JAKARTA-(IDB) : Sistem persenjataan Tentara Nasional Indonesia memang harus terus
diremajakan, jika tidak ingin ketinggalan dengan sejumlah negara
tetangga. Setelah membeli sejumlah peralatan tempur, kali ini TNI
membeli sejumlah peluncur rudal anti-tank (ATGM) canggih asal Amerika Serikat. Namanya Javelin. Ini bagian dari upaya untuk memodernisasi alutsista.
Pembelian peluncur rudal itu disampaikan Menteri Pertahanan Purnomo
Yusgiantoro, usai rapat tertutup rencana kerja pemerintah bersama
Panglima TNI dan Komisi I DPR RI, Senin 10 Juni 2013 di Jakarta.
Pembelian itu, kata Purnomo, demi melengkapi alutsita Angkatan Darat
Indonesia. "Ini masih rencana dan pembahasan," kata Purnomo.
Meski masih rencana, anti-tank baru itu sudah dipamerkan dan
diperagakan penggunaannya usai pembukaan latihan gabungan Garuda Shield
TNI Angkatan Darat dengan Tentara AS di Pasifik (USARPAC), yang digelar
Senin 10 Juni 2013.
Sejumlah anggota DPR yang membidangi masalah pertahanan dan dimintai
komentarnya soal pembelian ini, belum mau bicara banyak. "Belum kami
bahas detail. Kami baru bicara Apache. Lagipula belum ada di Renstra
(Rencana dan Strategis DPR), " kata anggota Komisi I DPR, yang juga
politisi PDI Perjuangan, TB Hasanuddin.
Belakangan ini pemerintah memang sedang getol meremajakan alutsista
yang dianggap sudah tua dan ketinggalan. Terutama ketinggalan dari sisi
teknologi. Salah satu alasan mengapa Indonesia memilih alutsista hasil
pabrik Amerika Serikat adalalh teknologi. "Saat ini, industri senjata
kita masih belum mampu memproduksi senjata anti-tank seperti ini,"
katanya.
Dia menilai bahwa pembelian ini akan sesuai dengan Peraturan Menteri
Pertahanan nomor 34 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Alutsista TNI di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan TNI. Di Pasal 38
Permen Pertahanan ini tercantum syarat pengadaan alutsista adalah alih
teknologi.
Menurut Purnomo, dengan pembelian Javelin itu justru akan ada
transfer teknologi senjata anti-tank. Dia menambahkan, transfer
teknologi ini nantinya akan berdampak pada industri persenjataan
Indonesia. "Ini akan memacu percepatan di sektor industri pertahanan."
Javelin
Letnan
Satu TNI Bonny Octavian sempat memperagakan penggunaan Javelin pada
latihan gabungan Garuda Shield TNI Angkatan Darat dengan Tentara AS di
Pasifik (USARPAC). Dia mengatakan, jarak tembak rudal ini mencapai 2,5
kilometer. Javelin ini dilengkapi dengan pelacak canggih yang mampu
mengunci dan menembak sasaran yang bergerak dengan daya ledak luar
biasa. "Waktu reload rudal ini cukup cepat, yaitu 40 detik saja," kata Bonny.
Bonny
mengungkapkan, TNI telah memesan 25 alat pembidik dan 189 rudal
anti-tank Javelin buatan perusahaan Raytheon dan Lockheed Martin ini.
Namun senjata ini masih dalam tahap produksi dan belum dikirim.
Selain canggih, alat ini sangat ringan dan dapat ditempatkan di bahu
penyerang. Menurut laman Inetres.com, rudal Javelin berbobot 11,8
kilogram sementara alat pembidik dan peluncur hanya 6,4 kilogram.
"Selain canggih, senjata ini juga simpel dan ringan," kata Bonny.
Senjata
ini telah dikembangkan sejak tahun 1989 oleh perusahaan Raytheon dan
Lockheed Martin dengan nama proyek Javelin Joint Venture. Produksinya
sendiri dimulai tahun 1994 dan dikirimkan ke barak militer di Fort
Benning, Georgia pada tahun 1996.
Laman army-technology.com
menuliskan, Javelin digunakan tentara AS dan Australia pada perang di
Irak antara Maret dan April 2003. Saat ini, senjata ini digunakan di
Afganistan. Lebih dari 2.000 rudal Javelin telah ditembakkan AS dan
tentara koalisi di negara ini.
Negara asing pertama pembeli
Javelin adalah Inggris pada Januari 2003 dengan pemesanan awal sebanyak
18 peluncur dan 144 rudal. Negara lainnya yang telah menggunakan ini
adalah Taiwan, Lithuania, Yordania, Australia, Selandia Baru, Norwegia,
dan Irlandia. Beberapa negara lain tengah mengantre untuk
mendapatkannya. Inetres.com memaparkan bahwa satu buah peluncur
dan pelacak Javelin dibanderol US$126.000 atau sekitar Rp1,2 miliar,
sementara rudal Javelin satuannya seharga US$78.000, setara Rp756 juta.
Modernisasi alutsista
Pada
awal 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekankan pentingnya
modernisasi alutsista TNI. Sebab, dalam 20 tahun terakhir Indonesia
belum memodernisasi alutsista TNI-nya. Peningkatan modernisasi dan
kekuatan TNI ini, kata Presiden SBY, diarahkan agar TNI dapat mendekati
postur minimum essential force yang ditetapkan dalam kebijakan
dan strategi pertahanan negara. Baik Angkatan Laut, Angkatan Udara dan
Angkatan Darat. "Tentu ini butuh anggaran besar. But it is necessary," katanya.
Demi
membangun kekuatan, pemerintah akan mempercepat modernisasi untuk
mengejar ketertinggalan dari negara sahabat. SBY tak lupa berpesan pada
pimpinan TNI agar dapat melaksanakan modernisasi dan pembangunan
kekuatan dengan perencanaan yang baik dan sungguh-sungguh. "Gunakan
anggaran yang dialokasikan negara yang jumlahnya cukup besar, cegah
terjadinya penyimpangan," tegasnya.
Namun, pengadaan alutsista kerap diwarnai kontroversi. Salah satunya
adalah tank Leopard 2A6 bekas asal Belanda. Pada bulan yang sama dengan
pernyataan SBY, Januari 2012, TNI tengah berencana membeli 100 tank
bekas itu. Kepala Staf Angkatan Darat saat itu, Jenderal Pramono Edhie
Wibowo, menyatakan Leopard cocok untuk kawasan Asia Tenggara, termasuk
Indonesia.
Leopard 2 ini merupakan tank andalan Jerman pada masa
lalu. Tank tempur utama Jerman ini merupakan pengembangan dari Leopard
1, dikembangkan oleh Krauss-Maffei pada awal 1970. Tank ini pertama kali
digunakan pada 1979. Dan kini sudah lebih dari 3.480 Leopard 2 telah
diproduksi.
Namun, rencana itu justru menimbulkan pro dan kontra.
Sebagian kalangan, terutama sejumlah anggota Komisi I DPR, menolak
keras rencana itu. Selain harga yang terlalu mahal, tank Leopard yang
berbobot lebih dari 60 ton itu dinilai tak cocok dengan medan Indonesia
yang bertanah gembur.
Penolakan
tak hanya datang dari sejumlah anggota parlemen Indonesia, tapi juga
parlemen Belanda. Dengan alasan tidak mau tank-tank itu digunakan untuk
pelanggaran HAM oleh Indonesia. Lalu bagaimana dengan nasib Javelin?