilah titik awal dan pokok-pokok pikiran Bung Hatta mengumanndangkan politik luar negeri Indonesia. Di zamannya, langkah Bung Hatta itu terbilang menggelegar di tengah Perang Dingin antara dua kutub ideologi yakni kapitalis vs komunis. 

 

Tersirat maksud, bahwa pilihan (sikap) politik luar negeri tersebut telah selaras dengan cita-cita dan tujuan negara (kepentingan nasional) dalam pembukaan UUD. Tak boleh dipungkiri, melalui watak politik bebas aktif sejatinya Indonesia menyimpan misi dalam rangka menghapus segala bentuk imperialisme baik berupa penjajahan fisik negara atas negara lain, atau ujud penjajahan lain dalam kemasan baru di muka bumi. 

 

Namun perjalanan politik bebas aktif pasca Bung Karno lengser, pemaknaannya bergeser menjadi tafsir dari rezim berkuasa. Inilah salah satu kelemahan politik luar negeri kita hingga kini. Padahal bebas aktif sebagai “sikap politik negara”, ia adalah skema utama dari negara guna menjalankan aktivitasnya dalam pergaulan dunia. 

 

Akan tetapi pada tataran implementasi tidak memiliki tuntunan secara konstitusional, sehingga seringkali ditafsirkan sesuai hasrat kelompok kepentingan dan rezim saat itu. Pada gilirannya ia bebas dimaknai dalam koridor terminologi. Ya. Sebuah sikap negara tanpa dibarengi tuntunan secara konstitusional akan berpotensi timbul distorsi (bergeser makna), bahkan seringkali justru dianggap sebagai “strategi rezim”, atau “kebijakan elit penguasa” dan lainnya. Dan itu berulang terjadi dalam sistem pemerintahan pasca Bung Karno.

 

Pada Era Orde Baru misalnya, kendati secara tersurat tidak muncul secara tertulis tetapi implikasinya terlihat bahwa “aktif” dimaknai oleh rezim dengan gencar mendatangkan para investor asing dari berbagai negara, sedang di sisi lain sang rezim “bebas” pula melakukan revisi-revisi sistem dan UU yang justru lebih berpihak kepada asing daripada rakyat (pasal 33 UUD) dan kepentingan nasional RI. 

 

Demikian juga era-era berikutnya. Memasuki Era Reformasi tampak semakin parah. Adanya fakta dan data kepemilikan saham oleh dan penjualan kepada asing atas aset-aset negara dan swasta nasional, serta penguasaan berbagai SDA di Indonesia justru dilegitimasi oleh sistem dan UU yang ada. 

 

Sepertinya “bebas aktif” kini boleh diselewengkan cuma sekedar “aktif” mengirim TKI keluar negeri dan membiarkan para majikan negara lain “bebas” menyiksa warga Indonesia di luar negeri. Bahkan sarkasme yang lebih ekstrim lagi ialah bahwa sang rezim “bebas” korupsi serta “aktif” menggelar karpet merah untuk para predator bagi bangsa dan negaranya. 

 

Makna Baru Bebas Aktif Versi GFI

 

Menjelang KTT APEC yang akan digelar tahun 2013 dimana Indonesia akan mendapat giliran menjadi ketua, maka kami dari GFI ingin memberikan kontribusi dan masukan perihal pemaknaan baru politik bebas aktif ke depan. Hal ini terkait dengan perkembangan politik global yang menjadi topik kajian dan pengamatan GFI selaku institusi. 

 

Telah jelas dimuka, bahwa politik bebas aktif merupakan skema utama dan sikap politik negara. Ia bukan strategi rezim atau kebijakan suatu elit penguasa. Dengan demikian politik bebas aktif tak boleh dimaknai sekehendak hati, semaunya sendiri. Mutlak harus ada rujukan dan tuntunannya.  

 

Memaknai terminologi bebas aktif tidak boleh dipenggal suku katanya, harus diucapkan dalam “satu tarikan nafas”. Artinya terdapat kebebasan dalam aktifitas, namun juga ada keaktifan dalam kebebasan tersebut. Kebebasan bagaimana dan keaktifan seperti apa. 

 

Hal ini dikandung maksud bahwa siapapun orang, kelompok maupun negara manapun tak bisa mempengaruhi tindakan Indonesia dalam berkiprah pada forum internasional. Prinsip, watak bahkan warna tindakan keluar mutlak harus merujuk kepada kepentingan nasional RI yang tersebar di berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, dan terkait juga dalam interaksi global.  

 

Oleh karena itu di setiap kementerian harus merumuskan kembali apa dan bagaimana ujud kepentingan nasional RI bagi sektor yang dibawahinya. Selanjutnya setelah sektor-sektor tersebut berlabel “kepentingan nasional” maka bukan lagi domain kementerian yang bersangkutan saja, namun juga sebagai bahan dan materi yang akan diperjuangkan dalam politik luar negeri di ranah global.  

 

Praktek politik bebas aktif bukanlah domain Kementrian Luar Negeri namun mutlak harus terintegrasi secara holistik dengan bidang pertahanan, intelijen (keamanan), ekonomi dan perdagangan, ESDM, dan lainnya dan merupakan refleksi atas KEPENTINGAN NASIONAL. 

 

Politik bebas aktif bukanlah aktor tunggal yang berdiri sendiri tetapi didukung oleh berbagai instansi yang telah menitipkan “kepentingan nasional” pada sektor unggulannya bermuara kepada TUJUAN NASIONAL.  

 

Kepentingan Nasional RI dan Desain Bijak Luar Negeri

 

Berbicara kepentingan nasional setiap negara niscaya berbeda-beda sesuai kondisi geografi, budaya, demografi, sejarah, sosial ekonomi serta politik dan lainnya. Kepentingan nasional sebuah negara memang akan tergantung wilayah serta karakter masing-masing. Indonesia membagi dalam tiga aras kepentingan nasional yaitu utama, penting dan pendukung (Robert Mangindaan, UUK: Asymmetric Threat Menyerang NKRI, Jurnal CSICI, No 36, 2012). 

 

Kepentingan nasional yang ‘utama’ berkaitan dengan eksistensi NKRI sebagai negara berdaulat. Artinya memiliki wilayah yang jelas, penduduk permanen, tegaknya pemerintah yang legitimasi dan mampu melaksanakan kegiatan diplomasi. 

 

Kemudian kepentingan nasional yang ‘penting’ ditujukan kepada upaya membangun dan mensejahterakan bangsa.  

 

Sedangkan kepentingan nasional ‘pendukung’ meski di luar aras kedua kepentingan utama dan penting tersebut, namun terkait erat dengan keduanya mengingat hal itu merupakan aspek pendukung.

 

Bahwa kebijakan luar negeri negara harus merujuk kepada kepentingan nasionalnya. Tidak bisa tidak. Amerika Serikat (AS) misalnya, karena tingkat  kebutuhan dan ketergantungan yang tinggi terhadap minyak maka dalam setiap kebijakan luar negerinya senantiasa berorientasi kepada minyak, minyak dan minyak. Maka siapapun Presiden AS doktrin politiknya ialah the power of oil. Demikian juga Cina, Uni Eropa, Jepang, Rusia dan lainnya. 

 

Begitu pula dengan Indonesia. Daulat pertanian dan ketahanan pangan sudah saatnya dijadikan landasan kepentingan nasional, dan kita jadikan tema sentral seluruh pemangku kepentingan kebijakan luar negeri RI dalam menyusun skema dan strategi nasional pada KTT APEC 2013 di Bali Oktober mendatang.

 

Sebagaimana telah diurai di atas, bahwa kebijakan luar negeri bukan aktor tunggal yang berdiri sendiri tetapi sesungguhnya merupakan akomodasi berbagai kepentingan dari instansi, lembaga dan kementrian terkait. Sedang instansi serta kementrian terkait menyusun kepentingan nasional berdasar atas aras hierarkhi yakni utama, penting dan pendukung. 

 

Demikian seharusnya desain kepentingan nasional di republik tercinta ini dibidani, terbit dan diperjuangkan dalam kebijakan luar negeri RI dalam skema politik luar negeri bebas aktif.






Sumber : Global