JKGR-(IDB) : Pesawat latih tingkat lanjut (supersonic) T-50 KAI Golden Eagle Korea Selatan (photo: globalsecurity.org)
Ajakan Korea Selatan untuk terlibat dalam program pesawat tempur KFX /
IFX, adalah anugerah yang besar bagi Indonesia, sekaligus tantangan
kecerdasan bagi Indonesia untuk bisa masuk ke industri penerbangan
advance, jet super sonic. Korea Selatan telah merintis jet tempur itu
jauh-jauh hari sebelumnya sejak tahun 1990-an dengan nama jet supersonic
T-50. Dan kini mereka berada di persimpangan jalan, apakah akan
melanjutkan jet tempur KFX yang telah lama mereka rintis, atau hanya
memodifikasi F-15 yang ditawarkan Amerika Serikat menjadi F-15 SE
(silent eagle).
T-50 Golden Eagle trainer version
Setelah bergelut dengan konsep, disain, prototype dan ujicoba yang
melelahkan selama 10 tahun lebih, jet T 50 akhirnya diterbangkan pada
tahun 2002 dan bergabung dengan Republik Korea Air Force (RoKAF) pada
tahun 2005. T-50 dirancang sebagai pesawat latih tingkat lanjut
(supersonic) pengganti pesawat latih T-38 dan A-37, bagi calon pilot
pesawat KF-16 (F-16 versi Korea Selatan) dan F-15 SE.
Disain dasar T-50 Golden Eagle berasal dari F-16 Fighting Falcon.
Keduanya memiliki banyak kesamaan, antara lain: penggunaan mesin
tunggal, kecepatan, ukuran, serta berbagai senjata dan elektronik. Korea
Selatan menggarap T-50 setelah KAI memiliki pengalaman memproduksi
lisensi KF-16. Pesawat lisensi KF-16 merupakan titik awal pengembangan
T-50. Sebelumnya Korea juga telah membuat pesawat baling-baling
turboprop KT-1 (Korean Trainer 1) Wongbee, sebagai pesawat latih dasar
yang dihasilkan Daewoo Aerospace (sekarang bagian dari KAI).
Program pesawat latih supersonic T-50 pertama kali dimunculkan tahun
1992 dengan nama KTX-2. Departemen Keuangan dan Ekonomi Korsel sempat
menangguhkannya hingga tahun 1995 dengan alasan kendala keuangan. Dengan
berbagai kendala yang dialami, rancangan dasar pesawat T-50 akhirnya
terwujud 4 tahun kemudian, pada tahun 1999. Proyek ini didanai
Pemerintah Korea Selatan 70 persen, Korea Aerospace Industries (KAI) 17
persen dan Lockheed Martin 13 persen. Pada bulan Desember tahun 2003
Angkatan Udara Korea Selatan melakukan kontrak produksi sebanyak 25
pesawat T-50, dengan jadwal pengiriman antara 2005 dan 2009. Pesawat
T-50 dilengkapi dengan radar AN/PG-67 dari Lockheed Martin.
Pesawat TA-50 light attack version
Program pesawat jet latih T-50 terus dikembangkan menjadi pesawat tempur
ringan TA-50. Pesawat TA-50 adalah versi bersenjata dari pesawat latih
T-50 yang ditujukan untuk memimpin pelatihan tempur serta serangan
kilat. TA-50 memiliki platform: tempur penuh untuk bom presisi, rudal
udara ke udara, serta rudal udara ke darat. TA-50 juga ditingkatkan
kemampuannya dengan peralatan tambahan untuk: pengintaian, penargetan
serta peperangan elektronik. Pada tahun 2011, skuadron pertama TA-50
varian serang ringan mulai operasional.
|
Pesawat TA-50 light attack version
|
Pesawat FA-50 multi-role fighter version
Varian lain dari T-50 adalah FA-50 yang memiliki kemampuan pengintaian
dan peperangan elektronik. Varian FA-50 terbang perdana tahun 2011
dengan kemampuan multiperan yang disejajarkan dengan KF-16 (F-16 versi
Korea). Korea Selatan memproduksi 60 pesawat FA-50 pada tahun 2013
hingga tahun 2016. Angkatan Udara Republik Korea (RoKAF) berencana
memiliki total 150 Fighter FA-50 untuk menggantikan F-4 Phantom II dan
F-5.
|
Pesawat FA-50 multi-role fighter
|
F-50 Cooming Soon
Setelah berhasil membuat multi-role fighter, hendak mengembangkannya
lagi menjadi lebih canggih yakni F-50 dengan sayap yang diperkuat, radar
AESA, bahan bakar internal lebih banyak, peningkatan kemampuan
peperangan elektronik, serta mesin yang lebih kuat. Sayap yang diperkuat
diperlukan untuk mendukung tiga launcher senjata di bagian bawah sayap.
Radar AESA diharapkan memiliki kesamaan 90% dengan radar AESA program
upgrade radar AESA KF-16. Pesawat T-50 diubah ke konfigurasi kursi
tunggal agar ada ruang menampung bahan bakar internal yang lebih banyak.
Selain meningkatkan peralatan perang elektronik, daya dorong mesin juga
ditingkatkan, 12-25% lebih tinggi dari daya dorong mesin FA-50.
Dengan demikian, evolusi dari pesawat supersonic Korea Sealtan
adalah: T-50 Golden Eagle trainer version, TA-50 light attack version,
serta yang terbaru FA-50 light multi-role fighter version. Adapun
program terbaru mereka adalah F-50, yang kemudian disebut KAI KF-X dan
menjadi KFX / IFX setelah Indonesia menyertakan siap mengucurkan modal
20 persen dari biaya produksi pesawat.
Indonesia – Korea Selatan
Sebelum mengajak Indonesia bekerjasama membuat KFX/IFX, jalinan Indonesia dan Korea Selatan telah dibangun dengan
pembelian 16 pesawat TA-50 varian serang dengan nilai kontrak 400 juta
USD, pada bulan Mei 2011. Pesawat TA 50 ini akan dikirim ke Indonesia
pada tahun 2013, untuk menggantikan pesawat BAE Hawk dan A-4 Skyhawk
yang telah usang. Pada tahun 2008, TNI AU juga memiliki 17 pesawat latih
baling-baling turboprop KT-1Bs Korea Selatan. Hal yang sama dilakukan
Korea Selatan dengan membeli sejumlah CN 235 dari PT DI.
|
Disain KFX Korea Selatan
|
|
Disain Jet Tempur KFX / IFX
|
Angin Perubahan
Terpilihnya Presiden Korea Selatan yang baru Park Geun-hye, pada 25
Februari 2013 tiba- tiba saja membawa perubahan. Korea Selatan
memutuskan untuk menunda pembangunan pesawat jet tempur generasi 4,5
KFX/IFX, dengan alasan belum menguasai beberapa modul KFX. Di saat yang
sama Korea Selatan akhirnya memutuskan untuk membeli F-15 SE dari
Amerika Serikat, sebagai armada tempur yang baru. Alasan yang
disampaikan, Korea Selatan tidak bisa bergantung dengan proyek KFX/IFX
di tengah ketegangan yang terus meningkat dengan Korea Utara.
Apakah Korea menunda pembangunan KFX/ IFX karena alasan belum
menguasai beberapa teknologi atau akibat tekanan politik ?. Ketika Korea
Selatan membangun jet latih T-50 tidak terlihat ada rintangan. Namun
saat mereka memutuskan masuk kepembuatan pesawat tempur sesungguhnya
KFX/IFX, rintangan itu datang dan Korea Selatan menunda proyek KFX.
Hal yang mirip terjadi dengan Indonesia. Ketika Indonesia membangun
pesawat kecil CN 235 dengan CASA Spanyol, tidak ada rintangan dan
berjalan mulus. Akan tetapi ketika Indonesia masuk ke pesawat dengan
kapasita lebih besar N-250, rintangan datang dan hingga kini N-250 tidak
pernah diproduksi massal. Konon katanya akibat tekanan asing.
Apakah yang terjadi dengan Korea Selatan dan Indonesia, hanya
kebetulan, alasan teknis atau betul akibat tekanan asing ?. Tidak tahu.
Tapi mari kita coba apa yang terjadi dengan Jepang.
Pesawat Tempur Jepang
Pada tahun 1985, ketika ekonomi Jepang sedang berkembang pesat, negara
itu berencana membuat jet tempur kelas satu, untuk menggantikan Jet
Tempur Mitsubishi F-1 generasi 3 yang akan pensiun di pertengahan tahun
1990-an. Para insinyur Jepang pun telah melakukan riset dan jet tempur
baru itu akan diberinama Fighter FS-X.
|
Disain Fighter FSX yang ingin dibangun Jepang tahun 1985
|
|
The original Japanese multirole fighter strike project, The FS-X
|
|
Mitsubishi original FS-X
|
Atas tekanan Amerika Serikat, Jepang diminta membatalkan niatnya
membangun Jet Tempur FS-X, dengan alasan teknologi Jepang belum mampu
membuat pesawat tempur generasi 4. AS berupaya mengecilkan hati Jepang
serta membujuknya untuk bergabung mengembangkan dan memodifikasi pesawat
tempur yang telah dimiliki Amerika Serikat.
Setelah melakukan negosiasi yang sulit bertahun-tahun, Jepang
akhirnya setuju mengembangkan modifikasi pesawat F-16 Lockheed Martin
dan dimulai tahun 1989. Pesawat itu disebut F-2.
Tiba-tiba saja di tengah jalan. pembangunan F 2 ini mendapatkan
kritikan dari Kongres Amerika Serikat. Pembangunan jet tempur itu
dianggap gerbang bagi Jepang untuk mendapatkan teknologi mutakhir, yang
merupakan rival AS dalam hal ekonomi. Tekanan dari dalam negeri membuat
Presiden George Bush terpaksa menunda kesepakatan. Lima tahun sejak
kerjasama ditandatangani, proyek itu tidak juga terlaksana. Jepang pun
marah dan frustasi: membuat pesawat sendiri tidak boleh, mengembangkan
F-16 dihalang-halangi.
AS akhirnya mengirim tim ke Jepang untuk mengetahui sejauh apa
kemampuan teknologi dirgantara dari negara Jepang, sehingga kerjasama
nanti tidak satu arah, dalam artian hanya AS yang melakukan transfer
teknologi bagi Jepang. Setelah melakukan inspeksi, tim ini menyimpulkan,
teknologi Jepang masih tertinggal jauh dan tidak ada keuntungan
teknologi yang bisa diterapkan AS untuk pesawat tempur modern mereka.
Amerika Serikat akhirnya menekan pemerintah Jepang untuk menerima
bentuk kerjasama pembangunan pesawat F-16C dengan modifikasi minimal
yang sebenarnya ditolak oleh R & D militer Jepang. AS memutuskan
untuk membatasi transfer teknologi kepada Jepang. AS pun mulai bergeser
dan memanfaatkan kerjasama ini untuk komersialisasi keuntungan mereka
dengan memasok teknologi kelas dua.
Jepang menganggap transfer teknologi yang diberikan AS, masih kalah
jauh dengan konsep konsep fighter FS-X yang akan mereka bangun. Di
tengah rasa frustasinya Jepang terus melanjutkan program pesawat tempur
F-2 dengan berbagai perubahan yang mereka inginkan. Jepang membuat
sendiri software komputer untuk flight control F-2. Jepang juga membuat
disain unik untuk sayap pesawat tempur tersebut. Disain sayap yang unik
ini mencuri perhatian AS dan memintanya, namun Jepang tidak memberikan
teknologinya. Hal ini akibat AS juga tidak memberikan data dari pesawat
F-16 C.
Jepang akhirnya bisa mengontrol seluruh pembangunan F-2 disaat AS
melangkah setengah hati. Tekanan tekanan politik yang diberikan AS
justru membuat insinur Jepang melakukan berbagai modifikasi pada pesawat
FS-X dan menemukan aplikasi teknologi baru. Antara lain teknologi
pembuatan sayap pesawat tempur dari material komposite, menggantikan
aluminium. Dengan teknologi ini sayap pesawat F-2 lebih ringan, namun
kokoh dan kuat. Jepang juga menemukan teknologi fire control radar dan
sejumlah sistem avionik modern.
Setelah berpolemik dan bergulat dengan teknologi selama 11 tahun, F-2
akhirnya diproduksi pada tahun 1996 dan terbang pertama kali tahun
2000. Pesawat ini dibuat oleh Mitsubishi Heavy Industries sebagai
kontraktor utama bekerjasama dengan sub-kontraktor: Lockheed Martin
Tactical Aircraft Systems, Kawasaki Heavy Industries dan Fuji Heavy
Industries.
Pada awalnya Jepang memesan 130 pesawat F-2. Pesawat itu akan dibuat
hingga tahun 2011. Namun pada tahun 2004 Jepang memutuskan untuk tidak
melanjutkan pembelian peswat F-2 karena dinilai terlalu mahal. Produksi
F-2 akhirnya terhenti pada pembuatan airframe ke 76. Amerika Serikat
akhirnya ikut merugi, karena pesawat F-2 tidak jadi dibuat sebanyak 130
unit. Sementara fighter FS-X yang didisain Jepang akhirnya tidak
terwujud.
Jepang memiliki pengalaman pahit dengan Amerika Serikat, namun proyek
itu mengantarkan Jepang untuk menguasai teknologi baru pesawat tempur,
antara lain dengan meng-upgrade teknologi ketinggalan jaman yang
dikomersilkan oleh AS. Proyek F-2 yang memakan biaya sangat besar
mengantarkan Jepang ke teknologi pesawat tempur advance.
|
F-2 Jepang, modifikasi F-16 AS
|
|
Mitsubishi F-2 Jepang
|
|
Mitsubishi F 2A
|
Pesawat Counterstealth Jepang
Kini. di saat negara-negara maju masih dalam tahap awal produksi pesawat
tempur generasi kelima, Jepang justru telah mempersiapkan konsep dan
desain pesawat tempur generasi keenam dengan kemampuan anti pesawat
siluman / counterstealth.
Menurut Jane’s Defence, pesawat tempur generasi ke-6 ini akan dibangun
berdasarkan pesawat konsep ATD-X (Advanced Technology Demonstrator-X)
generasi ke lima Jepang. Pesawat ATD-X sendiri dijadwalkan terbang
perdana tahun 2014 -2016 nanti dan telah dikerjakan sejak tahun 2007.
Jepang tidak akan memproduksi banyak pesawat generasi kelima ATD-X,
melainkan hanya hanya akan digunakan untuk meriset berbagai teknologi
yang lebih maju dan integrasi sistem, sebagai dasar untuk memproduksi
pesawat tempur generasi keenam.
|
Mitsubishi ATD-X Shinsin Jepang
|
|
Fighter ATD-X Generasi 5 Jepang
|
|
Mockup Fighter Mitsubishi ATDX
|
|
Disain Pengembangan Fighter ATD-X
|
Rencana penggelaran pesawat tempur generasi kelima berteknologi
stealth Chengdu J-20 oleh China dan Sukhoi PAK-FA T-50 oleh Rusia
membuat Jepang memandang proyek pengembangan pesawat tempur masa depan
ini sangat mendesak. ”China dan Rusia masing-masing akan menggelar
Chengdu J-20 dan Sukhoi PAK-FA T-50 dalam waktu dekat. Kami tahu 28
radar kami efektif mendeteksi pesawat generasi ketiga dan keempat dari
jarak jauh, tetapi dengan munculnya pesawat-pesawat generasi kelima ini,
kami tak yakin bagaimana kinerja radar-radar itu nantinya,” ujar Letnan
Jenderal Hideyuki Yoshioka, Direktur Pengembangan Sistem Udara Institut
Pengembangan dan Riset Teknis Kemhan Jepang.
Dalam konsep Jepang, pesawat tempur generasi keenam akan memiliki
kemampuan i3 (informed, intelligent, instantaneous) dan memiliki
karakteristik counterstealth. Pesawat generasi keenam inilah yang
digadang-gadang akan menggantikan armada F-2, pesawat tempur yang
diproduksi berdasar platform F-16 buatan AS.
Meski tidak mengalami hambatan teknologi, Jepang diperkirakan
menghadapi rintangan politik dari AS yang selama ini keberatan jika
Jepang mengembangkan pesawat tempur sendiri. Salah satu alternatif yang
akan ditempuh Jepang adalah mengajak AS mengembangkan bersama pesawat
tempur generasi keenam ini. Sebuah situasi yang menjadi berbalik, ketika
dulu tahun 1985, AS mengajak Jepang memodifikasi F-16.
Dengan kasus Jet Tempur Korea Selatan dan Jepang tersebut, kira-kira
seperti apa cerita pembangunan jet tempur KFX/IFX Indonesia nanti ?.
Indonesia harus cerdik dan bermental baja.