WASHINGTON-(IDB) : Pemerintah Amerika Serikat
memperlihatkan kekhawatiran terhadap peningkatan serangan terhadap umat
agama minoritas di Indonesia, namun kelompok-kelompok hak asasi manusia
menuduh Washington mengecilkan persoalan itu karena ingin membina
hubungan yang lebih kuat dengan Indonesia.
Laporan mengenai kekerasan dan diskriminasi terhadap umat Kristen
dan sekte Islam Syiah dan Ahmadiyah meningkat dalam beberapa tahun
terakhir.
Komisi Tom Lantos untuk Hak Asasi Manusia, komisi
bipartisan pada Kongres AS yang bertugas memonitor hak asasi manusia,
mengadakan sidang di gedung Kongres untuk mengevaluasi situasi di
Indonesia.
264 SERANGAN
Salah satu ketua komisi tersebut, James P. McGovern, mengutip
angka-angka dari lembaga nirlaba Indonesia (LSM) yang memonitor
kebebasan beragama, Setara Institute, yang menunjukkan bahwa ada 264
serangan dengan kekerasan terhadap kelompok minoritas agama pada 2012,
naik dari 216 serangan pada 2010.
Jemaat dari gereja HKBP Filadelfia Bekasi dan GKI Yasmin Bogor
menggelar kebaktian di depan Istana Merdeka pertengahan bulan lalu.
Pejabat senior Departemen Luar Negeri AS, Dan Baer, mengutarakan
kekhawatiran akan serangan-serangan tersebut tanggapan pemerintah
Indonesia yang tidak efektif, dengan mengatakan bahwa hal tersebut
mengancam rusaknya reputasi Indonesia untuk toleransi beragama.
Ia juga mengacu pada “tren yang mengkhawatirkan” dalam penutupan
gereja-gereja, termasuk 50 gereja pada 2012, dan masjid-masjid
Ahmadiyah. Ia menyerukan tindakan polisi yang lebih tegas dan reformasi
hukum untuk memperlihatkan perlindungan terhadap semua minoritas.
MILITAN
Namun lembaga hak asasi
manusia Human Rights Watch mengkritik tanggapan AS, dengan mengatakan
bahwa pemerintah AS telah menolak mengakui secara publik apa yang oleh
para pejabatnya diakui secara tertutup, bahwa penyiksaan terkait agama
memburuk di Indonesia.
“Militan Islam semakin sering menggerakkan massa untuk menyerang
kelompok minoritas agama dengan kekebalan hukum hampir total,” ujar John
Sifton, direktur advokasi kelompok itu untuk Asia.
Minggu lalu, Departemen Luar Negeri AS meluncurkan laporan tahunan
yang menyatakan bahwa rasa hormat pemerintah Indonesia untuk kebebasan
beragama tidak berubah secara signifikan selama 2012.
“Hubungan AS dengan Indonesia sangat kuat, namun hubungan terkait
hak asasi manusia kehilangan arti,” ujar T. Kumar, direktur advokasi
internasional untuk Amnesty International USA, Kamis (23/5) lalu.
70 TAPOL
Ia mendesak pemerintahan
Obama untuk mengupayakan pembebasan lebih dari 70 tahanan politik dan
penerbitan laporan pencarian fakta yang diperintahkan oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono untuk kematian aktivis Munir Said Thalib karena
diracun arsenik pada 2004.
Aktivis-aktivis hak asasi manusia menduga pemerintah Indonesia ingin
menyimpan laporan itu karena dapat melibatkan intelijen Indonesia.
Pemerintah Obama telah memberi tekanan yang lebih pada kepentingan
diplomasi dan keamanan di wilayah Asia Pasifik dan mengatakan
perlindungan kebebasan individual adalah kunci kebijakannya. Sebagai
bagian dari langkah ini, AS telah mempererat ikatan dengan Indonesia,
yang ingin memiliki peran lebih menonjol di panggung dunia.
Bagian dari ikatan ini adalah perluasan kerja sama di antara dua
militer. Pada 2010, AS mengembalikan beberapa bantuan untuk Komando
Pasukan Khusus (Kopassus), yang dibekukan selama satu dekade karena
catatan hak asasi manusianya.
Dan Baer mengatakan pelanggaran-pelanggaran oleh militer Indonesia
tidak lagi tersebar luas, namun permintaan tanggung jawab untuk
kekerasan yang dilakukan terbatas.
Ia mengatakan AS dengan hati-hati mengamati bagaimana Indonesia
menangani kasus-kasus 11 anggota Kopassus yang ditahan karena serangan
di sebuah penjara pada Maret lalu, dimana empat narapidana tewas
dibunuh.
Angkatan Darat Indonesia telah mengakui bahwa tentara ada di
belakang pembunuhan yang dilakukan sebagai balas dendam atas pembunuhan
seorang anggota Kopassus di sebuah kafe beberapa hari sebelumnya.
Pemerintah Indonesia menanggapi kritik mengenai catatan kebebasan
beragamanya dengan mengatakan bahwa kerukunan beragama masih kuat, dan
tidak adil untuk menggeneralisir semua serangan terhadap minoritas
dihubungkan dengan intoleransi.