Selat Malaka |
ANALISIS-(IDB) : Seperti halnya Selat Hormuz di Teluk Persia dekat Iran dan Oman, Selat Malaka merupakan salah satu selat terpenting di dunia.
Menghubungkan Samudera Hindia ke Laut Cina Selatan dan Samudera Pasifik, Selat Malaka merupakan rute maritim terpendek yang menghubungkan produsen energi Persian Gulf ke konsumen terbesar mereka di negara-negara Asia seperti China, Jepang dan Korea Selatan.
Lima puluh ribu kapal dagang yang membawa 40 persen perdagangan dunia setiap tahunnya melewati selat sepanjang 900 km ini. Selat ini sangat strategis untuk pasokan energi regional. Menurut Badan Informasi Energi pemerintah Amerika Serikat, EIA, pada tahun 1993 sekitar 7 juta barel minyak dan produk olahan minyak bumi per hari transit di Selat Malaka -sekitar 20 persen dari perdagangan minyak global lewat laut. Pada tahun 2011, jumlah ini meningkat menjadi 15 juta barel per hari atau 33 persen dari seluruh minyak yang diperdagangkan lewat laut.
Negara-negara Asia Timur Laut sangat bergantung dari minyak yang melewati Selat Malaka. Jepang bergantung sekitar 90 persen impor minyak melalui Selat Malaka. Pada 2010 lalu, China mengandalkan Selat Malaka untuk 80 persen minyak yang diimpornya. Tak heran jika mantan Presiden Hu Jintao menyebutnya sebagai "China’s Malacca Dilemma."
Tiga negara -Indonesia, Singapura dan Malaysia- menguasai Selat Malaka, yang hanya memiliki lebar 1,7 mil pada titik tersempitnya. Sementara Angkatan Laut asing seperti Amerika Serikat sudah sejak lama beroperasi di kawasan tersebut, dan Angkatan Laut China semakin menaruh minat pada Selat Malaka. Tentu saja 3 angkatan laut yaitu dari Indonesia, Malaysia dan Singapura tidak bisa mengabaikan hal ini.
Karena lokasi yang strategis, ketika negara ini telah melengkapi dirinya dengan kekuatan kapal selam, dan khususnya Indonesia memiliki ambisi yang besar untuk membangun "armada bawah laut" di masa depan.
Angkatan Laut Republik Singapura (RSN) saat ini dianggap memiliki kekuatan kapal selam terbaik di Selat Malaka, telah menerima kapal selam keenamnya pada bulan April lalu. Semua kapal selam Singapura dibeli dari Swedia dalam dua batch yang berbeda.
RSS Swordsman, kapal selam terbaru Singapura. Diresmikan pada 30 April 2013 |
Seiring dengan semakin menuanya usia kapal selam ini (kelas Challenger), Singapura kembali melirik Swedia untuk membangun armada bawah lautnya, akhirnya setuju untuk membeli dua kapal selam kelas Archer pada tahun 2005. Kapal selam kelas Archer merupakan versi upgrade dari kapal selam diesel listrik kelas Västergötland yang sejak lama digunakan Angkatan Laut Swedia. Kapal selam Archer memiliki sistem propulsi udara independen (AIP), yang memungkinkan tetap bisa beroperasi di dalam air selama berminggu-minggu (tanpa muncul ke permukaan.). Kapal Selam kelas Archer dilengkapi 9 tabung torpedo dan membawa 12 torpedo Black Shark, 6 torpedo ringan tipe 431/451, serta ranjau.
Saingan Singapura, Malaysia, memiliki garis pantai yang lebih panjang dan juga terletak di sepanjang selat strategis Malaka. Faktor inilah yang menyebabkan Tentera Laut Diraja Malaysia (TLDM) pada tahun 2002 mengumumkan kebutuhan kapal selam untuk patroli perairan.
"Kita memiliki wilayah laut yang luas untuk diawasi. Kita memerlukan kapal selam sebagai kekuatan pengganda. Mereka (kapal selam) dapat muncul di mana saja dan karena pergerakannya yang diam, mereka sulit di deteksi. Itu akan meningkatkan efek deterrent," Menteri Pertahanan Malaysia Najib Razak menjelaskan kala itu.
Akhirnya, Malaysia melirik Prancis untuk membangun armada bawah lautnya, dan setuju untuk membeli dua kapal selam kelas Scorpene. Kesepakatan itu senilai 1,035 miliar euro atau senilai dengan 1,3 milar dolar untuk saat ini. Pada 3 September 2009, kapal selam Scorpene pertama TLDM, KD Tunku Abdul Rahman, tiba di Malaysia setelah menempuh perjalanan selama 54 hari dari Prancis. Namun sayangnya, pada saat kedatangannya, kapal selam ini mengalami kerusakan vital yaitu tidak dapat menyelam dan hanya dilengkapi dengan persenjataan yang sudah kadaluwarsa.
Kapal selam kedua TLDM, KD Tun Abdul Razak, dikirimkan Prancis pada 30 April 2010 dan tiba di Malaysia pada 2 Juli 2010. Kapal selam Scorpene versi untuk Malaysia ini tidak dilengkapi dengan AIP tetapi tetap memiliki kemampuan untuk meluncurkan rudal Exocet SM39 anti kapal dengan jangkauan 50 km.
Sekarang Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia,
indonesia memiliki garis pantai terbentang sepanjang 108.000 km dan 5,8
juta km persegi zona ekonomi eksklusif (ZEE). Selain bercokol di Selat
Malaka, Indonesia juga memiliki 2 jalur perdagangan penting lainya yaitu
Selat Sunda dan Selat Lombok.
Melihat kondisi geografis seperti itu, tidak mengherankan jika TNI AL sudah sejak lama memiliki armada bawah air. Saat ini, TNI-AL masih mengoperasikan dua kapal selam, KRI Cakra dan KRI Nanggala, yang merupakan kapal selam U-209/1300 buatan Jerman. Kedua kapal selam ini juga telah di-refitted (reparasi, dilengkapi kembali dan upgrade) dalam satu dekade terakhir di galangan kapal Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering, Okpo, Korea Selatan. Hasilnya modernisasi untuk sistem propulsi, deteksi, sistem navigasi dan manajemen tempur dan kontrol tembak baru.
Yang lebih penting lagi, Indonesia memiliki rencana ambisius untuk memperkuat armada bawah lautnya. Para pejabat TNI AL setidaknya menginginkan armada kapal selam minimal sebanyak 14-18 unit. Untuk kekuatan pokok minimum (MEF) yang dicanangkan untuk tahun 2024, setidaknya TNI AL akan memperoleh 10 kapal selam baru. Walau dinilai berat, sebagian analis percaya Indonesia bisa melakukannya, apalagi sudah didukung dengan anggaran pertahanan yang terus meningkat setiap tahunnya.
"Ini adalah ambisi besar Indonesia yang didorong oleh sejarah," Koh Swee Lean Collin, Associate Research Fellow di Program Studi Militer RSIS Singapura.
Dalam masa keemasannya di tahun 60-an, TNI-AL tercatat sudah memilki 12 kapal selam kelas Whiskey buatan Uni Soviet. Kekuatan kapal selam Indonesia kala itu tidak hanya sudah mendominasi Asia Tenggara, namun pertumbuhannya sudah mengkhawatirkan Barat.
KRI Nanggala-402 |
Menurut ketentuan kontrak, kapal selam ketiga akan dibangun di dan oleh Indonesia, dalam hal ini dilakukan oleh PT PAL, ini mencerminkan tujuan Indonesia yang ingin memproduksi kapal selamnya sendiri. Sejalan dengan hal tersebut, bulan lalu Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro juga menegaskan bahwa Indonesia sedang bersiap membangun infrastuktur yang dibutuhkan untuk memproduksi kapal selam dalam negeri.
Indonesia juga sudah membangun pangkalan militer baru di Teluk Palu, yang difungsikan sebagai pangkalan kapal selam. Pangkalan kapal selam ini dibangun selama dua tahun dengan biaya sebesar 717 ribu dolar, dan rencananya akan diresmikan pada 2014 berbarengan dengan kedatangan kapal selam dari Korsel. Teluk Palu sendiri memliki lebar 10 kilometer dengan garis pantai membentang sepanjang 68 kilometer sementara kedalamannya mencapai 400 meter.
Collin, peneliti di RSIS, menjelaskan Teluk Palu :
"Teluk Palu adalah pilihan cerdas TNI AL. Teluk Palu "mengangkangi" Selat Makasar dan sempit, kedalaman dilaporkan 400 m, kedalaman yang baik untuk persembunyian kapal selam atau bertahan dari serangan. Selain terletak di perairan strategis, Teluk Palu memberikan akses langsung ke (utara) Laut Sulawesi, dimana Indonesia masih memiliki sengketa dengan Malaysia atas blok minyak lepas pantai Ambalat."
Collin menjelaskan tujuan pembangunan armada kapal selam Indonesia merupakan salah satu upaya yang ditujukan untuk pencegahan di masa damai, pengawasan laut atau untuk mengatasi serangan dari laut di saat perang.
"Kapal selam tentu menjadi segi utama dari seluruh rencana strategis TNI AL," katanya. "Peran kapal-kapal selam ini adalah untuk memberikan efek jera kepada setiap calon lawan. Dalam perang, karena besarnya kemungkinan musuh mendekati laut, perlu untuk melakukan pencegahan yang efektif dengan menggunakan kapal selam." Diuntungkan karena letak geografisnya, armada kapal selam di pangkalan kapal selam Palu akan memiliki kekuatan yang lebih.
Sumber : Artileri