Pages

Rabu, Juli 17, 2013

Persaingan Monster Bawah Laut Di Selat Malaka

Selat Malaka
Selat Malaka

ANALISIS-(IDB) : Seperti halnya Selat Hormuz di Teluk Persia dekat Iran dan Oman, Selat Malaka merupakan salah satu selat terpenting di dunia.




Menghubungkan Samudera Hindia ke Laut Cina Selatan dan Samudera Pasifik, Selat Malaka merupakan rute maritim terpendek yang menghubungkan produsen energi Persian Gulf ke konsumen terbesar mereka di negara-negara Asia seperti China, Jepang dan Korea Selatan.


Lima puluh ribu kapal dagang yang membawa 40 persen perdagangan dunia setiap tahunnya melewati selat sepanjang 900 km ini. Selat ini sangat strategis untuk pasokan energi regional. Menurut Badan Informasi Energi pemerintah Amerika Serikat, EIA, pada tahun 1993 sekitar 7 juta barel minyak dan produk olahan minyak bumi per hari transit di Selat Malaka -sekitar 20 persen dari perdagangan minyak global lewat laut. Pada tahun 2011, jumlah ini meningkat menjadi 15 juta barel per hari atau 33 persen dari seluruh minyak yang diperdagangkan lewat laut.


Negara-negara Asia Timur Laut sangat bergantung dari minyak yang melewati Selat Malaka. Jepang bergantung sekitar 90 persen impor minyak melalui Selat Malaka. Pada 2010 lalu, China mengandalkan Selat Malaka untuk 80 persen minyak yang diimpornya. Tak heran jika mantan Presiden Hu Jintao menyebutnya sebagai "China’s Malacca Dilemma."


Tiga negara -Indonesia, Singapura dan Malaysia- menguasai Selat Malaka, yang hanya memiliki lebar 1,7 mil pada titik tersempitnya. Sementara Angkatan Laut asing seperti Amerika Serikat sudah sejak lama beroperasi di kawasan tersebut, dan Angkatan Laut China semakin menaruh minat pada Selat Malaka. Tentu saja 3 angkatan laut yaitu dari Indonesia, Malaysia dan Singapura tidak bisa mengabaikan hal ini.


Karena lokasi yang strategis, ketika negara ini telah melengkapi dirinya dengan kekuatan kapal selam, dan khususnya Indonesia memiliki ambisi yang besar untuk membangun "armada bawah laut" di masa depan.


Angkatan Laut Republik Singapura (RSN) saat ini dianggap memiliki kekuatan kapal selam terbaik di Selat Malaka, telah menerima kapal selam keenamnya pada bulan April lalu. Semua kapal selam Singapura dibeli dari Swedia dalam dua batch yang berbeda.



RSS Swordsman
RSS Swordsman, kapal selam terbaru Singapura. Diresmikan pada 30 April 2013
Empat kapal selam Singapura merupakan varian kelas Challenger. Dibeli dari Swedia pada tahu 1990 dan baru dikirim antara 1995-1997, kapal selam kelas Challenger berbobot 12.000 ton saat menyelam dan dapat mampu melakukan perjalanan bawah air dengan kecepatan sekitar 20 knot. Setiap kapal selam dilengkapi 6 tabung torpedo dan membawa sekitar 10 torpedo Swedia Tipe 613 an 4 torpedo Tipe 431.

Seiring dengan semakin menuanya usia kapal selam ini (kelas Challenger), Singapura kembali melirik Swedia untuk membangun armada bawah lautnya, akhirnya setuju untuk membeli dua kapal selam kelas Archer pada tahun 2005. Kapal selam kelas Archer merupakan versi upgrade dari kapal selam diesel listrik kelas Västergötland yang sejak lama digunakan Angkatan Laut Swedia. Kapal selam Archer memiliki sistem propulsi udara independen (AIP), yang memungkinkan tetap bisa beroperasi di dalam air selama berminggu-minggu (tanpa muncul ke permukaan.). Kapal Selam kelas Archer dilengkapi 9 tabung torpedo dan membawa 12 torpedo Black Shark, 6 torpedo ringan tipe 431/451, serta ranjau.


Saingan Singapura, Malaysia, memiliki garis pantai yang lebih panjang dan juga terletak di sepanjang selat strategis Malaka. Faktor inilah yang menyebabkan Tentera Laut Diraja Malaysia (TLDM) pada tahun 2002 mengumumkan kebutuhan kapal selam untuk patroli perairan.


"Kita memiliki wilayah laut yang luas untuk diawasi. Kita memerlukan kapal selam sebagai kekuatan pengganda. Mereka (kapal selam) dapat muncul di mana saja dan karena pergerakannya yang diam, mereka sulit di deteksi. Itu akan meningkatkan efek deterrent," Menteri Pertahanan Malaysia Najib Razak menjelaskan kala itu.


Akhirnya, Malaysia melirik Prancis untuk membangun armada bawah lautnya, dan setuju untuk membeli dua kapal selam kelas Scorpene. Kesepakatan itu senilai 1,035 miliar euro atau senilai dengan 1,3 milar dolar untuk saat ini. Pada 3 September 2009, kapal selam Scorpene pertama TLDM, KD Tunku Abdul Rahman, tiba di Malaysia setelah menempuh perjalanan selama 54 hari dari Prancis. Namun sayangnya, pada saat kedatangannya, kapal selam ini mengalami kerusakan vital yaitu tidak dapat menyelam dan hanya dilengkapi dengan persenjataan yang sudah kadaluwarsa. 


Kapal selam kedua TLDM, KD Tun Abdul Razak, dikirimkan Prancis pada 30 April 2010 dan tiba di Malaysia pada 2 Juli 2010. Kapal selam Scorpene versi untuk Malaysia ini tidak dilengkapi dengan AIP tetapi tetap memiliki kemampuan untuk meluncurkan rudal Exocet SM39 anti kapal dengan jangkauan 50 km.


KD Tunku Abdul Rahman
KD Tunku Abdul Rahman, kapal selam pertama Malaysia

Sekarang Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, indonesia memiliki garis pantai terbentang sepanjang 108.000 km dan 5,8 juta km persegi zona ekonomi eksklusif (ZEE). Selain bercokol di Selat Malaka, Indonesia juga memiliki 2 jalur perdagangan penting lainya yaitu Selat Sunda dan Selat Lombok.


Melihat kondisi geografis seperti itu, tidak mengherankan jika TNI AL sudah sejak lama memiliki armada bawah air. Saat ini, TNI-AL masih mengoperasikan dua kapal selam, KRI Cakra dan KRI Nanggala, yang merupakan kapal selam U-209/1300 buatan Jerman. Kedua kapal selam ini juga telah di-refitted (reparasi, dilengkapi kembali dan upgrade) dalam satu dekade terakhir di galangan kapal Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering, Okpo, Korea Selatan. Hasilnya modernisasi untuk sistem propulsi, deteksi, sistem navigasi dan manajemen tempur dan kontrol tembak baru.


Yang lebih penting lagi, Indonesia memiliki rencana ambisius untuk memperkuat armada bawah lautnya. Para pejabat TNI AL setidaknya menginginkan armada kapal selam minimal sebanyak 14-18 unit. Untuk kekuatan pokok minimum (MEF) yang dicanangkan untuk tahun 2024, setidaknya TNI AL akan memperoleh 10 kapal selam baru. Walau dinilai berat, sebagian analis percaya Indonesia bisa melakukannya, apalagi sudah didukung dengan anggaran pertahanan yang terus meningkat setiap tahunnya.


"Ini adalah ambisi besar Indonesia yang didorong oleh sejarah," Koh Swee Lean Collin, Associate Research Fellow di Program Studi Militer RSIS Singapura.


Dalam masa keemasannya di tahun 60-an, TNI-AL tercatat sudah memilki 12 kapal selam kelas Whiskey buatan Uni Soviet. Kekuatan kapal selam Indonesia kala itu tidak hanya sudah mendominasi Asia Tenggara, namun pertumbuhannya sudah mengkhawatirkan Barat.



KRI Nanggala-402
KRI Nanggala-402
Setelah adanya tawaran dari Rusia, Turki dan Prancis, pada bulan Desember 2011 Indonesia akhirnya memutuskan untuk membeli 3 kapal selam baru dari Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering Korea Selatan, perusahaan yang sama yang me-refitted dua kapal selam TNI AL. Kapal selam ini adalah kapal selam diesel listrik varian Tipe-209/1400 Jerman, Korea Selatan mengenalnya dengan nama Changbogo. Kontrak itu senilai 1,1 miliar dolar, kapal selam diharapkan akan diterima antara 2015-2018.

Menurut ketentuan kontrak, kapal selam ketiga akan dibangun di dan oleh Indonesia, dalam hal ini dilakukan oleh PT PAL, ini mencerminkan tujuan Indonesia yang ingin memproduksi kapal selamnya sendiri. Sejalan dengan hal tersebut, bulan lalu Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro juga menegaskan bahwa Indonesia sedang bersiap membangun infrastuktur yang dibutuhkan untuk memproduksi kapal selam dalam negeri.


Indonesia juga sudah membangun pangkalan militer baru di Teluk Palu, yang difungsikan sebagai pangkalan kapal selam. Pangkalan kapal selam ini dibangun selama dua tahun dengan biaya sebesar 717 ribu dolar, dan rencananya akan diresmikan pada 2014 berbarengan dengan kedatangan kapal selam dari Korsel. Teluk Palu sendiri memliki lebar 10 kilometer dengan garis pantai membentang sepanjang 68 kilometer sementara kedalamannya mencapai 400 meter.

 

Collin, peneliti di RSIS, menjelaskan Teluk Palu :



"Teluk Palu adalah pilihan cerdas TNI AL. Teluk Palu "mengangkangi" Selat Makasar dan sempit, kedalaman dilaporkan 400 m, kedalaman yang baik untuk persembunyian kapal selam atau bertahan dari serangan. Selain terletak di perairan strategis, Teluk Palu memberikan akses langsung ke (utara) Laut Sulawesi, dimana Indonesia masih memiliki sengketa dengan Malaysia atas blok minyak lepas pantai Ambalat."

Collin menjelaskan tujuan pembangunan armada kapal selam Indonesia merupakan salah satu upaya yang ditujukan untuk pencegahan di masa damai, pengawasan laut atau untuk mengatasi serangan dari laut di saat perang.


"Kapal selam tentu menjadi segi utama dari seluruh rencana strategis TNI AL," katanya. "Peran kapal-kapal selam ini adalah untuk memberikan efek jera kepada setiap calon lawan. Dalam perang, karena besarnya kemungkinan musuh mendekati laut, perlu untuk melakukan pencegahan yang efektif dengan menggunakan kapal selam." Diuntungkan karena letak geografisnya, armada kapal selam di pangkalan kapal selam Palu akan memiliki kekuatan yang lebih.






Sumber : Artileri

Apache Lead The Way... !!

ARC-(IDB) : Akhir-akhir ini, terutama menjelang masa perubahan APBN 2013 beberapa waktu lalu, beredar kabar akan ditundanya pembelian heli serang Apache. 

Atau setidaknya banyak pernyataan dari kementrian pertahanan yang menyebutkan, pembelian Apache masih akan ditinjau atau dinegosiasikan. Pernyataan tersebut, tidaklah sepenuhnya salah. Namun kenyataannya, Kemenhan telah memiliki rencana yang jelas terkait pembelian heli serang buatan Amerika Serikat itu.


Dari data yang ARC dapatkan, yaitu program Rencana Kerja Pemerintah 2014, rencana pembelian Apache terpampang jelas. Anggaran untuk pembelian pun telah disiapkan tidak hanya untuk tahun 2014, melainkan juga hingga tahun 2017. Di tahun 2014, dianggarkan sebanyak 3 Trilyun rupiah atau jika dibandingkan dengan mata uang dollar sebanyak 300 juta dollar. Ditahun-tahun berikutnya pun dianggarkan sekitar 3 trilyun rupiah hingga tahun 2017. Cek tabel paling bawah.

Yang unik dan tidak lazim adalah, pencantuman jenis/merk heli Apache secara jelas dan nyata dalam matriks rencana tindak pembangunan kementrian/lembaga tahun 2014 pada RKP. Dengan demikian, hilang sudah kesempatan helikopter serang tipe lain untuk menggeser kedudukan Apache.

Sementara, pada pembangunan pertahanan yang lain, baik Angkatan Darat, Laut maupun Udara, tidak ada jenis dan merk tertentu yang ditulis secara jelas.

Indonesia sendiri telah memohon pembelian Apache Block 3 kepada Amerika Serikat sejak pertengahan 2012 lalu. Rilis DSCA menyebutkan, pembelian 8 unit


Apache oleh Indonesia ini diperkirakan menelan biaya hingga 1,4 milyar dollar. Nah, dengan kepastian tercantumnya Apache dalam RKP 2014, bisalah kita bilang, APACHE LEAD THE WAY...!!


 




Sumber : ARC

TNI AL Akan Bangun Lanal Di Jambi

JAMBI-(IDB) : Rencana pembangunan Pelabuhan Ujung Jabung sepertinya akan memiliki dampak yang luas. Tidak hanya untuk kemajuan ekonomi Jambi, namun pembangunan Pelabuhan Ujung Jabung juga akan meningkatkan situasi keamanan di wilayah Jambi. Pasalnya, Jambi ditargetkan akan memiliki Pangkalan Angkatan Laut (Lanal).

Gubernur Jambi, Hasan Basri Agus (HBA), mengatakan terkait rencana pembangunan Lanal tersebut dirinya telah bertemu dengan Panglima Komando Armada RI Wilayah Barat (Pangarmabar), Laksamana Muda (Laksda) TNI Arief Rudianto. Dikatakan HBA, Pangarmabar menyetujui usulan tersebut, dan merencanakan kunjungan kerja ke wilayah Jambi.


“Beberapa hari lalu saya kunjungi Panglima Armabar, kita menawarkan kenapa tidak bangun Lanal di Jambi. Apalagi dari kawasan Ujung Jabung akan kelihatan kapal lalu-lalang di Laut China Selatan. Rupanya, panglima sudah tahu akan hal itu. Makanya beliau langsung respon," kata HBA.


Sebagai tindak lanjut, kata HBA, Pangarmabar akan segera melakukan studi kelayakan dan survei lapangan. Jika tidak ada halangan, panglima beserta jajarannya akan berkunjung ke Jambi pada tanggal 21-23 Juli ini.


“Beliau akan ke Jambi dengan menggunakan kapal perang. Nanti beliau akan keliling Sabak bersama saya. Nanti teman-teman wartawan juga ikut. Rombongan juga akan bawa pesawat intai," beber HBA.


Bukti keseriusan atas rencana pembangunan Lanal tersebut, HBA mengatakan Pemprov Jambi bersedia menyediakan lahan yang dibutuhkan. "Saya sempat tanya berapa butuh tanah, 100 hektar kita siapkan," 







Sumber : MetroJambi

16 Prajurit TNI AL Perkuat Korps Hiu Kencana

SURABAYA-(IDB) : Sebanyak 16 prajurit TNI Angkatan Laut lulusan mantan siswa Sekolah Kapal Selam dari Kobangdikal memperkuat jajaran Satuan Kapal Selam Koarmatim (Satselarmatim) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Korps Hiu Kencana. 

Mereka akan ditempatkan di unsur-unsur Satselarmatim yaitu kapal selam KRI Cakra-401 dan KRI Nanggala-402. Sebelum mengawali tugas di Satselarmatim, 16 prajurit mantan Sekasel ini mendapat latihan dan pembekalan dari para pembina di Satselarmatim. Acara pembukaan latihan dan pembekalan dilaksanakan di dermaga kapal selam, Ujung, Koarmatim dipimpin oleh Komandan Satuan Kapal Selam Kolonel Laut (P) Iwan Isnurwanto, S.H., M.A.P. belum lama ini.

Para prajurit ini berasal dari berbagai strata yaitu strata perwira sebanyak tiga prajurit, strata bintara satu prajurit dan sebanyak 12 prajurit dari strata tamtama. Dengan adanya kegiatan latihan dan pembekalan ini mereka diharapkan dapat memenuhi persyaratan kemampuan dalam memasuki dinas aktif di korps hiu kencana dan memiliki kesiapsiagaan, kewaspadaan dan naluri tempur sebagai awak kapal selam sesuai fungsi asasinya. 

Disamping itu latihan ini juga bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan awak kapal selam serta memupuk kerja sama, rasa persaudaraan dan kebanggan korps (esprit d’coprs) dan dapat melaksanakan program zero accident.

Dalam latihan dan pembekalan yang dilaksanakan mulai tanggal 24 Juni 2013 sampai dengan 5 Juli 2013 ini, para prajurit menerima materi latihan diantaranya : Pelajaran dasar kapal selam, Peraturan Dinas Dalam Khas kapal selam, Job Discription, Harbouring serta Tradisi dan Kejuangan. 

Latihan ini dinilai oleh Tim Penilai dari Kolatarmatim untuk menilai layak tidaknya 16 prajurit tersebut masuk dalam jajaran korps hiu kencana. Selamat bergabung dengan korps hiu kencana, kobarkan terus bendera kewajiban.....Tabah Sampai Akhir.








Sumber : Koarmatim

TNI AD Uji Terima Meriam Howitzer 105 MM Korea Selatan

KEBUMEN-(IDB) : TNI AD menggelar uji terima terhadap Meriam Howitzer 105 MM jenis KH-178 di pesisir selatan Desa Setrojenar, Kecamatan Buluspesantren, Kebumen, Selasa (16/7). Uji terima meriam produksi Kores Selatan itu ditinjau langsung oleh  Wakasad Letjen TNI M Munir.

Ikut mendampingi Waasop Kasad Brigjen TNI George I Supit, Kadislitbang TNI AD Brigjen TNI Kun Priambodo, dan Dirpalat Brigjen TNI I Wayanb Cager. Tampak pula Kasdam IV Diponegoro Brigjen TNI Agus Kriswanto, Danrem 072 Pamungkas Brigjen TNI Adi Wijaja dan Dandim 0709 Letkol Dany Rakca Andalawasan.

Kalakgiat Uji Meriam Howitzer 105 MM Kolonel CPL Sri Sunanto menjelaskan, dalam uji terima di Urut Sewu pihaknya melakukan uji penembakan sebanyak dua pucuk meriam sebagai simpel. Pengujian dilakukan dengan jarak 6 km, 10 km dan 11,8 km.

"Uji terima meriam guna mendapatkan data dan fakta terhadap meriam produk Korea Selatan itu, sesuai dengan spesifikasi standar penerimaan (SSP)," ujar Kolonel CPL Sri Sunanto kepada suaramerdeka.com di sela-sela uji terima.

Kolonel Sri Sunanto yang sehari-hari menjabat Kasubdit Binjat Ditpalat TNI AD tersebut menambahkan, materi uji yang dilakukan meliputi uji non destructive (tidak merusak) dan uji destruktif bersifat merusak. Uji sebelumnya dilakukan di Lapangan Tembak ASR TNI AU Pandanwangi, Lumajang.

"Nanti masih ada rangkaiannnya lagi, seperti latihan dari operator dan perawatannya," imbuhnya.
Lebih lanjut, dia menyebutkan, pembelian meriam tersebut merupakan lanjutan dari kontrak eksport (KE) pembelian Alutsista TNI AD dari Korea Selatan. Adapun jumlahnya sekitar 54 pucuk meriam.







Sumber : SuaraMerdeka

Pengamat : Mempertahankan Dan Memberdayakan industri Pertahanan

Pemerintah Indonesia menargetkan tercapainya kemandirian senjata untuk kebutuhan TNI pada tahun 2029 namun target ini dianggap sangat berat dicapai.
 
BANDUNG-(IDB) : Target itu dirumuskan dalam UU Industri Pertahanan yang disahkan tahun lalu dan mewajibkan penghentian penggunaan produk impor jika industri domestik mampu memenuhi.

"Suka tidak suka, UU mengamanatkan offset industri pertahanan kita adalah 35%," kata Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.


Offset, istilah yang dipakai untuk menyebut tingkat pencapaian alih teknologi dari luar ke dalam BUMN strategis, saat ini diklaim sudah mencapai 35% bahkan lebih.


"Kalau dihitung-hitung dalam proses produksi CN 295 misalnya, offset PTDI sampai 40%," klaim Purnomo.


CN 295 adalah pesawat angkut kelas kecil-menengah buatan Airbus Military (dulu CASA) Spanyol.


PTDI mengikat perjanjian dengan perusahaan asing itu, agar dapat memperoleh kontrak pemasaran danKlik penjualan CN 295 di kawasan Asia Pasifik.

Tetapi tak semua kontrak berakhir sukses.


Upaya mengalih teknologikan pesawat jet asal Koreal Selatan, KFX, tiba-tiba terhenti setelah alih kepemimpinan nasional di negeri ginseng itu.


Pemerintah Indonesia secara resmi mengatakan proyek hanya ditunda namun menurut pengamat militer Andi Widjajanto yang terjadi sesungguhnya lebih serius karena menyangkut kontrak alih teknologi.


"Kita sebagai negara bebas-aktif tidak menganut blok pertahanan, karena itu upaya alih transfer teknologi menjadi lebih sulit," kata pengajar di Jurusan Hubungan Internasional UI ini.


Dalam kasus KFX menurut Andi, Indonesia berharap belajar teknologi jet F16 yang lisensinya sudah dilimpahkan AS kepada Korsel, yang merupakan sekutu dekatnya di Pasifik.


Belakangan ternyata Korea Selatan lebih tergiur mengembangkan KFX dengan teknologi pesawat F35, yang lisensinya belum tentu boleh dibagi dengan Indonesia.


"Karena tidak ada pelibatan (Indonesia) sama sekali dalam konsorsium (persenjataan) global dengan Amerika."


Tinggal Teriak

Apapun tantangannya, pengesahan UU Industri Pertahanan jelas memberi dorongan besar pada pabrikan senjata lokal yakni PTDI, Pindad dan PT PAL Surabaya.


"Kita sekarang kewalahan memenuhi permintaan TNI bahkan harus bayar denda keterlambatan dari tahun 2011," kata Dirut Pindad Adik Sudaryanto.


Untuk pemesanan tahun lalu Adik juga sudah memberi peringatan pada TNI senjata akan telat sampai karena tumpukan produksi yang tak sebanding dengan kemampuan alat dan sumberdaya.

Lonjakan permintaan belum dapat dipenuhi segera menurut Adik karena kebutuhan mesin setidaknya perlu dua tahun untuk dipesan.


"Karena mesin industri alutsista itu tidak dijual di pasar bebas, kalau bebas kacau kan semua bisa bikin senjata."


Baru pada tahun ini hingga 2015 Adik memperkirakan mesin-mesin baru tiba dan Pindad bisa menggenjot produksi.


Sejak UU diketok palu, Pindad juga tak kesulitan uang karena berbagai sumber dana disiapkan pemerintah termasuk yang sebelumnya tak ada.


Adik Sudarsono mengatakan substitusi impor saat ini lebih masuk akal dari ekspor.


"Kita tinggal teriak kita bisa (produksi), langsung (order) diberikan," tambahnya.


Berkah lain dari UU 16 yang dinikmati produsen senjata Indonesia adalah pintu alih teknologi yang terbuka lebih lebar.


Ia mencontohkan produksi tank Anoa yang mulanya harus memakai rangka buatan VAB serta mesin hasil impor dari pabrikan otomotif dan senjata Prancis, Renault.

"Sekarang dia mau jual engine-nya saja, VAB-nya dari kita, sehingga penjualan dia turun," kata Dirut Pindad sejak 2008 itu.


Produsen asing mengalah mengikuti ketentuan UU Industri Pertahanan karena kalau menolak mereka akan sama sekali kehilangan pasar.


Kasus yang sama juga terjadi pada amunisi ukuran besar 105mm yang mulanya dibeli dari Korsel.


Pabrikan Korsel itu kemudian mengajari Pindad mekanik dan teknik fuse-nya, dan terpaksa puas jadi pemasok komponen.


"Dulu mana mereka mau, sekarang produknya kita integrasikan jadi produksi kita."


Dengan permintaan TNI yang masih lebih tinggi dari kemampuan pasoknya, sejak tahun lalu Pindad memilih fokus pada substitusi impor bukan pada ekspor.


Kutukan

Sebaliknya PTDI memilih untuk aktif menawarkan dagangan langsung pada negara pembeli potensial setelah bisnis yang makin bergairah beberapa tahun terakhir.


Satu-satunya produsen pesawat di Asia Tenggara itu baru dibawa Wakil menteri pertahanan Sjafrie Sjamsuddin dalam sebuah road show negara ASEAN pada awal Juni lalu.


PTDI menyebut tengah melakukan finalisasi kontrak pembelian dengan Filipina, setelah sebelumnya Vietnam juga dikabarkan akan memesan CN295.


Dua negara lain, Thailand dan Brunei, meminta dilakukan uji terbang (flight test) di negeri mereka.

Melihat pasar yang sebenarnya cukup ramah terhadap pesawat angkut dan penumpang terbatas, bahkan muncul usulan agar PTDI tak usah repot memikirkan urusan produksi jet tempur.


"Toh jelas pasar CN 295 ada, peminatnya lumayan. Sementara pesawat jet akan perlu investasi dan biaya pengembangan yang lama dan besar. Kita beli saja," seru anggota Komisi Pertahanan DPR, TB Hasanuddin.


Meski boleh jadi cukup masuk akal, usulan ini dianggap justru akan mematikan peluang industri senjata Indonesia sendiri.


"Semua industri senjata dunia mengalami kutukan ini," kata Andi Widjajanto.


Negara yang terlambat mengembangkan industri senjatanya, harus bersabar dan tabah menghadapi rintangan alih teknologi.


"Periode awal bisa 10-20 tahun industrinya akan mengahsilkan senjata yang kualitas teknologinya tertinggal dan lebih mahal," kata Andi, putra mendiang Pangdam Udayana, Theo Sjafei.


Apakah itu sepadan dengan anggaran yang besar yang keluar hingga 2029? Menurut Andi jawabnya ya.


Mengutip sebuah studi ia menyebut dalam pada abad 21 hanya akan ada tujuh negara dengan industri pertahanan mandiri: AS, Rusia, Negara Eropa Barat, Brasil, Cina, India dan Indonesia.

"Negara lain pilih cara yang gampang: beli saja."







Sumber : BBC

Panglima TNI : Reformasi Internal TNI Berhasil

Hampir tiga tahun duduk sebagai pimpinan tertinggi angkatan bersenjata Indonesia, Panglima Laksamana Agus Suhartono menyebut salah satu pencapaian terbesar TNI saat ini adalah berhasilnya langkah reformasi internal.

JAKARTA-(IDB) : Kepada wartawan BBC Indonesia Dewi Safitri, Panglima TNI berusia 58 tahun ini menjelaskan bagaimana postur TNI kini makin berubah.

Bagaimana Anda menggambarkan perubahan TNI dan kemampuan pertahanan Indonesia kini?
 
Pembangunan kekuatan TNI selalu diorientasiakn pada pembangunan Kekuatan Pokok Minimal (KPM), programnya sampai 2024. Tapi ternyata sekarang ada percepatan-percepatan yang sangat menguntungkan TNI, meski harus diingat membangun alutsista tidak bisa serta-merta, tidak ada senjata ready stock. 2014 kita harapkan target 40% tercapai dan pada 2019 Minimum Essential Force sudah tercapai, lebih cepat dari target 2024. Sekarang ini, sudah 30%.


Bagaimana percepatan bisa terjadi?
 
Karena dua hal: dukungan dana memadai dan perhatian cukup baik dari pemerintah saat ini. Akibatnya dalam lima tahun ini ada penambahan anggaran Rp 157 triliun, signifikan sekali untuk pembangunan dan modernisasi alutsista kita.


Apa yang dirasakan TNI sebagai dampak modernisasi alutsista ini?
 
Sudah pasti ini membuat level of confidence prajurit meningkat, alutsista kita baru dan moderen. Lebih dari itu, kita menjadi makin profesional karena organisasi yang tadinya padat manusia kini mulai bergerak ke arah padat teknologi. Satu batalion tadinya 900 (personil) sekarang cukup 600, sejalan dengan komitmen untuk rightsizing. Sampai dengan pencapaian target kekuatan minimal tercapai, kita akan bertahan dengan kekuatan seperti sekarang 450-an ribu personil. Itu terhitung kecil untuk negara seperti Indonesia, tetapi dengan alutsista yang moderen itu akan menjadi cukup. Sementara (dampak) keluar, sekarang kita memiliki deterrence factor lebih besar, posisi tawar kita jadi lebih tinggi dalam membangun tingkat kepercayaan bersama dengan negara lain. Rekan-rekan saya di lingkungan ASEAN ini, mereka para panglima angkatan bersenjata, sangat memperhitungkan kita.


Alutsista sekarang dibeli dari berbagai negara, bagaimana integrasinya dalam Latihan Gabungan lalu karena sistem operasinya berbeda?
 
Doktrin memang harus kita sempurnakan, tadinya kita pakai cara begini sekarang diganti. Tadinya angkat tank dengan tenaga manusia, sekarang pesawat. Kalau begitu sekarang doktrin harus kita ubah, karena ternyata alutsista memiliki kemampuan lebih, itu salah satu feedback evaluasi Latgab. Tidak ada masalah interoperabilitas yang signifikan, tetapi memang menjadi pelajaran bagian mana yang harus diperbaiki. Kuncinya adalah kita pahami betul kemampuan alutsista A seperti apa, B bagaimana dan seterusnya, selanjutnya kita integrasikan.


Alutsista yang sedang hendak dibeli sekarang banyak yang berstatus bekas pakai dan rekondisi, ada keluhan soal itu?
 
Asal ditingkatkan daya tempurnya, itu cukup memadai. Misalnya begini beli baru (F16) Blok 32 seharusnya dapat enam dengan usia pakai sekian tahun. (dibandingkan) Dengan hibah, air frame-nya bagus, peralatannya kita samakan dengan kecanggihan 32, (menjadi) sama. 10 tahun ke depan Blok 32 itu juga sudah akan ketinggalan, artinya sama-sama ketinggalan (dengan yang bekas pakai). Karena itu pilihan mengambil retrofit, dengan tingkat kecanggihan yang memadai menjadi tawaran yang menarik, kita pilih itu. Untuk 10 tahun ke depan ini masih sangat memadai dalam konteks kawasan ASEAN. Toh 10 tahun ke depan harus diretrofit lagi, beli baru juga harus diretrofit.


Ini bukan alutsista retrofit pertama untuk TNI, bagaimana pengalaman sebelumnya?
 
Dalam paket pembelian 39 kapal eks Jerman Timur (yang sempat menjadi isu kontroversial tahun 1992), saat itu kita tahu lima tahun sesudahnya kita harus retrofit engine-nya karena memang tidak cocok untuk Indonesia. Hanya saat itu ekonomi kita kena krisis sehingga program retrofit terganggu. Tapi selanjutnya secara bertahap tetap kita jalankan, semua kapal Jerman Timur kita repowering dan sampai sekarang masih jalan bagus. Bahkan sekarang dalam konteks pembangunan kekuatan pokok minimal, kita tingkatkan kemampuannya: dulu repowering, sekarang combat management sistem-nya, mungkin pasang rudal. Intinya alutsista meski sudah lama kalau dipasang peluru kendali baru, dihitungnya sudah lain kalkulasi tempurnya.


Selain Indonesia, tetangga di ASEAN juga giat membangun arsenal, dikaitkan dengan konflik Laut Cina, bagaimana posisi TNI?
 
Kita mendukung code of conduct penyelesaian konflik dengan damai, negosiasi bilateral. Kepentingan kita menjaga kalau memang ada konflik, imbas tidak sampai ke wilayah kita. Maka kita perkuat sistem (pertahanan) di utara, menjaga jangan sampai konfliknya nanti berpengaruh ke sini. Karena di Laut Natuna ada banyak eksplorasi minyak, kita harus lindungi. Secara rutin sepanjang tahun kita tugaskan patroli rutin di sana, dari sistem patroli udara kita pastikan mampu meng-cover wilayah Laut Cina Selatan khususnya Laut Natuna. Pangkalan kita di Pontianak juga mulai kita arahkan untuk mampu cover Laut Natuna. Kita juga kerjasama dengan negara tetangga untuk latihan bersama, jadi kalau ada situasi kita butuh aksi bersama, kita sudah siap.


Berbagai pencapaian tersebut, apakah buah dari berhasilnya reformasi TNI?
 
Memang reformasi internal dalam tubuh TNI (hasilnya) cukup signifikan. Bagian paling sulit adalah reformasi kultural terkait sifat prajurit TNI sendiri menghadapi permasalahan-permasalahan yang ada saat ini. Saya senang bahkan puas, apa yang dirintis dalam reformasi itu memberikan hasil. Beberapa kasus dalam proses hukum kita sudah jalani sebaik-baiknya, netralitas berpolitik sangat baik, bisnis kita sudah tidak jalani lagi. Reformasi jangan diukur dari oh, masih ada anggota TNI melakukan pelanggaran (seperti kasus Cebongan maupun penyerangan di OKU). Melihatnya begini: kalau anggota TNI masih melakukan pelanggaran, apa yang dilakukan? Kalau kita respon sesuai dengan proses hukum, itu artinya reformasi berhasil. Tapi kalau kita respon dengan melindungi anggota, jangan dihukum, itu reformasitidak berhasil.


Panglima akan segera meninggalkan jabatan karena masuk pensiun pada Agustus, apa warisan yang paling krusial dijaga?
 
Pembangunan Kekuatan Pokok Minimal harus ada konsistensi, kalau tidak dilanjutkan mustahil apa yang direncanakan tercapai. Kedua, soliditas antar kekuatan karena tidak mudah menjaga itu karena tiap matra punya keinginan masing-masing punya kebanggaan masing-masing. Kekuatan kita sangat tergantung dari soliditas itu, TNI itu ya satu, agar kita punya kekuatan fight power tinggi.


Tapi itu sangat tergantung pada anggaran dan komitmen kepala negara sementara kita akan berganti presiden, ada kekhawatiran?
 
Antara ya dan tidak. Ya, karena kita khawatir kalau political will tidak mengarah ke situ. (Misalnya) Manakala pembangunan ekonomi sangat diprioritaskan sehingga mengesampingkan pembangunan pertahanan. Tidak (khawatir), karena kita yakin pasti akan ada perhatian ke situ, semua negara pasti akan memperhatikan angkatan bersenjatanya. Tapi saya optimistis siapapun yang jadi kepala negara akan punya komitmen terhadap pembangunan pertahanan. Kita beruntung pembangunan kekuatan pertahanan sudah terencana hingga 2024, muda-mudahan ini diikuti dengan konsisten pada era berikutnya.


Dalam 5-10 tahun mendatang seperti apa postur TNI?
 
Kita akan mencapai sekitar 70% dari target Kekuatan Pokok Minimal, TNI akan makin profesional dengan landasan yang sudah ada sekarang. Juga dalam menyikapi masalah demokrasi juga lebih profesional, soal alutsista kita sudah punya kemampuan minimal untuk menjaga negara NKRI, posisi tawar yang berarti dengan negara lain dan kesejahteraan prajurit akan jadi makin baik.







Sumber : BBC